PURZELBAUM [Changlix]

By northeastern_

92.9K 18.4K 3.9K

tentang lee felix, seo changbin, dan neraka kehidupan yang mereka buat sendiri. ° seo changbin ° lee felix Wa... More

one ° we've met
two ° seize the day
three ° when you love someone
four ° you don't care
five ° let me down
six ° melted
seven ° open the door
eight ° sternhaufen
nine ° confused
ten ° merged
eleven ° honestly
twelve ° sick
thirteen ° cross the bear
fourteen ° faintest
sixteen ° jawbreaker
seventeen ° leave well alone
eighteen ° back to square one
nineteen ° daredevil
twenty ° caesura
twenty one ° gallantry
twenty two ° gallivanted
cuap cuap 👩‍🚀

fifteen ° precious

3.3K 734 295
By northeastern_

Felix terbangun saat suara ketukan pintu terdengar. Dengan malas ia beranjak dan berjalan dengan menyeret kakinya.

Cklek

"Kenapa, Bun?"

"Udah jam dua belas, kamu ngelewatin sarapan. Sekarang makan siang dulu gih."

Felix mengangguk. Menutup pintu kamarnya. Lalu segera menuju ruang makan di lantai bawah.

Satu potongan telur dadar dilahap oleh Felix sebelum ia duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan.

Wanita paruh baya yang duduk di hadapannya mengambilkan nasi untuk Felix, menyertakan beberapa lauk pauk di atasnya.

"Kuliah kamu gimana?"

"Lancar kok, Bun. Cuma lagi sibuk aja sama organisasi."

"Kamu harus rajin minum vitamin. Obatnya masih ada? Besok Bunda ke RS ambil obat lagi kalau habis"

Felix menggeleng. Lalu menelan makanan di mulutnya.

"Gak usah, Bunda. Felix udah sembuh."

Sayuran ditambahkan ke dalam piring milik Felix. Membuat Felix merengut.

"Jangan protes. Kamu sibuk kuliah gitu, makannya yang bener" ucap Nyonya Lee sebelum Felix melayangkan protes.

Keduanya kembali melanjutkan makan dengan tenang. Ibu Felix selesai terlebih dahulu. Beberapa piring dan mangkok kosong segera ia bawa menuju wastafel.

"Felix,"

"Hm?"

"Kamu masih minat sama psikologi?"

Felix meminum beberapa teguk air dari gelasnya.

"Kenapa, Bun?"

"Kamu ambil beasiswa kuliah mau? Kali ini Bunda bebasin, kamu mau ambil psikologi juga gapapa. Bunda gak tega kamu terpaksa jalanin kuliah yang sekarang."

"Trus yang sekarang gimana? Tinggalin aja?"

Wanita berparas cantik tersebut mengangguk singkat.

"Sebentar lagi Bangchan mau ambil S2. Kayaknya Bunda bakal nitipin kamu sama Bangchan,"

"Tapi Bun, Kak Chan itu kan ambil S2 di-"

"Iya Jerman. Bukannya kamu juga pengen kuliah di Jerman, kan?"

"Tapi-"

"Kamu boleh pilih jurusan yang kamu mau disana. Gapapa kan kalau Bunda minta kamu lanjut kuliah di Jerman?"

Gelas di tangan kanannya belum terlepas. Semakin kuat genggaman tangannya pada benda itu.

Felix takut ia tak sanggup. Orang tuanya banyak berharap padanya. Bohong jika Felix berkata ia tidak keberatan. Ia sudah cukup mengorbankan keinginan dan mengikuti keputusan orang tuanya dengan ikhlas.

Singkatnya— kini ia sudah berada di zona nyaman. Teman-temannya, organisasi, jurusan kuliah, dan Changbin. Entah, nama pemuda itu seketika terngiang dalam pikirannya.

"Kamu gak jawab berarti iya. Bangchan udah cari beberapa beasiswa di Jerman. Secepatnya kamu bisa isi form pendaftaran."

Kebebasan yang tadi disebutkan hanyalah omong kosong. Nyatanya hidup Felix hanya tahu tentang mengikat, dan diikat.

.

.

.

Sesuai janjinya kemarin, Changbin tiba di rumah Felix pukul empat. Ia memperhatikan Felix yang terbalut celana jeans baby blue dan sweater coklat muda yang sedikit longgar.

"Pake motor aku aja ya, Kak? Motor Kak Changbin masukin ke garasi aja."

"Tumbenan?"

