Take to the SKY [ON GOING]

By mutheahra

10.5K 5.3K 7.1K

[REVISI SETELAH TAMAT] •Romance spiritual• Masa SMA itu ga harus punya cerita tentang cinta. Tapi, kalau keb... More

sambutan🎙️
•Aneh•
•MISI•
•Terjerat•
•Terungkap•
•bonus• #photoshotsofsabna
•jadi wasit•
•dandelion•
•bonus• #edisiremembering
•sebuah makna•
•misteri Tiara•
Heart
luka resa
luka resa (2)
terima?
pemaksaan cinta
argumen
don't be crazy
shafwan
•tentang rasa•
tante linda
tuduhan
soal hati bro!
rahasia cinta
•Balance•
•Regrets Always Comes Late•
•ada apa?•
•Ayah kenapa si?•
•misi kedua•
•menguak informasi•
•talk
•telponan• yuhu!
Queen of JOMBLO
35. backstreet
36. UKS
37. About Tiara
38. kecewa!
39. Nyesek?
40. Jujur!
after rain
42. pertemuan.
44. keberangkatan
45. welcome back friend!

43. H-1

37 6 12
By mutheahra

"Kamu kelas berapa?"

"Sepuluh, Tante."

"Wah satu tingkat dengan anak gadis Tante, nih."

"Kebetulan kita satu sekolah, Tan."

"Wah jadi udah saling kenal, ya?"

"Iya Tente."

Sementara Sabna yang sedang mengaduk teh di dapur merasa khawatir, takut Bunda akan bertanya macam-macam pada Athaya, sekalipun sekedar basa-basi yang gak penting.

"Sabna kok lama, sayang!?" teriak bunda yang tengah asik mengobrol.

"Iya sebentar Bunda," jawab Sabna lalu keluar dari area dapur dengan membawa dua cangkir teh.

"Sabna kalau di sekolah gimana?" tanya bunda saat Sabna meletakan nampan berisikan teh ke hadapan Athaya.

"Thank," ucap Athaya pelan, Sabna mengangguk.

"Sabna—"

"Bunda ngapain nanya-nanya in aku? Aku anak baik-baik kok. Gak pernah kena kasus," potong Sabna.

"Loh itu kan kata kamu, bunda mau tau dari orang lain. Lagian bunda gak pernah ketemu sama temen-temen kamu, kan," tutur bunda.

Sabna pasrah, ia hanya menunggu apa yang akan Athaya katakan soal dirinya.

"Sabna_"
Athaya menoleh sebentar ke arah Sabna, lalu melanjutkan kembali pernyataan nya.

"Saya punya hal lain yang harus di perhatiin Tante, ga mungkin kan saya perhatiin anak Tante yang bukan mahram saya."

Jawaban dari Athaya melegakan di telinga Sabna. Dan membuat bunda Sabna menatap dengan kagum kepada Athaya.

"Masya Allah, anak baik. Kalau bunda suka yang begini, Sab. Nundukin pandangan, udah ganteng, sholeh—" puji bunda namun di potong kembali oleh Sabna.

"Hih bunda kok main suka-suka an sama anak SMA sih," tukas Sabna lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Bunda menggelengkan kepalanya setelah mendengar ucapan Sabna dan tingkahnya.

"Oh iya makan dulu yu! Sabna tadi yang masak," ajak bunda.

Dari dapur Sabna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam hati Sabna sedikit kesal, "kok pakek acara bilang Sabna yang masak si, yang masak aja Bunda," batin Sabna.

"Gak usah Tante, tadi saya udah makan di rumah," jawab Athaya.

"Yaudah gak papa. Tante gak jadi maksa, tapi lain kali kalau main ke tempat Tante harus makan, ya!" titah bunda.

"Emang boleh Tante, kalau main lagi ke sini?"

Sabna yang sedang di dapur tak habis pikir dengan pertanyaan Athaya barusan.

"Boleh, kan harus silaturahmi sesama Muslim."

"Oke Tante, kapan-kapan Athaya main lagi deh."

"Hafalannya sudah berapa juz? Oiya sambil di minum tuh teh nya!"

Dalam hati Athaya sedikit risih, "Kenapa ibu sama anak beda banget, gue berasa di tes wawancara dah," batin Athaya.

"Alhamdulillah sudah selesai, tante. Tinggal muraja'ah sering-sering aja." Lalu Athaya mengambil teh nya.

