Seamless (TERBIT)

By meydiy

390K 54.6K 45.6K

*** PEMENANG WATTYS 2021 *** (SUDAH TERBIT DI PENERBIT OLYMPUS) CONTENT WARNING!!! Selamat Datang di JIPS; se... More

Prolog
1. Januariz
2. Stranger
3. Tribunnews
4. March
5. April
6. Kesukaan Tomori
7. Lomba
8. Juni Stanley
9. Ulang Tahun Juli
10. Boneka JIPS
11. August
12. Jangan Takut
13. Bertemu Lagi
14. Yue
15. Novesh
16. Realita
17. Dugaan
18. Mencari Jawaban
19. Sebuah Harapan
20. Tim April
21. Red Blood Yang Buruk
22. Reaksi
23. Larangan
24. Bermuka Dua
25. Rahasia Antara Mereka
26. Ada Apa Dengan Juli?
27. Pembunuh
28. Panic Room
29. Runtuh
30. Disalahkan
31. Sedikit Cerita
32. Peneror
33. Kenyataan
34. Bergabung di Tim April
35. Kesialan
36. Berantakan
38. Bahaya!
39. Satu Hal Lagi
40. Hangat
41. Mengungkapkan Kebenaran
42. Lingkungan Baru
43. Bermula
INFO TERBIT
INFO TERBIT (2)
VOTE COVER
INFO TERBIT (3)
TERBIT!
OPEN PRE-ORDER !

37. Kesalahan Yang Sama

4.1K 981 718
By meydiy

Malam ini, atmosfer dingin merasuki setiap sudut kediaman Aprilia Rohani.

Gadis yang saat ini membiarkan rambut legamnya terurai hanya bisa diam seribu bahasa ketika Muzdalifah menatapnya tajam. Bukan tanpa alasan, melainkan kabar buruk yang baru saja diterima wanita itu selepas mengajari para wanita lansia mengaji. Kabar yang tak lain adalah pencabutan beasiswa dari pihak JIPS serta panggilan untuk memenuhi pencabutan tersebut. Pihak yang sama berkata bahwa April telah melakukan kesalahan yang fatal; menyebabkan Juli masuk rumah sakit jiwa hingga keadaannya bertambah kritis.

Kabar Juliana Stanley malam ini kian memburuk sejak ia kedapatan melakukan percobaan bunuh diri kedua di toilet rumah sakit jiwa dan lagi-lagi, pihak sekolah menyalahkan April.

Mendengarnya pun terasa tak masuk akal. Tetapi, mengapa April terus menerus tersudutkan di sini? Jelas-jelas dalam rekaman CCTV, gadis itu tak menyentuh Juli barang sehelai rambut pun.

"Istighfar, April! Kamu itu di sekolah ngapain aja sih? Kamu apain anak orang, Pril sampe dia kritis begitu?"

Sudah lima menit, April duduk diam di meja makan. Mendengar Muzdalifah dengan suara yang membesar hingga memenuhi isi rumah. Menyudutkan April, sama seperti pihak JIPS, dan April tak sedikit pun diberi kesempatan untuk berbicara.

"April, sudah ibu bilang. Kalau kamu ingin menjadi seorang penulis blog di JIPS, hati-hati dalam tulisanmu. Sudah ibu bilang, jangan melakukan apa pun di JIPS selain belajar dan lebih banyak berprestasi. Jangan buat beasiswamu dicabut, jangan buat sekolah kecewa dengan sikapmu, Pril. Kenapa susah banget, sih, dengerin ibu?!"

April mendongak dengan suara parau, "Bu, dengerin April dulu—"

"Pril, kamu tahu kalau kita bertahan hidup dengan beasiswamu. Apa kamu mau seperti dulu? Apa kamu mau, nggak sekolah seperti saat kamu masih kecil? Masih untung kamu dapat beasiswa, Pril."

