Pull String

By Bellazmr

2.1M 208K 39.6K

#RAlSeries-2 Dilaras Sekarayu. Dia bisa mengambarkan rancangan dirinya di empat atau lima tahun mendatang. R... More

1. Benar Saja
2. Prau
3. Kutu Kupret
4. Genjatan Senjata
5. Spesies Langka
6. Obat Sebuah Penyakit
7. Harapan Bertemu
8. LDR Terjauh
9. Pernikahan
10. Yang Tak Pernah Ada
11. Daftar Rencana
12. Nama Tanpa Cerita
13. Sebelum Jatuh Cinta
14. Tanpa Kabar
15. Jemari Bertaut
16. Dua Kali Air Mata
17. Manusia dari Kerak Neraka
18. Geranium tak Bersalah
19. Pengaruh Tempat terhadap Jawaban
21. Perempuan Keras Kepala
23. Saling Melibatkan
27. Selucu Itu
28. Semua Tentang Wira
29. Sudah (TAMAT)
1. Sepenggal Kisah
2. Permulaan
3. Tertinggal
4. Jatuh Sakit
5. Kata Pergi
8. Mau kamu apa!
SPIN OFF-Pull String
SPECIAL PART (TENTANG)
Untuk Kalian yang Mencintai Kita
Mau baca Pull String lengkap?

25. Kata Kita yang Nanti

35.7K 5.5K 2.2K
By Bellazmr

BAGIAN DUA PULUH LIMA

Mencintai yang paling dalam adalah ketika manusia sudah melibatkan Tuhan. Bukan berdoa untuk kembali memiliki, melainkan berdoa agar hati mampu mengikhlaskan dia yang sudah beranjak pergi.

Bahagia sementara, sedih juga sementara. Kalau kamu tidak baik-baik saja hari ini, percayalah akan ada waktu dimana kamu sembuh dari semua luka itu. Ini hanyalah sebuah perjalanan untuk menemukan dan ditemukan, perjalanan yang membawa kamu menjadi lebih dewasa.

-Pull String-

April 2020 ini terlihat berbeda dari satu tahun yang lalu, dimana dulu aku hanya disibukkan dengan hubungan pasangan jangka pendek. Namun tidak sekarang, Juna adalah jawaban dari segala hal yang aku inginkan.

Sejak awal bulan, aku sudah mempersiapkan ulang tahun Juna. Ya, dia ulang tahun hari ini. Sebagai perempuan yang menetap di hati dan harinya, jiah. Aku ingin memberi kejutan untuk Juna, sederhana saja. Makan malam berdua di rumahnya yang semuanya aku rancang sendiri.

Seharian penuh, Juna sengaja diajak keliling oleh Pak Ginting dan Suster Ratih, entah itu check up, makan di luar,apapun itu yang penting lelaki itu tidak berada di rumah.

Selama mereka pergi,  aku mendekor makan malam untuk kami berdua, semuanya terlihat sangat indah. Aku bahkan memasak sendiri.

Aku terkekeh pelan. Kalau sekarang ada Alia, dia pasti akan berteriak kecang kencang di depan telingaku. "Makan tuh cinta! Dasar bucin."

Tidak masalah, aku memang sudah kelewat bucin sekarang, hari-hariku tampak begitu menyangkan. Naik gunung kini tidak jadi pelarianku ketika suntuk, melainkan mengobrol dengan Juna. Pengalaman naik gunung yang Juna lakukan lebih menyenangkan untuk didengarkan, ketimbang mencoba melakukannya langsung.

Ya Tuhan... kini aku senyum-senyum sendiri.

Sekali lagi, aku memoles blush on berwarna oranye ke pipiku. Aku tersenyum puas atas semua keberhasilanku, mulai dari dekorasi, masak, hingga berdandan. Semua sudah sempurna, tinggal menunggu Juna datang.

Menurut kabar Suster Ratih, sepuluh menit lagi mereka akan tiba.

Maka setelah memastikan sekali lagi jika semuanya perfecto numbero uno, aku berlarian menuju pintu untuk menunggu kedatangan Juna.

Yang dikatakan Suster Ratih memang benar adanya, sepuluh menit kemudian mobil yang dikemudikan Pak Ginting terdengar memasuki perkarangan rumah.

Kedua tanganku sudah memegang cake berukuran sedang yang juga kubuat sendiri. Aku tidak main-main ketika mengatakan bahwa semuanya kusiapkan secara pribadi, dari hal-hal kecil seperti ini saja, memang kutangani sendiri.

