Pull String

By Bellazmr

2.1M 208K 39.6K

#RAlSeries-2 Dilaras Sekarayu. Dia bisa mengambarkan rancangan dirinya di empat atau lima tahun mendatang. R... More

1. Benar Saja
2. Prau
3. Kutu Kupret
5. Spesies Langka
6. Obat Sebuah Penyakit
7. Harapan Bertemu
8. LDR Terjauh
9. Pernikahan
10. Yang Tak Pernah Ada
11. Daftar Rencana
12. Nama Tanpa Cerita
13. Sebelum Jatuh Cinta
14. Tanpa Kabar
15. Jemari Bertaut
16. Dua Kali Air Mata
17. Manusia dari Kerak Neraka
18. Geranium tak Bersalah
19. Pengaruh Tempat terhadap Jawaban
21. Perempuan Keras Kepala
23. Saling Melibatkan
25. Kata Kita yang Nanti
27. Selucu Itu
28. Semua Tentang Wira
29. Sudah (TAMAT)
1. Sepenggal Kisah
2. Permulaan
3. Tertinggal
4. Jatuh Sakit
5. Kata Pergi
8. Mau kamu apa!
SPIN OFF-Pull String
SPECIAL PART (TENTANG)
Untuk Kalian yang Mencintai Kita
Mau baca Pull String lengkap?

4. Genjatan Senjata

73.6K 8.8K 644
By Bellazmr

Bagian Empat

Cerita ini mungkin berbeda dari cerita-cerita yang biasa aku tulis, karena baru di cerita ini, aku menggunakan sudut pandang orang pertama yang akan kubagi menjadi dua bagian. 25 bab pertama untuk sudut pandang pemeran utama perempuan dan 25 bab kedua untu sudut pandangn pemeran utama lelaki. Jadi, biar sama rata. Lets enjoy!

Btw teman-teman sekalian, karena cerita ini masih empat bab awal. Aku minta banget ya kerelaannya untuk meninggalkan jejak komentar dan vote. Berarti banget deh itu buat semangat aku hehe. Thanks.

-Pull String-

Banyak yang bertanya kenapa aku mengambil jurusan Agronomi Hortikultura saat kuliah strata satu dulu, lalu beberapa tahun kemudian setelah aku menyelesaikan Pendidikan magisterku di Australia dan kembali ke Indonesia untuk mengabdikan diri menjadi dosen. Orang-orang bertanya lagi, mengapa harus dosen?

Eum ya, aku tahu, dinilai dari segi manapun karakter dan tampangku benar-benar bukan "seorang pemberi ilmu." Percaya, kebanyakan orang baru yang berkenalan denganku pasti menebak pekerjaanku hanyalah seorang penulis. Karena sebenarnya, selain menjadi dosen, aku juga merambah ke dunia literasi semenjak kuliah dulu, meskipun akhir-akhir ini dibandingkan menyelesaikan naskah novel, aku lebih sibuk menulis jurnal ilmiah.

Lantas, selain hanya sebagai penulis.Banyak yang menebak profesiku adalah model, pramugari, atau bahkan pegawai bank. Aku hanya dapat tertawa, ya secara nggak langsung mereka menebak pekerjaan itu karena aku cakep. Garis bawahi, aku cakep.

Sebenarnya, aku juga bertanya-tanya mengapa sih yang Pendidikan yang kuambil berada di bidang yang sama sekali bukan seorang, "Laras." Serius, awal masuk kuliah, aku sempat shock. Akhir pekanku yang biasanya dihabiskan untuk nongkrong cantik, berubah aktivitas dengan mengamati perbedahan pertumbuhan hasil tanaman monokultur dan tumpang sari, berhari-hari kerjaanku hanya di kebun.

Bunda bahkan hampir menyuruhku mundur ketika hampir setiap hari aku pulang malam, hanya untuk memberi air tepat pukul sembilan malam pada tanaman yang aku tanam. Tanggapanku hanya tertawa, bunda tidak tahu betapa asyiknya melihat tanaman yang aku tanam, tumbuh dan berbunga.

