Pull String

By Bellazmr

2.1M 208K 39.6K

#RAlSeries-2 Dilaras Sekarayu. Dia bisa mengambarkan rancangan dirinya di empat atau lima tahun mendatang. R... More

1. Benar Saja
3. Kutu Kupret
4. Genjatan Senjata
5. Spesies Langka
6. Obat Sebuah Penyakit
7. Harapan Bertemu
8. LDR Terjauh
9. Pernikahan
10. Yang Tak Pernah Ada
11. Daftar Rencana
12. Nama Tanpa Cerita
13. Sebelum Jatuh Cinta
14. Tanpa Kabar
15. Jemari Bertaut
16. Dua Kali Air Mata
17. Manusia dari Kerak Neraka
18. Geranium tak Bersalah
19. Pengaruh Tempat terhadap Jawaban
21. Perempuan Keras Kepala
23. Saling Melibatkan
25. Kata Kita yang Nanti
27. Selucu Itu
28. Semua Tentang Wira
29. Sudah (TAMAT)
1. Sepenggal Kisah
2. Permulaan
3. Tertinggal
4. Jatuh Sakit
5. Kata Pergi
8. Mau kamu apa!
SPIN OFF-Pull String
SPECIAL PART (TENTANG)
Untuk Kalian yang Mencintai Kita
Mau baca Pull String lengkap?

2. Prau

80.2K 9.7K 1.2K
By Bellazmr

Bagian Dua

Manfaatkan waktu sebaik mungkin, karena waktu tidak bisa diputar, dijilat, apalagi dicelupin—Dilaras Sekarayu

-Pull String-

"Kalau kamu masih mau manjat-manjat gunung, nggak usah balik lagi ke rumah." Lalu karena aku tidak kunjung berjanji, kalimat ancaman itu bertambah. "Atau sekalian ambil pena, terus coret nama kamu dari kartu keluarga."

Ancaman bunda sepuluh hari yang lalu, sempat membuat aku ngeri dan berniat membatalkan kegiatanku hari ini.

Ya seandainya saja bunda tidak ngotot mempertemukan aku dengan si anak Gajah Mada, aku yakin bisa mempertimbangkan ancaman bunda untuk batal mendaki.

Sayangnya, karena bunda makin hari makin jadi. Ditambah jadwal mengajarku minggu ini yang sudah sengaja aku kosongkan. Aku memilih untuk tidak mundur dan melanjutkan kegiatanku. Urusan bunda bisa belakangan.

"Prau, im coming!"

Ini bukan kali pertama aku mendaki Gunung Prau. Dulu saat aku masih kuliah strata satu, aku sudah pernah mendaki Gunung Prau, mengingat aku masuk organisasi Mapala kampus dan aktif mengikuti kegiatannya.

Kalau dipikir-pikir, sejak dulu, aku sudah keren ya!

Sudah nggak usah malu-malu, akuin aja. Aku emang keren.

"Ini kalau kita nggak di kampus, bisa panggil Bu Laras dengan kakak aja kan?" Aku menoleh, mataku menatap Erlangga dengan pandangan menyipit. Dia menyengir tidak jelas. "Ya? Ya? Boleh?"

"Mau dapat D ya kamu untuk Tanaman Buah?" Ancamku.

Erlangga—atau yang lebih suka dipanggil Elang tertengun, gerakannya untuk membuka carier terjeda. Dia tadi bilang ingin mengambil minyak kayu putih sebagai antisipasi sakit perut akibat hawa dingin pegunungan yang mulai terasa.

Melihat Elang yang tampak canggung, berhasil meledakkan tawaku.

"Ya elah Lang, lo kayak nggak kenal gue aja. Lo ngomong aku-kamu ke gue aja bikin gue enek," cerocosku. Ada-ada saja kucrut satu ini.

Radijana Erlangga, sang buku paket mendengus. Dia ini mahasiswa semester 8 yang mengulang mata kuliah Tanaman Buah yang aku ajar. Selain mahasiswaku di kampus, dia adalah temanku mendaki Prau kali ini. Nah kurang keren apalagi sih gue? Daki bareng mahasiswa. Tapi yah, aku kadang nggak menganggap Elang ini sebagai mahasiswa sih, karena gue sudah mengenal dia dari tubuhnya masih merah—orok.

