Pull String

By Bellazmr

2.1M 207K 39.6K

#RAlSeries-2 Dilaras Sekarayu. Dia bisa mengambarkan rancangan dirinya di empat atau lima tahun mendatang. R... More

1. Benar Saja
2. Prau
3. Kutu Kupret
4. Genjatan Senjata
5. Spesies Langka
6. Obat Sebuah Penyakit
8. LDR Terjauh
9. Pernikahan
10. Yang Tak Pernah Ada
11. Daftar Rencana
12. Nama Tanpa Cerita
13. Sebelum Jatuh Cinta
14. Tanpa Kabar
15. Jemari Bertaut
16. Dua Kali Air Mata
17. Manusia dari Kerak Neraka
18. Geranium tak Bersalah
19. Pengaruh Tempat terhadap Jawaban
21. Perempuan Keras Kepala
23. Saling Melibatkan
25. Kata Kita yang Nanti
27. Selucu Itu
28. Semua Tentang Wira
29. Sudah (TAMAT)
1. Sepenggal Kisah
2. Permulaan
3. Tertinggal
4. Jatuh Sakit
5. Kata Pergi
8. Mau kamu apa!
SPIN OFF-Pull String
SPECIAL PART (TENTANG)
Untuk Kalian yang Mencintai Kita
Mau baca Pull String lengkap?

7. Harapan Bertemu

47.7K 6.9K 866
By Bellazmr

Bagian Tujuh

Orang-orang sering sekali mengenang saat mereka ditinggalkan, hingga lupa bahwa mungkin saja sebenarnya mereka juga pernah berlaku sama kepada orang lain. Meninggalkan.
____

—Pull String—

Hari ini tepat satu minggu, setelah kepulanganku ke Jakarta. Dan yah, tepat satu minggu juga aku berpisah dengan Wira.

Satu minggu yang lalu, dua jam setelah Wira datang ke kamar hotelku. Dia pergi ke Pekanbaru, mengambil flight paling malam. Panggilan dari atasan, membuat dia tidak bisa menolak, sudah kewajibannya sebagai abdi negara. Siap ditempatkan dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa saja.

Esoknya, aku menyusul pulang ke Jakarta. Meskipun dalam kalender akademik dinyatakan libur, sebagai seorang dosen... aku tak pernah benar-benar libur. Ada tugas yang sewaktu-waktu memanggilku, seperti bimbingan mahasiswa, seminar karya ilmiah, atau bahkan riset penelitan.

Setelah hampir satu minggu aku berada di Bogor. Mengurusi ini itu tentang perkuliahan, malam tadi aku kembali ke Jakarta. Dan siang ini, aku ingin meliburkan diriku sejenak dari rutinitasku yang padat. Keliling Grand Indonesia, tampaknya, adalah pilihan paling tepat.

Selain keliling Grand Indonesia untuk merehatkan diri, tujuanku ke sini juga untuk bertemu dengan seseorang.

Juna.

Sejak kejadian di Bali, kami memang intens menghubungi. Tidak dua puluh empat jam sih, seperti yang dilakukan ABG jaman sekarang. Tapi minimal, kami menyempatkan diri untuk berbagi cerita yang kami lakukan hari tersebut.

How was your day?

Gimana hari ini? Penelitiannya lancar?

Atau

Jun, Belitung gimana?

Iya. Juna sekarang berada di Bangka, katanya dia sedang ada proyek di Bangka Botanical Garden. Dan malam tadi, ia ke Jakarta—ada proyek lagi. Aku tidak tahu proyek macam apa yang ia kerjakan, Juna paling hanya bilang "Mudah. Nggak jauh-jauhlah dari hal berbau hutan."

Nah, berhubung hari ini dia sedang kosong dan aku sudah berada di Jakarta. Kami menyempatkan bertemu, agak cringe sih... sudah tua tapi ketemuannya di mall.

Aku melirik handphone,sudah satu jam berlalu sejak jadwal janjian kami. Chat-ku belum dibalas oleh Juna, masih centang satu. Menelpon juga percuma, calling bukan ringing. Aku bingung dimana Juna sekarang, apa dia melupakan janjian kami atau tidak. Sedikit demi sedikit, aku memupus harapanku untuk tidak terlalu berharap kepadanya. Dan untuk mengalihkan rasa kecewa itu, aku memilih untuk masuk ke dalam Ranch Market yang berada di East Mall Grand Indonesia.