Pintu dibuka. Juna masuk sambil dituntun Bude Ratih.

"Jangan beri tahu dulu semua ini sama Laras, Sus. Saya nggak mau dia kepikiran." Juna masuk sambil bicara, membuatku refleks menahan langkah dan bibir untuk bernyanyi

Suster Ratih tampak ingin berkata bahwa aku aku berada di sektiar mereka dan mendengar apa yang dikatakan oleh Juna.

Jelas karena tidak bisa melihat, Juna jadi tidak tahu keberadaanku. Sengaja aku menahan Suster Ratih untuk memberi tahu keberadaanku.

Juna melangkah dengan bantuan tongkatnya. Menapaki keramik rumahnya yang berpetak cukup besar.

"Saya masih harus berpikir cara ngomong ke dia gimana. Saya udah mikirin ini hampir dua bulan."

Aku menggigit ujung bawah bibirku, menahan sesak yang mendadak hadir karena ucapan Juna.

Juna kembaliberkata. "Saya cuma bingung harus mulai menjelaskan ke Laras gimana, saya nggak mungkin tiba-tiba bilang bahwa saya akan kembali ke Australia dan menjalani hidup di sana."

Aku terpaku, setetes air mataku jatuh. Suster Ratih menunduk dalam, merasa bersalah kepadaku.

Juna terus bicara. "Saya nggak mau dia terus-terusan seperti ini, saya seperti sedang merusak banyak mimpi di dalam hidupnya," kata Juna.

Menyakitkan, bagian mana yang Juna lakukan sehingga dia pikir bahwa dia merusak mimpiku?

Tidak ada, sama sekali tidak ada. Aku malah sedang membangun mimpi untuk terus bersamanya.

Juna mendesah panjang, kemudian ia menelan ludah berharap dengan begitu mampu mengembalikan nada suaranya. "Saya pengin dia bahagia tanpa saya, tapi saya nggak tahu harus menjelaskan darimana." Namun tidak, aku dapat menangkap nada getir di balik semua perkataannya.

Setelah cukup kuat menahan rasa sakit yang ditimbulkan, aku kemudian berjalan menuju ke arahnya. Duduk di sofa yang sama dengan Juna, membuat lelaki itu sempat mengeryitkan dahi dan bepikir bahwa aku adalah Suster Ratih.

Menarik napas dalam, kemudian aku bicara dengan nada tenang. "Lo bisa mulai menjelaskan dari bagian kenapa gue harus tahu dari cara kayak gini, Jun."

-Pull String-

Juna datang, lalu meniup lilin dan memotong kue. Oh pastinya, kue pertama untukku. Aku adalah orang special untuknya. Kalau aku adalah sejenis indomie, mukin aku adalah indomie yang dimasak di restoran bintang lima.

Kemudian, aku menggiring Juna menuju ruang makan, dia akan menempati kursi paling ujung bagian kanan berhadapan dengaku, Lantas aku akan meminta Suster Ratih mematikan lampu dan aku mulai menghidupkan lilin.

Kami akan makan malam bersama dengan berpedar pada cahaya lilin, tersenyum sambil sesekali menceritakan rencana masa depan candle  light dinner yang begitu sempurna.

Itu yang ada di bayanganku. Dan Juna, sukses merusak segalanya.

Alih-alih makan malam di ruang makan. Kami mengubah tempat mengobrol kami menjadi teras samping, tempat awal kami akhirnya berbaikan.

Kami sudah saling diam hampir setengah jam, tidak ada candle light dinner sempurna, kini yang ada hanyalah kami dan penjelasan yang harus aku dapatkan darinya.

"Kalau lo masih mau diem, sampai besok pagi gue siap," bukaku. "Atau mau sampai lebaran bulan Mei, juga hayo. Nggak masalah."

Dia menoleh ke arahku, pandangan bersalah begitu ketara tercetak di wajahnya.

Sejak awal, aku sudah pernah mengatakan kepadanya bahwa aku pemarah. Benar-benar pemarah, aku sering marah hanya karena hal sepele. Kepada mahasiswa, teman, atau bahkan keluargaku. Tapi percayalah bahwa marahku ini tidak akan tahan lama, hanya sebentar kemudian menghilang bahkan terlupakan. Kecuali kepada Wira waktu itu, entah mengapa kepada lelaki itu, aku malah jadi pendendam.

Tapi ini berbeda, alih-alih marah karena dikhianati, perasaanku lebih tertuju pada perasaan kecewa.

