Seamless (TERBIT)

By meydiy

390K 54.6K 45.6K

*** PEMENANG WATTYS 2021 *** (SUDAH TERBIT DI PENERBIT OLYMPUS) CONTENT WARNING!!! Selamat Datang di JIPS; se... More

Prolog
1. Januariz
2. Stranger
3. Tribunnews
4. March
5. April
6. Kesukaan Tomori
7. Lomba
8. Juni Stanley
9. Ulang Tahun Juli
10. Boneka JIPS
11. August
12. Jangan Takut
13. Bertemu Lagi
14. Yue
15. Novesh
16. Realita
17. Dugaan
18. Mencari Jawaban
19. Sebuah Harapan
20. Tim April
21. Red Blood Yang Buruk
22. Reaksi
23. Larangan
24. Bermuka Dua
25. Rahasia Antara Mereka
26. Ada Apa Dengan Juli?
27. Pembunuh
28. Panic Room
29. Runtuh
31. Sedikit Cerita
32. Peneror
33. Kenyataan
34. Bergabung di Tim April
35. Kesialan
36. Berantakan
37. Kesalahan Yang Sama
38. Bahaya!
39. Satu Hal Lagi
40. Hangat
41. Mengungkapkan Kebenaran
42. Lingkungan Baru
43. Bermula
INFO TERBIT
INFO TERBIT (2)
VOTE COVER
INFO TERBIT (3)
TERBIT!
OPEN PRE-ORDER !

30. Disalahkan

4.6K 1K 871
By meydiy

April mendengar banyak desas-desus dari setiap orang yang berdiri dengan sekumpulan kawanan mereka di depan loker, membicarakan tentang Juli yang sempat menjadi sorotan publik kemarin. Beberapa di antara mereka membuat asumsi sendiri bahwa Juli tertekan karena karir-nya atau mungkin bertengkar dengan Juni? 

Opsi terakhir sangat mustahil mengingat kakak-beradik itu tak pernah bertengkar atau memisahkan diri satu sama lain.

"Atau mungkin karena Juli kelamaan jomblo?" tanya Tomori saat melihat April sedang terpaku pada sekumpulan gadis bergosip di sampingnya. April berdecak mendengar sanggahan sahabatnya yang terdengar sangatlah konyol.

"Ngapain sih lo ikut-ikutan bikin asumsi sendiri?" protes April.

"Yah, biar seru aja. Habis, gue nggak dibolehin gosip sama orang-orang di kelas gue."

"Bagus dong kalau gitu, biar lo bisa terapin anti gosip setiap hari."

Tomori mengerucutkan bibirnya, melangkah beriringan dengan April yang mulai menuju kelas mereka. "Argh! Kenapa sih susah banget dapet temen gosip?"

"Lagian buat apa lo gosip? Nggak ada manfaatnya, tahu?"

"Bergosip tuh bisa menambah pengetahuan kita tentang kehidupan orang lain, Pril," jawab Tomori membuat April menggelengkan kepalanya. "Dengan begitu wawasan kita jadi luas dan hidup kita bisa sejahtera."

"Ya, masalahnya nggak ada yang mau memperluas wawasan sama lo."

Tomori memutar bola matanya kesal, "Tahu tuh sama orang-orang di kelas gue. Hanya karena tahu gue peringkat terakhir di kelas aja pa ngejauh. Dasar anak pinter!" umpatnya. Kemudian, Tomori membekap mulutnya sendiri, tersadar bahwa gadis yang berdampingan dengannya juga termasuk dalam kategori murid pintar. "Yah, kecuali elo deh."

April menoleh dengan dahi yang mengernyit, "Peringkat terakhir?"

"Iya. Kaget kan lo? Udah deh, gue tahu lo pasti mau pamer kan kalau lo dapet peringkat pertama? Seantero sekolah juga tahu kali, Pril."

"Nggak." April menggeleng, sekilas memperlihatkan kebingungannya mendengar jawaban itu. "Gue baru tahu kalau JIPS juga bikin peringkat di tiap kelas. Bukannya sistem pendidikan JIPS sekarang nggak berdasarkan peringkat lagi?"

