Pull String

By Bellazmr

2.1M 208K 39.6K

#RAlSeries-2 Dilaras Sekarayu. Dia bisa mengambarkan rancangan dirinya di empat atau lima tahun mendatang. R... More

1. Benar Saja
2. Prau
3. Kutu Kupret
4. Genjatan Senjata
5. Spesies Langka
6. Obat Sebuah Penyakit
7. Harapan Bertemu
8. LDR Terjauh
9. Pernikahan
10. Yang Tak Pernah Ada
11. Daftar Rencana
12. Nama Tanpa Cerita
13. Sebelum Jatuh Cinta
14. Tanpa Kabar
15. Jemari Bertaut
16. Dua Kali Air Mata
17. Manusia dari Kerak Neraka
18. Geranium tak Bersalah
19. Pengaruh Tempat terhadap Jawaban
21. Perempuan Keras Kepala
23. Saling Melibatkan
25. Kata Kita yang Nanti
27. Selucu Itu
28. Semua Tentang Wira
29. Sudah (TAMAT)
1. Sepenggal Kisah
2. Permulaan
3. Tertinggal
5. Kata Pergi
8. Mau kamu apa!
SPIN OFF-Pull String
SPECIAL PART (TENTANG)
Untuk Kalian yang Mencintai Kita
Mau baca Pull String lengkap?

4. Jatuh Sakit

31K 5K 939
By Bellazmr

Bagian Empat

Yang mau ikut silakan. Ini semua seminar online—Btw yang mau ngundang aku ke acara kayak gini juga, silakan DM dulu ya ke instagram bellazmr. Dan kalian follow juga ya

Follow juga spotify aku : Bellazmr, denger deh lagu lagu favorit aku di dalam playlist berjudul Eartone 🙃
____

Kalaupun memang harus semuanya kembai dimulai dari 0, semua bisa saja... jika bersama. Tapi nyatanya, kamu tak lagi sama--Laras

Pada segala hal yang rumpang di dalam bidup, bisakah kamu menjadi satu-satunya tempatku berpulang--Wira

-Pull String-

Suara gemuruh terdengar dari atap rumah. Langit Jakarta sedang mengeluarkan kesedihannya malam ini, ah tidak! Tapi sejak pagi tadi, hujan sudah mengguyur setengah wilayah Jakarta.

Sejak pukul dua siang, berita mengenai banjir mulai tersebar di seluruh penjuru negeri. Titik yang biasanya menjadi langanan banjir langsung menjadi sorotan, sebut saja di Jakarta Barat ada enam lokasi rawan banjir seperti Kawasan Slipi, Meruya, Arjuna Selatan, hingga Citraland. Jakarta Selatan dengan tiga belas lokasi rawan banjirnya, Kemang Raya dan Iskandar Muda menjadi titik utama. Begitu juga dengan Kawasan lainnya, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, hingga Jakarta Utara.

Aku pernah membaca beberapa prediksi pakar ahil bahwa 30 tahun mendatang, sekitar tahun 2050, Jakarta akan tenggelam karena permukaan air laut yang semakin naik ditambah kondisi drainase Jakarta yang tak kunjung baik.

Yang aku sesalkan adalah tanggapan masyarakat, mereka selalu pedas mengomentari bahwa semua ini salah pemerintah. Pemerintah tidak tanggap! Pemerintah kurang mengerti kondisi! Pemerintah hanya memakan uang rakyat! Padahal di sini konsepnya sederhana kalau masyarakat mau mengerti konsep, "Perbaiki dulu diri sendiri, baru mengomentari orang lain."

Yah, mereka—masyrakat yang hobi mengkritisi pemerintah, tapi tidak sadarkah mereka bahwa lingkungan makin rusak, ya karena mereka juga. Pernah melihat tukang bakso yang buang sisa makanan di selokan? Hal sederhana seperti itu saja kalau terus-terusan dilakukan, bisa berdampak buruk juga terhadap lingkungan. Begitu.