Besok, aku masih berada di Jakarta. Dan tiba-tiba saja kepikiran untuk masak sapo tahu favorit bunda. Semalam saat aku datang, bunda sempat ke kamarku, menanyakn kabarku selama satu minggu lantas secara gambling mengatakan rindu sapo tahu buatanku. Yah... gini-gini, di antara Riza dan Alia, aku yang paling pintar masak.

Sempurna banget kan aku tuh?

Iyain aja.

Tanganku sudah mendorong troli yang tadi aku ambil. Di balik genggaman itu, handphone-ku terselip, yah siapa tahu selama berbelanja, Juna menghubungiku.

Mataku menjelajahi rak demi rak bahan-bahan memasak yang berada di supermarket tersebut. Beberapa kali, aku berhenti untuk mengamati bahan, lantas memasukkannya ke dalam troli, jika aku anggap bahan itu akan kupakai. Dan menggembalikannya, jika kurasa bahan tersebut tidak berguna.

Hampir lima belas menit aku berkeliling supermarket dan selama lima belas menit itu juga, belum ada tanda-tanda chat-ku dibalas oleh Juna. Sehingga akhirnya, aku memilih untuk bersikap santai dan menikmati kegiatan berbelanjaku. Bagaimanapun juga, aku mengerti bahwa Juna bukanlah lelaki pengangguran yang bisa kuajak kapanku yang kumau—dia tidak begitu, dia terlalu sibuk, bahkan tampaknya lebih sibuk daripada calon mantan suami Alia. Bastian.

Ngomong-ngomong, selain pulang karena urusan penelitian dan bimbingan mahasiswa. Alasanku cepat pulang ke Jakarta adalah Alia, sahabatku itu bercerai dengan suaminya. Aku tidak tahu pasti apa yang membuat mereka bercerai, kadang aku tidak habis pikir mengapa dua orang yang saling mencintai itu terlalu memenangkan ego masing-masing.

Ah entahlah. Kadang kita terlalu mengampangkan hubungan dua orang, menganggap bahwa masalah seseorang bisa dengan mudah diselesaikan lewat kata-kata mutiara ataupun nasihat yang kita berikan. Padahal sebenarnya tidak.

Masalah seseorang, yang benar-benar bisa merasakan adalah orang itu sendiri. Kita, sebagai seseorang yang mendengarkan masalahnya, sebetulnya hanya memandang dari apa yang kita pikirkan bukan rasakan.

Pikiranku dipenuhi oleh cerita sahabatku, sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa troli yang aku dorong, menabrak troli seseorang. Aku mengangkat kepala, bersiap untuk meminta maaf.

Sampai pandangan mataku, bertemu dengan orang tersebut.

Mataku sempat membulat. Sama seperti orang tersebut. Hanya beberapa detik, aku terkejut. Karena selanjutnya, aku menyungingkan senyum lebar dan mencium tangan orang tersebut.

"Tante." Dia, wanita yang baru aja kucium tangannya adalah tante Dinar, wanita yang sepuluh tahun lalu mengatakan akan mencari menantu seorang dokter, tapi satu bulan kemarin revisi syarat biro jodoh anaknya dengan mencomblangiku dengan anaknya. Dia—Tante Dinar, wanita yang delapan hari lalu sempat heboh melihatku datang bersama anaknya. Dia—Tante Dinar, sahabat mama yang sepakat menjebak anaknya dalam hubungan aneh. Ya, dia—Tante Dinar, mamanya Wira.

Jakarta tuh luas loh. Serius. Sekitar tujuh ratus empat puluh kilometer persegi, belum ditambah lebih dari sepuluh juta jiwa. Dan lagi, Grand Indonesia itu menempati urutan pertama sebagai pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia. Tetapi apa, aku malah dipertemukan dengan Tante Dinar. Ya Tuhan.

"Ya ampun, Ras. Kebetulan banget." Tante Dinar ini, sebelas dua belas dengan bunda. Jadi maklum saja, punya sifat heboh yang lumayan mirip. Aku harus santai, dengan pengalaman menangani bunda lebih dari dua puluh tujuh tahun, harusnya aku juga bisa menangani Tante Dinar.