Makin menggeluti dunia yang berhubungan dengan tanaman itu, aku makin terjebak. Aku bisa memisahkan diri, mana diriku saat "menjadi Laras si anak Agronomi" dan mana "Laras si anak pencinta fashion dan make up". Aku tahu cara menempatkan diri, jadi kalau ditanya, mengapa dunia pekerjaanku berbeda dengan apa yang selama ini melekat sebagai image diriku, jawabannya sederhana.

Karena aku mencintai duniaku ini. Sama cintanya aku terhadap dunia kepenulisan. Dua cinta yang sulit aku bandingkan, mana yang paling aku cintai.

Jadi Dosen, itu sebenarnya bukan cita-citaku. Ketimbang jadi dosen, aku malah berkeinginan kerja di lapangan aja, seperti menjadi kepala bagian pembibitan atau ahli konversi tanah dan air. Yah... sayangnya, negara Indonesia masih menganut pandangan bahwa, "Yang dibutuhkan di lapangan adalah seorang laki-laki." Impianku buyar dan untuk mengurangi rasa sakit hati itu, aku memilih jadi dosen.

Pikiranku terputus saat seorang mahasiswaku datang sambil membawa kertas yang sudah penuh dengan tulisannya, aku menganggukan kepala sambil menerima kertas tersebut. Hari ini adalah pertemuan terakhirku dan mahasiswa semester empatku di kelas Teknik Budidaya Tanaman. Hari ini juga, mereka telah menyelesaikan mata kuliah wajib semester dua tersebut.

Aku menarik napas legah, mataku berpedaran pada seisi ruangan, "Waktu tingga satu menit. Silakan ke depan untuk mengumpul kertas jawaban kalian, tidak ada diskusi selama perjalanan dari bangku ke meja saya. Saya lebih menghargai nilai kecil karena kejujuran, daripada nilai besar karena kecurangan," peringatku.

Galak. Semua mahasiswa sepakat kalau aku ini dosen yang galak, suka ngasih kuis dadakan, dan tidak menolerir sedikitpun kecurangan. Tapi meskipun begitu, kelasku selalu paling ramai meskipun ada dua kelas dengan mata kuliah yang sama—dalam arti kata, mereka bisa memilih kalau memang mau menghindari aku yang galak ini.

Ucapanku membuat para mahasiswa berbondong-bodong menuju mejaku untuk mengumpulkan kertas ujian, beberapa dari mereka tampak hanya menundukkan kepala di perjalanan menuju mejaku, seolah benar-benar takut bahwa aku bisa menangkap kecurangan dari mereka.

Lima menit kemudian, semua kertas ujian sudah berada di tanganku. Mahasiswaku kembali duduk di bangkunya masing-masing

Aku tersenyum tipis. "Terima kasih banyak atas kerja sama kalian selama delapan kali pertemuan dengan saya di mata kuliah Teknik Budidaya Tanaman ini. Ingat, bahwa nilai yang kalian dapatkan, bukan hasil dari kertas ini atau kuis-kuis yang saya adakan. Saya menilai proses, bukan hanya kertas. Jadi, kalau kalian sudah melakukan semuanya dengan baik dan jujur, insyallah hasilnya juga sesuai dengan apa yang kalian kerjakan itu." Hening, tidak ada satupun mahasiswaku yang buka mulut, entahalah apa sebegitu menakutkannya aku hingga taka da yang berani membantah? Tapi aku bersyukur, bukankah ini artinya aku dosen yang disegani?

"Nilai akan keluar dua minggu lagi. Kalau kalian merasa ada yang salah dengan nilai yang kalian dapatkan, kalian bisa hubungi saya karena saya adalah dosen yang bertanggung jawab untuk meng-input nilai mata kuliah ini. Berhubung ini pertemuan terakhir kita, saya juga mengucapkan maaf kalau selama saya mengajar ada kesalahan baik dari tindakan maupun tutur kalimat yang saya ucapkan. Manusia adalah segala-galanya dari banyak khlilafan, begitu juga saya."