"Wah kamu nih idaman Tante banget!"

Mendengar itu Athaya langsung tersedak.

"Eh maksudnya Tante, idaman jadi mantu tante, gak usah panik. Tante udah punya suami kok."

Setelah mendengar kembali pernyataan bunda Sabna, Athaya baru bisa mengambil nafas lega.

Sabna tak merespon apapun, dan posisinya kini sedang ada di dapur.

"Sabna!" panggil bunda.

Sabna menghela nafas panjang, ia jadi takut kalau bunda menyuruh dirinya untuk mengobrol dengan Athaya.

"Sejak kapan Sab lo punya phobia sama cowok si!" batin Sabna, dan sekarang hatinya sedang tidak membaik.

Bunda kembali memanggil Sabna hingga tiga kali. Bersyukur gadis itu masih memenuhi panggilan sang bunda.

"Mau ngobrol dulu gak sama temen satu sekolah kamu?"

Sabna spontan menggeleng, tanpa melihat ke arah Athaya sedikit pun.

Tak begitu lama dari itu suara bel berbunyi, Sabna langsung berjalan untuk membukakan pintu.

"Sab. Adek nya Adzka udah ada?"

"Udah noh," jawab Sabna sembari menunjukan dengan dagunya ke arah Shofa.

"Iya itu motor adek lo Dzka," ucap Shafwan pada orang di belakang nya. Kemudian mereka berdua masuk ke dalam rumah.

Adzka langsung menghampiri Athaya yang kini sudah berdiri, kemudian memeluknya.

"Sehat bang?"

"Alhamdulillah, baik."

"Oya Al, ini temen abang. Shafwan namanya."

Athaya langsung menyalimi tangan Shafwan, dan justru di sambut hangat oleh pelukan Shafwan.

Pelukan ala-ala cowok, kebayang lah pasti gitu.

"Abang udah Hafidh Qur'an, nak Adzka juga udah, calon mantu juga, nah Sabna kamu cepetan nyusul, dong!" sindir bunda.

"Aamiin. Insya Allah, bunda." Berakhir dengan kepergiannya menuju kamar.

***

Hanna kini sedang duduk di sofa sambil memainkan gawai nya.

Kemudian terdengarlah suara salam yang sangat dirindukan, dan kini terdengar lagi do telinga nya.

Hanna dengan senyum sumringah  beranjak untuk membukakan pintu depan.

"Bang Adzka!" teriaknya lalu memeluk abangnya erat.

Sementara Athaya hanya acuh mendapati kedua kakaknya yang sedang bernostalgia. Ia justru masuk duluan ke dalam rumah seraya membawa koper milik abangnya.

"Kia udah masakin makanan, loh. Ayo bang Adzka buruan mandi, ganti baju, abis itu kita makan sama-sama, ya!"

Adzka hanya menampikan senyumnya.

Adzka yang sebenarnya sudah makan di tempat Shafwan jadi terpaksa mengiyakan karena gak tega dengan kebahagiaan sang adik, Hanna.

Nama asli Hanna sebenarnya Adzkia Hanna Clarissa, dan Adzka selalu memanggil nya dengan nama kecil darinya yakni, "Kia."

"Apa kabar?" tanya Adzka.

"Baik sekali. Kalau bang Adzka?"

"Alhamdulillah sangao baik. Kia, Abang langsung mandi dulu ya, kamu dan Al duluan ke meja makan nanti Abang susul setelah mandi," ucap Adzka lembut.

"Oke, kamar bang Adzka ada di sebelah sana. Mau diantar?"

"Gak perlu Ki, makasih. Abang ke kamar dulu, ya." Berakhir dengan menepuk pundak sebelah kanan Hanna.

Hanna mengangguk. Setelah Adzka berjalan menuju kamarnya Hanna menutup pintu lalu bersegera pergi ke meja makan dan duduk di sana.

"Syukron Al," ucap Adzka yang melihat Athaya menaruh koper di kamarnya.

Athaya hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Afwan kalau di telfon tadi buat ente kesel," ujar Adzka sedikit kaku.

"Santai aja lah. Yaudah bang lo istirahat, gue keluar dulu." Jawab Athaya yang berujung menepuk pundak Adzka. Kemudian di ikuti dengan langkah kaki nya yang hendak keluar kamar.

"Al sebentar." Cegah Adzka.

