Be My Miracle Love [End] βœ”

By senoadhi97

55.8K 9.9K 15.3K

Wajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh... More

Eps.1 - Prince Charming
Eps.2 - My Enemy Brother
Eps.3 - Siap Bertemu Kembali
Eps.4 - Who Is Him?
Eps.5 - My Teacher Is Handsome
Eps.6 - Me vs Cowok Trouble Maker
Eps.7 - Awal Dekat Dengannya
Eps.8 - Ribuan Detik Bersamamu
Eps.9 - My Annoying Father
Eps.10 - Crazy Boy
Eps.11 - Hari Balas Dendam
Eps.12 - Janjian
Eps.13 - Dibully Geng Syantik
Eps.14 - Orion : Mianhae
Eps.15 - Aku dan Dewi Fortuna
Eps.16 - Heartbeat
Eps.17 - Sahabat Bikin Kecewa
Eps.18 - Orion Pansos?
Eps.19 - FUTSAL
Eps.20 - Teman Baru
Eps.21 - Live Drama
Eps.22 - Surat Untuk Dia
Eps.24 - Hangout
Eps.25 - Night Together
Eps.26 - He Is Shoot Me Now
Eps.27 - Bertengkar di Toilet
Eps.28 - Momen Manis
Eps.29 - After 'I Love You'
Eps.30 - Permen In Love
Eps.31 - Benci Untuk Mencinta
Eps.32 - Be Mine
Eps.33 - It This Love
Eps.34 - Dia dan Langit Senja
Eps.35 - Good Bye
Eps.36 - Romeo Juliet
Eps.37 - Thank You, Dear
Eps.Special - Break Story
Eps.38 - Berpisah
Eps.39 - Sebuah Syarat
Eps.40 - Tunangan Pak Arnold
Eps.41 - Harusnya Memang Bukan Aku
Eps.42 - Buket Bunga
Eps.43 - Pengagum Rahasia
Eps.44 - Sama-Sama Jealous
Eps.45 - Penculikan
Eps.46 - Fake Boy
Eps.47 - Titik Terang Kala Hujan
Eps.48 - Karma Pasti Berlaku
Eps.49 - Hasrat
Eps.50 - Tarik Ulur
Eps.51 - Memilikimu Seutuhnya
Eps.52 - Panggung Pelaminan (Epilog)
Episode Special Valentine - 14 Februari
Cuplikan dan Promo Sekuel

Eps.23 - Broken Heart

1K 168 287
By senoadhi97

Triple O em ji. Aku sungguh sangat tidak mengira bahwa Pak Arnold akan mengirimiku pesan yang berisi agar aku menemuinya sepulang sekolah ini. Jam terakhir telah berlalu, kini saatnya murid-murid untuk pulang dan bersiap menyambut malam Minggu.

Rasanya kepingin nangis saja mendapati kenyataan ini. Kenyataan bahwa Pak Arnold menyuruhku menemuinya di ruang guru. Oke, aku memang berlebihan, tapi aku sungguh tidak bohong. Tunggu dulu, aku harus bisa mengontrol keadaan. Pasalnya, belum tentu pernyataan cintaku diterima kan? Ya Tuhan, memikirkan itu membuatku jadi harap-harap cemas.

"Semangat, Ayya, semoga lo beruntung," ucap Decha sebelum pergi meninggalkanku.

Akhirnya aku melambaikan tangan kepada teman-temanku sebelum kami berpisah di balik koridor. Jujur, akhir-akhir ini aku sudah jarang pulang sekolah bareng mereka, tapi untungnya mereka tak mempermasalahkan.

Baru beberapa langkah, lenganku ditahan oleh seseorang dari belakang. Saat aku menoleh, aku mendapati senyum imut nan manis dari Orion. Cowok futsal ini masih mengenakan kaos olahraga angkatan kami yang lumayan keren, atau mungkin terlihat keren karena itu dipakai seorang Orion. Namun, celana yang dikenakannya bukan seragam olahraga, melainkan sudah diganti dengan celana abu-abu.