Semua mahasiswaku masih diam, bahkan mereka tampak tidak berani menatap ke arah lain kecuali aku.

"Kalau begitu, saya akhiri kelas hari ini. Semoga ilmu yang kalian dapatkan baik dari saya maupun dari dosen pengampu sebelum saya berguna. Akhir kata, wassalamualaikum warrohmatullahi wabarakattu, selama siang!" Aku bangkit sambil memegang map berisi absensi dan kertas ujian mahasiswaku.

Tanpa menunggu mereka beres-beres atau mendengar mereka membahas lagi soal ujian yang aku berikan, aku melangkah duluan keluar kelas. Senyumku masih merekah, toh aku sangat bahagia karena setelah ini aku akan libur sampai bulan agustus. Wah! Juni-juli-agustus, bisa keliling Indonesia kan aku, ini sih alasan kenapa aku jadi dosen. Mahasiswa libur, dosen juga libur. Terlebih aku masih dosen muda yang jam terbangnya tidak banyak, jadi tidak harus terus menerus stay di kampus.

"Setan! Wira!" Senyumku langsung pudar, tubuhku mundur karena kaget melihat kutu kupret Wira berdiri di ambang pintu ruang kelasku mengajar. Demi Tuhan! Kenapa makhluk ini bisa sampai ke sini.

Wira sama sekali tidak tersenyum, dia hanya memandangku aneh. "Kenapa lo kaget? Kan gue sudah bilang semalam kalau gue bakal jemput lo di Bogor."

Aku menarik napas dalam, mataku melirik ke arah kelas, beberapa mahasiswaku tampak kepo mengintipku dan kutu kupret satu ini. Dengan segera, karena aku paling benci menjadi gosip mahasiswa, aku memberi kode kepada Wira untuk mengikutiku, tempat ini tidak baik adi latar tempatku dan Wira bersama—bisa-bisa semua orang tahu bahwa dosen mereka yang super duper mereka segani ini, punya sifat bar-bar kalau di hadapan lelaki.

Langkahku agak terburu-buru, terlebih kalau melewati mahasiswa. Serius, aku tahu bahwa semalam Wira sempat me-whatsappku dan bilang, akan jemput aku di Bogor karena bunda meminta. Tapi ya kali, nggak perlu sampai ditunggu depan pintu kelas.

Nih kutu kupret, emang niat banget bikin reputasiku jatuh.

Sampai di ruanganku yang hanya kutempati dengan dua orang dosen lainnya, yang kemungkinan masih sibuk menghabiskan pertemuan mata kuliah. Aku menutup segera pintu, menguncinya dari dalam, dan langsung menatap Wira kesal.

"Lo niat banget ya bikin gue digosipin dosen sama mahasiswa lain?" sungutku kesal.

Wira menatapku dengan pandangan aneh. "Gosip apanya?"

"Wir!" Aku mendesah, ini yang paling aku hindari dari berhubungan dengan laki-laki. Jujur, aku berpacaran hampir puluhan kali dan aku selalu melarang pasanganku untuk menyentuh ranah tempatku bekerja, datang ke kampus untuk menjemputku adalah kesalahan besar yang tidak aku toleransi.

Masih dengan pandangannya yang menatapku penuh dengan kebingungan, Wira bicara, "Ada yang salah?"

"SALAH!" Jeritku marah. Aku benci—bukan benci lagi, tapi paling benci jika orang-orang tahu hubungan asmaraku, selama ini yang kuberi tahu mengenai hubungan asmaraku itu hanyalah dua sahabat terdekatku dan yah... mentok di Elang, karena dia juga sering jadi tempat curhatku. Dan apa-apaan ini! di saat semua orang, lagi haus-hausnya mencari informasi tentang "calon pasangan hidupku." Wira malah datang, seolah memberi angin segar bagi mereka yang kepo dengan urusan percintaanku.

Wira kaget dengan bentakkanku, terlebih selama hampir satu bulan, terhitung dari hari dimana aku menjemputnya. Kami memilih untuk genjatan senjata.