Athaya berbalik.

"Makasih udah jagain Hanna."

"Kenapa makasih? Hanna kan kakak gua, udah kewajiban." Kemudian langkah kaki nya ia lanjutkan untuk pergi keluar kamar.

"Lo harus tau secepatnya Al," sambung Adzka dalam hatinya.

***

"Bang tau gak si, kalau gue gak pernah beresin kamar Lo."
Ungkap Sabna yang menyusul Abang nya di tangga.

"Tau. Emang lo males orangnya. Jangankan untuk beresin kamar gue, mandi aja pasti jarang, kan."

"Pernyataan lo itu salah, namanya nuduh!" tegas Sabna.

Mereka berdua pun bersamaan sampai di lantai dua.

"Yah mau istirahat, ya?" tanya Sabna saat melihat Shafwan yang hendak membuka knock pintu.

"Tanggung mau sholat Isya. Gue cuma mau ambil sarung, masih aman kan sarung kesayangan gue?"

Sabna sedikit cemberut, "gak tau."

"Kenapa Lo, ko cemberut?" tanya Shafwan pada Sabna setelah mengambil sarungnya. Ternyata Sabna masih menunggu di depan kamar.

Namun Sabna justru diam, dan tetap cemberut.

"Iya paham. Nanti habis dari masjid gue langsung pulang. Pasti masih kangen kan Lo sama gue?" Goda Shafwan yang memainkan alisnya.

Sabna mengakuinya.

Sepeninggal Shafwan, Sabna masuk ke kamarnya dan duduk di tempat biasa ia belajar.

Sebelum mendekati sholat Insya Sabna membaca buku biologi nya sebentar.

***

Hanna yang sedari tadi memperhatikan Adzka yang kurang bersemangat akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Bang Adzka kenapa makan nya gak semangat gitu?"

Adzka langsung menatap mata Hanna kemudian beralih menatap Athaya yang sedang fokus makan.

"Emang harus semangat kayak gimana Ki? Harus makan sambil lompat-lompat gitu?"

"Ya kali lompat-lompat. Hemmm Kia rasa Abang lagi ada problem, ya?"

Lalu Athaya menatap wajah Adzka.

"Abang cuma mau tanya, kalian akur aja kan selama Abang tinggal?"

Athaya tak berminat menjawab, dan justru membawa piring yang telah kosong ke dapur.

Hanna hanya menggelengkan kepalanya, heran. Ia juga tidak habis pikir dengan perubahan sikap Athaya hari ini.

Adzka terus memperhatikan Athaya yang kian menjauh.

"Al marah sama Abang ya, Ki?"

"Gak tau tuh. Sensitif banget dia hari ini!"

"Ki," panggil Adzka kembali.

"ya?"

"Kamu pernah lepas hijab selama di rumah?"

Hanna mengkerutkan alisnya.

"Pernah si, tapi kalau gak ada Athaya. Emangnya kenapa?"

Adzka bernafas lega, sebelum Hanna bertanya kenapa.

"Athaya sudah besar, tetap  jaga aurat nya," jawab Adzka.

"Iya, iya. Hanna tau kok."

"Dari mata bang Adzka, kayak ada yang di sembunyiin dari Kia, bener gak?"

Adzka sedikit panik hingga keringat nya bercucuran.

"Eeem sebenarnya_"

"Sebenernya?" tanya Hanna yang sungguh penasaran karena Adzka terlalu lama memberikan jeda waktu untuk melanjutkan ke Kalimat berikutnya.

"Abang pengen kamu tau ini secepatnya Ki. Tapi maaf kalau kamu akan kecewa."

Adzka sedikit ragu-ragu untuk mengatakannya.

"KA HANNA!" teriak Athaya dari ruang tamu.

"HANDPHONE LO GETER TUH," teriak nya kembali.

"DARI SIAPA Al?"

"LIAT AJA SENDIRI!"

"Ya udah Ki, angkat telfon dulu aja!" titah Adzka.

"Tapi bener ya Abang cerita nanti harus ngomong!"

"Pasti."

"Al," Adzka sedikit berteriak.

"Kenapa, bang?"

"Udah mau Adzan Isya. Ke masjid nya bareng ya!"

Athaya mengangguk.

Kedua nya bersamaan pergi ke Masjid sementara Hanna sedang serius berbicara di telfon.

***

"Assalamualaikum," ujar Shafwan sehabis pulang dari masjid.