"Serius lo nggak tahu kalau JIPS bikin peringkat kelas? Wah, saking sibuknya sama lomba, sih lo, jadi nggak peduli sama peringkat."

Untuk pernyataan yang satu ini, Tomori benar. April memang tidak terlalu memperhatikan peringkat di kelas karena sibuk dengan berbagai lomba sekolah. Muzdalifah pun tak pernah memberitahu apapun kepadanya, mungkin karena perkara angka atau yang disebut peringkat sudah menjadi hal yang biasa untuknya mengingat April selalu mendapatkan posisi pertama sejak ia SMP.

April pun berusaha untuk tak mengacuhkan pembahasan mengenai peringkat lagi hingga Tomori berpamitan dan meneruskan langkah ke kelas Akasara, sedangkan April membelokkan langkah kaki memasuki deretan kelas Akselerasi. Bertepatan dengan itu, bel masuk pun berbunyi. Semua siswa-siswi segera masuk ke dalam kelas masing-masing, menanti guru yang biasanya datang dua menit setelah bel berbunyi. 

Tapi, tidak untuk Januariz. 

Lelaki itu malah keluar dari kelas sembari memperbaiki letak headset di telinganya. Berjalan cuek bebek melewati April yang kebingungan di depan kelas. 

"Jan, lo mau ke mana?" April menghentikan langkah Januariz, mengamati raut wajah yang terlihat kurang bersahabat itu dengan seksama, lalu berpaling ke arah tas yang menggantung di punggungnya. "Jangan bilang lo mau bolos?"

"Jangan ngikutin gue," ujarnya datar. Kemudian meneruskan langkah tanpa melirik April lagi.

April menggelengkan sejenak. Entah kenapa ia tertarik untuk menyusul lelaki itu dibandingkan masuk ke dalam kelas. "Lo pasti nggak ngerjain tugas kan?" tebaknya, sementara Januariz pura-pura tak mendengar, namun ia sendiri tak bisa berbohong bahwa ia tak mengerjakan tugas sekolah. "Lo bisa nyalin tugas gue, Jan. Bolos tuh bukan pilihan yang tepat buat lari dari hukuman, tahu?"

"Lo sendiri? Bolos kan? Ngapain ngikutin gue?"

"Gue nggak bolos, kok. Gue tuh ngebujuk lo biar nggak bolos," jawab April.

Januariz diam setelahnya, hanya terus meneruskan langkah menuju bagian belakang sekolah.

April tahu betul tempat di mana JIPS sangatlah sepi, ruangan bela diri—juga tempat di mana Tomori biasa mengintip anak-anak karate di sana. Ruangan terbuka yang beratapkan langit asli itu sangatlah luas, di sana juga terdapat bagian tembok yang terhubung dengan jalan setapak. Biasanya tembok itu digunakan murid-murid untuk membolos dengan cara melompatinya.

April tak menyerah untuk menghentikan Januariz, ia pun bersidekap ke tembok ketika melihat Januariz telah mengambil ancang-ancang untuk melompat. "Percuma lo bolos, besok-besok juga dapet hukuman dari Bu Pundrama."

"Kata siapa?"

"Lo lupa kalau JIPS tuh ada CCTV di mana-mana?"

Januariz menghela napas kasar, memutar tubuh berhadapan dengan April yang masih bersikukuh menghentikannya. "Denger yah, anak Einstein. Soal bolos-membolos, gue raja-nya dan—kayaknya lo lupa kalau bokap gue pemilik sekolah? Jadi gue tahu kalau di bagian belakang ini, CCTV-nya udah dicabut sejak dua bulan yang lalu. Apa artinya?"

April tak menjawab hanya mengerucutkan bibirnya dengan kesal.

Januariz melanjutkan, "Artinya gue bisa bolos dan lo bisa kembali ke kelas."