Ya orok.

Kalian tidak salah.

Bukan orok yang terdengar kalau orang lagi tidur.

Bahkan dulu aku sering menggendong Elang kalau ada acara keluarga. Wajar sih, mamanya adalah adik kandung bunda, aku dan dia sepupuan.

Kami memiliki banyak kesamaan, seperti hobi mendaki gunung, mengambil Pendidikan di bidang Agronomi, suka makan pedas dan minum es, bobrok urusan cinta, dan yah... sering dimarahin orang tua.

Serius, Elang itu seperti aku dalam wujud laki-laki.

"Semester depan kamu sudah bisa seminar proposal kan?" Tanyaku setelah kami berjalan beriringan.

Elang memutar kedua bola matanya, "Males deh. Masa sudah di Prau masih aja bahas kuliah. Santai aja tetap tamat kok gue kuliah." Dia menyengir. "Apalagi kalau dosen pembimbing gue yang cakep ini nggak banyak ngasih revisi di skripsi gue. Duh, cepet banget pastinya."

Aku menjitak kepalanya dengan sebelah tanganku yang belum kupakaikan sarung tangan, udara di Prau sekarang bisa menyentuh angka 10°C , suhu biasa untukku yang dulu hampir tiga tahun tinggal di Australia dan terbiasa dengan suhu 9°C.

Beda dengan Elang yang hampir seluruh bagian tubuhnya sudah tertutup, bahkan laki-laki itu juga memakai masker. Ya Tuhan! Apa serunya manjat gunung tapi seolah mau berpergian kelar planet, sekalian saja Elang kumasukkan ke dalam karung. Entar aku gotong sampai ke puncak. Biar tambah afdol kan.

Gunung Prau ini bukan gunung berapi aktif, tetapi ia termasuk salah satu gunung yang berada di kompleks gunung berapi besar, yaitu Dieng Plateua. Orang-orang yang pernah mendaki Gunung Prau pasti sepakat bahwa pendakian gunung itu medannya tidak terlalu berat, jika dibandingkan Gunung Semeru ataupun Gunung Merapi. Untuk itu, Gunung ini sering digunakan sekadar untuk camping.

Gunung ini berada di perbatasan tiga kabupaten, yaitu Wonosobo, Batang, dan Kendal.

Ada beberapa jalur untuk mencapai puncak Prau, seperti Jalur Patak banteng, Kali Lembu, Dwarawat, dan Dieng. Jalur yang paling terkenal pastinya adalah Patak Banteng, selain jalurnya paling cepat dan hanya 3 pos, jalur ini juga memiliki keindahan yang membuat siapapun pasti memilih jalur ini sebagai pilihan pertama.

Sayangnya aku dan Elang, tidak. Kami berdua pernah mendaki Gunung Prau lewat jalur ini, jadi untuk kali ini kami memilih jalur Dieng yang lebih menantang.

Jalur ini memilki empat pos. Dan pendakian kami dimulai.

"Gue pengin deh punya cewek yang bisa diajak hiking," komentar Elang di sela perjalanan mereka.

Tanpa menoleh padanya, aku menjawab. "Biar bisa lo apa-apain ya pas di puncak."

"Sembarangan!" sahut Elang tidak terima. "Lo pikir gue sebejat itu apa. Ya kagaklah... cewek yang pas daki itu, cakepnya serratus persen meningkat."

"Ini secara nggak langsung, lo muji gue cakepkan?" Kali ini, aku menoleh dengan senyum terpampang meledek.

Elang pura-pura muntah.

Kami mulai mendaki dari jam tiga sore, karena sudah pernah mendaki Gunung Prau dan yah... sering mendaki gunung-gunung lainnya, aku dan Elang punya banyak kenalan dan tidak susah untuk lewat dari peraturan pendakian yaitu memakai guide.

Pos satu dinamakan Pos Gemekan. Dari basecamp, menurut informasi bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Aku dan Elang, memilih tidak berpacu dengan waktu. Kami ingin santai-santai saja, yang penting sampai, lagipula target kami adalah sampai sebelum sunrise. Dan kami masih punya banyak waktu, sunrise masih lebih dari dua belas jam lagi.