Bunda yang sedang menjahit di ruang tengah pun menjawab salam putranya dengan lembut.

Shafwan bersegera menghampiri sang bunda yang sedang tersenyum manis padanya.

"Emang biasanya belum tidur, bund?"

"Belum lah, masih sore kok ini. Biasanya bunda sampai jam 10 kerjain jahitan. Lumayan banyak yang order, nih liat ibu-ibu komplek pada mau bikin baju lagi buat ke hajatannya pak RT," jelas Bunda seraya menunjuk baju yang sudah terjahit.

Shafwan jadi teringat percakapan dengan pak RT tadi.

"Udah ada calon nya, bund?"

"Ya udah lah. Kalau belum ngapain nih pada jahit baju ke bunda!"

"Enggak, soalnya tadi pas Shafwan ke masjid ada pak RT bilang yang intinya, anak nya tuh belum nikah. Ya kirain mau di Jodohin sama Shafwan, bund," jelas Shafwan.

"Anak bunda yang tampan, ternyata bisa ge'er juga ya!" ceplos Bunda seraya mencubit dagu Shafwan.

"Kirain bund, bukan ge'er," Shafwan mempertegas namun suaranya tak melebihi suara sang bunda.

"Bund. Nanti kalau Shafwan udah dapet kerja biar Shafwan aja yang cari uang. Bunda ga usah jahit baju lagi ya," pinta Shafwan.

"Cari uang ya cari uang aja, nak. Di tabung buat biaya nikah kamu. Bunda masih bisa biayain kalian kok. Ayah juga kan masih bisa kerja. Gak usah khawatir soal biaya, sayang." 

Diikuti dengan senyum bunda yang penuh arti sambil mengusap kepala putranya yang sekarang sedang berjongkok di dekat nya.

"Bunda gak nuntut aku nikah secepatnya, kan?" tanya Shafwan yang masih dengan posisi nya.

"Engga, semua tergantung kamu. Kerja dulu yang rajin, cari uang yang banyak. Biar kalau nikah bisa bangga karena hasil sendiri," nasihat Bunda.

"Iya bunda makasih banyak atas pengertiannya. Bunda, Shafwan janji sama Sabna mau ngobrol setelah Shafwan pulang dari masjid. Jam segini Sabna masih bangun kan, Bun?"

"Biasanya masih belajar, terus tolong cek suhu badannya ya, nak. Tadi kan Sabna kehujanan. Katanya besok mau ada Olimpiade Nasional, dia jadi perwakilan sekolahannya tuh," ucap bunda.

Shafwan mengiyakan setelahnya ia berjalan menyusuri tangga kemudian mengetuk pintu kamar Sabna.

Sudah berapa kali Shafwan mengetuk pintunya disertai dengan memanggil nama Sabna  namun hasilnya nihil. Sabna tak merespon apapun dari dalam, hal itu sedikit membuat cemas Shafwan.

"Sab," panggil Shafwan terkahir kali lalu menggerakkan knock pintu yang rupanya tidak terkunci.

Langsung ia dapati Sabna yang sedang tertidur di meja belajarnya, kemudian berjalan ke arahnya.

Sebelum membangunkan adiknya, Shafwan melihat sekaligus membaca beberapa buku dan lembaran kertas yang berantakan di meja adiknya sekilas.

"Sab, kalau ngantuk tidur dulu kali. Dari pada iler Lo nempel ni di buku!" sahut Shafwan sembari menunjukkan buku bekas iler adiknya setelah Sabna benar-benar membuka mata.

"Gue nungguin elo, tau!" ujarnya yang masih setengah sadar.

"Yaudah nih gue udah pulang. Ngomong-ngomong lo ikutan Olimpiade Nasional buat besok ya?"

"He'em." Terlihat Sabna yang sangat mengantuk dan lelah.

Shafwan mencek suhu udara Sabna dengan tempurung tangannya.

"Aaa ngapain si, gue gak sakit, lebay!" Tutur Sabna setelah itu menepis tangan Shafwan yang masih berada di dahinya.

Kali ini Sabna berusaha membuka matanya sebulat-bulatnya.

"Gue pengen banget cerita-cerita. Tapi besok  ada Olimpiade, dan parahnya gue belum latihan banyak soal-soal," tukas Sabna yang berusaha menjelaskan di tengah keadaan yang sangat mengantuk bagi dirinya.

