Pull String

By Bellazmr

2.1M 208K 39.6K

#RAlSeries-2 Dilaras Sekarayu. Dia bisa mengambarkan rancangan dirinya di empat atau lima tahun mendatang. R... More

1. Benar Saja
2. Prau
3. Kutu Kupret
4. Genjatan Senjata
6. Obat Sebuah Penyakit
7. Harapan Bertemu
8. LDR Terjauh
9. Pernikahan
10. Yang Tak Pernah Ada
11. Daftar Rencana
12. Nama Tanpa Cerita
13. Sebelum Jatuh Cinta
14. Tanpa Kabar
15. Jemari Bertaut
16. Dua Kali Air Mata
17. Manusia dari Kerak Neraka
18. Geranium tak Bersalah
19. Pengaruh Tempat terhadap Jawaban
21. Perempuan Keras Kepala
23. Saling Melibatkan
25. Kata Kita yang Nanti
27. Selucu Itu
28. Semua Tentang Wira
29. Sudah (TAMAT)
1. Sepenggal Kisah
2. Permulaan
3. Tertinggal
4. Jatuh Sakit
5. Kata Pergi
8. Mau kamu apa!
SPIN OFF-Pull String
SPECIAL PART (TENTANG)
Untuk Kalian yang Mencintai Kita
Mau baca Pull String lengkap?

5. Spesies Langka

56.5K 7.6K 764
By Bellazmr

Bagian Lima

Tidak semua lelaki menilaimu cantik. Terkadang, hanya perlu menemukan lelaki yang tepat yang bisa melihat kecantikanmu.

—Pull String—

Bali. Sebuah provinsi di Indonesia yang terkenal dengan istilah "Pulau Dewata."

Aku pernah mengunjungi Bali sebanyak empat kali. Kali pertama adalahwaktu aku masih berumur lima tahun, saat bunda dan ayah masih bersama. Ingatanku mengenai Bali di usia itu sangat sedikit, tapi satu hal yang kuingat, kami pulang lebih awal dari rencana sebelumnya karena pekerjaan ayah.

Lantas, kesempatan kedua ke Bali adalah solo travelling nekatku di jaman kuliah. Masa-masa awal, aku bisa menghasilkan uang sendiri berkat menulis. Yah, jaman kuliah dulu, aku berhasil membagi waktu antara menjadi mahasiswa dan penulis. Hasilnya, ya itu... sebagian kutabung, sebagian lagi aku jadikan modal untukku menikmati hidup.

Waktu itu, Bali adalah kota keenam yang berhasil kukunjungi tanpa menyentuh uang bunda dan ayah tiriku. Serius, rasanya lebih menyenangkan ketika bisa mencapai sesuatu tanpa menyusahkan orang tua. Aku juga ingat, waktu itu aku seperti anak hilang di Bali, berkeliling Seminyak, Legian, dan Kuta sendirian, menikmati sunset sendirian, dan demi Tuhan! Aku bahagia.

Untuk kali ketiga dan keempat, semuanya aku lewati bersama sahabat kampretku. Alia dan Riza, meskipun harus bersusah payah naik bus dari Jakarta, karena Alia trauma naik pesawat.

Dan berarti, ini adalah kelima kalinya aku ke Bali. Tidak bersama orang tua, sahabat, apalagi sendirian, melainkan si anak Gajah Mada, Wira.

Aku berjalan lebih dahulu dari Wira ketika memasuki waiting room. Koperku dan Wira sama-sama masuk bagasi, jadi kami terlihat santai. Aku hanya membawa sling bag sedangkan Wira tidak membawa apa-apa selain dirinya.

Sengaja, aku memilih tempat duduk di depan gate keberangkatan kami. Ngomong-ngomong, aku tidak terlalu suka mengantri di belakang saat harus check in. Biasanya, sebelum operator mengumumkan open check in dilaksanakan, petugas yang berdiri di depan pintu sudah berteriak duluan, makanya aku lebih memilih stay depan pintu.