Aku menghela napas, menutup handphone yang sejak tadi kuamati layarnya. Lantas aku menghela napas panjang dan beranjak menuju balkon kamar dengan segelas kopi hitam yang baru saja kubuat.

Ini sudah hampir pukul sebelas malam, aku tidak bisa tertidur karena kepalaku terasa sangat berat. Bodohnya, aku malah berada di balkon yang jelas-jelas hujan sambil menyesap kopi hitam.

Sudah dua hari aku terkena flu, entah mungkin karena hampir satu minggu setelah bertemu Laras yang kulakukan hanyalah menghabiskan waktu untuk kerja, bahkan tampaknya baru hari ini aku tidak mengambil shift malam. Semua kulakukan untuk pengalihan pikiran yang akhir-akhir ini memenuhi isi kepalaku.

Bagaimana jika Laras benar-benar pergi?

Mataku lurus menatap bulir air hujan yang satu persatu turun membasahi taman, jalan, atau bahkan orang-orang yang mungkin belum pulang ke rumah.

Tak lama kemudian, saat pikiranku masih merebak pada hal-hal yang ke depannya mungkin akan terjadi. Ketukan pada pintu membuyarkan lamunan itu, aku menoleh, alisku berkenyit. Di rumah ini hanya ada dua orang, aku dan Rianka—asisten rumah tangga selalu pulang setiap akhir pekan, maka jelas aku sedikit bingung.

Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam kamar untuk membuka pintu.

Benar, Rianka sedang berdiri di depan daun pintu kamarku sambil memeluk boneka Doraemon yang sengaja ia bawa saat pindah ke sini. Emon, begitu dia memanggil boneka kesayangannya itu.

Melihatnya gelisah, aku menunduk untuk menyamakan tinggiku dengannya.

"Kenapa?"

"Rianka nggak bisa tidur, Om," ujarnya meragu.

Aku masih menatapnya yang sesekali melirik ke arah dalam kamarku. "Kenapa nggak bisa tidur?"

"Petir, Rianka nggak suka petir." Dia menarik napas panjang, wajahnya terlihat takut ketika suara gemuruh petir terdengar di atas atap. "Biasanya kalau hujan seperti ini, ibu dan ayahtidur di kamar Rianka terus peluk Rianka dari kanan dan kiri." Pernyataannya membuatku tertohok, ibu dan ayah ya...

Aku berhasil menutupinya dengan senyum yang masih bertengger di mukaku.

"Bude nggak ada, Rianka bener-bener takut dan nggak bisa tidur."

Seolah paham maksud Rianka, aku tetap memasang senyum menenangkan. "Rianka mau Om temani?" Jujur kalimat ini begitu canggung saat kukatakan, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak punya pilihan.

"Nggak ngerepotin? Om..."

Aku tersenyum tipis, "Nggak kok."

Rianka menganggukan kepala, sekilas aku dapat melihat dia ikut tersenyum sambil masuk ke kamarku.

Berhubung tempat tidurku lumayan tinggi untuk tubuhnya yang masih kecil, aku membantu gadis delapan tahun itu untuk naik. Kemudian, aku berbaring di sebelahnya... sekian tahun, baru kali ini aku merasa sangat aneh, tidur dengan gadis kecil—yang bertahun-tahun tidak mengetahui bahwa aku adalah ayah kandungnya.

Aku diam sambil menatap langit-langit kamar, bunyi hujan satu-satunya yang menjadi pemecah kesunyian di antara kami. Rianka, anakku itu, sudah berbaring di sebelahku.

Aku menegok, dia sedang merapatkan pelukannya pada boneka.

"Rianka." Kemudian, aku memiringkan tubuh, tanganku menumpu kepala. "Selama ini ibu dan ayah pernah cerita sesuatu nggak yang bikin Rianka bingung?"

Dia menoleh, sorot matanya kelihatan bingung.

"Maksud Om?"

"Ehm..." bilang bego, kalau lo adalah ayahnya, semua sudah di ujung lidah, tapi yang kurasakan hanyalah kelu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa.