Karena melintasi lading sayur penduduk, beberapa kali aku sempat berhenti untuk memotret dan yah... siapa tahu bisa jadi bahan riset. Elang hanya geleng-geleng saja melihat tingkahku itu.

"Susah ya, mendaki bersama dosen," cibirnya.

Aku hanya menjulurkan lidah, meledeknya. Meskipun aku dosen, toh aku tetap keren. Kondisi jalurnya masih sangat santai, berbatu dan landai. Seingatku dulu, model jalur ini mirip jalur pendakian via Patak Banteng menuju pos satu. Ah ya! Ladang kentang, aku jadi ingat dulu saat pertama kali mendaki Gunung Prau, mendapat bekal tiga buah kentang dari penduduk sana.

"Fotoing dong, Lang," pintaku seraya menyodorkan handphone. Girl always be like girl. Berburu foto juga sebuah kewajiban bagiku kalau mendaki. Ngomong-ngomong aku juga sebenarnya membagikan pengalamanku mendaki di Instagram, pengikutku ya memang tidak sebanyak Nadine Chandrawinata. Tapi yah, cukup lumayan untuk menjadi insipirasi kawula muda. Iuh.. bahasaku mulai menjijikan.

Empat puluh menit kemudian, kami sampai di pos satu. Legah luar biasa dan tidak lupa, aku mengabadikan foto tulisan pos. Biar bisa jadi bahan posting.

"Minum," sodor Elang. Aku mengambilnya, tak lupa sambil memandang wajah Elang. Kalau dipikir-pikir Elang ini memang cakep banget, wajar banyak mahasiswiku yang sering ngomongin dia.

Ya aku jujur, Elang ini tipe-tipe pacar materialbangetlah. Kalau aku nggak ingat umur dan jalur persaudaraan kami, aku pasti mau-mau aja kalau dideketin cowok modelan Elang. Selain cakep, dia ini tipe yang hanya banyak ngomong sama orang terdekat dia aja.

Terbukti, meskipun denganku sangat cerewet. Elang itu jarang ngomong kalau sudah sampai di kampus.

"Gimana, pacar lo?" Aku iseng bertanya setelah mengembalikan wadah minum.

Elang mendengus, "Pacar gigi lo. Yang seharusnya lo tanya, Lang gimana kabar hati lo, udah move on? Udah bisa pasrah sama keadaan?"

Aku tertawa, tanganku menoyor bahunya. "Cewek banyak kali, Lang. Putus satu, tumbuh seribu."

"Iya tumbuh, tumbuh di hati orang," sambar Elang sinis.

Aku kembali tertawa. Dan yah! Siap-siap patah hati ya kalian, Elang ini tipe cowok sulit move on. Yang ku tahu, dia cuma pernah naksir satu perempuan dari jaman SMP sampai sudah setinggi babon kayak sekarang. Sayangnya, perempuan itu lebih memilih taaruf dibandingkan meladeni perasaan Elang. HAHAHA, ketawain bareng yuk.

Tak tega, aku mengusap bahu Elang, mengajaknya untuk kembali melangkah menuju pos dua. Galaunya Elang tidak bisa membuat kami tiba-tiba pindah k epos dua, jadi harus aku insiatif menyemangatinya.

Beruntung, aku dan Elang mendaki tidak saat hujan. Karena jalur yang kami lewati sekarang adalah tanah merah, bisa dipikirkan bagaimana jalur tersebut ketika hujan turun? Licin, kotor, dan ew! Aku paling malas berbecek-becekan.

Setelah berbelok ke kanan pada pertigaan, jalur tanah tadi mulai berubah sedikit menanjak dan menurut peta yang kupegang sekarang, kalau aku dan Elang mengambil jalan lurus maka kami akan sampai ke Ladang Carica. Tahukan Carica? Ituloh papaya gunung.

Carica ini biasa hidup pada Dataran Tinggi yang basah, maka dari itu jarang sekali menemukan Carica di kota-kota, apalagi Jakarta. MIMPI!

