40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutk...

DekaLika tarafından

475 88 7

Wulan Ayu Kencana sempat berpikir, jika mungkin memang tak ada kebahagiaan lagi di dalam hidupnya. Setelah se... Daha Fazla

Patah Hati
[1] Dunia Itu Kejam
[2] Stalking Mantan: Membunuh Perasaan
[3] Teman Jadi Musuh Mematikan
[4] Sakit Hati
[5] Ujian Pertama
[7] Bertemu Ayah
[8] Kejutan
[9] Kebetulan yang Menyenangkan
[10] Kebusukan Tisa
[11] Apa Harapan Itu Ada?
[12] Ujian atau Takdir Tuhan?
[13] Mimpi yang Nyata
[14] Pembicaraan Panjang
[15] Skandal
[16] Pembawa Acara
[17] Pembullyan Di Keramaian
[18] Semua yang Dia Tahu
[19] Dipanggil Ketua Jurusan
[20] Challenge 40 Hari
[21] Sebuah Catatan Tangan
[22] Hari-hari yang Berbeda
[23] Kak Raisa
[24] Pelajaran Pertama Untuk Berubah
[25] Ikhlas yang Sebenarnya
[26] Kekuatan Persahabatan

[6]Cara Allah Menguji Hambanya

11 2 0
DekaLika tarafından

Pemandangan sawah hijau dan diakhiri dengan gunung Merapi di ujung sana mengisi pandanganku. Kampusku dulu tanahnya adalah sawah dan rawa-rawa. Sekarang pun masih, lima puluh persen di kelilingi pemandangan hijau. Sebelumnya tanah di sini sangat murah, sepi, jalannya kecil, tak ada yang mau membeli. Namun sejak kampus berdiri, perlahan-lahan pemilik tanah yang dulunya tinggal di rantau berlomba-lomba membangun rumah kost untuk para mahasiswa. Kata Tisa, siang saja hanya satu dua motor yang lewat. Tisa adalah warga asli di daerah Kubang Putih, tempat kampusku berada. Kampus ini berlokasi di luar kota, tapi kampus pertamanya ada di daerah Bukittinggi juga. Ya, ini adalah kampus kedua, yang delapan puluh persen besar dari yang pertama.

Angin sejuk menerpa wajahku. Nyaman, tenang. Tak seperti kampus-kampus lain yang pemandangannya diisi dengan padatnya aktivitas kota. Namun Universitas Andalas juga memiliki pemandangan yang rindang, karena letaknya yang jauh ke arah perbukitan. Meski tak pernah melihat secara langsung, video yang kutonton cukup membuatku berdecak kagum dengan keindahan. Kampus impian banyak anak sekolah. Guru-guru pun pasti bangga jika masuk ke sana, mereka akan bertanya antusias tentang segala macam hal. Berbeda dengan kami yang masuk ke kampus ini, mereka hanya menjawab, "Oh, di sana". Tapi nggak tahu aja mereka kalau kampusku berkembang lebih pesat dari sekadar pengetahuan mereka. Bahkan sampai jadi kampus terfavorit se-Indonesia di umurnya yang baru menginjak tiga tahun sejak berubah menjadi Institut.

Jeda satu jam menuju mata kuliah selanjutnya hanya kuisi dengan menatap berlama-lama pemandangan hijau di luar. Beberapa teman sekelasku beberada di dalam, selebihnya mereka keluar tak tahu ke mana. Tentu saja ada Tisa dan geng hebohnya yang selalu fasih menertawakan orang. Pikiranku terganggu dengan tawa cekikikan kumpulan itu. Tak lupa memasukkanku ke dalam topik per-ghibahan mereka yang seru itu.

"Tahu nggak, dia udah dibicarain sampai ke anak fakultas pendidikan juga, loh." Tisa bagai pemimpin geng gosip di sana.

"Siapa, sih?"

Dua tahun lamanya aku sekelas dengan mereka, aku sudah hafal siapa saja yang berbicara.

Mitha si muka sok polos itu menanggapi dengan anda antusias. "Jadi alasan di balik perubahannya itu apa, sih?"