Kemarin, Wira bilang bahwa dia ada tugas lagi di Jakarta. Aku sebenarnya tidak terlalu paham tentang pekerjaannya sebagai polisi, yang aku tahu, polisi itu tugasnya cuma sering nilang di jalanan. Serius! Sebagai orang awam, pandanganku hanya begitu, tapi melihat Wira yang sering keluar kota sana sini, ikut berjaga ini dan itu. Mataku sedikit terbuka, bahwa tak semua polisi, kerjaannya hanya berdiri di pinggir jalan dan menyetop pengendara yang dianggap melanggar peraturan.

Bunda sangat menyukai Wira, di hari pertama kami bertemu. Bunda mengadakan makan malam khusus untuk menyambut Wira, atau lebih tepatnya makan malam terselebung untuk bunda kepo mengenai kehidupan Wira.

Wira ini anak bungsu dari empat bersaudara, kakak pertamanya laki-laki dan rupanya berada diranah yang sama dengan Wira—bahkan aku sampai berdecak kagum mendengarnya, ya. Kakanya Kapolres Medan. Waktu aku menjemput Wira yang baru bertandang dari Medan, dia rupanya baru selesai mengunjungi kakak pertamanya itu. Bang Yudistira.

Kakak keduanya adalah perempuan, menetap di Semarang dan bekerja sebagai guru PNS. Mungkin tampak biasa saja, tapi setelah aku sok bertanya dengan Alia. Rupanya Mbak Gayatri—nama kakak perempuan Wira ini, rupanya juga membangun sebuah sekolah luar biasa untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang kebetulan tidak dirawat dengan baik.

Makin minder saja aku dengan keluarga Wira.

Dan terakhir, kakak laki-laki Wira yang sebentar lagi akan menikah, satu-satunya yang tidak tinggal di Indonesia. Pekerjaannya mungkin paling berbeda dari dua saudara laki-lakinya yang memilih untuk mengabdi dengan negara. Bang Bima—dia bekerja di WWF atau yang sering diketahui sebagai World Wide Fund for Nature, organisasi non pemerintah yang bergerak dalam pelestarian alam, konserbasi, dan perlindungan fauna secara berkala. Terakhir, Wira bercerita di hadapan bunda—yang kebetulan aku juga duduk di situ, Bang Bima bekerja untuk pelestarian fauna Quoll yang terancam punah dan hanya ditemukan di hutan basah di Australia Tenggara dan Tasmania, jujur ini sangat menarik bagi aku yang pernah tinggal di Australia, mungkin mengobrol dengan Bang Bima bisa sangat menarik.

Dan Wira, AKP Wiradharma Davendra. Aku tidak tahu banyak hal karena dia juga lebih banyak menceritakan kakak-kakaknya ketimbang dirinya, yang aku dengar, setelah lulus Akademi kepolisian di Semarang. Dia lanjut Pendidikan di PTIK dan mendapat gelar bintang Widya Cendikia, sebenarnya, karena baru selesai Pendidikan, Wira masih menunggu penempatan dirinya.

Semua kakak-kakak Wira tampak luar biasa, demi Tuhan! Aku sampai geleng kepala, ada ya keluarga sesukses ini. Dan yang lebih membuat aku speechless adalah mereka semua dibesarkan tanpa seorang ayah. Ya, ayah Wira sudah meninggal sejak dia baru kelas 5 SD. Menakjubkan, seorang single parent seperti mama Wira, berhasil mendidik semua anaknya untuk berhasil.

"Laras," panggil Wira karena setelah membentaknya, aku hanya diam degan pikiran penuh mengenai laki-laki satu ini.

Aku mengerjap sejenak, membuang muka, lantas menarik napas dalam.

"Jangan lagi, Wir. Gue nggak mau orang-orang berpikiran macam-macam tentang gue dan lo."

Sebulan berhubungan, meskipun selama sebulan itu aku juga pacaran dengan lelaki lain dengan sepengetahuan Wira karena aku juga cerita kepadanya dan Wira tampak tidak masalah. Aku dan Wira terlihat tak lagi banyak berdebat, komunikasi pun jarang, karena ya tadi... Wira sibuk dengan urusannya di kepolisian sedangkan aku sibuk dengan urusanku sebagai dosen.