Aku sebenarnya sangat berminat ke Ladang Carica itu, mau membeli beberapa carica untuk kujadikan oleh-oleh. Tapi Elang menolak, dia bahkan ngambek ingin balik turun kalau aku nekat pergi ke Ladang. Dan pada akhirnya, aku menuruti kemauan si bayi besar.

"Ah akhirnya!" jerit Elang senang ketika matanya sudah menangkap lokasi pos dua. Lokasi pos dua ini tempatnya benar-benar pas untuk dijadikan peristirahatan, untuk itu di pos dua aku dan Elang sedikit berlama-lama. Pos dua ini disebut Pos Semendung.

Ingat beberapa jalur mendaki Prau? Nah, pos ini juga merupakan percabangan dari jalur pendakian Dwarawati. Mungkin kapan-kapan aku harus mencoba mendaki Gunung Prau lewat jalur tersebut.

Kami melanjutkan perjalanan sehabis magrib. Sengaja, selain karena takut magrrib lewat juga dikarenakan pos ketiga ini perlu waktu hampir satu jam.

"Lo nggak takut kan mendaki malam?" Tanya Elang tiba-tiba saat kami mulai bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

Aku terkekeh dengan ledekan Elang. Gini-gini, aku senior dalam urusan mendaki meskipun Elang adalah laki-laki.

Bahkan, disela Pendidikan S2 di Australia. Aku sempat mendaki King Canyon, salah satu gunung dengan pendakian paling popular. Bahkan seingatku dulu, di sana ada lebih dari 600 spesies dari tumbuh-tumbuhan dan hewan langkayang terjaga. Kurang keren apalagi hidup aku sih?

Tahu ekspresi mukaku yang terlihat meremehkan, Elang mengangkat tangan seolah menyembah. "Iya Sesepuh, hamba sadar... maafkan hamba," sindirnya.

Aku mendengus. Kami melanjutkan perjalanan, jalur tanah mulai berganti dengan hutan pinus. dI malam hari seperti sekarang, udara pegunungan semakin dingin dan mau tak mau membuatku merapatkan mantel.

Setelah hampir lima puluh menit berjalan, kami sampai di Pos Nganjir. Pos ini mudah sekali ditemukan karena berada di tengah hutan pinus yang lapang. Dan yah... kami beristirahat lagi.

"Jalur ke depan katanya ekstream," peringat Elang.

Aku mengangguk. Dan sempat mengumpat karena kini, gerimis mendadak menguyur jalur pendakian kami. Beberapa kulihat pendaki lain yang ikut kesal dengan kondisi, tetapi adapula yang terlihat santai saja.

Aku mencoba tenang, apalagi melihat Elang yang terlhat tidak ada masalah. Dan jika tadi hanya berdua, karena di pos ini kami bertemu beberapa orang yang juga memiliki tujuan yang sama. Puncak Prau. Kami akhirnya memutuskan untuk bersama-sama.

Tim kami menjadi enam orang, dua perempuan dan empat lelaki. Jika dilihat dari tampangnya, aku dapat tahu bahwa mereka terlihat seumuran denganku. Perempuan yang berada di timku rupanya adalah istri dari laki-laki yang sedang menanyakan trek pendakian, Namanya Hanum. Dia orang Jogja.

"Sudah sering mendaki?" tanya Hanum. Dia berdiri di sisiku.

Aku mengangguk, "Nyempet-nyempetin aja di sela ngajar. Kamu?"

Sebenarnya aku terbiasa ngomong lo-gue, tapi melihat cara bicaranya yang lembut. Aku tidak tega membalas pertanyaannya dengan lo-gue.

Hanum mengangguk. "Sejak menikah, ini gunung ketiga yang aku daki bersama suami."

Aku berdecak kagum. "Wow! Hebat ya, sudah menikah tapi sempat mendaki. Keren."

Kekehan Hanum terdengar, "Ya sebelum punya anggota ketiga, kita manfaatin dulu waktu berdua ini."

"Memangnya sudah jalan berapa tahun menikah?"

"Lima," senyum Hanum sedikit memudar. "Tapi yah, belum rejeki."

Aku sedikit mengangguk tidak enak atas ucapan Hanum tadi. Lima tahun menikah, belum memiliki anak, tapi masih berbahagia. Aku kadang iri dengan orang yang bisa seawet ini.