"Ayya, ehm gue anterin lo pulang ya?"

"Eh ...." Aku menimbang sesaat ajakan tersebut. Kali ini aku benar-benar berpikir, tak seperti biasanya yang langsung setuju dengan ajakannya. Karena bagaimanapun, kejadian drama tadi pagi sebenarnya melibatkan dirinya. Tapi aku sudah memutuskan untuk berteman dengannya. Dan sepertinya, pesona Orion memang berhasil meluluhkan hatiku, sehingga membuatku tak menyesali keputusan ini.

"Lo pasti mikirin soal vidio itu, kan?" tanya Orion, menatapku lamat-lamat.

"Ayya, gue udah minta akun yang bernama Sherly untuk menghapus vidio itu. Dan sekarang vidionya udah nggak ada kok," jelas Orion tanpa diminta.

Melihatku yang masih bergeming, cowok itu kembali bersuara. "Apa lo kepikiran juga soal omongan anak-anak yang menuduh lo yang nggak-nggak? Soal teman-temannya Cherry yang udah keterlaluan sama lo? Ayya, lo harus percaya, gue udah peringatin mereka buat nggak ngurusin urusan gue sama lo. Lo percaya kan sama gue?"

Aku tersenyum simpul mendengar penjelasan Orion itu. Entahlah, rasanya hatiku tak menentu.

"Udahlah, Yon. Nggak apa-apa kok. Gue udah nggak mikirin semua itu. Terserah mereka mau komentar apa."

Orion memasang ekspresi datar, tapi terlihat sangat khas di wajahnya. "Lo nggak marah kan sama gue?"

Lagi-lagi aku tersenyum tanpa bisa ditahan. "Engga, Yon."

"Oke kalau gitu. Sekarang kita pulang yuk. Gue antar sampai depan rumah." Orion tersenyum lebar.

"Ehm boleh sih, tapi gue harus nemuin Pak Arnold. Lo tahu kan mengenai surat itu?"

Sebelumnya, aku sudah memberitahu Orion bahwa aku tak jadi menitip surat kepadanya untuk diberikan kepada Pak Arnold di jam terakhir tadi, sehingga cowok itu pasti tahu kalau aku sudah memberikannya langsung kepada oknum yang dimaksud.

"Oh baiklah, gue tungguin lo kok." Orion menghela napas, membenamkan kedua tangannya di saku celana.

Aku mengangguk pelan, berbalik arah tanpa sepatah kata untuk Orion.

"Ayya!" panggil Orion dari belakang. Aku memejamkan mata, mengembuskan napas pelan-pelan.

"Iya, Yon?" Aku berbalik menghadapnya. Dalam suasana koridor yang lengang ini, aku bisa mendengar suaraku yang sedikit menggema.

"Apa pun yang terjadi, gue siap ada buat lo. Good luck." Orion mengangkat ibu jarinya.

Entah apa maksudnya, namun perkataan tersebut berhasil membuat perasaanku sedikit tenang. Tuh kan aku bilang juga apa? Perasaanku ini tidak jelas arahnya.

Aku hanya mengangguk singkat, lalu cepat-cepat kembali melanjutkan langkah. Lantas dalam perjalanan menuju ruang guru, firasatku tiba-tiba tidak enak. Apa mungkin Pak Arnold yang ganteng itu bersedia menerima cewek cupu berjerawat sepertiku. Ya Tuhan, kenapa aku senekat ini melakukan perbuatan bernama kriminal cinta?

Apa pun yang terjadi, gue siap ada buat lo. Suara Orion memenuhi pikiranku, menemani setiap langkah demi langkah yang kutempuh. Aku memasuki ruang guru yang juga sudah cukup lengang. Hanya tersisa beberapa guru yang sedang sibuk di bangku masing-masing, termasuk Pak Arnold yang duduk di pojok belakang. Aku tersenyum sopan kepada Bu Sasmita yang menatapku dari balik kacamata saat aku melewati bangkunya.