"Ras, gue nggak bermaksud."

"Tapi pada akhirnya lo bermaksud, Jun," sambutku. "Gue nggak ngerti harus gimana lagi, dari bagian mana gue harus ngerti semua ini. Jelasin Jun.. Jelasin."

"Oke..." Dia menjeda, menarik napas dalam. "Sebelumnya gue minta ma—"

"Gue nggak perlu lo minta maaf Jun," potongku cepat. "Gue di sini, hanya pengin dengerin apa yang nggak gue tahu. Semuanya. Gue nggak mau ada satupun yang lo sembunyiin dari kita, antara lo dan gue..." Aku mengatur napasku, sesak itu kian menjadi membuat ucapanku terlihat pakai emosi. "Gue cuma pengin lo jujur, Jun. Jujur!"

Juna mengusap wajahnya. Aku tahu bahwa ini juga sama beratnya dengan dia, tapi aku sama sekali tidak membutuhkan pembelaan, yang aku butuhkan hanyalah penjelasan.

"Ras, iya... setelah waktu itu donator mata di Bandung nyatanya nggak sama kayak gue, jujur gue diam-diam cari cara baru."

Aku terhenyak, mendadak ingat mengenai kejadian beberapa minggu lalu ketika hasil uji lab mengenai donor mata keluar. Dan nyatanya, Juna tidak bisa mendapatkan donor mata itu. Aku tahu bahwa dia sangat kecewa saat itu, tapi Juna bilang bahwa itu bukan masalah. Aku jelas tidak tahu bahwa diam-diam Juna mencari donor mata sendiri.

Juna menarik napas dalam. "Gue cuma pengin semuanya kembali, Ras. Nggak enak jadi gue Ras, gue merasa nggak berguna."

Sekali lagi, Juna membuang napasnya. Terselip ekspresi getir pada wajahnya. "Lalu gue dihubungi kantor gue di Australia, mereka merasa bersalah dengan keputusan sepihak yang mereka berikan ke gue. Mereka akhirnya nawarin kompensasi dengan perawatan gue, mereka juga bantu cari donor mata dan yah... mereka berhasil menemukan itu dan dengan begitu gue harus balik ke Australia. Melanjutkan apa yang pernah berhenti kemarin."

Aku terpaku, air mataku jatuh setelah Juna mengatakan itu.

Juna menggeser posisi duduknya agar mendekat ke arahku, namun aku langsung menghindar.

"Gue tahu ini keputusan sulit, Ras. Tapi akhirnya gue nerima," ujar Juna. Seperti membangun sebuah gedung dan hanya tinggal atap sebagai penutup, lalu dirobohkan hanya sekali hantam oleh dozer, itu persisseperti yang dilakukan Juna kepadaku.

Juna telah berhasil menghancurkan semua hal yang sempat ingin kuciptakan bersamanya. Hancur tanpa sisa.

Bibir bawahku kugigit kencang, aku tidak peduli jika akan menimbulkan darah. Intinya aku berusaha menahan isakan.

"Dan lo nerima semua itu tanpa mikirin gue Jun?" Suaraku berubah parau, jelas karena dadaku begitu sesak. Aku mencoba mengatur napas. "Lo nerima tan—"

"Gue mikirin lo, Ras. Banget," potong Juna.

Aku menatapnya. "Kalau lo mikirin gue, kenapa lo nggak cerita? Kenapa lo nggak diskusiin ini sama-sama? kenapa lo langsung ambil keputusan tanpa bilang ke gue, kenapa Jun? KENAPA?" Aku mengatakannya hampir setengah menjerit, sesak ini perlu dilepaskan dan benar setelah jeritan itu, air mataku luruh dengan hebat.

Juna terdiam, namun segera menimpal. "Karena gue sayang sama lo, Ras."

Aku menggeleng, menolak ucapannya. "Jun! Itu bukan alasan Jun," erangku.

Aku berdiri, memutar berkali-kali di depannya,  seperi orang gusar dan seolah tidak percaya dengan semua ini. Aku bahkan telah menggerai rambutku yang tadi kukuncir, serius aku seperti orang gila sekarang. "Kalau lo sayang sama gue, lo tetap di sini, kita cari sama-sama solusinya."

Sekali lagi aku menjerit dan barulah tangisku terdengar kencang, tidak lagi kututup-tutupi.

"Gue nggak peduli sama perbedaan kita, nggak peduli," tekanku, luarbiasa menyakitkan.
"Yang gue tahu, kita sama-sama di sini, kita cari solusinya sama-sama. Gue nggak mau lo pergi, Jun." Aku menangis, tubuhku bergetar hebat.