April menyisir pandangannya ke setiap sudut tembok ruangan bela diri, bertepatan dengan matahari pagi yang menyinari keduanya. Gadis itu mencari kamera pengintai yang biasanya terletak di setiap ruangan JIPS, tetapi tidak ada. Januariz benar, di sana tak ada CCTV atau mungkin bisa dibilang satu-satunya ruangan yang tidak terdapat CCTV. 

Mendadak, April merasa deja vu. Mengulang kalimat Januariz yang menyinggung bahwa CCTV telah dicabut sejak dua bulan yang lalu—di mana dua bulan yang lalu adalah saat di mana Septria dinyatakan bunuh diri.

April ingat saat di mana Septria masih hidup, mengintip lelaki yang melakukan bela diri di belakang sekolah bersama Tomori untuk yang pertama kalinya dan atensinya sempat terpusat pada CCTV yang saat itu berada tepat di atas April. Alhasil, April panik, menyuruh Tomori dan Septria lekas pergi dari sana sebelum Bu Pundrama menemukan mereka menjadi kawanan penguntit.

Ingatan itu terasa samar-sama dalam kepala April, seakan memastikan apa benar ruangan bela diri punya CCTV atau tidak?

"Malah bengong lagi," gerutu Januariz. "Balik sana ke kelas."

April tidak merespon seruan itu, ia malah menatap Januariz dengan serius. "Kenapa CCTV-nya bisa dicabut? Setahu gue di sini ada CCTV kok."

Januariz berkacak pinggang, sejenak memasang tampang berpikir. "Yang gue dengar, CCTV sekolah tuh rusak. Ada yang rusakin dan diganti dengan yang baru. Kenapa?" Kemudian raut wajah lelaki itu berubah menjadi serius. 

April ragu untuk menyanggah jawaban dari Januariz karena hal itu terkesan konyol jika ia menghubungkan kematian sahabatnya dengan CCTV yang rusak. Yah, akhir-akhir ini, mungkin April terlalu banyak memikirkan tentang Septria sehingga apapun informasi yang ia dengar selalu berhasil menyangkut pautkannya dengan Septria.

"Dua bulan yang lalu, kematiannya Septria, kan?" tanya Januariz. April menjawabnya dengan anggukan pelan. "Apa lo mikir sesuatu tentang itu?"

"Apa tepatnya?"

"Kalau Septria diperkosa di—sini?" Manik mata milik April melebar ketika Januariz menjawab dengan cepat, lelaki itu berdehem canggung. "Ugh, ya, gue tahu emang nggak masuk akal, tapi—kalau CCTV dicabut tepat di hari kematian Septria, bukannya itu berhubungan, yah?"

"Lo—bisa tahu hal-hal yang nggak gue pikirkan," lirih April. "Apa selama ini lo tahu tentang Septria?"

"Januariz, April!" Keduanya tersentak saat mendengar suara Bu Pundrama yang berada tak jauh dari pintu ruangan bela diri. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Ugh, anu bu, kami—"

"Sudah jam pertama pelajaran. Januariz, cepat masuk ke kelas!" Januariz mengembuskan napas kasar, niat bolosnya menjadi gagal karena terlanjur ketahuan oleh seorang guru konselor. Lebih baik untuk mendapat hukuman dari guru mata pelajaran karena tidak mengerjakan tugas dibandingkan menerima hukuman guru killer yang ada di hadapannya ini. Lantas, Januariz menunduk sopan dan berjalan kembali memasuki sekolah. Sementara itu, Bu Pundrama mengalihkan atensi ke arah April yang juga berniat untuk pamit. "Sebentar, April. Ikut ibu, ada yang ingin ibu bicarakan dengan kamu."

🐾🐾🐾

Berada di ruangan konseling dengan suasana didominasi keheningan, April berusaha untuk menenangkan diri di hadapan Bu Pundrama. Sebelumnya, April telah disuguhkan video CCTV berdurasi sepuluh menit yang menangkap kejadian di mana Juli pingsan di toilet, sesaat sebelumnya mereka terlibat perbincangan singkat yang tentu saja tak begitu jelas bagi Bu Pundrama. Hanya April dan Juli-lah yang tahu, apa yang mereka bicarakan.