"Mumpung bensin masih full," jawab Felix sambil mengeluarkan Honda CBR miliknya ke depan gerbang rumahnya.

Felix menyerahkan helm miliknya pada Changbin. Lalu mengambil helm milik Changbin dan segera memakainya.

Keduanya sudah berada di jok motor dengan Felix sebagai penumpang.

"Kita mau kemana?"

"Ke Bekasi, mau gak?" Changbin menoleh, melihat Felix yang mengangguk.

"Fel?"

"Kenapa?" Felix menatap bingung.

Jari tangan Changbin mengusap pipi bagian atas kekasihnya.

"Bedaknya ketebelan nih."

Plak!

Lengan Changbin ditampar. Membuat sang korban mengaduh kesakitan

"Udah ah ayo cepetaannn" rengekan Felix terdengar lucu.

Changbin melajukan motor Felix dengan tiba-tiba. Membuat Felix memukul pundak Changbin karena hampir saja ia terjungkal.

"Hyunjin udah ga ngehubungin kamu, kan?" tanya Changbin dengan sedikit berteriak. Jalanan ibukota sedang ramai. Changbin mengambil waktu yang salah karena sekarang ini bertepatan dengan jam pulang kerja.

"Engga kok," jawab Felix.

Changbin mengangguk singkat. Lalu mempercepat laju motornya.

Bekasi tak kalah ramainya sore itu. Asap kendaraan menerpa saat Felix membuka kaca helmnya.

"Kita kemana ini?"

"Summarecon,"

"Apa itu?"

Changbin sedikit menolehkan kepalanya.

"Mall"

Felix mengangguk dan kembali menurunkan kaca helmnya saat Changbin melewati bundaran di tengah jalanan.

Tak menunggu lama dan keduanya telah memasuki area parkiran. Changbin menghafalkan tempat dimana ia memarkirkan motor Felix.

"Kakak gak bilang mau ke mall, kalau tau kan aku pake sepatu"

Changbin menunduk. Melihat Felix yang memakai sandal gunung. Kemudian memandang pemuda Lee itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Gapapa, lucu kok. Suka,"

Changbin segera menarik tangan Felix agar bergegas memasuki area mall. Namun Felix menarik tangannya kembali.

"Jangan pegangan, nanti diliatin" bisik Felix pelan.

Changbin hanya mengangguk. Lalu bersama-sama menaiki eskalator untuk menuju lantai atas.

"Laper gak?"

Felix mengelus perutnya.

"Sedikit"

"Mau masuk?" Changbin menunjuk tempat di depannya dengan dagu.

"Solaria? Ngapain?"

"Ya makan"

"Punya duit?" tanya Felix sambil terkekeh.

Changbin menggaruk tengkuknya.

"Aku gak laper banget kok, Kak. Nanti aja beli di pinggir jalan pas pulang."

Felix berbalik menuju ke eskalator. Menuju kembali ke lantai bawah. Changbin mengikutinya dari belakang.

"Tadi ada kolam ikan di bawah, aku mau liat ikan,"

Changbin menahan senyumannya. Merasa gemas dengan tingkah Felix.

"Tapi janji jangan nyebur ya?"

Felix menatap tajam ke arah Changbin. Namun terkesan lucu di mata pemuda Seo itu.

Segerombol ikan berwarna oranye berkumpul di ujung kolam. Sehabis diberi makan oleh pengunjung lain. Felix mencoba menyentuh salah satu ikan yang berenang di dekatnya.

Langit mulai gelap. Sudah memasuki waktu petang. Namun ada beberapa awan hitam yang ikut menutupi langit. Mungkin sebentar lagi hujan.

"Duduk sini, Fel"

Felix menuruti Changbin yang sudah duduk di sofa rotan di pinggir kolam.

Ujung sweater yang Felix kenakan basah. Sepertinya sedikit tercelup ke kolam tadi.
Pemuda Lee itu mendongak karena merasa orang di depannya sedang memandang ke arahnya. Dan benar, Changbin menatap lekat ke arah Felix. Dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.

"Fel, coba buat aku baper"

Dahi Felix berkerut.

"Gak bisa, Kak. Apalagi kalau disuruh."

Changbin terkekeh pelan. Punggungnya ia tempelkan pada sandaran sofa.

"Kak, perasaan aku ke Kakak itu kayak es krim yang baru aku beli, trus jatuh ke tanah"

"Sayang banget?" ucap Changbin sambil tertawa.

Felix mengangguk.

"Kalau dari angka satu sampai sepuluh, kamu suka angka berapa?" tanya Changbin.