"Ngajakin gue berubah gitu. Mulai dari merubah sikap, nggak ketawa-ketiwi sembarangan, perbaiki shalat, dan memanjangkan jilbab gitu, deh. Gue sih iya-iyaian aja."

"Sekarang udah jadi Ukhty beneran, dong." Suara Neneng yang tenang bagai belati yang menelusup ke dalam dada, tapi aku mengabaikan.

"Paling juga ke kampus aja kayak begitu. Di luar bakal balik ke aslinya. Gue yakin, itu cuma pencitraan."

Aku menoleh sekilas, ingin melirik rupa Tisa kala mengucapkan kalimatnya. Ternyata dia juga sedang menatapku. Seringai licik tergambar jelas dari bibirnya. Kini aku tahu bila Neneng dan Mitha sedang membelakangiku, sementara Nazhi yang duduk di sebelah Tisa sedang memainkan ponsel. Dengan ekspresi datar aku kembali mengalihkan pandangan keluar jendela. Entah kenapa kata-kata menusuknya tak mempan bagiku. Seperti bola yang memantul kembali.

Beruntungnya dosen laki-laki masuk. Jadi perbincangan yang memuakkan itu berhenti. Aku mengambil duduk di baris kedua ujung sebelah kanan di samping Tata dan Mutia yang baru saja masuk dengan terburu-buru.

"Ih, udah lama maksudnya, Lan?" bisik Tata dengan napas terengah-engah.

"Sepuluh detik yang lalu," jawabku asal. Padahal aku tak menghitung sama sekali.

"Untung." Tata mengelus dada, lalu mengeluarkan buku catatannya.

Cukup satu menit saja, semuanya berhasil duduk dengan rapi. Pemakalah sudah duduk berjejer di depan kelas. Sementara salah satu temannya mengoper plastik berisi foto copy makalah tentang materi hari ini. Dosen Fiqh dan Zakat itu membuka kelas dengan salam dan sedikit pengantar tentang materi zakat yang akan dibahas sesuai judul di modul.

Saat sedang asyik mendengarkan pemakalah membacakan makalahnya, aku melihat ke depan. Ekor mataku menangkap seseorang sedang berdiri di luar. Melihat ke dalam lewat kaca pintu, langsung ke arah dosen. Ketika ia menoleh ke dalam dan bertemu mata denganku, aku mengernyit, menyuruhnya masuk dengan isyarat tangan. Namun ia tampak ragu-ragu, masih melirik sang dosen yang sedang membaca materi.

"Pak, ada yang belum masuk." Suara Ridho menginterupsi. Semua mata menoleh langsung ke arah Ridwan yang kini mengangkat telapak tangan, sebagai tanda permisi agar diizinkan untuk masuk.

Pertama pintu dibuka, suara teman-teman sekelasku bereaksi dengan nada jenaka.

"Eh, Bang Ridwan ketiduran, nih," celetuk Ahmad.

"Begadang nih, pasti semalam."

"Atau lupa jadwal kuliah?"

Diiringi tawa kecil mereka yang langsung terhenti oleh suara lantang sang dosen. "Kenapa terlambat?" tanyanya sambil berdiri di samping meja.

"Saya telat membaca pesan di grup, Pak," ucap lelaki yang sering kami panggil Bang Ridwan. Wajah innocent-nya menunjukkan jika ia bersungguh-sungguh. Tak tahu kenapa, Bang Ridwan selalu membawa wajah antara murung atau minim ekspresi itu ke mana-mana. Namun ia lelaki yang baik, walau pembicaraannya selalu muter-muter sampai kami gemas sendiri kalau diajak mengobrol. Sebab jika sudah mulai bercerita, tak akan pernah berhenti. Oleh sebab itu anak-anak cewek di kelas selalu pura-pura tak mendengar. Jika sudah bertatapan dengan mata Bang Ridwan, lawan bicaranya akan dikunci untuk terlihat dalam pembicaraan tersebut.

Sejenak dosen bernama Afrizal, bertubuh pendek itu melirik Bang Ridwan, lalu mengangguk kecil. Menyuruhnya bergabung dengan kami.