Masih ada sekitar tiga puluh menit lebih sebelumcheck in dilaksanakan, aku langsung mengeluarkan handphone untuk melanjutkan ebook-ku yang sebelumnya sudah setengah aku baca.

Mungkin baru dua lembar aku membaca, tiba-tiba saja Wira yang tadi hanya duduk sembari menatap ke arah pesawat-pesawat parkirmendadakberdiri dan bicara kepada seseorang yang baru saja menegurnya.

Aku mendongak dan melihat seorang laki-laki berbadan sedikit gembul sedang tersenyum ramahkepadaku, Wira memberi kode agar aku segera berdiri. Sehingga mau tak mau, aku akhirnya berdiri dan langsung menyalami laki-laki itu, karena dari tampangnya, mungkin seusia dengan ayah.

"Kenalin Dan, teman saya. Dilaras," kenal Wira.

Aku masih memamerkan senyum canggung, terlibat pertemuan seperti ini sama sekali tidak mengenakan.

Laki-laki yang tadi Wira panggil "Dan" yang kutebak mungkin akronim dari komandan, menatapku dengan pandangan menilai selama beberapa saat. Jujur! aku risih, tapi komandan tersebut malah melanjutkan kegiatannya tadi, menilaiku.

"Teman atau teman?" kalimat itu ia lontarkan setelah tatapannya kembali menatap Wira dengan seringai meledek.

Aku menggeram, Wira yang mengerti ketidaksukaanku memberi gestur agar bersabar.

"Teman, Dan. Komandan gimana kabarnya sehat? Tugas dimana sekarang, Dan?"

Komandan, sebut saja begitu, terkekeh sebentar atas jawaban diplomatis Wira. "Baik-baik. Kamu gimana? Sehat sekali ya tampaknya," Dia kembali melirik aku, seolah kata sekali yang dimaksudnya tadi adalah karena kehadiranku. "Di Banyuwangi. Agak jauh sekarang."

Wira mengangguk. "Sehat, Dan," ucapnya dengan suara lantang. Baru kali ini aku menyadari bahwa di depan orang lain, Wira terlihat sangat berwibawa, tidak di depanku—Wirasangatmenyebalkan.

"Flight kemana, Wir?" Kepo banget sih komandan pandan satu ini.

Sengaja, kali ini aku menyentuh lengan Wira, memberi sinyal bahwa aku mulai tidak suka dengan pertanyaan basa-basi ini. Sayangnya Wira tak menanggapi apa-apa, dia malah menurunkan tanganku yang tadi berada di lengannya, seolah mengaskan kepada komandan pandan bahwa kami bukan apa-apa. Dan jujur, aku tersinggung dengan penolakannya. Tercecer sudah, harga diriku.

"Bali."

"Hanya berdua?" Nggak! Sekampung, aku mengumpat di dalam hati sehabis pertanyaan lanjutan dari komandan satu ini.

Wira mengangguk canggung, "Semua keluarga sudah di Bali. Abang saya menikah dengan orang Bali, semua resepsi dan lain-lain dilakukan di sana," jawab Wira menjelaskan. Mau tak mau, aku kembali sadar bahwa Wira kembali menunjukkan kepada komandan pandan bahwa kami tidak seperti yang ada dipikiran komandan tersebut.

Kekehan halus terdengar, komandan menepuk bahu Wira dua kali. "Kamu ternyata masih taruna yang lurus-lurus saja ya," ungkapnya. "Ya sudah kalau begitu, titip salam kepada orang tua kamu. Dan sampaikan ucapan selamat saya kepada abang kamu."

Wira membalas ucapan itu dengan mengangguk, kemudian ia memberi hormat dan tak lupa salim kepada komandan.

Sedangkan aku sekarang sedang menahan diri untuk tidak melempar dua manusia ini dengan sepatu, terlebih pada Wira. Gestur penolakannya tadi terlalu mencoreng batinku. Sayangnya meskipun ingin sekali melempar sepatu, apa yang  aku lakukan malah berbalik dari apa yang aku inginkan. Ya, baru saja aku ikut hormat dan menyalim komandan pandan itu.

Komandan menyengir setelah aku selesai menyalimnya, matanya mengerling kepada Wira.