Wira menganggukan kepala, tak mau banyak berdebat.

Apa ya yang pantas mendeskripsikan hubungan kami? Teman? Tampak bukan, karena kalau teman pasti aku tak canggung kalau bersama Wira. Pasangan? Boro-boro, meskipun tak terlalu lagi sering berdebat, kadang-kadang aku masih suka berlaku sinis kepadanya dan dia—dengan sifatnya yang masih hobi meladeniku kadang-kadang rasanya tidak cocok menjadi pasangan, terlebih aku masih suka lirik sana-sini. Eum, entahlah, mungkin stranger with benefit.

Benefit, aku mendengus. Tapi sebenarnya, berhubungan dengan Wira ada untungnya juga. Untungnya apa? Ya itu, bunda tak terlalu lagi merecok hubunganku dengan laki-laki karena berpikir. Anakku sudah berhasil menemukan belahan jiwanya.

Sedangkan Wira, tampaknya sama. Dari yang aku lihat dari pandangan mata, Wira ini orang yang lebih sibuk ngurusin kasus narkoba ketimbang pasangan. Jadi jelas, dengan adanya "aku" yang kata mamanya, "bakal calon menantu". Wira tidak lagi susah payah meladeni omelan mama dan kakak-kakaknya yang sering menyuruhnya untuk cepat-cepat cari pasangan.

Apakah kami demikian? Maksudnya, merasa "kami adalah calon belahan jiwa." Jawabannya jelas nggak! Aku dan Wira sama-sama tahu kami ini tidak akan cocok menjadi pasangan, kami masih sama seperti dua belas tahun lalu. Aku dan kehidupan cintaku, Wira dan kehidupan cintannya yang tidak aku ketahui.

Dan mengapa dia berada di sini, repot-repot menjemputku. Jawabannya mudah, karena dia tidak ingin terlihat sebagai "pembangkang" perintah orang tua. Maka meskipun ku tahu dia sebenarnya enggan, dia tetap menjemputku.

"Mau pulang atau tetap di sini?"

Aku melirik dia sebentar, kemudian mengambil tasku yang berada di atas meja, tak lupa map yang tadi aku bawa. "Iya udah ayo pulang, tapi lewat gedung samping aja." Lagi, aku tak mau orang-orang tahu hubunganku dan Wira, dan tampaknya Wira tidak terlalu masalah mengenai itu.

-Pull String-

Emosiku masih ada bahkan setelah mobil yang kali ini dikemudikan oleh Wira meninggalkan lingkungan kampus—tempat aku mengajar.

"Lo kalau cuma diem aja, jadinya aneh," kata Wira tanpa menoleh.

Aku meliriknya, dia tampak fokus menatap ke jalanan. "Kesel. Lo bertindak seenaknya banget."

"Ras, seriously?" Manik mata Wira sempat melirikku sejenak. "Gue cuma jemput lo di kampus. Apa salahnya? Bukannya cowok-cowok lo pernah juga jemput lo di kampus, lantas apa bedanya sama gue." Kalimatnya terdengar sinis.

Aku memang tidak pernah cerita dengan Wira kalau kampus adalah zona terlarang bagi pacar-pacarku untuk datang, wajar saja sih aku tidak cerita. Toh, Wira bukan salah satu pacarku. Dia hanya lelaki yang kebetulan dipilihkan orang tuaku untuk jadi pasangan hidupku—padahal kenyataannya kami sedang menunggu waktu yang pas saja untuk mengutarakan bahwa kami tidak cocok.

"Kenapa diam?"

"Nggak ada satupun cowok yang pernah jemput gue di kampus kecuali Mas Gatra."

Dia melirikku lagi, lantas mendengus tanda tidak percaya.

"Lagipula, gue kan sudah bilang. Gue bisa sendiri balik ke Jakarta," alihku karena tak mau dia menggerus lebih dalam alasanku.