"Iya, tante. Sendirian aja tante?" Meskipun sebenarnya aku tidak terlalu ingin bertemu dengannya, tapi aku ingat muka galak bunda di rumah. Bisa diomelin habis-habisan aku, kalau ketahuan bersikap jutek dengan Tante Dinar. Apalagi dengan status Tante Dinar yang hampir setiap saat dibilang bunda... "calon besan."

Heh. Calon besan dari Hongkong.

Omona.

Adaw.

"Iya nih, Ras. Mama sendirian aja." Mama gengs, garis bawahi coba. Tante Dinar, agak gemas saat melihatku apalagi saat sadar bahwa tadi aku memanggilnya masih saja dengan sebutan tante. "Ras, kan mama sudah bilang. Panggilnya mama, jangan panggil tante."

Sama seperti bunda yang sepakat menyuruh Wira memanggilnya dengan panggilan yang sama seperti panggilanku. Bunda. Nah, mamanya Wira ini juga menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan mama.

Aigo! Kayak bener-bener bakalan nikah aja aku tuh sama si semprul anak Gajah Mada. Ngomong-ngomong, kenapa daritadi aku ngomong bahasa Korea mulu sih. Omo-omo-omo!

"Hehe, iya Ma." Mau tidak mau, aku revisi guys.Biasanya aku yang minta revisi ke mahasiswa, sekarang aku yang revisian sama calon mertua... katanya.

"Nah gitu dong," sambar Tante Dinar bangga. Dia bahkan mengusap-usap puncak kepalaku. "Laras sendirian juga?"

Nggak loh tante, aku tuh sama calon aku... sebenarnya.

"Iya, Ma."

"Wah kebetulan. Ke rumah Mama aja ya balik ini? Gimana? Mama mau masak nih, sekalian kan kamu ikut belajar masak. Mama mau masak masakan kesukaan, Wira loh. Bekal penting itu tuh, sebagai calon istrinya Wira."

Bentar-bentar, arah toilet dimana sih? Kok aku mual sendiri ya.

Aku hanya menyenggir saja, bingung mau merespon bagaimana.

"Mau ya? Nanti urusan bunda kamu, gampang. Entar mama yang izinin, oke-oke?" Gila ya. Mama Dinar—eh, maksudnya Tante Dinar ini. Sifatnya memang luar biasa seperti bunda saja, kalau sudah maunya, mana bisa ditentang.

"Tapi, Tante---" Ayo dong Ras, ayo bilang.... Tolak, tolak, tolak. Aku menarik napas dalam-dalam. "Laras ada ketemuan sama seseorang?" yes, akhirnya.

Jawabanku sempat membuat Tante Dinar terhenyak. Dan sial, aku jadi tidak enak sudah mengecewakan orang tua—otw kena ceramah bunda nih pulang ke rumah.

"Ketemu sama siapa, Ras?"

"Temen."

"Perempuan kan?" Mati aku.

Tante Dinar menunggu jawabanku, otakku mendadak teringat wajah menyeramkan bunda di rumah. Bisa habis aku tuh kalau bunda tahu. Dibuat lemper diriku ini sama emak sendiri.

Aku tidak menjawab sampai dua detik. Dan seketika, Tante Dinar sudah dapat menyimpulkan sendiri.

"Wira tahu nggak? Kasian loh dia kalau tahu kamu begini. " Ya elah... ini kenapa aku kayak terjebak di episode Cinta karena Cintanya Natasha Wilona sih.

Aku tersenyum tidak enak. Gimana ya, bohong nggak apalah ya kali, pakek nama Elang aja biar gampang. Minimal nggak jadi lemper deh aku pulang ke rumah, dadar gulung aja.

"Ketemuannya sama Elang, Ma. Itu Ma, sepupu Laras yang kebetulan anak bimbingan Laras juga, ngajak revisiannya di Grand Indonesia." Mohon maaf banget ya Allah, hamba berbohong.

"Oh Elang anaknya Jihan ya?"

Aku mengangguk cepat.

"Oh kalau itu mudah, suruh Elang revisian di rumah mama aja." Lah kok? Gini...

"Tapi, Tan—" Ucapanku terputus saat aku melihat layar handphone-ku hidup. Meskipun sekilas aku tahu bahwa itu chat dari Juna. Aku menghela napas panjang, membalik handphonekemudian tersenyum tipis. "Oke deh, Ma. Kebetulan Elangnya nggak jadi datang juga."