"Bu!" April memekik pada akhirnya. Gerah karena tak sedikit pun Mudalifah memberinya kesempatan untuk membuka suara. "Ibu kenapa sih, khawatirin beasiswa April terus? April punya hak penuh untuk menolak pencabutan beasiswa. April nggak bakal kenapa-napa, bu. Seharusnya Ibu tanya, kenapa beasiswa April dicabut tanpa alasan yang jelas? Seharusnya Ibu tanya, kenapa JIPS terlalu cepat mencabut beasiswa tanpa memprosesnya, bu?"

"Apa? Memangnya apa jawabanmu, Pril? Memangnya kamu mau menuduh JIPS seperti apa lagi?"

"Bu, sekolah udah melakukan kesalahan yang fatal! Apa Ibu tahu apa yang Septria alami sebelum dia dinyatakan bunuh diri? Apa Ibu tahu siapa aja yang menderita karena efek bullying yang ditimbulkan atlet baseball? Dan semua yang sekolah lakukan hanya menutup kasusnya, bu. April nggak akan mau, hanya duduk diam dan menetap dalam sekolah yang lingkungannya kacau, bu."

Muzdalifah bergeming setelah mendengar balasan dari April. Terkejut. Selain karena pertama kali mendengar April membantahnya, itu juga adalah pertama kalinya ia mendengar fakta bahwa JIPS—sekolah yang menjadi idaman setiap orang—ternyata tak segagah pada ekspetasinya...

...atau mungkin, April saja yang mengarang cerita?

Muzdalifah mengembuskan napas panjang, menatap putri semata wayangnya yang sudah tersengal.

"Bu, April minta maaf. April—nggak bermaksud bentak ibu kayak tadi."

"April." Panggilan dari Muzdalifah membuat April menatap ragu. "Sekarang pergi ke kamar kamu. Istirahat. Itu sudah jam sembilan."

"Bu—"

"Istirahat sekarang April!"

Penegasan tersebut lantas membuat April terkesiap, enggan untuk membantah lagi. Ia pun beranjak menuju kamar, meninggalkan Muzdalifah yang tampaknya syok karena mendengar fakta dari April—atau mungkin syok karena menyadari bahwa April sudah berani membantahnya seperti tadi.

Pikiran-pikiran mengenai beasiswa yang telah dicabut mulai memenuhi isi kepala dan mungkin saja, ia akan ditendang sejauh-jauhnya dari JIPS sebelum sempat membuka suara tentang Septria. Namun, setelah dipikir lebih dalam, seharusnya ini menjadi kesempatan April dihari esok, mengungkapkan segala hal kepada orang-orang tentang JIPS dan cerita kelam yang sudah lama terkubur rapat.

Setelah berada dalam kamar, April mengunci pintu.

Flashdisk yang diberikan Owy saat pulang sekolah tergeletak begitu saja di atas meja.

Berdasarkan cerita Owy kemarin, kepala sekolah pernah menukari flashdisk-nya sewaktu membantu Septria dulu. Gadis itu bergerak cepat ke meja belajar, menyambungkan flashdisk ke dalam port USB laptop yang menyala. Berharap agar hal yang sama tidak menimpa dirinya di hari esok.

Sebenarnya, April belum siap jika harus melihat kejadian tragis yang menimpa sahabatnya itu sekarang. Tapi, jika ia mengulur waktu lebih lama, kasus sahabatnya akan benar-benar tenggelam dan akan terlambat untuk diselesaikan. Maka yang dilakukan April sekarang pastilah sudah benar dan mau tak mau, ia harus siap.

Flashdisk tersambung, berisi dua video dengan judul yang berbeda.

April tak tahu harus memulai dari video yang mana, namun ia mencoba pada video yang paling kiri.

Jantungnya berdegup luar biasa saat video pertama berhasil diputar, memiliki durasi waktu tujuh belas menit.