"Ibu dan ayah sibuk dengan dua adik Rianka," tuturnya pelan. "Pas Rianka bilang kalau setiap hujan ibu dan ayah peluk Rianka, sebenarnya itu dulu banget... Kalau hujan seperti ini, Rianka biasanya ditemani oleh bude."

Kalimatnya membuatku membisu.

Rianka mengawang, kemudian ia bercerita. "Waktu itu, ibu pernah kegugutan. kata ayah."

"Ibu kamu pernah keguguran?" Aku kaget, tidak tahu bahwa Kania menyembunyikan ini dariku.

Rianka mengangguk. "Ayah bilang, itu kesalahan Rianka karena saat itu ibu keguguran karena datang di lomba karate Rianka."

Napasku menderu berat, mataku menatap Rianka yang bercerita tanpa ekspresi. Untuk bocah berusia delapan tahun, aku tidak mengira bahwa Rianka—anak semata wayangku harus menghadapi semua ini. Sialnya, mungkin karena terbawa suasana, air mataku menetes.

"Rianka sekarang masih bingung, kenapa Rianka di sini?" Tanya Rianka, "Kenapa Rianka tinggal sama Om, pad— loh, Om kenapa nangis?" Dia ternyata sudah menoleh ke arahku, aku tertangkap menangis di sebelahnya. Dia menggeser posisinya untuk mendekat ke arahku. "Om kenapa?"

Segera, aku menggeleng.

"Maafin Rianka ya Om, kalau Rianka nyusahin Om selama tinggal di sini."

"Kamu nggak ngerepotin Om, kok," sahutku segera.

Dia diam, menarik napas dan masih setia menatapku. "Pas di mobil mau ke sini ibu bilang satu hal ke Rianka yang sampai sekarang nggak Rianka pahami."

"Apa?"

"Gimana kalau Rianka bukanlah anak kandung ayah?"

Seolah tertikam cakar yang sangat tajam, dadaku nyeri mendengar ucapan itu.

"Memangnya, itu benar ya Om?" Dan aku sama sekali tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata apa. Selain tersenyum dan menyuruhnya untuk tidur.

-Pull String-

Pukul lima, ketika aku sudah menyelesaikan ibadah sholat subuh. Tanganku tidak sengaja menyentuh permukaan tangan Rianka saat ingin menarik selimut. Tubuhnya panas, saat aku mendekat suara igauannya terdengar nyata.

Beberapa kali dia menyebut ibu dan ayah.

Pagi itu, aku mendadak panik. Aku berusaha membangunkan Rianka, mengajak Rianka untuk segera rumah sakit, aku tidak mau dia kenapa-kenapa.

Sialnya, aku baru tersadar bahwa mungkin saja Rianka demam karena tertular olehku yang sudah duluan flu. Aku benar-benar panik, hingga rasanya mengabaikan kepalaku yang juga terasa sangat berat.

"Rianka," panggilku. Aku bersiap menggendong tubuhnya, aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Rianka. Sudah cukup aku memberinya kesedihan selama bertahun-tahun, aku tidak ingin semakin menambah kesan ayah buruk baginya, "Kita ke rumah sakit ya," ajakku.

Kelopak mata Rianka sudah terbuka, dia menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Nggak mau, Om."

"Rianka..." aku berusaha membujuk. Bagaimanapun aku tidak mengerti cara merawat anak perempuan. Tidak mungkin aku merawatnya di rumah. "Om panggil dokter ya."

"Nggak mau, Om," rengeknya sekali lagi.

Aku tidak mengerti, panik menguasaiku. Ini kali pertama di dalam hidupku merasakan perasaan ini. Takut, panik, tidak tahu harus berbuat apa, maka aku berinisiatif menghubungi Bibi, siapa tahu bibi bisa datang untuk membantuku.

"Halo, Bi."

-Pull String-

"Demamnya bakalan segera turun, pastiin aja kalau dia minum obat."