"Cocok sih Wir, calon ibu bhayangkari."

Wira tidak menjawab ledekan itu, ia hanya tersenyum tipis. Bahkan aku sangsi bahwa dibandingkan senyuman, itu lebih mirip menarik bibir agar lebih ke atas.

Sehabis komandanitu pergi, aku duduk duluan seraya memasang tampang sebal. Wira menyusul dua menit kemudian.

"Ini nih yang nggak gue suka."

"Nggak suka apanya?"

"Ya kayak tadi, entar pasti deh komandan lo itu bocor sana sini."

Wira mengangkat alis heran, "Terus nggak sukanya di bagian mana? Kan yang diledek gue, bukan lo. Lagipula meskipun gue kena ledek, gue jamin seratus persen orang-orang kayak komandan tadi nggak akan kepo sampai ganggu hidup lo."

Bener juga sih. Cuma ya, aku sudah kepalang tanggung berekspresi sebal kepada Wra. Jadi yah apa boleh buat, aku tetap menekuk wajahku bahkan sampai di pesawat.

Kami berdua sama sekali tidak bicara, aku malas sedangkan Wira juga terlihat tidak mempunyai topik yang bisa ia bahas bersamaku.

Namun ketika pesawat sudah mencapai posisi penerbangan stabil. Wira mendadak bicara saat aku sedang fokus membaca ebook-ku. Satu ucapan yang tidak kujawab apa apa.

"Memangnya kenapa kalau lo jalan sama gue dan kelihatan orang lain? Apa gue terlihat nggak cocok untuk lo? Apa sebegitu bedanya gue sama cowok-cowok yang ada di hidup lo?" Lalu Wira melanjutkan pertanyaannya itu dengan tawa halus yang jelas, menyindirku. 

-Pull String-

Bayanganku ketika sampai di Bali adalah menikmati sunset sembari berjemur atau paling tidak... menghirup udara di pinggiran ombak pantai. Yah, itu hanya bayangan, karena sampai di Bali. Aku dan Wira langsung datang ke hotel yang menjadi tempat berlangsungnya pernikahan Bang Bima dan Mbak Rania.

Pernikahan mereka dilangsungkan di Padma Restort Ubud.

Lewat cerita singkat Wira, Mbak Rania dan Bang Bima dulu sama-sama kuliah UGM, fakultas kehutanan. Bedanya, Mbak Rania adalah junior yang dua tahun di bawah Bang Bima. Mereka satu kampus tapi baru bisa dekat ketika Mbak Rania mendapat dosen pembimbing yang sama dengan Bang Bima, singkat cerita Bang Bima dulu mentor tugas akhir Mbak Rania.

Dan bersangkutan dengan tempat yang mereka pilih untuk menikah, tampaknya Bang Bima dan Mbak Rania memang terlalu mencintai hal-hal berbau kehutanan. Karena mereka mengusung konsep pernikahan di alam, ya dengan suasana Ubud yang masih sangat asri.

Jujur, aku lumayan takjub ketika melihat dekorasi pernikahan mereka yang memilih warna putih sebagai konsep utama. Warna ini terlihat sangat menyatu dengan latar hutan hijau di sebelah kanan kiri dan birunya air kolam renang di panggung kecil yang menjadi singgasana mereka berdua.

Acara pernikahan sengaja dilangsungkan malam hari, lampu-lampu memberi aksen indah luar biasa. Ditemani angin laut, jujur aku terbuai dengan pernikahan ini. Manis, benar-benar wedding dream.

Aku duduk di salah satu kursi di antara orang-orang yang sama sekali tidak aku kenal, aku asing di sini meskipun tadi Wira, oh atau lebih tepatnya mamanya Wira sempat heoboh menggenalkanku dengan keluarga-keluarganya yang hadir di pernikahan ini. Tapi sejak lima belas menit yang lalu, Wira meninggalkanku untuk mengikuti sesi foto keluarga besar. Aku? Jelas tidak ikut, memangnya aku siapa?