-Pull String-

Tubuhku rasanya pegal-pegal, baru saja aku selesai memasak.

Jelas, gini-gini aku dapat tanda centrang dan nilai A untuk urusan menantu idaman yang pintar masak. Meskipun sempat adu argument dengan Tante Dinar yang ngotot membantuiku memasak, akhirnya wanita berhijab panjang itu memilih untuk menyerah dan memilih untuk duduk santai di kursi dekat kitchen set sesekali menginterupsiku ini dan itu. Aku jelas tidak keberatan, alih-alih menganggapnyacalon mertua tukang suruh. Eh bentar... kok aku ngomong mertua sih? Aduh, ketularan Tante Dinar nih diriku ini.

Setelah menaruh semua masakan di meja makan dan duduk beristirahat di kursi, aku baru sadar bahwa rumah Tante Dinar sangatlah sepi. Hanya terdengar bunyi arus alir saja dari miniature air terjun yang berada di ruang tengah.

Aku masih terbengong-bengong dengan sepinya rumah Tante Dinar, saat tiba-tiba suara Tante Dinar datang dari arah belakang. "Ginilah Ras, nasib mama kalau lagi di Jakarta. Semua anak dan cucu sibuk di daerahnya masing-masing. Tante di sini cuma tinggal sendiri."

Oh ya! Aku teringat bahwa Tante Dinar memang sudah sendiri sejak Wira masih SD—suaminya meninggal dunia, sakit jantung kalau tidak salah.

"Kenapa mama nggak ikut Bang Yudis aja di Medan atau Mbak Gayatri di Semarang?"

Tante Dinar tersenyum, ia duduk di sebelahku, tangannya memegang sebuah tuxedo yang tampaknya pernah kuliah dikenakan seseorang.

"Kadang memang mama ke Medan terus ke Semarang, tapi yah... terkadang nggak enak aja ikut anak mantu, Ras. Mama selagi masih sehat, tinggal sendiri nggak apa-apa. Kasian juga kan kalau mama terus-terusan tinggal sama mereka," jawab Tante Dinar sederhana.

Aku—yang sekarang posisinya adalah seorang anak, jelas tidak akan setuju jika kalimat ini dikatakan oleh Bunda. Bagaimanapun juga, sebanyak apapun hal yang diberikan anak—tidak akan pernah cukup menggantikan apapun yang diberikan orang tua. Aku tidak akan pernah terima kalau bunda merasa canggung jika harus tinggal denganku.

Gini-gini, meskipun aku adalah lawan mengomelnya bunda. Aku sangat-sangat menyanyangi bunda.

"Ras."

Lamunanku berhenti, Tante Dinar baru saja menepuk bahuku. "Kenapa?"

Aku menggeleng, memberikan senyum terbaikku.

"Ras."

"Ya Ma?"

"Mama boleh minta tolong?" Tante Dinar bertanya.

Aku mengangguk, "Apa ma?"

Lantas, Tante Dinar memberikan tuxedo yang sejak tadi dipeluknya. "Taruh di kamar Wira ya, kamarnya ada di atas. Yang pintu kamarnya ada stiker spiderman, gantung aja di dalam lemari pakaian dia. Mama mau bicara sama bibi dulu, bisa?"

Sebenarnya aku ragu, jujur saja... gini-gini aku belum pernah masuk kamar seorang cowok, apartemen cowok saja batasku hanya ruang tamu. Aku tidak pernah mau menginjakkan kakiku di kamar seorang laki-laki, bagiku kamar adalah ruangan paling pribadi dari seseorang. Jadi dengan masuk ke dalam kamar laki-laki, itu tandanya aku telah menyentuh hal paling pribadi pada lelaki tersebut.

EH KOK JADI AMBIGU?

Belum sempat aku menjawab apapun, Tante Dinar sudah duluan melimpahkan tuxedo yang sudah dikaitkan pada gantungan baju itu kepadaku. Mau tidak mau aku menerimanya.

Tante Dinar melangkah pergi setelah mengucapkan terima kasih kepadaku.

Setelah mengembuskan napas dalam, aku berdiri untuk menuju ke kamar Wira.

Haduh.