"Ribet," sahutnya. "Bunda lo dan mama gue jelas bakalan ngamuk kalau lo balik sendirian pas gue lagi di Jakarta."

Wira ini manusia yang banyak bicara, mirip denganku.

"Kalau bukan suruhan bunda dan mama, lo nggak ada inisitif dong?" tiba-tiba aku ingin bertanya ini, mulutku gatal bertanya. Selama sebulan dekat dengannya, aku sudah dua kali ganti pacar dan baru putus dua hari yang lalu. Sedangkan dia? Tampaknya masih saja sendiri.

"Menurut lo?"

Aku mendengus, "Cari pacar dong, Wir. Jadi bisa jadi alasan juga untuk kita kalau misalnya menolak perjodohan bego ini," ungkapku.

"Lo pikir nyari pacar semudah numbuhi toge di kapas?" cibir Wira, laki-laki itu menurunkan tangannya dari setir, macet menghalang laju mobil kami. Lantas sedetik kemudian, Wira menatapku yang memandangnya dengan mata memicing. "Oke, im wrong.Kecuali lo."

"Kalau dari gue yang menolak ini karena punya pacar, jelas bunda akan menolak mati-matian. Toh dia tahu, gue nggak pernah serius sama pacar-pacar gue itu," ujarku.

Tangan Wira sudah kembali memegang setir mobil, pada saat itu aku baru menyadari bahwa tangan Wira memiliki banyak bulu yang terlihat kontras dengan kulitnya yang kuning langsat. Untuk ukuran seorang yang bekerja di lapangan, kulit Wira pasti masuk kategori paling cerah. Mataku sempat merambat ke bagian lengan atasnya yang dibalut kemeja ¾ berwarna navy. Agaknya, laki-laki itu suka sekali memakai sesuatu berwarna navy. Lengan Wira, eum... sangat mengiurkan untuk jadi tempat perempuan bergelanyutan.

"I don't have a time,"ujar Wira. "Kalau gue semudah lo dapatin pacar, mungkin nggak akan ada rencana bunda buat jodohin gue."

Iya juga sih.

"Lo nggak suka batangkan?" tebakanku cepat.

Jawabannya adalah toyoran pelan pada kepalaku. Yang kubalas dengan toyoran kuat ke kepalanya. Enak saja main toyor!

"Sakit, bego," decakku.

"Gue pelan banget lo noyor lo barusan, lo bales kayak mau mecahin kepala gue ke kaca mobil," semburnya.

Aku mengangkat bahu. Menebak lagi. "Ah! Gue tebak, lo lagi terjebak sama masa lalu karena sulit move on. Benar?"

Kali ini, Wira diam beberapa detik. Sebelum menggelengkan kepala, tapi entah ya... insting aku kuat kalau tebakan kedua aku ini benar, sehingga kini aku lagi dan lagi menatapnya dengan pandangannya meneliti.

"Siapa, Wir?"

"Nggak ada."

"Ish pelit. Gue cerita-cerita aja pas gue pacaran sama Ronald kemarin, terus sama Theo juga." Entah ya, mungkin karena pada dasarnya kami berdua dulu teman curhat, meskipun di awal kami sempat bertengkar karena yah... pertemuan awal kami nggak baik, ujungnya memang aku dan dia balik lagi berhubungan sebagai "tong sampah urusan curhat mencurhat"

"Loh, gue nggak minta lo cerita. Lo yang cerita malam-malam jam dua kayak orang kurang kerjaan."

Nah ini. Aku dan Wira memang jadi intensberkomunikasi hanya pada jam-jam kalong. Aku dan jurnal-jurnalku, Wira dan penyidikan kasusnya. Meskipun kadang yang banyak ngoceh, hanya aku.

"Dulu juga jaman kita SMA, yang hobi curhat itu lo. Anggap aja, sekarang gue minta bayaran dengan curhat ke lo-nya sekarang," balasku tak mau kalah.

Dia hanya menggerutu. Kemudian, mobil menjadi hening—mengingat sekarang yang menyetir adalah Wira dan dia pastinya tidak suka menghidupkan lagu saat di perjalanan.