"Permisi, Pak. Selamat siang," kataku setelah sampai di depan mejanya.

"Iya, selamat siang, Ayya," jawab Pak Arnold tegas, menatapku. Saat ini aku langsung mengalihkan tatapan.

"Gimana, Pak?"

"Silakan duduk dulu."

Astaga, aku tidak menyadari ada sebuah kursi di depan meja Pak Arnold, buru-buru aku menjatuhkan pantatku di sana.

"Saya mau langsung terus terang saja. Karena ini tidak ada sangkut pautnya dengan pelajaran. Jadi, mohon maaf sebelumnya, Ayya, saya tidak menerima cintamu ...."

Cukup. Rasanya kepingin pingsan saja mendengar semua itu, dan kalau perlu aku tidak usah bangun lagi untuk selamanya. Tapi mengingat masih ada cowok baik seperti Orion, hatiku seakan berubah sekuat baja.

"Jujur, sebenarnya saya sangat terkesan dengan kata-kata darimu di surat itu, juga dari anak-anak lain. Tapi sayang seribu sayang, saya bukan guru bahasa Indonesia yang mungkin akan memberi nilai plus di raport nanti. Kalian itu sungguh kreatif. Lebih baik kalian manfaatkan hal semacam itu di bidang literasi, saya yakin akan jauh lebih bermanfaat."

Aku diam saja, aku tidak berniat untuk menjawabnya. Meskipun aku sudah memasang hati sekuat baja, namun baja itu tetap saja retak. Oke, mungkin aku yang salah, hatiku tak sekuat baja melainkan hatiku sebenarnya rapuh.

"... saya sangat menghargai kalian. Terima kasih banyak." Pak Arnold mengambil berlembar-lembar kertas dari laci. Ya Tuhan, itu surat cinta dari para penggemarnya? Mereka pasti anak-anak yang jauh lebih cantik daripada aku. Mendadak aku jadi merasa bodoh tak terkira.

Pak Arnold terkekeh singkat. "Kalian itu anak-anak remaja yang sedang mengalami fase mencari jati diri, juga fase di mana kalian merasakan 'sesuatu' kepada lawan jenis. Ah, saya kurang paham dengan materi seperti itu."

Apa maksud Pak Arnold bercerita ramah panjang lebar di hadapanku? Apa dia tidak cukup berterus terang saja? Toh semuanya sudah jelas, bahwa aku ditolak! Aku ditolak. Ya Tuhan, pertama kali aku memberanikan diri menembak cowok, pertama kali pula aku ditolak dan sakit hati tentunya.

Tampaknya Pak Arnold mengerti raut wajahku yang tidak enak dilihat. "Maaf kalau kata-kata saya tidak berkenan. Makasih Ayya, kamu sudah jujur dengan perasaanmu ini. Nggak ada yang salah dan nggak perlu malu. Bukan tanpa alasan saya menolak kalian anak-anak manis. Ya karena saya nggak mungkin mengkhianati tunangan saya."

Tunangan? Triple O em ji. Jadi Pak Arnold sudah memiliki tunangan? Berarti gosip yang beredar bahwa Pak Arnold masih sendiri salah total. Aku menggigit bibir, tak bisa menahan tangis. Sungguh ironis. Mulai detik ini, aku harus merelakan dia, melepas dengan ikhlas. Dan mengenai mimpiku soal pertanda dia jodohku? Lupakan saja, itu hanya bualan para orangtua jaman dulu. Aku sudah tidak percaya lagi yang namanya mimpi sebagai pertanda.

Aku mengangguk singkat, berusaha mengulas senyum sebelum beranjak keluar dari ruangan yang mendadak terasa pengap ini. Bodo amat dengan sopan santun, aku berjalan cepat melewati meja-meja guru agar tak ketahuan sedang menangis.