Bu Pundrama menekan tombol pause melalui remote yang ada dalam genggaman dan memutar kursi, menatap April penuh intimidasi.

"Apa yang kamu lakukan dengan Juli di sana, April?"

April tergugu dalam beberapa saat. Tatapan guru konselor itu seakan menyudutkannya dengan memberi tahu bahwa ia salah besar—salah karena terlah berhadapan dengan seorang Juli.

"Ugh, saya—saya hanya bertanya—"

"Jelaskan dengan baik!"

April membasahi bibirnya, menatap Bu Pundrama dengan ragu. Satu keyakinan yang ada dalam diri April adalah ia tak melakukan kekerasan fisik kepada Juli, ia tak perlu takut.

"Saya hanya bertanya tentang Septria."

Raut wajah Bu Pundrama berubah menjadi nanar. Ia berdehem pelan ketika menyadari bahwa April mulai mengernyit bingung ke arahnya.

"Septria?" Demi melihat April tidak kebingungan, Bu Pundrama kembali menetralkan raut wajahnya. "Apa yang ingin kamu ketahui tentang Septria?"

"Mereka sekelas dengan Septria. Saya hanya ingin bertanya apa dia tahu sesuatu tentang teman sekelas mereka?"

"Apa yang akan kamu lakukan jika kamu tahu tentang Septria, April? Dia sudah meninggal!"

April bungkam tanpa respon apapun. Tak ada gunanya berbicara dengan guru-guru JIPS, mereka hanya selalu mengatakan hal-hal omong kosong yang tidak diharapkan April. Menjelaskan apapun seperti tak membuahkan hasil barang sedikit saja.

"April, kamu siswi berprestasi di sini. Ibu tidak ingin kamu kehilangan arahmu sebagai siswi berprestasi. Kamu mengerti maksud ibu, bukan?"

April mengangguk paham. Ia tahu bahwa Bu Pundrama mengkhawatirkan beasiswa-nya jika ia melakukan hal yang berbanding terbalik dengan pihak sekolah. Bu Pundrama bahkan ada di ruangan kepala sekolah ketika kepala sekolah menampar pipi April.

"Ibu takut, suatu saat tak bisa melakukan apa-apa untuk kamu dan Ibu akan sangat menyesalinya," lanjut Bu Pundrama.

"Maksudnya apa, Bu?"

Bu Pundrama meneguk saliva dengan susah payah. "Juliana Stanley masuk rumah sakit jiwa, hari ini."

Sontak, gadis dengan setengah kuncir itu terkejut. "Ma—masuk rumah sakit jiwa, bu?"

"Ya, menurut laporan Junest, keadaan mentalnya mulai terganggu sejak berada di dalam toilet denganmu tiga hari yang lalu." Bu Pundrama menjelaskan dengan wajah serius. "Maka dari itu, Ibu mohon. Berhenti mencari tahu tentang Septria. Keingin-tahuanmu bisa mencelakai orang lain, April."

"Sa—saya tidak mengerti. Saya hanya bertanya tentang Septria, bu. Kenapa saya bisa disalahkan sebagai penyebab Juli masuk rumah sakit jiwa?"

"Karena Juli punya trauma mengenai kematian Septria!"

Dibentak seperti itu membuat April benar-benar tersentak. Berusaha mencerna jawaban dari Bu Pundrama yang sepertinya kurang bisa menjaga omongannya di ruangan ini.

Tangan April bergetar mendengar kenyataan yang baru saja terlontar sedangkan Bu Pundrama mulai merasa bersalah. Entah bersalah karena sudah membentak April atau bersalah karena sudah keceplosan di depan wanita itu.

"Baiklah, kamu bisa keluar. Sudah cukup penjelasanmu hari ini dan Ibu mohon ... berhenti mencari tahu tentang Septria atau Ibu tidak akan bisa membantumu lagi."