Presentasi, maksudku pembacaan makalah yang tadi sempat terhenti, dimulai kembali. Setelah itu ada sesi tanya jawab yang semuanya memakan waktu tiga puluh menit. Hingga diskusi bersama dosen berumur lima puluh tahunan itu mengambil alih perhatian semua mata padanya. Jujur saja sejak semester tiga, aku sangat tertarik dengan materi zakat. Sejak aku tahu potensinya yang sangat besar di Indonesia, sayangnya tidak diwajibkan. Kata Pak Awaludin, dosen Ekonomi Makro-ku dulu, pontensinya bisa melebihi pajak kendaraan. Sampai ratusan triliun setiap tahunnya. Jika saja bisa diwajibkan, maka tak ada lagi rakyat yang sengsara di Indonesia seperti pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq. Apalagi zakat digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

"Sekarang sudah ada lembaga zakat yang lebih mengutamakan zakat produktif. Bagus mana, jika uang lima juta diberikan kepada Pak Budi daripada gerobak sate seharga lima juta?" tanya Pak Afrizal.

"Uang, Pak. Karena bisa dibelikan kebutuhannya," jawab salah seorang anak laki-laki.

"Salah. Itu namanya zakat untuk konsumsi," ujar sang bapak, "konsepnya begini. Uang bisa habis, sementara jika dibelikan gerobak sate, maka akan terbuka lapangan pekerjaan, serta bisa lahir Pak Budi, Pak Budi lainnya."

Aku tertawa bersama teman lainnya mendengar logat bicaranya yang lucu.

"Jika Pak Budi sukses berjualan sate keliling, dia akan membuka sendiri warung satenya. Butuh pekerjaan, 'kan? Butuh tukang cuci piring, 'kan? Nah, itulah yang menjadi tujuan utama dari zakat produktif. Memberikan kesempatan dengan harapan suatu saat terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih luas. Zakat produktif memiliki tujuan, suatu zakat si mustahiq bisa menjadi muzzaki."

Aku mengangguk di dalam hati. Sangat menarik. Semenjak kuliah, aku baru tahu ada yang namanya zakat mal, yaitu dengan tujuan pembersihan harta agar berkah ke depannya. Sebab sejak dulu aku hanya tahu tentang zakat fitrah di bulan Ramadhan. Mungkin aku akan memberi tahu pada ibu untuk menzakatkan hasil panen yang ia dapatkan selama setahun. Atau dari emas yang disimpan.

🕊️🕊️🕊️

Aku selalu tidak rela jika pelajaran ini berakhir. Jujur saja aku sangat tertarik dengan materi agama, apalagi yang menyangkut tentang hukum dalam harta, seperti dalam kata pelajaran Fiqih Muamalah. Aku sadar jika aku jauh dari pengetahuan tentang keyakinanku sendiri. Ternyata Islam itu lebih luas dari sekadar shalat lima waktu dan tahajud yang sering kudengar pada ceramah ustadz di masjid-masjid di kampungku. Apalagi tentang harta gadai di Minangkabau yang menjadi perdebatan di kalangan ulama. Aku merasa ngeri saat tahu bagaimana harta itu bisa menjadi haram saat dimakan.

Pak Afrizal selalu cepat dalam berjalan. Hanya dengan lima langkah ia bisa menelan jarak tiga meter dari meja dosen ke pintu.

"Hai, Wulan," sapa Ari. Si laki-laki usil yang selalu membuatku marah.

Mataku melotot, sontak aku mengambil rol besi entah milik siapa yang tertinggal di meja, dan memukuli lengannya dengan kuat karena dia dengan sengaja menyentuh tanganku. "Apa sih, yang lo pikirin. Ih, nyebelin. Jangan sentuh-sentuh gue," ucapku marah. "Tiaa ... lihat Ari," aduku pada Mutia, pacarnya Ari.

Tia yang baru menyandang tas langsung mendekat, mencubit keras lengan Ari dan menyeretnya keluar kelas hingga meraung minta dilepaskan. "Nggak boleh menyentuh Wulan, bukan muhrim," ucap Ridho, menasehati orang yang sudah pergi.

Aku hanya tersenyum kecil, sebab Ridho lebih dewasa dibanding si Ari meski badannya nyaris sebesar Aderai. Dia selalu ke kampus dengan baju lengan pendek untuk menunjukkan otot lengannya yang besar. Aku saja ngeri melihat fotonya yang suka pamer otot tanpa baju di sosial media.

