"Maaf, gue agak telat," ujar Ali merasa bersalah.
Untuk menunggu satu jam bukan masalah buat gue, Li. Bahkan gue sanggup nungguin lo selama dua tahun lamanya. Mungkin kalau lo nyuruh gue untuk bertahan lebih lama lagi, gue bersedia, Li. Sayangnya, lo gak memberi gue kesempatan untuk itu.
Namun, Prilly hanya merespon dengan senyuman menenangkannya, "Santai aja."
"Maaf ya, tadi gue nganterin Fira ke rumah Omanya dulu." Balasan Ali menyadarkan Prilly tentang posisinya, Ghina masih menjadi prioritas di dalam hidup Ali.
"Gapapa, lagian gue juga baru sampe kok." Bohong! Prilly lagi dan lagi membohongi Ali dan dirinya sendiri.
"Yaudah, kita langsung mulai aja sekarang," ujar Ali sambil mengeluarkan buku yang sangat tebal, mungkin berkisar 400 halaman.
"Basic gue lemah banget, Li." Prilly berkata dengan apa adanya.
Ali mengangguk, "Setiap individu dibekali dengan kemampuan dan potensi di masing-masing bidang. Buktinya lo mahir di bidang hitungan apalagi hapalan, gue juga salut sama bakat public speaking lo. Enggak semua orang bisa sehebat diri lo."
"Jadi, jangan pernah merasa kalo lo itu lemah," pesan Ali.
Wajar saja jika Prilly menjadi semakin semangat, karena ini kali pertamanya Ali mendukung dan memberikannya wejangan berharga. Hal itu bagaikan sugesti yang membakar jiwa Prilly untuk menjadi orang yang lebih giat lagi.
"Gue tersanjung dengan kata-kata lo, anyway thanks," balas Prilly sambil tersenyum lebar.
"Gue tau lo anaknya logis banget," ujar Ali yang disetujui oleh Prilly.
"Kalo gitu gue bakal ajarin lo cara penalaran saat memecahkan soal-soal begini, dengerin ya," Prilly kembali mengangguk antusias dan melirik ke arah tulisan yang ditunjuk sama Ali.
Selang beberapa jam, akhirnya Prilly sudah menguasai 3 topik pembahasan untuk materi yang akan ia hadapi saat ujian TOEFL nanti. Prilly menyenderkan badannya ke kursi, sambil memberi sedikit gerakan kecil pada tubuhnya.
"Capek?" Tanya Ali yang dihadiahi anggukan dari Prilly.
"Lo udah laper belum?" Tanya Ali.
"Males," balas Prilly cuek.
"Lo punya maag 'kan?" Selidik Ali sambil melihat wajah Prilly.
Prilly mengernyitkan dahinya, "Lo kok bisa tau?"
Ali terlihat gelagapan, "Gue gak sengaja dengerin lo diomelin sama Rassya gara-gara telat makan."
Prilly membulatkan mulutnya, "Jarang kambuh kok."
"Karena jarang kambuh makanya dijaga, jangan sampe kambuh dulu baru diatur pola makannya," omelan Ali membuat darah Prilly berdesir.
"Rempong lo," cibir Prilly.
Ali melotot, "Dibilangin juga ngeyel banget, gue gak mau lo jatuh sakit."
Prilly menggigit bibirnya dalam-dalam, Ali hanya khawatir kepadanya sebagai teman 'kan?
Prilly mengangguk lemas, "Yaudah, sekarang kita pesan makan."
"Oh iya, habis ini gue gak bisa nganterin lo pulang, sorry." Ujar Ali membuat Prilly mengangguk, lagi pula ia tidak berharap Ali akan mengantarnya pulang. Belajar bersama Ali saja sudah membuat Prilly merasa cukup. Mungkin Ali mempunyai kesibukan yang lain, seperti menjemput Ghina?
"Lo habis ini langsung pulang 'kan?" Tanya Ali.
"Belum tau, kalo gue lagi bosen, ya, paling main ke rumah Rassya," balas Prilly.
"Emang nyokap lo gak marah kalo lo main ke rumah cowok?" Tanya Ali penasaran.
Prilly memandang Ali dengan bingung, "Emangnya kenapa?"
"Ya, gapapa sih, cuma biasanya anak perempuan itu gak boleh sembarangan main ke rumah cowok." Balas Ali jujur.
"Nyokap gue sibuk, enggak bisa terlalu ngurusin hal-hal sepele kayak gitu. Gue diberi kepercayaan buat jaga diri sendiri," balas Prilly dengan nada sedikit ketus.
"Lo tinggal bareng siapa?" Tanya Ali.