April tak banyak berkata-kata lagi setelahnya, ia beranjak sambil menundukan kepala seraya mengucapkan terima kasih dan berpamitan dengan bahasa tubuh.

🐾🐾🐾

Keluar dari ruangan konseling, April berjalan dengan langkah gontai menuju kelasnya. Merasakan bahwa perasaanya semakin tercampur aduk—tepat saat mendengar banyak kabar yang kurang baik hari ini. Juli masuk rumah sakit jiwa—juga, ia mendapat satu kenyataan bahwa Juli punya trauma atas kematian sahabatnya.

Jam istirahat pun berbunyi. April sadar bahwa ia telah kehilangan dua jam mata pelajaran Matematika dari Pak Denis. Mungkin pada pelajaran berikutnya, April akan menerima hukuman mengerjakan soal latihan—atau mungkin tidak sama sekali karena Pak Denis jarang menghukum dirinya. Bisa dibilang, April adalah murid kesayangan guru berkumis tebal itu.

"April!" Seruan dari Juni yang memenuhi koridor kelas Akselerasi membuatnya menoleh. Ia menangkap jelas kemarahan yang ditampilkan dari raut wajah Juni. Sedangkan di belakangnya, Owy mengekor, berusaha untuk menenangkan gadis itu. "Apa? Apa yang lo lakukan ke Juli, huh?"

"Juni, gue udah bilang lo tenang dulu."

"Shut up, Owy! Lo semua terlalu banyak nyembunyiin hal-hal bodoh dari gue dan gue muak sama kebohongan kalian!"

"Tapi ini di sekolah, Juni. Banyak orang yang lihat," bisik Owy.

Juni tak mengindahkannya, hanya terus maju ke arah April yang tak berkutik di tempat. "Jangan diem aja, Pril! Gue yakin 100 persen lo bukan cewek bodoh di sekolah ini, lo punya mulut, kan? Lo masih bisa ngomong, kan?"

"Gue—" April ingin sekali bersuara, menyinggung tentang Septria di depan umum, namun entah kenapa bibirnya terasa kaku. Menyusun berbagai kata-kata pun tak ada gunanya karena mendadak, April merasa isi kepalanya kosong.

Juni mendengkus, mulai maju selangkah mendekati April dan mencengkeram lengan gadis itu. "C'mon April! Bilang yang sejujurnya apa yang terjadi sama kalian?" April merasa bahwa fisiknya melemah ketika Juni mulai mengguncang tubuhnya kasar. "Atau lo harus gue tampar biar lo bisa ngomong, huh?"

Baru saja ingin menepis cengkeraman Juni, April disadarkan dengan tautan dari jemari seseorang yang menariknya keluar dari cengkeraman Juni tanpa melepaskan genggaman tangannya sekalipun. April pun menoleh, baru saja sadar bahwa yang telah menarik dirinya adalah Januariz.

Ya. Januariz lah yang membawa April bersembunyi di belakang tubuhnya, menghalanginya dari Juni yang sudah terlihat sangat geram.

"Minggir, Jan. Gue nggak ada urusannya sama lo!" seru Juni.

"Lo bisa selesai urusan lo sama April tapi bukan di sekolah," balasnya, datar. Kemudian, Januariz menarik April—menjauhi koridor sekolah yang terdapat banyak pasang mata dengan isyarat penasaran.

Meski belum sepenuhnya tenang, April merasa lega. Setidaknya, Januariz telah membawa April ke tempat di mana tak ada satu pun yang menatapnya penuh intimidasi sekarang.

🐾

🐾

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 481K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
2.1M 206K 53
Story by @andhyrama [Sudah tersedia di berbagai toko buku!] Aku Naga yang ingin bebas! Bagaimana tidak? Aku yang hobinya memasak di dapur dan tidak s...
20.2K 1.6K 24
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
1.4M 142K 54
Dari 5.000 murid Hanya 50 yang lulus Di saat puluhan ribu orang harus mengikuti ujian masuk dengan persentase kelulusan di bawah 19%, Alexandra Jane...