"Ya kalau ngantuk tidur dulu sebentar, nanti bangun lagi. Dari pada belajar ngantuk malah gak ada yang masuk!" Nasihat abangnya.

"Good night," sambung Shafwan yang menepuk pundak Sabna sebelum ia pergi.

"Aneh ya," spontan Sabna berucap sebelum Shafwan pergi meninggalkan dirinya.

"Kenapa?"

Sembari beberes barang yang ada di meja belajarnya Sabna mulai berbicara dengan Shafwan.

"Dulu kirain Sabna pas bang Shafwan pulang dari Madinah bakalan heboh, bakal ada syukuran satu komplek, terus ibu-ibu pada dateng buat ngelamar Abang, tapi–"

"Istirahat," ucap Shafwan dingin di ikut dengan lampu kamar yang ia matikan.

Balasan singkat Shafwan membuat Sabna menahan ucapannya. Segera ia naik ke ranjang dan menyalakan lampu tidurnya.

Sebelum matanya terpejam sempat ia menyalakan alarm pukul setengah dua.

Sekiranya waktu untuk sampai di jam setengah dua cukup untuk ia pakai istirahat.

***


"Loh Al, ko pulang sendiri? Bang Adzka kemana?" tanya Hanna dengan posisi duduk yang sama seperti sebelum Athaya pergi ke masjid.

"Ketemu sama pengurus masjid."

"Oh. Btw besok Lo ada pertandingan ya di sekolah tetangga?"

"Ya."

"Jadinya tim Lo ya yang tanding. Bukan Leo, ya" ucap Hanna yang memelankan suaranya.

"Kenapa? Gak seneng kalau gue yang tanding?" tanya Athaya dengan nada ketus khasnya.

"Ishh, Lo tuh kenapa si dari tadi, Al? Kok sensitif terus!"

"Gue mau istirahat buat persiapan besok. Duluan, Ka." Athaya yang tetap pamit langsung beranjak ke kamarnya.

"Oke, good night, Al!"

***

Subuh ini Sabna agak mengantuk, pasalnya ia tidak tidur kembali setelah bangun jam setengah dua.

Shafwan pun sebenarnya juga, dari jam setengah dua dia sudah tilawah Al-Qur'an di lantai bawah.

Rasanya rumah seperti hidup, gak sepi karena selalu ada Shafwan yang hampir semua waktu nya ia pakai untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta dan membaca Al-Qur'an.

Setelah sholat subuh Sabna pergi ke lantai bawah untuk melakukan sedikit peregangan tubuh agar mengurangi rasa kantuknya.

"Assalamualaikum."

Sabna yang hafal dengan suara itu langsung membuka kan pintu, "Waalaikumsalam," ujarnya kemudian.

"Tumben udah bangun jam segini," ucap Shafwan sepulang dari masjid.

"Tumben tumben, sok tau! baru aja ketemu, kayak udah hafal banget aktifitas gue," balas Sabna sedikit jutek.

"Jam segini mah emang udah bangun kali!" timpal Sabna.

"Iya-iya, masih pagi udah marah aja, cepet tua Lo!"

"Jangan sumpahin orang sembarangan dong!" bantah Sabna.

"Siapa si yang nyumpahin!? Hah? Orang cuma bilangin kok sewot!"

"Ya Allah, kalian ini gimana sih! Baru kemaren ketemu kok udah ribut!? Hemmm," ucap Bunda sembari menuruni tangga.

"Shafwan, ayok udah dewasa, kan?" Tegur Bunda.

Shafwan mengangguk, sementara Sabna merasa benar karena dibela oleh bundanya.

"Sabna ayo sarapan, bentar lagi kamu berangkat sekolah loh!" Sahut bunda yang berjarak 10 meter dari tempatnya berdiri.

"Oke, segera!"

Saat di meja makan bunda sibuk menasehati Sabna yang akan mengikuti olimpiade hari ini.

"Iya bunda, insya Allah semua Sabna pasti jawab jujur, kok. Bunda gak usah khawatir dan mikir yang enggak-enggak soal Sabna, bantuin do'a ya bund!"

Kemudian bunda memegangi dagu Sabna, "iya ... Pasti bunda selalu do'ain putri bunda yang pinter dan cantik ini."

"Terima kasih bunda yang lebih cantik."

"Sama-sama, sayang."