"Sebenarnya sih sembilan. Tapi kali ini delapan aja deh, biar gak pernah putus"

Kepala Changbin mengangguk-angguk.

"Kalau aku sih tuju. Soalnya tujuan hidup aku bahagiain kamu."

"—atau gak enam, soalnya kamu itu enamberwan"

"Apa-apaan itu enamberwan"

Felix tertawa keras mendengar gombalan Changbin yang menggelikan.

"Searching kapan tuh gombalannya?"

"Dua hari yang lalu, hehe." ucap Changbin jujur.

'Tes tes'

Keduanya mendongak. Melihat ke arah langit yang kini sudah menurunkan hujannya.

"Mau masuk?"

Felix menggeleng, kemudian menarik tangan Changbin menuju panggung yang letaknya masih berada di area mall. Disini memang tersedia stage untuk penampilan live music, bahkan tak jarang artis tenar pun ikut mengisi panggung.

"Kok tiba-tiba rame ya, Kak?"

"Loh Fourtwnty itu lagi manggung! Ke depan yuk?"

Felix mengangguk. Changbin jalan lebih dahulu, membuat Felix sedikit tertinggal di belakang. Tangan mungil Felix meraih ujung baju pemuda Seo di depannya.

Keduanya berhasil menerobos ke tengah-tengah penonton. Gerimis yang turun pun semakin membawa suasana kala intro dari lagu berjudul Fana Merah Jambu terdengar.

Di depan teras rumah
Fana merah jambu, ku berdua
Momen-momen tak palsu
Air tuhan turun, aromamu

Felix memandang ke langit, membiarkan beberapa tetes hujan menerpa wajahnya. Ada yang mengganjal di pikirannya sejak tadi.

Tersalurkan aliran syaraf buntu
Martin tua media pembuka

Haruskah ia memberitahu Changbin perihal perpindahan kuliah yang Ibunya perintahkan? Atau biarkan saja pemuda Seo itu tak udah mengetahuinya?

"Berdansa sore hariku
Sejiwa alam dan duniamu
Melebur—"

"Kak," panggilan Felix membuat Changbin menghentikan senandungnya. Kepalanya menoleh menatap Felix di samping kirinya.

"Kenapa?"

"Aku mau bilang sesuatu," ucap Felix dengan dikeraskan. Suara musik terlalu bising.

Changbin mencondongkan tubuh ke arah Felix. Kepala Felix yang tiba-tiba tertunduk semakin membuat Changbin penasaran.

"Kamu laper?"

Felix menggeleng.

"Kenapa, Fel?" Changbin memegang kedua bahu Felix.

"Sebentar lagi naik tingkat,"

Changbin tersenyum.

"Oh iya bener. Kamu belajar yang rajin, ujian bentar lagi, kan?"

"—aku bakal ambil beasiswa di Jerman, Kak"

"H-hah?"

"Aku gak di Jakarta lagi mulai semester depan,"

Changbin melunturkan senyumannya.

"Fel? Bercanda?"

Felix menggeleng cepat. Keduanya bergeming. Membuat lagu yang dilantunkan makin terdengar di telinga masing-masing.

Changbin menarik tangan Felix secara tiba-tiba. Menjauhi kerumunan dan menuju ke arah parkiran. Felix takut untuk membuka suara. Hingga Changbin memberikan helm padanya pun Felix langsung memakainya tanpa berkata apapun.

Setelah keduanya sudah menduduki jok, Changbin segara membawa motor yang mereka tumpangi keluar dari parkiran. Keadaan jalanan yang cukup ramai tak membuat pemuda Seo itu menurunkan kecepatan motornya.

Felix tersentak saat mengintip spedometer menunjukkan angka seratus kilometer per jam, semakin bertambah saat beberapa pengendara berhasil disalip. Felix masih memaklumi jika jalan sedang dalam keadaan luang. Astaga- tapi kali ini mereka berada di waktu yang seharusnya para pengendara membawa kendaraan dengan berhati-hati. Changbin gila. Felix tidak mau mati sekarang.

Tangan Felix memegang erat bagian belakang jaket yang Changbin kenakan. Matanya terpejam. Bibirnya hanya merapalkan doa semoga tak terjadi hal buruk pada mereka kali ini.

.

.

Motor yang mereka tumpangi berhenti setelah menepi di pinggir jalan. Kali ini tidak seramai jalanan tadi, bahkan bisa dibilang ini sangat sepi.

Tidak ada tetesan hujan lagi.