Dan sekali lagi kubilang, hubunganku dan Wira ini tampak aneh.

Kami tidak terlihat sebagai dua orang yang akan terlibat benci jadi cintakarena meskipun aku tidak menyukainya, hubunganku dan dia tampak baik-baik saja. Ya aku ini penulis novel meskipun sekarang lagi vakum, jelas aku tahu gimana watak perempuan ketika menghadapi perjodohan. Awalnya menolak habis-habisan, lantas berakhir dengan cinta mati-matian.

Aku? Jelas tak ingin begitu. Maka dari itu, dibandingkan terus bertengkar dengan Wira yang ada hanya akan membuatku makin sering mengingatnya... aku lebih memilih untuk menerima dia, bukan sebagai pasangan melainkan tadi. Stranger with benefit.

Yang jadi permasalahannya, sampai kapan aku dan Wira akan terus begini?

"Oh ya, gue udah pesan tiket ke Bali," kata Wira di sela pikiranku yang sibuk. "Besok malam, mau pergi barengan gue atau ketemu di Soehatta aja?"

Tubuhku menghadap dia, lampu merah membuatnya ikut memandangku.

Susah payah aku meneguk air ludahku. Aku sering naik gunung sana sini yang lebih memacu adrenalin, sering juga berpergian dengan lelaki manapun dan bersikap biasa saja, tapi kenapa saat kalimat biasa yang dikatakan Wira barusan membuat aku mendadak jadi khawatir. Lebih khawatir daripada pemberitahuan bahwa jalur pendakian yang akan aku lewati sedang longsor.

Bali... berdua dengan Wira, ya iya sih tujuan kami ke Bali adalah menghadiri pernikahan Bang Bima. Tapi tetap saja, rasanya aneh—seperti aku benar-benar akan masuk dalam kehidupan Wira.

"Gue boleh cancelnggak?"

Wira terlihat kaget, gurat alisnya yang terangkat menandakan bahwa dia bingung.

"Okelah kalau kita sering teleponan karena yah... kita butuh itu sebagai bukti kalau kita berhubungan dan menjalankan tugas baik sebagai anak, terus lo yang jemput gue kayak ini, tapi ke Bali dan datang dengan lo di pernikahan abang lo... i think this is so weird, Wir."

Dia menarik napas sebentar, "Lo tahu, kita sekarang lagi jalan di dalam labirin Ras. Sibuk cari jalan keluar, dan ibarat labirin itu adalah permainan. Hal-hal kayak gini harus kita lewatin dulu buat nemuin jalan keluarnya."

"Gue..."

"Gue tahu, gue juga takut sebenarnya, takut membuat semua keluarga kita berharap bahwa kita bakal berakhir sama-sama. Tapi seperti yang gue bilang, kita nggak jalan alternative Ras, selain jalan ini," kata Wira serius.

Aku mengusap wajahku yang tampak pias.

Wira ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

"Gue nggak ada kalimat yang pas untuk deskripsiin kita kecuali satu... jalanin aja dulu." Dan aku rasa, aku juga begitu.

Bersambung

Sorry banyak narasi, wkwkwk kenapa nggak kubikin Wira Laras berantem habis-habisan kayak yang terjadi pada bab tiga dan malah membuat mereka berdamai. Entahlah, cuma kurasa ini perlu, sebagai hal berbeda dalam ceritaku. Yang nggak dimulai cdari hates become love melulu.

Sama kayak Wira dan Laras, let it flow.

Gimana nih bab ini?

Sorry kalau bosenin, masih awal awal. Masih pemanasan.

Continue Reading

You'll Also Like

9M 368K 27
Untuk semua laki-laki yang mencoba mencari tahu bagaimana perasaan perempuan. Ketahui permainan tentang seorang gadis. "Aturan mainnya, kalau peremp...
4.4M 237K 51
Vanesha Tirana tidak hadir di hari pertunangan itu. Putra sulung Salbatier berdiri begitu saja di atas tebing sore itu di depan keluarganya. Menyada...
2.6M 125K 55
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.8M 25.9K 43
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...