Merekapun saling melemparkan senyum termanisnya.

"Shafwan nanti tolong antar Sabna ya!" perintah bunda.

"Pake apa?" tanya Shafwan, pasalnya kendaraan di rumah tersisa sepeda milik Sabna yang jarang terpakai.

"Nanti bunda pinjamkan motor tetangga, ya."

"Gak usah lah Bun, sekolah Sabna kan deket. Gak perlu naik kendaraan segala," bujuk Sabna.

"Yaudah kalau gitu, Abang nganterin nya juga jalan kaki aja," saran Bunda.

"Gak usah bunda, kasian bang Shafwan nya. Sabna sendiri aja deh, nanti kan mau samperin Tiara. Entar Abang naksir lagi sama temen aku. Tiara kan cantik," Sabna memperjelas ketidak setujuannya sambil berpura-pura menggoda Shafwan agar sama-sama tidak mau.

"Dih ngapain naksir sama anak SMA."

"Emang kenapa sama anak SMA, oh jangan-jangan Lo suka sama yang tante-tante lagi!" celetuk Sabna heboh.

"Swuuuut, udah. Inikan bunda yang mau, yang gak nurut berati bukan anak bunda!" ancaman para bunda di dunia yang di jamin ampuh.

Mau gak mau keduanya akhirnya menurut.

"Yaudah Sabna berangkat dulu ya, Bun." Bunda lalu mendaratkan kecupan di pipi kanan dan kiri Sabna.

"Shafwan juga berangkat ya, Bun." Bunda juga melakukan hal yang sama seperti yang bunda lakukan pada Sabna.

"Hati-hati ya belahan jiwa Bunda!"

Keduanya berjalan bersamaan setelah keluar dari gerbang rumah.

"Tiap ke sekolah selalu jalan, Sab?"

"Iya."

"Terus kalau pulang?"

"Ya jalan juga. Kadang si bareng temen."

"Cowok pasti ya?" tuduh Shafwan.

"Apaansii, orang cewek."

"Oh."

"Nah ini rumah temen gue," ucap Sabna yang berhenti di salah satu rumah mewah.

"Bentar amat, perasaan baru gak gue jalan," heran Shafwan.

"Ada orang nya emang rumah kayak gini?" tanya Shafwan yang heran karena rumah itu terkesan horor.

"Ya adalah. Kalau gak ada ngapain gue tiap hari selalu nyamper. Ini rumah Tiara, yang gue bilang tadi di rumah."

"TIARA!"

Namun belum ada tanda-tanda pintu terbuka, Sabna kembali memanggil untuk kedua kalinya.

"Bang bantuin teriak dong!"

"Masih tidur kali orangnya, lagian kenapa gak ada satpam sih rumah segede gini."

Sabna hanya menatap ketus kakak di sebelahnya, yang berhasil membuat Shafwan ikutan berteriak memanggil nama Tiara.

Tak begitu lama gadis cantik ber sweater pink keluar dengan rambut nya yang tergerai lurus.

Shafwan segera menundukkan pandangannya dan hal itu menjadi sorotan Sabna saat ini.

"Sab, maaf ya selalu bikin kamu nunggu," ujar Tiara sembari membuka gerbang.

"Gak papa kok."

Mata Tiara pun terahlikan oleh seseorang di samping Sabna.

"Siapa?" Tiara memelankan suaranya yang tatapan matanya sempat tertuju kepada Shafwan.

"Kenalin ini Abang gue." Lalu Sabna menyenggol lengan Shafwan.

Tiara yang hendak menyalimi tangan Shafwan pun heran ketika Shafwan justru menempelkan kedua telapak tangannya.

"Em, Tiara. Abang gue ini kan lulusan pesantren ya. Jadi sangat memuliakan perempuan. Nah makannya dia kalau salaman sama perempuan yang bukan mahram nya ya kayak gitu. Mohon di maklumi ya Tiara." Sabna berusaha memberikan pengertian pada Tiara dan bersyukur Tiara paham.

Mereka bertiga pun berjalan menuju sekolah. Shafwan kini berada di belakang, membiarkan Sabna dan Tiara yang tidak berhenti bercerita.

_____________________________

Bosen gak baca cerita aku?
Udah mah jarang update ya:v

Insya Allah nanti update nya jadi rajin deh:)

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.3M 224K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...
289K 13.1K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...
1.1M 44K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...