Changbin turun dari motor. Melepas helm miliknya dari kepala Felix. Dan melepas helm Felix dari kepalanya, kemudian menghempaskannya begitu saja ke aspal. Felix yang masih duduk di jok belakang dibuat terkejut dengan tingkah Changbin.

'Anjir helm dua belas juta gue'

Felix menatap Changbin meminta kejelasan. Namun kilat mata Changbin seakan membuat Felix tak berani berkata.

Srettt

Cup

Felix terbelalak. Changbin menciumnya tepat di bibir.

Berlangsung beberapa detik dan Changbin melepaskan kontak fisik keduanya.

Ia merasa aneh. Felix tak bohong jika ia merasakan gemuruh aneh di dadanya.

"K-kak?"

"Kamu bercanda soal tadi, kan?"

Felix turun dari motornya. Mengikuti Changbin yang sudah duduk di pinggir trotoar.

"Maaf,"

Changbin tertawa hambar.

"Gak perlu minta maaf, Fel. Aku gak seharusnya ngelarang kalau itu buat masa depan kamu"

Felix memandang lurus ke depan. Sesuatu tiba-tiba terasa seperti meremas kuat dadanya.

"Gapapa. Aku dukung kamu, Fel."

"Aku takut gagal, Kak. Itu keinginan Bunda, bukan aku"

Felix menghangat saat Changbin mendekat dan merangkulnya. Kepalanya otomatis menengadah saat melihat pemuda Seo itu sudah lebih dahulu menatap langit.

"Kamu itu harusnya bersyukur, masih bisa kuliah. Lah aku? Duit tabungan kuliahku habis buat bayar utang"

Felix tercekat. Tidak ada kalimat apapun yang bisa ia utarakan untuk membantah ucapan Changbin. Ia sadar, seharusnya ia lebih bersyukur dengan keadaan.

Changbin menoleh.

"Kamu serius mau ke Jerman?"

Felix menunduk. Menendangi beberapa kerikil yang terletak di dekat kakinya.

"Jauh ya,"

"Aku bakal sering ngabarin Kakak nanti" ucap Felix yakin.

Changbin mengangguk. Kemudian kembali memandang langit sambil tersenyum.

"Langitnya lagi bagus. Banyak bintangnya,"

Felix kembali menengadah.

"—dan salah satunya punya kamu. Jangan berhenti sampai sini, kamu pasti bisa"

Tangan mungil Felix diraih dengan lembut.

"Wherever you be, i'll always pray you be fine. No matter how many people come and leave. You'll always have that place you've had, because you will always be a precious part of mine."

Tidak. Ini salah.

Seharusnya Felix tak boleh merasakan debaran aneh ini. Ia tidak boleh mempunyai rasa pada siapapun lagi.

Felix menggigit bibirnya. Matanya sudah memerah. Ia tak tahu harus apa. Yang ia tahu Changbin tidak sedang bercanda sekarang.

Dan kini ia sadar, Changbin menaruh harapan besar padanya. Membuatnya juga tersadar, bahwa Lee Felix sudah berhasil jatuh pada Seo Changbin.



.

.

TBC

Jadi, entah kenapa aku kalo nulis ff Changlix itu bermasalah terus.
Pertama yang ff INTRICATE dulu sampe aku unpub. Nah yang ini uring2an juga.

Mungkin karena judulnya berpengaruh,
Intricate : berbelit-belit
Purzelbaum : jungkir balik

:'v dah gak ngerti lagi deh.

Jadi maaf banget buat kalian yang dengan baik hati berkenan ngikutin ff ini, maaf kalo aku suka telat apdet. Soalnya aku bener-bener moody kalo nulis Changlix (': fix kutukan ini mah .g

Continue Reading

You'll Also Like

26.7K 2.4K 16
Sebuah penghianatan yang berujung penyesalan Bxb Haruto Dom Jeongwoo Sub Junghwan Dom homophobia? jauh jauh sia ini area fujo 1 #Parkjeongwoo 21-o...
14.4K 2K 37
#hyunjeong. minsung, changlix, chanmin. bagi jeongin, hyunjin itu selalu ada disekitarnya. walau kenyataannya menyakitkan karena 'hyunjinnya' sekaran...
3.9K 239 9
HAPPY BIRTHDAY URI LEADER RASA MAKNAE "SCOUPS" CHOI SEUNGCHEOL. CHEOLSOO ❤
36.4K 4.2K 16
[ e n d ] "mau lo sekarang apa?" "permintaanku hanya satu, kak. tetap denganku meskipun kakak sadar sudah menyakitiku"