-Pull String-

Aroma kopi menusuk indra penciumanku ketika pintu kamar yang ada spiderman-nya itu kubuka. Mataku dengan cepat menjelajahi seisi ruangan lima kali lima meter tersebut—kamar Wira.

Hampir semua barang perabotan didominasi dengan warna biru tua, entah itu seprai tempat tidur, lemari, bahkan juga meja. Di sudut kamarnya, aku dapat melihat ada beberapa barbel dengan ukuran berbeda-beda. Ah! Mungkin itu yang bikin Wira si krempeng berubah jadi Wira si otot.

Sekali lagi, aku mencoba tenang setelah kakiku kembali melangkah untuk benar-benar masuk ke dalam kamar. Kamar Wira sangat rapi, mungkin Tante Dinar setap hari rutin membersihkannya. Karena aku yakin, Wira hanya menempati kamar ini sekali dua kali semenjak dirinya menjadi polisi dan ditempatkan di berbagai daerah.

"Sorry ya Wir, sumpah nggak maksud gue tuh." Setengah berlari, aku melangkah melewati ubin-ubin kamar Wira untuk segera sampai di lemari pakaian yang berada paling sudut, lantas tanpa pikir panjang... aku juga membuka dengan cepat lemari tersebut untuk segera menggantungkan hanger.

Aku sudah siap untuk keluar dari kamar, saat handphone-ku malah berbunyi.

Alhasil, aku berhenti di dekat tempat tidur untuk membuka handphone-ku. Mataku berhasil menangkap nama Juna di layar. Memang, sejak dia memberi kabar bahwa dia tidak bisa menepati janji bertemu karena ada rapat mendadak dengan clien, aku tidak membalas chat tersebut.

From : Naghara Prajuna

Ras, im so sorry. Gue bener-bener nggak tahu kalau rapatnya dimajuin, padahal gue pikir masih sempat ketemu lo dulu. Sekarang lo dimana? Gue baru aja selesai, gue susul ya.

Aku tidak tahu perasaanku saat membaca chat Juna, debar yang biasanya terselip hanya dengan membaca namanya mendadak memudar. Yang kulakukan hanya menarik napas dalam.

Chat tersebut belum kubalas, aku membacanya hanya lewat notifikasi.

Jujur saja, aku kecewa.

Seumur-umur aku dekat dengan lelaki, pantang bagiku dikecewakan dengan cara ingkar janji. Terlebih saat aku sudah berada di lokasi—hello! Seorang Laras dikecewakan? Ini tamparan keras bagiku.

Aku mengangkat kepala, sengaja mengulur waktu untuk membalas. Otakku juga masih menimbang, apa aku harus menolak atau menerima, karena jujur... aku sangat berharap dapat bertemu dengan Juna hari ini, setelah hampir seminggu tidak bertemu dengannya. Juna itu sosok lelaki dewasa, aku dapat menilainya dari sekali memandang, radar insting perempuan mencari mangsaku sangat kuat.

Juna bukan lelaki yang selalu minta dihubungi, sekalipun dihubungi—semua topik yang dibahasnya bermutu, bukan tipe abal-abal kayak cowok butuh belaian.

Dia membahas banyak hal yang kadang kupikir hanya bisa aku temukan pada film-film romansa. Ataupun novel yang pernah kutulis.

Saat kepalaku terangkat, mataku menangkap sebuah figura foto yang ditaruh di atas meja. Figura foto itu seolah menjadi magnet yang membuatku mendekat dan meraihnya segera. Aku tertegun selama beberapa detik saat melihat diriku berada di dalam figura foto itu.

Bukan...

Ini bukan fotoku seorang, aje gile aja kalau figura itu hanya diriku. Bisa kumaki habis-habisan Wira karena menyimpan fotoku.

Figura foto itu adalah fotoku, Wira, dan juga teman-teman yang lain sebelum kami bagi rapor dan naik kelas dua belas. Foto studio yang kami lakukan sebagai cara wali kelas menghabiskan uang kas kelas kami.

Aku terpaku menatap foto kelas tersebut, Wira masih menyimpanya—rapi, sedangkan aku... duh aku lupa, mungkin sudah kubuang saat bersih-bersih kamar. Karena dibandingkan menyimpan atau mengoleksi foto, aku lebih suka mengoleksi pakaian atau sepatu atau juga tas.