Menampilkan awalan yang terasa samar; Septria berjalan, memasuki ruang bela diri dengan kepala yang celingukan. Kelihatannya, ia sedang mencari seseorang. Hingga Juli datang menghampiri dari belakang.

April tak tahu apa yang mereka bicarakan, keduanya terlibat adu mulut yang hebat dan bahkan saling dorong mendorong tanpa jeda sedikit pun.

Lalu, terhenti sejenak ketika ketua yayasan secara tiba-tiba memasuki ruang bela diri, berbicara ke arah Septria. Menamparnya kasar. Hingga Septria maju untuk memberontak, namun langkahnya tak sampai saat kepala sekolah datang dengan cepat mengunci lengannya ke belakang.

Berikutnya, ketua yayasan maju, menghujam Septria dengan tamparan-tamparan dan mendorongnya hingga terjatuh ke tanah. Tak hanya kekerasan fisik, ketua yayasan bahkan membuka kancing seragamnya, membiarkan Septria yang lengannya masih dalam keadaan terkunci menggeliat-geliat, berusaha menjauh tapi ia tak bisa.

Septria tak berdaya. Ia sendirian.

Sedangkan Juli ada di sana, hanya diam—hanya menonton bagaimana ketua yayasan memperlakukan Septria dengan buruk.

April tak bisa bernapas dengan baik menyaksikan video itu. Tangannya bergetar, menyudahi pemutaran video dan menekan tombol exit.

Apa yang ia lihat sekarang adalah bukti nyata yang selama ini dicarinya; video CCTV mengenai pemerkosaan sahabatnya, Septria.

Kini, perasaannya bercampur aduk. Marah, kesal, menyesal karena ia tak ada di sana untuk menolong, kecewa pada diri sendiri, dan bahkan takut—takut jika ia takkan mampu bergerak lebih jauh lagi setelah ini. Padahal, di depannya sudah ada bukti. Padahal, ia tinggal selangkah lagi untuk bergerak dan itu akan berujung kemenangan yang sesungguhnya.

Semua terasa mudah dan sulit dalam waktu yang sama.

Bersamaan dengan itu, April menoleh saat mendengar bunyi ketukan jendelanya. Buru-buru, April membuka jendela sebelum Muzdalifah dapat mendengarnya dari luar.

Seperti yang ia duga, si pengetuk jendelanya lagi-lagi Januariz—yang saat ini sedang menggantungkan ransel dipunggung dengan wajah tegang. Lelaki itu kelihatan seperti baru saja melarikan diri.

"Ada apa, Jan?"

"Kita harus bergerak sekarang. Kita nggak punya banyak waktu lagi, kasus ini harus terungkap."

"Ya, tenang dulu," balas April sembari mengernyit kebingungan. "Besok kita bakal mengungkap ini, Owy udah janji bakal secepatnya ke jalur hukum dan—"

"Malam ini, Pril. Kita harus ungkap kasus itu malam ini."

April tak dapat berkata apa-apa lagi setelah menyadari, sesuatu tak beres terjadi pada Januariz. Lelaki itu kembali melanjutkan.

"Bokap gue tahu kalo kita udah bekerja sama," jawab Januariz, lantas membuat April terkejut. "Beasiswa lo bakal dicabut dan lo bakal dikeluarkan dari sekolah dengan tuduhan penyebab Juli masuk rumah sakit jiwa, Owy juga bakal dikeluarkan dari sekolah."

"A—apa?"

"Ya. Kita nggak punya banyak waktu. Kita harus secepatnya bergerak kalau nggak semua bakal terlambat."

Bersipandang dengan penuh ketegangan membuat April tak bisa menenangkan hatinya, ditambah pula ia baru saja menyaksikan bagaimana sahabatnya diperlakukan tidak pantas oleh ketua yayasan. Satu per satu, bayangan-bayangan itu mulai menghantui April.