"Wulan, Tata ke kos Wulan, ya? Nanti mau jajan bakso tusuk, batagor, cilok, sama bakso bakar yang deket simpang itu, loh." Tata berjalan di sisiku sementara Ridho sudah pamit terlebih dahulu karena dia bekerja paruh waktu.

Mutia, Tata, Ridho, dan Ari adalah empat sahabat yang sangat dikenal di kelas. Mereka kece, jajannya banyak, pakaiannya bagus, tapi tetap rendah hati. Aku tidak tahu kenapa ada orang kaya yang ramah dan mau jajan tahu bakso seribuan di kantin seperti Mutia. Seumur hidup, baru dia aku temui anak orang kaya yang nggak malu berteman dengan siapa saja. Apalagi saat dia dulu sering bercerita tentang ayahnya yang ingin membelikan mobil untuk kuliah, namun ditolak sebab tak seorang pun ke kampus memakai mobil pribadi. Dia takut tak ada yang mau berteman dengannya.

"Eh, Tata. Ke mana? Tumben nggak sama Tia?" celetuk Neneng, yang kini searah dengan jalan kami.

"Mau ke kost, Wulan," sahutnya dengan suara kekanak-kanakan.

"Oh, temenan sama Wulan? Sejak kapan?"

Aku melirik Neneng sekilas. Komplotan yang sudah dicuci otaknya oleh Tisa ini tak tahu kenapa mulai membuatku risi.

"Kita semua itu teman sejak pertama masuk kampus ini. Kok nanyanya gitu, sih?"

Aku memalingkan muka, tak berminat dengan pembicaraan itu. Meski aku tahu bila Tata sedang membelaku.

"Oh, kirain karena dia nggak ada temen, makanya jadiin Tata pelarian."

"Aduh, ngomong apa, sih, Neng. Neneng tuh kalau-"

Bunyi azan di ponselku mengalihkan perhatian kerumunan mahasiswa yang ikut berjalan di depan gedung, karena ini adalah waktunya jam shalat Zhuhur. Suara Tata pun terhenti dan aku menariknya menjauh hingga ditelan kerumunan.

"Shalat di mana, Lan?" tanya Tata saat kami sudah sampai di jalan utama kampus.

"Di kost aja," jawabku singkat. Sebab hanya membutuhkan lima menit saja untuk sampai di sana.

"Kenapa sih, Neneng ngomongnya gitu amat, Lan? Tata nggak suka, deh."

"Nggak tahu Tata. Mungkin dia senang kali begitu," sahutku malas.

"Wulan nggak sakit hati?"

"Enggaklah. Kan Wulan udah siap dengan segala konsekueni. Dari video yang Wulan lihat, ketika kita mau mendekatkan diri kepada Allah, maka cobaan itu langsung disuguhkan ke depan kita, untuk menguji, apa kita benar-benar siap dengan pilihan yang kita buat." Aku mengandeng tangan tata saat kami melewati jalan di depan kost lain yang cukup sepi. "Dan kita nggak boleh kalah dengan cobaan yang nggak seberapa dibandingkan hikmah di balik itu semua." Aku tersenyum padanya. Tata diam saja mulanya, lalu dia balas tersenyum.

"Tata pasti dukung Wulan. Jangan sampai goyah, pilihan Wulan ini udah tepat. Kalau mereka berani ngomongin Wulan yang jelek-jelek, bakal Tata lawan," katanya sungguh-sungguh.

Senyumku melebar. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih atas janji manis yang membuat hatiku berbunga-bunga. Karena sayang sekali, Tata tidak akan bisa menepati janjinya, sebab Tisa tak pernah mau menyindirku di depan banyak orang, sekalipun teman sekelas kami. Kecuali di depan Wina dan komplotannya itu.


🕊️🕊️🕊

Telat Update ya, hehe. Update cepat biasanya ke di facebook. Hari ini double sama part 7, tapi nanti malam. Sii yaw :*

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

1.8M 86.8K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
13.3M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
5.1M 63.6K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
15.5M 874K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...