Di figura foto itu, aku duduk tepat di sebelah Rani—teman sebangkuku yang kemudian juga jadi pacar Wira saat itu. Aku yang jadi mak comblang mereka. Sedangkan tepat di tengah-tengahku dan Rani, ada Wira. Dia berdiri dengan senyum lebarnya yang tampaknya belum pernah kulihat lagi. Wira yang sekarang sungguh berbeda—dibandingkan tersenyum lebar, dia lebih sering tersenyum meledek.

Lamunanku terbang pada kejadian saat foto ini berlangsung.

"Lo pulang sama siapa, Ras?" Rani melirikku yang sejak tadi hanya berdiri santai sambil minum okky jelly drink yang baru saja aku beli dari tukang penjual minuman keliling. Sore itu—kami baru saja menyelesaikan foto studio bersama.

Aku menatap Rani, "Angkot, Ran. Mas Gatra mendadak ada tugas kuliah."

"Kalau gitu lo pulang bareng Wira aja."

"Lah, kok gitu?" Aku berjengkit.

Rani tersenyum menyenggir, "Gue dijemput ayah gue."

Ah ya! Aku ingat bahwa Rani ini adalah anak tunggal yang dua puluh empat jam dijaga ayahnya. Pacaran saja Rani diam-diam, kalau ketahuan pasti disuruh putus. Wira pernah curhat itu sih ke aku.

"Duh, Ran. Naik angkot aja deh," tolakku lansung. Aku memang dekat dengan Wira, bahkan sebelum dekat dengan Rani—Wira lebih dekat denganku, meskipun dibandingkan bicara baik-baik, kami lebih sering bertengkar dan ujung-ujungnya badan Wira habis kugeplak.

Rani merengut tidak terima, "Ayolah Ras, nggak apa."

"Nggak ah," aku masih kukuh menolak. Toh pulang dengan Wira, sama saja mendatangkan gosip miring bahwa aku adalah orang ketiga dalam hubungannya dan Rani.

Gini-gini, kadang manusia lebih suka menilai dari apa yang ia lihat... bukan yang sebenarnya terjadi.

"Ayolah, Ras."

"Nggak mau, Rani." Aku kembali menolak.

Saat perdebatan itu masih berlanjut, motor vespa Wira yang dinamainya dengan nama Dian. Yang terinspirasi dari bintang film terkenal tahun tersebut, yang namanya melejit berkat pernannya dalam film besutan Mira Lesmana—Ada Apa dengan Cinta.

"Cieh, berdenging nih kuping gue, tanda ada yang ngomongin. Ketahuan ya, lo berdua ngomongin gue," celetuk Wira yang baru saja menghentikan Diannya, tepat di hadapanku dan Rani.

"Gini, Wir. Laras pulang sama kamu yah, Wir?"

Tanggapan Wira, miriplah dengan tanggapaku tadi. "Hah? Kok Laras sih, duh! Itu banyak kali angkot-angkot, Laras kagak cocok duduk di atas Dian."

"Idih, kayak gue mau aja," aku menyambar segera. Dibandingkan membayangkan duduk di boncengan Wira, aku lebih suka duduk berhimpit-himpitan di angkot.

Rani mendesah. "Duh kalian ini, kan rumah kamu juga searah sama Laras," bujuk Rani.

Mohon maaf... searah darimanenye ya? Rumah gue arah Menteng sedangkan Wira... aduh aku lupa lagi, nih anak Gajah Mada tinggal di kolong jembatan mana sih.

"Nggak ah, males," tolak Wira.

Aku mendelik. "Kayak gue nggak males aj—"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah mobil sedan berhenti di pinggir trotoar. Mobil yang kuyakini adalah mobil Rani.

Rani melirikku dan Wira bergantian, lantas dengan langkah terburu-buru dia bicara.

"Wir, kalau kamu nggak pulang bareng Laras. Serius, aku ngambek nih." Rani lalu beralih kepadaku. "Dan kamu Ras, kalau kamu nekat naik angkot. Aku serius nggak akan nyontekin kamu ulangan Fisika lagi."

Setengah berlari, Rani menuju mobilnya.

Aku yang masih setia memegang okky jelly drinku—dan Wira, yang masih dengan kedua tangannya yang memegang stang motor menatap Rani yang baru saja melambaikan tangan dari dalam mobil, tak lupa melempar tatapan menjelit sebagai tanda bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya.