Jadi karena aku kini hanya sendirian, aku hanya duduk khidmat menikmati nyanyian jazz yang menjadi acara hiburan setelah acara puncak dilaksanakan. Aku tak akan menceritakan detailnya, karena menceritakan bagaimana pernikahan ini berlangsung membuat aku mendadak ingin dinikahi seseorang, sehingga bisa melangsungkan pernikahan seindah ini.

Ditemani lagu Malam Biru dari Sandhy Sandoro yang mengalun lembut, aku menikmati pudding jeruk. Mataku menatap panggung kecil, melihat tingkah Wira yang tampak bicara dengan kakak iparnya untuk menggendong keponakan kecilnya.

"Laras?"

Mendengar suara berat yang tampak sangat asing menyebut namaku, refleks membuataku menoleh ke sebelah.

Tiga puluh detik aku terdiam menatap sosok di hadapanku itu. Seolah tak percaya bahwa di sebuah tempat yang sangat tidak memungkinkan untukku bertemu dengan dirinya lagi kini malah menjadi latar kedua bagiku melihatnya.

Setelah puas dengan ketidakpercayaanku, aku balik menyebut namanya.

"Juna?"

Ya, Juna—sosok laki-laki yang tidak sengaja aku temui kurang dari satu bulan lalu di Gunung Prau sedang berdiri di hadapanku dengan tuxedo bewarna merah marun. Satu bulan yang lalu, Juna yang kulihat hanyalah laki-laki khas pendaki. Rambut agak panjang, janggut dan kumis yang lumayan menganggu, dan jangan lupa wajah kotor akibat debu mendaki.

Namun Juna yang ada di hadapanku ini sungguh berhasil membuatku sempat terpana. Aku bahkan sampai meneguk air ludah saat dia tersenyum dan menjabat tanganku, untuk menandai pertemuan kedua kami.

"Lo kok bisa di sini?" Untunglah, aku cepat menetralkan keterpakuanku kepadanya.

"Kebetulan, yang nikah itu sahabat gue."

"Bang Bima?"

Juna mengangguk. "Dan kebetulannya lagi, gue lagi kosong, makanya sengaja nyempetin diri buat datang ke nikahan dia. Lo sendiri? Gue baru tahu kalau Bima temanan sama lo?

"Eh?"

Seolah bingung dengan tanggapanku, Juna menimpal cepat. "Oh lo temannya Rania ya?" Juna mengangguk-anggukan kepala. "Pantes, soalnya gue sama Bima tuh udah kayak suami istri karena apa-apa di hidup Bima pasti gue tahu. Jadi pas tahu lo temanan sama Bima, ya aneh aja... kok Bima nggak cerita, jadi benar lo temannya Rania? Atau keluarganya?"

Pertanyaan Juna belum kujawab apa-apa karena mendadak, wIRA muncul di tengah kami berdua. Wira yang sepertinya menggenal Juna langsung menyapa hangat laki-laki itu dengan panggilan "Bang Juna." Yah tampaknya, Juna ini seumuran dengan abangnya Wira.

"Apa kabar Bang? Gue pikir lo sudah benar-benar hilang di Himalaya," ledek Wira. Dari caranya bicara kepada Juna, aku tebak bahwa juna ini tidak hanya dekat secara personal kepada Bang Bima semata, tapi juga sampai ke adiknya—Wira.

"Baik dong. Nggaklah, ya kali gue hilang di sana. Masih ingat Indonesia dong guenya, lo gimana? Indonesia aman dong?" Juna membalas sapaan hangat Wira. Mendadak mereka berdua melupakanku yang kebetulan berdiri di antara keduanya.

Wira terkekeh—kekehan yang jarang sekali kudengar, jadi fix mereka memang saling kenal dan dekat.

"Bisa aja lo Bang, sendiri aja nih?" sindir Wira.

Aku tampaknya kasat mata di antara mereka berdua, sehingga aku sama sekali tidak digubris keduanya.

"Nggak sama orang sekampung," guyon Juna.

Wira dan Juna sama-sama tertawa. Dan barulah ketika Juna menatapku yang terlihat aneh dengan keakraban mereka berdua, langsung meredakan tawanya.