Baru saja aku menginjakkan kaki di luar ruangan, Orion segera menyambutku dan berjalan lebih dekat ke arahku. Aku tidak menyangka dia setia menungguku.

Aku mengusap air mata yang deras mengalir. Aku menyesali kebodohanku, menyasali sikapku.

"Ayya, lo kenapa ... eh gimana hasilnya?" tanya Orion lembut, seolah tak ingin menyakitiku melalui mulutnya.

"Lo udah tahu, kan?" tukasku tersenyum dalam tangis.

Orion memegang kedua bahuku, menatapku dengan sorot lembut. "Ayya ... seperti yang pernah gue bilang, ada gue di sini, yang siap menghibur di kala hati lo sakit. Lo tenang aja, dunia lo nggak akan kiamat cuma karena ditolak seorang guru muda macem dia."

Tanpa kuduga, kedua tangan Orion mengusap dan menghapus air mataku yang berlinang-linang. Ya Tuhan, rasanya jantungku kepengin loncat keluar dari rongganya.

"Lo jangan sedih ya. Masih banyak kok cowok yang lebih oke dari guru olahraga itu."

Masalahnya mana ada yang mau dengan cewek cupu dan jerawatan sepertiku?

"Makasih banyak, Yon." Dalam keadaan mellow seperti ini, aku tak berpikir panjang lagi untuk memeluk Orion. Untung saja, suasana sekolah sudah sepi.

Namun pelukan itu tak terjadi sampai setengah menit. Aku takut ketahuan guru-guru yang masih berada di kantor, takut sedang ada yang merekam diam-diam, dan takut dituduh sedang melakukan perbuatan yang tidak-tidak di lingkungan sekolah.

"Sori ya, Yon, gue kelepasan," kataku sembari memberut ingus.

"No problem ... kalau lo butuh sandaran, gue siap."

Astaga, aku tidak salah dengar, kan? Perkataannya sungguh romantis. Tak bisa kubayangkan jika saat-saat sakit hati seperti ini tak ada Orion di sisiku.

Lantas aku mengangguk mantap. Aku tidak boleh lemah hanya karena ditolak cinta pangeran berkuda putih yang sudah tercoret dari daftar calon keajaiban cintaku. Masih banyak hal yang harus kulakukan, harus kunikmati. Seperti kata Orion, duniaku tak akan kiamat hanya karena Pak Arnold tak bisa kudapat.

***

Orion mengantarku betulan hingga depan gerbang rumahku. Panas matahari menjelang pukul tiga sore cukup terik, membuatku dengan senang hati menyuruh Orion mampir ke rumah. Namun dengan halus, Orion menolak tawaranku lantaran dia akan bersiap-siap untuk jualan lagi.

"Gue seneng banget Pak Handoko udah mulai pulih, semoga secepatnya dia bisa jualan lagi ya."

"Makasih, Ay," sahut Orion. Lalu aku bisa melihat perubahan wajahnya di balik helm. "Oh iya Ay, gue ... boleh minta tolong nggak sama lo?"

"Tolong apa, Yon?"

"Gue ... pinjam uang lo dulu boleh nggak? Gue janji bakal balikin kok. Gue butuh banget buat biaya beli gerobak baru." Orion menyahut, kepalanya sedikit menunduk, membuat rasa simpatiku muncul seketika.

"Lo butuh uang berapa, Yon?"

"Lima ratus ribu dulu ... lo ada nggak?" tanya Orion, terkekeh singkat lalu menggaruk tengkuknya.

"Gue kasih satu juta sekalian ya. Barangkali lo butuh lebih buat biaya lainnya. Seperti pengobatan Pak Handoko, atau lo mau buka usaha kecil-kecilan yang lain."

Orion melepas helmnya, membuat rambutnya jadi berantakan. Lalu menatapku dengan mulut yang sedikit melongo, tetapi anehnya terlihat lucu di mataku.