Selepas mobil tersebut benar-benar berlalu dari hadapanku dan Wira.

Aku baru tersadar dan berdehem pelan.

"Omongan Rani nggak usah didengerin, gue naik ang—"

"Ayo, naik." Wira mengatakan itu tanpa menoleh kepadaku, tapi tangannya mengambil helm dengan model tanpa kaca yang alih-alih mirip helm, itu lebih layak jika dijadikan topi tentara lagi perang. Serius.

"Wir, lo serius amat sih. Rani nggak bakal marah sama lo. Gue jamin," aku kukuh menolak. Jujur saja, selama ini aku tidak pernah pulang diantar lelaki. Pacaran sih pacaran, tapi jelas, karena durasi pacaranku yang selalu singkat. Semua mantanku tidak pernah punya kesempatan mengantarku pulang, tiga hari putus—seminggu putus—paling lama nih, tiga minggu. Itupun udah enek-enekan aku tuh.

Karena melihatku tak kunjung mengambil tindakan. Wira memajukan tubuhnya hingga kini berhadapan lurus denganku, tanpa mengatakan apapun ia memakaikan helm tentara itu kepadaku.

Selama itu, aku menahan napas. Dan baru meneguk air ludah setelah Wira memundurkan tubuhnya dan membuang pandangannya dariku.

"Ayo, buruan." Wira menatap lurus ke depan sata mengatakan itu dan pada akhirnya, setelah membuang cup okky jelly drink-ku yang sudah habis. Aku naik ke atas motor Wira, karena posisinya agak sulit, secara refleks tangankku berpegang pada pundaknya.

Wira membantuku dengan menahan tanganku itu.

Setelah berhasil duduk sempurna di atas motornya, Wira berkata kepadaku. Kalimat yang mungkin akan terkenang selama hidupku.

"Makanya Ras, cari pacar itu pakai perasaan. Bukan asal tuh cowok nembak aja, terus lo terima. Ini nih salah satu akibatnya, pulang suatu kegiatan bukannya diantar pacar sendiri, malah diantar pacar temen. "

Aku mengulum senyum, entah karena ucapan Wira yang benar atau karena dua kata di belakang kalimatnya yang begitu menusuk... pacar temen.

Aku menghela napas panjang, wajah datarku menggiringi jemariku yang bergerak untuk membalas chatJuna tanpa membacanya terlebih dahulu.

From : Dilaras Sekarayu

Sorry. Lain kali aja ya, Jun.

Aku tidak menyesal setelah berhasil menekan tomblo kirim. Juga tidak menyesal telah melewatkan kesempatan bertemu dengan Juna. Karena alih-alih menyesal otakku malah memikirkan satu orang. Yang sialnya malah membuatku bertanya-tanya.

Satu pertanyaan.

Kenapa sekarang, dibandingkan bertemu dengan Juna, aku malah ingin bertemu dengannya?

Iya, dia—Wiradharma Danendra.

Pacar temenku, belasan tahun yang lalu.

Bersambung

Seperti biasa, setiap cerita Bella akan dibawa berkeliling-keliling Nusantara wkwk.

1. Apa perasaan kalian setelah membaca cerita ini?

2. Jiah... TIM RAWIT NANAS MANA SUARANYA!

3. Jadi gimana... apa yang bikin kamu penasaran sama ceritanya (WAJIB JAWAB)

4. Lanjut bab 8, yay or nay?

Salam, Mama Dinar aja deh WKWKWK.

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 49.8K 18
[COMPLETE] Adeeva dan Remio, mempunyai masa lalu yang sama, cerita yang sama dan juga perasaan yang sama. Hubungan yang dulunya mereka pernah jalani...
4.7K 274 40
Jika kamu berpikir bahwa setiap dua insan yang saling mencintai pasti akan bersama dengan cerita yang indah, maka kamu salah. Jika kamu berpikir bahw...
15.9K 1.3K 31
Dia memiliki harapan, tapi di patahkan Dia memiliki keinginan, tapi di hancurkan Dia memiliki rasa lelah, tapi dipaksa untuk terus tegar. Lantas sang...
530 171 37
Kei tidak pernah menduga, laki-laki yang ia temui di kereta kala itu akan berhasil mematahkan pandangannya soal cinta, akan berhasil membuatnya meras...