Aku terpaku, pandanganku masih mengarah kepada Rianka yang masih tertidur.

"Wira," tiga kali panggilan setelah ucapannya itu, aku baru mengerjap.

"Paham, Ras." Laras. Dia adalah Laras, orang yang akhirnya datang untuk membantuku merawat Rianka. Bibi tidak bisa datang karena sanak keluarganya mengadakan hajatan, aku berusaha pengertian terhadap itu.

Membujuk Rianka untuk ke rumah sakit atau memanggil dokter berhasil membuat anak itu menangis duluan sebelum hal itu dilakukan.

Laras, dia yang pada akhirnya kuhubungi.

Aku tidak berharap banyak saat menanyakan beberapa hal mengenai cara merawat anak, dia jawab saja itu sudah syukur sekali bagiku. Dan nyatanya, Laras malah datang. Aku tidak paham terbuat dari apa hati Laras ketika dia berbesar hati membantuku yang sudah membohonginya.

Saat aku masih diam, Laras kembali pada Rianka. Dia mengambil kompres yang berada di dahi Rianka, memasukan kompres itu ke dalam wadah air, lantas memerasnya untuk kembali ia taruh di atas dahi Rianka.

Kemudian, Laras mengusap puncak kepala Rianka.

Satu hal yang pada akhirnya membuat aku mendongakkan kepala, menghindari sedih yang memenuhi dadaku sekarang.

Sekian menit, aku hanya melirik-lirik Laras dan apa yang ia lakukan. Mengecek suhu Rianka, membenarkan selimut, mengusap puncak kepala anak perempuan itu, bahkan sesekali memijit pelan lengan dan kaki Rianka.

Baru saja aku ingin meliriknya lagi, ternyata Laras sudah berada di hadapanku. Dia menatapku lurus.

"Makan dulu, gue tahu kalau lo belum makan dari tadi pagi." Laras berlalu setelah mengatakan itu, melewatinya yang kini begitu mendamba akan hadirnya dia.

Aku mengikuti Laras. Dia berada di dapur, mencari sesuatu yang bisa ia masak. Dia sempat menarik napas legah ketika menemukan lemari es penuh dengan bahan masakan, semua dilakukan oleh bibi—dia yang ke pasar untuk belanja banyak keperluan, apalagi semenjak ada Rianka. Aku berpesan agar bibi selalu menyediakan makanan sehat untuk Rianka.

Laras menguncir rambutnya yang tadi terurai, ia mulai berkutat dengan urusan dapur.

Aku tidak pernah meragukan Laras untuk masalah yang satu ini, mama pernah bilang bahwa Laras sangat jago masak. Dan semua terbukti saat aku sakit waktu itu.

Yang kulakukan kini hanya bertopang dagu, menatapnya dari kursi meja makan. Dia sibuk membersihkan ayam, merebus air, memotong bawang. Entahlah aku kurang paham, tapi jujur, melihatnya ada di sini, membuatku merasa sedikit demi sedikit menemukan potongan yang runtuh.

Laras memang tidak bicara mengenai apa yang terjadi di antara kami, bahkan sejak ia datang yang ia bicarakan hanyalah kondisi Rianka. Aku paham bahwa dia sangat berhasil mengesampingkan hubungan kami yang buruk.

Berbelas menit menatapnya sibuk, aku berdiri dan berjalan pelan menuju ke arahnya. Dia sempat melirikku beberapa detik, namun ia berusaha tidak peduli dan memilih untuk fokus memasak saja.

Ketika ia membelakangiku, aku akhirnya nekat merapatkan tubuhku ke arahnya dan memeluknya dari belakang.

Aku dapat merasakan bahwa tubuh Laras sangat tegang. Sekian detik berada dalam pelukanku, ia seolah tersadar dan bersiap meronta. Segera aku menahannya.

"Bentar aja..."

Dia tidak menjawab, dari gerakannya yang masih berusaha melepaskan. Aku tahu bahwa dia menolak untuk kupeluk.