"Lo ...." Orion menggeleng. "Nggak perlu Ay. Lima ratus ribu cukup kok."

"Nggak apa-apa, Yon, gue ikhlas bantu kok," kataku. "Lo butuh secepatnya? Tapi ... gue sekarang lagi nggak ada cash."

"Nggak harus sekarang kok, Ay. By the way, makasih banyak, Ay. Gue bener-bener nggak tahu kalau nggak ada lo." Orion tersenyum, mematikan mesin motornya.

"It's okay. Nggak apa-apa, lo juga baik banget sama gue, ngebantu bikin makalah. Bukannya kebaikan harus dibalas dengan kebaikan?"

Ya, sudah sepantasnya aku berbuat baik pada cowok itu, bukan? Mengingat akhir-akhir ini dia selalu bersikap baik kepadaku.

"Tapi masalahnya, gue takut nggak bisa ngembaliin uang sebanyak itu, Ay." Wajahnya merenung.

Aku mengibaskan tangan. "Udahlah, Yon. Nggak perlu dipikirkan. Masalah itu gampang."

Orion mengangguk pelan, tersirat sorot kelembutan di kedua bola matanya. "Trims, Ay. Tapi gue usahain buat balikin uang itu."

Dan akhir siang itu, ditutup oleh sepercik kisah yang terbagi menjadi dua rasa. Pahit dan manis. Aku baru sadar, bahwa Tuhan selalu baik kepadaku.

***

Demi mengubah penampilan, aku mencoba memesan produk skincare yang dijual di toko online. Semoga dengan usahaku yang kesekian ini, bisa membuahkan hasil. Bagaimanapun, aku tidak ingin membuat orang-orang di sekitar merasa malu jika sedang bersamaku. Dalam hal ini tentu saja yang kumaksud adalah Orion. Meski cowok itu berteman denganku tanpa memandang fisik, tetapi tetap saja aku berhak mengubah sedikit penampilan wajah agar setidaknya saat Orion jalan denganku tak membuat dia merasa malu.

Oke, sepertinya pelan-pelan hatiku sudah cukup tenang mengingat penolakan cinta dari Pak Arnold siang tadi. Meski sakit, tapi rasanya segera terobati dengan sebuah kenyamanan ketika ada Orion di sisiku. Seandainya cowok itu memiliki perasaan yang lebih dari sekadar teman, apa aku akan menerimanya sebagai pacar pertamaku? Ya Tuhan, aku sudah mulai melantur. Orion tak mungkin punya perasaan seperti itu, seperti yang dikata teman-temanku; mendung belum tentu hujan. Beberapa hari ini, dia hanya bersikap ramah, baik dan perhatian. Serta ... sedikit spesial. Oke baiklah, lupakan dulu itu.

Aku melemparkan ponsel ke atas kasur. Namun tiba-tiba aku jadi teringat Miko. Membuat aku kembali meraih ponsel dan tak segan-segan menelponnya. Pada dering ketiga, sambungan diangkat.

"Hallo, Ayya."

"Hallo, Miko ...," tukasku dengan ceria. Mood-ku seketika membaik mendengar suara Miko. Rasanya senang punya teman baru seperti dia. Aku jadi tak sabar untuk ketemuan lagi merayakan pertemanan ini.

"Gimana? Lo lagi ngapain sekarang?" lanjutku lagi.

"Ehm ... gue ... gue lagi ngerjain tugas nih."

"Triple o em ji ... malam Minggu gini ngerjain tugas? C'mon, Miko, tutup buku lo dulu."

"Tapi-"

"Besok kan libur, santai dong, Mik. Kita ketemuan aja yuk di Sky Kafe, gimana?" potongku cepat, tak memberi kesempatan Miko beralasan. Aku bisa mendengar suaraku sendiri yang antusias. Lupakan patah hati, lupakan!