Dengan meraba, Juna juga ikut turun untuk terduduk di rumput teras samping. Ia mencoba mencariku dan aku langsung menghindar, aku tidak mau disentuh olehnya.

"Ras..."

Aku mengangkat tangan, menahan Juna untuk semakin bergerak mendekat.

Air mataku semakin deras meluncur dari wajah, mungkin air mata itu sudah sangat berfungsi menghapus make up-ku malam ini.

Mataku lurus menatap ke depan, mengawang sesuatu. Dadaku sakit luar biasa, seperti sedang disayat kecil-kecil kemudian diberi perasan air lemon. Perih.

"Bertahun-tahun gue berada dalam hubungan putus nyambung, berharap bertemu laki-laki yang bisa bikin gue sayang," ujarku. "Sampai akhirnya gue bertemu lo, gue lewatin semua perbedaan. Gue nggak peduli," aku terus menekan kata nggak peduli. "Gue nggak peduli semuanya... karena gue pikir, cukup lo ada, cukup lo di sini, gue seperti punya segalanya."

Aku kembali menangis, aku duduk sambil melipat kakiku menyentuh dada, aku menyembunyikan wajahku di antara pelukanku pada kaki tersebut.

Juna menggeser, duduk di sebelahku.

"Gue yakin akan ada laki-laki baik yang bisa nerima lo Ras." Suara Juna begetar, mungkin dia juga menangis. Dia bahkan sesekali mengatur napas. "Akan ada laki-laki yang buat bersama dia, lo nggak perlu mengorbankan banyak hal Ras, lo pasti menemukan laki-laki itu. Tapi laki-laki itu bukan gue."

Air mataku semakin deras, bukan... bukan seperti ini akhir yang kuharapkan saat bersama Juna.

"Padahal gue nerima lo, Jun. Apapun perbedaan kita," sambung getir.

Juna menjawab langsung. "Lo mungkin bisa bilang gitu, Ras karena lo nggak di posisi gue. Gue nggak bisa nerima, Ras."

"Kenapa Jun.. kenapa baru sekarang?"

"Karena gue berusaha mencoba Ras, berkali-kali gue coba. Gue juga selalu berusaha berpikir bahwa gue dan lo pasti bisa... setiap gue melihat jurang yang dalam itu, gue selalu berkata kepada diri gue sendiri tenang beda nggak akan membuat seseorang dengan jalinan terikat bakalan berpisah. Sama, gue juga ngelakuin hal yang sama kayak lo. Tapi nggak bisa Ras, jurang kita terlalu dalam. Kondisi gue, keluarga gue yang begitu abu-abu, kepercayaan kita. Semuanya terlalu dalam buat disatuin."

Juna membisu sekian detik, mengatur napasnya agar lebih tenang. Di menit berikut, ia menyambung ucapannya dengan suara pelan, nyaris berbisik. "Lo berhak dapat kebahagiaan, kebahagiaan yang untuk bersamanya nggak perlu mengorbankan banyak hal. Dan bahagia itu bukan di gue, Ras. Bukan...."

Dadaku turun naik, sesaknya makin mendalam. "Gimana bisa lo bilang itu bukan lo, Jun? Saat gue percaya itu adalah lo, Juna."

"Gue minta maaf, Ras." Hanya itu yang Juna katakan sebagai akhir dari hubungan kami.

Aku tak bicara lagi, aku hanya menangis untuk melepaskan semua sesak yang tertumpuk dalam dadaku. Rasanya begitu sakit, aku bahkan tidak punya persiapan apa-apa untuk melewati hari tanpa Juna, aku mencintainya, sungguh.

Setengah jam kami saling terdiam. Aku menangis memeluk kakiku sendiri seperti seseorang yang sedang kedinginan. Kami menghabiskan malam yang seharusnya membahagiakan itu tanpa bicara lagi, kami hanya sibuk menyadari bahwa setelah ini hubungan kami tak lagi ada.

"Jun..." setelah diam cukup lama, aku akhrinya buka suara.

Aku menoleh padanya yang duduk di rumput dengan bahu bersandar pada tiang ayunan. Dia menoleh ke arahku. Meskipun pandangannya tidak pada mataku.

"Boleh gue tanya satu hal?"

Juna hanya diam, menandakan bahwa jawabannya adalah iya.