"Sorry-sorry, gue kalau ketemu adiknya Bima yang satu ini emang jadi gini," kata Juna kepadaku yang berhasil membuat Wira yang gentian menatap aku dan Juna keheranan.

"Kalian saling kenal?" timpalnya di tengah senyum canggungku kepada Juna.

Juna mewakilkan aku dengan menjawab pertanyaan Wira. "Iya pertemuan kedua kita, kebetulan banget kan?"

Wira menganggukan kepala, entah tanda ia mengerti atau tidak peduli. Yang ada selanjutnya, ia menyuruh Juna untuk berfoto dengan abangnya. Juna menurut, setelah sempat meminta nomor handphone-ku, tepat di depan Wira.

Sekali lagi, aku sempat melirik Wira saat memberikan nomorku kepada Juna. Dan Wira, terlihat santai-santai saja sembari menikmati es buah yang baru saja ia dapat dari tukang catering yang mondar-mandir di tengah acara.

Selesai bertukar nomor, Juna pamit duluan untuk ke panggung. Meninggalkanku dan Wira yang masih sibuk memilih-milih buah di gelas esnya.

"Wir," tegurku.

Wira tidak menoleh, tidak juga menjawab.

Aku meneruskan saja apa yang ingin aku tanyakan sejak Juna melangkah pergi.

"Dia teman abang lo ya, teman dari mana?"

Barulah, Wira menurunkan gelasnya, menatapku dengan pandangan menilai sebelum menjawab santai. "Bang Juna maksud lo?"

Aku mengangguk.

"Dia teman abang gue sejak jaman kuliah."

"Selain itu?" Aku masih penasaran, apalagi karena tadi Wira sempat menyebut Himalaya dan yah... pertemuan pertamaku masih menyimpan sebuah tanya tentang pekerjaan Juna. "Dia kerja apa kok lo nyebut-nyebut Himalaya?"

"Timber cruiser tapi masih ikatan sama organisasi dunia gitu. Dia lulus UGM langsung lanjut S2, ditawarin untuk kerja di kantoran malah milih buat di lapangan."

Penjelasan singkat Wira berhasil membuatku meneguk air ludah kasar. Timber cruiser atau kalau di Indonesia disebut sebagai tenaga invertarisasi hutan, kerjaannya mengukur dan menghitung potensi kayu atau non kayu yang ada di dalam hutan. Aku pernah dengar, kerja jadi timber cruiser itu sama sekali nggak mudah. Selain harus pintar menemukan lokasi, juga harus pintar menghitung sana-sini.

"Kenapa?" Wira menatapku yang kini diam-diam menyengir takjub karena latar belakang Juna yang akhirnya terkuak. "Lo naksir sama dia?" cibirnya to the point.

Aku tak menjawab, sedangkan karena hanya diam Wira memilih berlalu duluan meninggalkanku yang hanya mendengus akibat sifat cueknya Wira.

Gila! Species langka banget cowok modelan Juna gini.

Bersambung

1.    Apa perasaannya setelah membaca bab ini?

2.    Hayo siapa yang jatuh cinta sama Juna?

3.    Tim Juna atau Wira?

4. Lanjut bab 6. Yay or nay?

Salam, Bellazmr

Continue Reading

You'll Also Like

887K 136K 132
8 Mahasiswa dan 8 Mahasiswi penuh drama yang kebetulan tinggal di kompleks kostan bernama, "Kost Boba" milik Haji Sueb. Moto Kost Boba Boy. "Aibmu ad...
2.3M 93.1K 31
April, seorang staf di sebuah kantor konsultan di bidang konstruksi, harus menahan sabar setiap kali para petinggi di kantor menanyakan satu pertanya...
3M 5.4K 2
Kita hanyalah dua orang yang terjebak dalam masalah yang mengharuskan kami untuk bersama.
25.5K 780 7
Aku Zahra Qanitah Al Hafidzah Wanita perindu Syurga milik Allah hingga aku merelakan seseorang yang seharusnya menjadi milik hatiku. Dan Aku Zahra Q...