Prilly menjilat bibir bagian bawahnya, "Gue broken home dan ikut nyokap. Abang dan adik gue ikut bokap, dia nikah sama janda anak satu."
Ali memasang raut bersalah, "Maaf, gue gak tau. Itu pasti pukulan berat banget untuk lo 'kan?"
Prilly menggeleng dengan jujur, "Kejadian itu udah lama banget, sejak gue kelas 2 SD. Lagian gue sadar kok, mereka udah gak sefrekuensi lagi. Daripada masih saling menyakiti, bukankah lebih baik mengakhiri?"
"Gue gak tau lo punya sisi kayak gini, lo itu perempuan yang kuat, Pril." Puji Ali sambil tersenyum.
"Dulunya gue mikir kalo gue gak akan kayak mereka, gak akan mementingkan ego dan menyulitkan anak-anak gue kelak. Tapi semakin gue dewasa, semakin gue sadar ketika lo mencintai seseorang terlalu dalam, semakin lo memaksakan dia untuk terus berada di sisi lo. Maka, itu hanya akan menciptakan luka untuk kedua belah pihak," ujar Prilly dengan puitis.
Tangan Ali menggantung di udara, sesaat setelahnya tangan sebelah kanan Ali membungkus hangat tangan kiri Prilly. Mencoba menyalurkan dukungan dan rasa hangat yang mungkin saja Prilly butuhkan.
Prilly menatap tangannya yang digenggam oleh Ali, tercipta perasaan bahagia yang tak dapat ia definisikan. Terlalu besar nyaris tak terhingga. Gelenyar aneh itu masih sama, bahkan melebihi batas wajar.
"Li?" Panggil Prilly pelan.
Ali mendongak tanpa melepas genggaman tangannya, "Kenapa?"
"Bukannya kita cuma teman, ya? Jangan kayak gini," cicit Prilly sambil melirik ke arah tangannya yang terbungkus tangan Ali.
Ali melepaskan genggaman tangannya, "Maaf, gue gak ada maksud buat er PHP-in lo."
Prilly tertawa paksa, "Apaan sih? Santai aja kali, gue paham kok maksud lo."
"Gue gak bisa nganterin lo balik karena gue mesti bantuin om gue di bengkel, buat nambah-nambahin uang jajan." Bukankah Prilly tidak meminta penjelasan dari Ali? Mengapa Ali seolah menjelaskan semuanya kepada Prilly, seakan-akan ia tidak ingin Prilly salah paham kepadanya.
"Tapi, gue mohon rahasiain ini dari siapapun terutama Fira," ujar Ali kembali.
"Santai aja kali, ngapain juga gue beberin masalah lo ke orang-orang. Lagian kenapa lo mesti rahasiain ini dari Ghina?" Tanya Prilly bingung.
"Gue gak mau Fira ngelihat sisi gue yang kayak gini, takutnya dia malah malu lagi sama keadaan gue," ujar Ali membuat Prilly menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Malu? Menurut gue, itu malah hal yang bagus dan bisa membentuk lo jadi pribadi yang mandiri. Jangan merasa rendah diri, Li. Gak akan ada orang yang merendahkan lo." Karena gue gak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Gue hanya mengantisipasi, Pril. Mulut dan hati orang lain gak akan pernah bisa kita prediksi, yang bisa gue kendalikan ya cuma diri gue sendiri." Balas Ali bijak.
Prilly merasa kegantengan Ali seolah bertambah beribu kali lipat sejak ia berhenti mengejar-ngejar Ali, "Terus, kenapa lo ceritain hal ini ke gue?"
"Bukannya kita baru temenan? Belum tentu juga gue akan berbaik hati untuk bantu lo nyimpen rahasia?" Imbuh Prilly yang membuat Ali terkekeh.
"Pengorbanan dan perasaan lo selama ini udah cukup. Cukup buat gue buat percaya sama lo."
Prilly memalingkan wajahnya ke arah lain, mendapat kepercayaan Ali bahkan tidak pernah tertulis di dalam kamus Prilly. Dan, hari ini resmi dinobatkan sebagai hari paling membahagiakan untuk Prilly.
* * *
Yang mau bangsat-bangsatin Ali, maki-maki atau tampol online buat Ali, feel free yak!
Share pendapat kalian dong untuk chapter kali ini hehe, aku sengaja memenuhi hasrat AliPrilly kalian yang terpendam selama ini wkwkwk.
Oh iya, terima kasih kepada kalian semua yang udah mendukung dan sabar menunggu cerita ini ya. Tanpa kalian, cerita ini mah tidak ada apa-apanya:)
Bintagnya mana, bintangnya mana?🥰