Aku kukuh dan menahan kedua tangannya untuk meronta, lantas dalam satu kesempatan, aku berhasil merapatkan lebih dalam pelukan itu. Tanganku berada di perutnya, sedangkan daguku bersandar pada bahunya.

"Bentar aja," bisikku sekali lagi. Mataku mulai terpejam, merasakan dada yang mulai berdesir hangat. Rasanya sangat tenang. Seperti ini... aku ingin selamanya.

Mungkin karena lelah, dia menyerah.

Aku menarik napas dalam, merasakan aroma rambutnya yang begitu harum. Aku benci mengakuinya, tapi dia adalah perempuan pertama yang aku peluk setelah kesalahanku bersama Kania.

"Maaf," bisikku di telinganya.

Dia tidak menjawab.

"Gue nggak tahu lagi harus gimana sekarang, Ras... gue..." Sesak memenuhi rongga dadaku, aku tidak sanggup untuk berkata lebih banyak. Dan tampaknya, Laras juga tidak peduli dengan semua ucapan maafku.

"Gue boleh tanya satu hal?"

Dia masih diam, tapi kupikir itu adalah jawaban iya. Jadi aku langsung bertanya setelah menarik napas dalam dan kembali mencium aroma rambutnya yang dikuncir. Tidak hanya itu, punggung lehernya juga terasa sangat wangi.

"Kenapa lo bisa? Kenapa lo kuat... Rianka," aku tidak bisa merangkai kata lebih baik, bahkan semua kukatakan dengan nada terputus-putus.

Laras menarik napas, mengembuskannya. "Gue emang benci sama apa yang lo lakuin dulu hingga Rianka hadir, tapi kehadiran Rianka... bukanlah bencana, dia anugrah Tuhan yang hanya datang di waktu yang kurang tepat. Gue nggak bisa benci sama dia."

Aku membisu. Di waktu itulah, Laras berhasil melepaskan diri dan menahanku untuk kembali memeluknya.

Aku segera bicara, "Gue salah Ras, seandainya bisa... gue nggak mau ngelakuin itu, gue—"

Dengan tenang, Laras menatapku, menemukan mataku yang jelas hanya ada nilai salah di dalam maniknya. "Tapi nyatanya semua udah terjadi kan? Menyesal nggak akan pernah bisa balikin semuanya Wir, yang harus lo lakuin cuma jalani dan tanggung jawab atas semua yang pernah lo lakuin," tutup Laras dan kembali sibuk dengan masakannya.

Kami kembali diam satu sama lain, hingga suara Laras terdengar meskipun ia bicara tanpa menatap ke arahku. "Setelah makan lo istirahat, biar Rianka gue yang jaga."

Laras mencuci beras, suaranya terdengar beradu dengan air yang mengalir, tapi aku masih bisa mendengranya. "Gimana bisa orang yang sakit menjaga orang yang sakit?"

Bersambung

1. Apa perasaannya setelah membaca bab ini?

2. Masih kuat nih tim Waras? Kuatttt?

3. Boleh dong, menurut kamu sampai bab ini cerita Pull String itu gimana sih?

4. Lanjut bab 5, yay or nay.

Salam. Rianka. (Mungin kalau suatu hari Rianka ada cerita juga, bakalan seru J YAP... SUATU HARI, ENTAH KAPAN)

Continue Reading

You'll Also Like

887K 136K 132
8 Mahasiswa dan 8 Mahasiswi penuh drama yang kebetulan tinggal di kompleks kostan bernama, "Kost Boba" milik Haji Sueb. Moto Kost Boba Boy. "Aibmu ad...
138K 20.2K 55
RANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpiade [17.10.2020] Gimana rasanya suka sama...
25.5K 780 7
Aku Zahra Qanitah Al Hafidzah Wanita perindu Syurga milik Allah hingga aku merelakan seseorang yang seharusnya menjadi milik hatiku. Dan Aku Zahra Q...
634K 67.7K 43
Antara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.