"Gue tahu bahwa selama ini nggak ada moment khusus untuk mendeklarasikan kita ini apa, tapi gue pikir kita sama-sama sudah dewasa, jadi nggak perlu lagi untuk begitu. Sekali ini aja, gue pengin tanya satu hal. Selama ini, sebenarnya lo cinta nggak sih Jun sama gue?"

Juna terdiam, wajahnya tidak bereaksi apa-apa kecuali menatap ke depan.

Aku menunggu, berharap bahwa ia mengatakan sesuatu yang mampu menjadi bekalku untuk melewati hari esok.

Setidaknya hanya ini yang mampu jadi peganganku.

Hanya ini.

Hampir empat bulan aku menemaninya, itu waku yang cukup singkat untuk semua orang, memang... tapi tidak untukku.

"Ras, gue sayang sama lo."

"Sayang dengan cinta itu beda Jun," sahutku langsung. Aku tak mau memakai istilah kata sayang. Makanan yang jatuh, sebutannya juga sayang.

Bukan meneruskan Juna malah menggeser duduknya hingga berada tepat di depanku, ia meraba-raba hingga menemukan wajahku. Dia menghadapkan wajahnya ke arahku, dalam hening aku mampu menatap wajah itu. Mungkin, untuk kali terakhir.

"Kalau gue cinta, memangnya kita bisa apa Ras?"

Pertanyaan itu terdengar begitu frustrasi, hingga sekali lagi mampu membuatku menangis.

Air mataku jatuh di tangannya yang mengusap wajahku, aku benci keadaan seperti ini. Mengapa aku harus menemukan dia, satu-satunya lelaki yang berhasil membuatku berhenti. Mengapa untuk bersama, harus sesulit ini

Pelan, Juna mencium puncak kepalaku cukup lama. Meninggalkan bekas di dalam ingatan bahwa kami pernah ada. Bahwa kami pernah bahagia, walau semua berakhir tidak bahagia.

Lagi, air mataku jatuh. Dadaku terasa memanas.

"Bahagialah Ras, karena dengan begitu, gue juga akan bahagia."

Aku menghambur memeluk Juna, seperti dia yang meninggalkan ciuman di kening sebagai akhir segalanya. Aku ingin menutup hubungan kami ini dengan pelukan hangat dan erat, agar dia tahu bahwa aku pernah begitu mengharapkannya seerat ini.

Setelah hening cukup lama, aku akhirnya bicara. Masih dalam pelukan Juna. "Lo juga Jun, gue harap lo menemukan kebahagiaan setelah ini." Dan aku cuma bisa mengatakan ini, tulus sekalipun sangat menyakitkan.

Malam itu, kami mengakhiri sesuatu yang bahkan belum sama sekali kami mulai.

Juna dan aku. Sepasang aku dan kamu yang tak pernah bisa menjadi kita.

Bersambung

nangis nggak?

Jadi gimana nih perasaannya?

Nggak mudah lo sumpah, pengin sama-sama tapi takdir nggak mengizinkan, itu berat.

Ketawa ya lu... ketawa pasti tim Wira.

Santai. Berapa bab lagi, bom baru datang. Duar! Hahah.

Pisah dengan Juna, belum tentu sama Wira. Baru juga bab dua lima.

Btw, sebenarnya aku nggak ada pengalaman jatuh cinta sama pasangan beda agama, sulit. Cuma baru menyadari dua tulisanku isinya cinta beda agama semua, menurut kalian pasangan yang sulit di satuin itu selain beda agama/beda apalagi?

Bab selanjutnya agak lama ya.... Kira-kira, satu hari dari sekarang (Tapi pakai hitungan di akhirat hehe)

Eh gini aja, kalau tembus 2000 komen deh, asal jangan spam. Biarkan komen mengalir seperti biasa dengan bacotan tim wira dan juna yang beradu HAHAHA. Sukak nih aku.

Continue Reading

You'll Also Like

9M 368K 27
Untuk semua laki-laki yang mencoba mencari tahu bagaimana perasaan perempuan. Ketahui permainan tentang seorang gadis. "Aturan mainnya, kalau peremp...
25.5K 780 7
Aku Zahra Qanitah Al Hafidzah Wanita perindu Syurga milik Allah hingga aku merelakan seseorang yang seharusnya menjadi milik hatiku. Dan Aku Zahra Q...
1.8M 25.7K 43
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
4.4M 237K 51
Vanesha Tirana tidak hadir di hari pertunangan itu. Putra sulung Salbatier berdiri begitu saja di atas tebing sore itu di depan keluarganya. Menyada...