"Tapi bukannya malam Minggu gini lo nge-date ya sama pacar lo? " tanya Miko di seberang sana.

Keningku terlipat bingung. "Pacar? Gue pacaran sama siapa? Enggak kok, Mik. Gue free. Santai aja."

"Waktu di kafe mini GOR, gue sempet lihat lo berduaan sama cowok. Dia pemain futsal dari sekolah bareng lo, kan? "

Aku tak tahu bahwa ternyata Miko memperhatikan hal itu. Tapi rupanya dia salah paham.

"Oh yang lo maksud Orion? Iya dia emang ketua tim futsal sekolah gue. Tapi ... dia bukan cowok gue kok," sahutku yang terdengar pelan di ujung kalimat. Mungkin terdengar miris di telinga Miko.

"Tapi, kalau dia ngajak lo jadian, pasti lo mau, kan? "

"Miko, plis deh. Kok malah jadi ngomongin hal kayak gini? Gue tuh seriusan mau ngajak lo ketemuan di Sky Kafe. Mau gue kenalin ke teman-teman gue."

Gara-gara kejadian tak terduga di sekolah semacam drama live itu, aku sampai lupa menceritakan teman baruku kepada Decha, Erin dan Vinny. Aku yakin mereka bakal menerima Miko jadi teman mereka juga. Maka dari itu, malam ini adalah kesempatan untuk memperkenalkan Miko dengan Decha, Vinny dan Erin.

"Tapi ... gue takut, Ayya ...."

Aku jadi bingung, namun sedetik kemudian sebuah tawa kecil menyerangku seketika. "Miko ... kenapa mesti takut? Teman-teman gue nggak gigit kok."

"Bu-bukan itu maksudnya. Gue takut ... mereka nggak mau nerima gue yang cupu ini."

Menggelengkan kepala, aku berusaha meyakinkan Miko bahwa teman-temanku bukanlah tipe orang yang seperti itu. "Miko, lo harus percaya sama gue. Gue pastikan, mereka bakal suka temenan sama lo. Karena mereka temen gue juga."

Terdengar helaan napas di ujung sana. Lalu detik selanjutnya aku menunggu Miko berbicara.

"Ya sudah kalau gitu. Kita ke Sky Kafe jam berapa? "

Nyaris saja aku memekik senang mendengar kalimat Miko. "Ehm, jam delapan, oke? Lo siap?" tanyaku sambil melirik jam dinding. Saat ini baru pukul setengah 7 malam, matahari belum lama tenggelam.

"Baik, Ay."

Tak berpikir apa-apa lagi, aku segera mengajak Decha, Erin dan Vinny untuk kumpul di Sky Kafe. Tak memerlukan waktu lama untuk mereka segera mengiakan ajakanku. Lagi-lagi aku bersyukur memiliki teman seperti mereka.

...

***
Bersambung....

27 November 2020

Continue Reading

You'll Also Like

126K 6.6K 34
ᴇɴᴅ α΄›α΄€Κœα΄€α΄˜ ʀᴇᴠΙͺsΙͺ ... Genre: Mafia, Thriller, Psychopath, Romance, Drama. Hanya menceritakan Kim Taehyung yang bertemu dengan sosok Namja Jeon Jungko...
3.7K 133 36
"Dulu aku ingin menjadi seseorang yang spesial dalam hidupmu, tetapi saat aku tahu kamu menjauhiku aku hanya ingin menjadi temanmu.." ~Dita Ra...
68.9K 3.6K 27
Jingga dihadapkan oleh kenyataan bahwa ia mengejar Aga. Tapi di tengah perjuangannya, ia dipertemukan oleh Bintang. Apakah Jingga akan mendapatkan Ag...
4.6K 904 16
[bahasa] Di dunia ini, tidak ada yang terlahir sempurna. Begitu kata pepatah bijak bilang. Tak peduli terlahir dari keluarga paling kaya, paras palin...