Mungkin, apa yang ia rasakan saat ini adalah apa yang dirasakan oleh Owy selama berbulan-bulan sebagai seorang saksi, dihantui oleh bayangan Septria dan bagaimana sulitnya menemukan jalan keluar.

April tak menyenangi perasaan itu, cemas dan bingung dalam waktu yang sama.

April mengerjap berusaha untuk tersadar saat getaran pada ponsel Januariz membuyarkan ketegangan mereka. Lelaki itu menempelkan ponsel ke telinga.

"Ada apa?"

"Juli ..."

Januariz mengernyit saat mendengar suara Owy yang melemah di seberang telepon. "Juli? Kenapa?"

"Juli meninggal, Jan."

🐾🐾🐾

Hari ini adalah kesalahan yang sama seperti saat dua bulan yang lalu di mana kabar bunuh diri Septria Hanum menghangat di sekitaran JIPS dan larut begitu saja tanpa pernah diingat kembali.

Satu bulan yang lalu, kediaman Stanley mengadakan pesta ulang tahun yang sangat meriah. Sweet Seventeen yang membuat orang-orang iri karena berbagai pernak-pernik yang terkesan glamour, unik, dan sangat mahal, kini berganti menjadi rumah duka yang dihiasi karangan bunga dari setiap orang. Mengingat bahwa hari ini adalah upacara kematian hari terakhir dari Juliana Stanley.

Ia dikabarkan meninggal di rumah sakit jiwa, ditemukan dalam toilet dengan keadaan yang mencengangkan, kepala yang dicelupkan ke dalam bak air dan pihak keluarga menyalahkan suster pengawas karena tak bisa mengawasi Juli dengan baik. Akibatnya, pihak rumah sakit dimintai pertanggung jawaban oleh kedua orang tua Stanley Sisters yang baru saja pulang dari Chicago setelah menempuh perjalanan sembilan belas jam dalam jet pribadi mereka.

Hanya ada isak tangis di sini.

April merasa deja vu. Kejadian ini sama seperti ayahnya yang meninggal setahun yang lalu, di mana setiap orang menangisi kepergiannya termasuk Muzdalifah. Setiap orang berucap ikhlas dan itu hanya sebuah kata penenang seolah tak berfungsi dan semakin menggoreskan luka dihati.

Terluka.

Di tengah-tengah suasana haru yang berkabung, pandangan April tertuju pada kepala sekolah yang tengah menghampiri kedua orang tua Juni, memeluknya seraya mengucapkan duka cita, juga memberikan sebucket bunga yang kemudian ditempatkan di samping peti.

Sedetik setelahnya, ponsel April bergetar, pertanda pesan masuk.

Januariz: Gue nggak bakal datang, yang pasti gue turut berduka untuk Juli.

Yah, tentu saja lelaki itu tidak akan datang. Ia menghindari pihak JIPS, setidaknya sampai hari ini. Karena jika ia bertemu dengan Fedelin atau bahkan kepala sekolah, ia akan secepatnya ditangkap secara paksa dan segera diterbangkan ke Jerman tanpa pernah bisa membantu April dan Owy.

Atensi April beralih ke arah Juni yang duduk di samping peti, memeluk foto Juli sembari menangis.

Tentu saja gadis itu sangat sedih. Ia bahkan tak beranjak sedetik pun dari samping peti adiknya.

Setelah menyimpan kembali ponsel ke dalam saku, April berjalan keluar dari ruangan yang penuh isak tangis dan menghampiri Owy. Lelaki itu sedang duduk di tepian anak tangga, bersipandang dengan April yang memberikan senyuman tipis hingga akhirnya, memilih duduk di sampingnya.

Tak ada yang baik-baik saja di sini, terlebih Owy.

"Gue belum sempat denger dia bicara selama dia dirawat di rumah sakit."

April balas menatapnya, menjabarkan hal yang sama, di mana ia pun belum pernah bertemu Juli selama gadis itu dinyatakan sebagai pasien rumah sakit jiwa.

"Dia pergi, Pril."

Kalimat itu terucap disertai kerapuhan dan penyesalan dalam diri Owy, menegaskan bahwa ini adalah kali kedua ia gagal membantu seseorang—selepas Septria.

"Gue nggak membantu Juli, jadi—gue—gue ngerasa nggak berguna lagi, sekarang."

April menggelengkan kepala dan menepuk bahu lelaki itu pelan. "Mungkin kita emang udah terlambat, tapi kita udah sejauh ini, Owy. Mau sampai kapan lo merasa kecewa dengan diri sendiri dan nggak bergerak sesuai apa yang hati lo minta?"

Owy diam, tertunduk lesu dengan kedua tangan yang mengacak-acak rambut. Lalu, ia tertawa—tertawa di balik matanya yang sayu.

"Lo tahu, nggak, Pril? Kalau semua ini membaik, gue berharap Juli sembuh dan—dan gue bakal bikin Juli bahagia," ujarnya dengan suara yang bergetir. "Gue—udah membayangkan hidup bahagia setelah lulus dari JIPS bersama Juli, tapi, dia pergi."

Lantas, tawa itu pudar bersamaan dengan wajah yang berubah meringis pilu.

"Juli pengecut, kan?" April mengernyit mendengarnya, "Atau gue yang pengecut?"

"Hm. Lo pengecut," jawab April dan dengan cepat, "Puas, ngatain pengecut ke semua orang?" Tak ada jawaban dari Owy. "Sebenarnya, lo pengecut yang pengen berubah juga, kan?"

"Nggak lucu."

"Kalau gitu jangan menyalahkan diri sendiri," tegas April. "Nggak ada yang salah, Owy. Bukan lo, bukan Juli, bukan waktu, bukan apa pun. Karena menyalahkan segala hal juga nggak akan merubah semuanya."

Setidaknya, beberapa dari kata-kata April bisa dibenarkan oleh Owy.

"Jadi, mau berapa lama lagi lo ngatain diri lo pengecut padahal hati lo pengen berubah?"

Juga, pertanyaan itu membuat hati Owy tergugah untuk bangkit.

Peti milik mendiang Juli akan segera diangkut menuju peristirahatan terakhir. Orang-orang dengan pakaian hitam bangkit, mengiringi kepergian peti dengan bunga krisan dalam keranjang masing-masing.

Owy pun ikut berdiri di tepian tangga, melihat bagaimana peti itu menjauh dan diangkut masuk ke dalam mobil, bersiap menuju tempat terakhir bagi mendiang Juli.

Selamat tinggal, Juli.

Baik April maupun Owy, keduanya melirihkan ucapan selamat tinggal untuk Juli dalam lubuk hati mereka. Berharap penuh, bahwa gadis itu akan benar-benar tenang, membawa jauh seluruh rahasia kelam yang disembunyikannya. 

▪ Rest In Peace, Juliana McLain Stanley

🐾

🐾

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 79.5K 36
SELESAI (SUDAH TERBIT+part masih lengkap) "Nek saumpomo awakdewe mati, awakdewe bakal mati pas negakke keadilan. Mergo sejatine hukum kui kudu sing r...
1.8K 679 28
Bagaimana jadinya jika kita mencintai seseorang yang bahkan kita tidak tahu bahwa dia masih dihantui oleh orang di masa lalunya? Bagaimana jadinya ji...
297K 41.6K 73
[FOLLOW SEBELUM BACA] Kedatangan Gamma di circle pertemanan Bella, Devan, dan Hanna memberi warna baru. Cowok itu menjadi teman, sahabat, musuh, dan...
22.9K 4.2K 30
Baca cerita ini dan jangan lupa jatuh cinta <3 Pssstt.. Ini cuman daily life Agista aja hehe. Spin-off Science 7 Bagaimana rasanya menjadi seorang j...