Tak lama kemudian, tiga lelaki yang kini satu tim denganku—minus Elang, karena sejak tadi dia hanya mondar mandir mencari sinyal. Belegug mane mah, nyari sinyal di gunung.

Masih dengan senyum hangat Hanum menggenalkan. Laki-laki pertama adalah suaminya, Widas. Lalu di sebelahnya ada Raka dan Juna—teman Hanum. Mereka sudah berteman sejak kuliah.

Tebakanku benar, Hanum, suaminya, dan teman-temannya memang seumuran denganku. Dan setelah bercerita sedikit, pendakian kami berlanjut. Gerimis tadi, masih saja mengguyur. Kami tak peduli, berbekal doa-doa di dalam hati, kami tetap melanjutkan.

Puncak! Kami datang!

Perjalanan dari pos tiga, jalanan mulai berubah menjadi sempit dan terjal.

Aku sempat mengucap melihat medan yang lumayan berat, ditambah hujan yang semakin deras. Aku bahkan sempat terpeleset beberapa kali, sialan... di saat-saat seperti ini, mendadak list gunung yang sudah aku taklukan mendadak tidak berguna.

Elang tidak membantu sama sekali. Dia malah mencemoohku dengan menanyakan kemana mental pendakianku. Kampet! Tolong ingatkan aku untuk membuat kuis dadakan di kelas Elang nanti.

"Ras, hati-hati." Tiba-tiba saja lenganku dipegang dengan genggaman yang begitu kuat. Aku menoleh dan mendapati Juna sedang menatapku dengan tatapan mengingatkan. "Di sebelah kamu ada jurang."

Setelah memperbaiki posisi, Juna melepaskan genggaman tangannya. Tapi ia tidak beralih dari sebelahku. Dia seolah menggantikan posisi kupret Elang yang malah sok jago berjalan paling depan sekali.

"Kalau hujan gini, track semudah apapun jadi berat," ucap Juna.

Aku mengaggukan kepala, melirik sebentar, aku terperangah melihat tubuh Juna yang menjulang tinggi. Padahal tinggiku sudah melebihi standar tinggi perempuan Indonesia, tapi di sebelah Juna, aku tidak ada apa-apa.

"Prau ini gampang-gampang-sulit. Gampangnya yang karena nggak terlalu tinggi, sulitnya ya ini. Tracknya jadi kacau kalau basah," jelas Juna lagi.

"Sering daki?" Tanyaku.

Juna menggeleng. Tapi aku rasa, dia berbohong karena dilihat dari cara dia menjelaskan, aku yakin dia sering mendaki.

Juna tampaknya enak diajak ngobrol, jadi sengaja kupancing saja. "Pendakian tertinggi lo dimana?"

"Menurut lo?" Dia mengajakku menebak rupanya. Aku pura-pura berpikir, lalu tertawa. "Nggak mungkin mount Everest kan tapi? Ya kali empat puluh hari."

Tawaku lebar terganti dengan celetukan Raka yang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang, dia tadi memang menjaga bagian belakang.

"Dia mah sudah kali Ras, daki gunung itu." Raka menepak kepala Juna. "Delapan ratus delapan puluh empat delapan meter, berhasil jurigini taklukin dua tahun yang lalu. Hasilnya nggak main-main, lo mau tahu dia ker—"

"Jangan didengerin, gue ini cuma pengangguran. Makanya banyak waktu buat mendaki, " celetuk Juna cepat. Laki-laki itu terlihat tidak ingin membahas pekerjaannya.

Raka tertawa, sedangkan aku tampak sangat penasaran.

"Sudah. Lanjutin aja, nanti tambah malam, males bikin tenda."

Tanpa peduli dengan ekspresiku yang kepalang penasaran, Juna berjalan melewatiku dan Raka. Setelah agak jauh, aku menoleh pada Raka yang masih menyengir.

"Jadi?"

"Jadi apa?" Raka tampak menguji kesabaranku.

"Dia kerja dimana?"

Raka berpikir beberapa detik, kami tetap melangkah meskipun sambil mengobrol. Lalu pada menit ketiga, Raka tertawa. "Ada deh. Cari tahu sendiri coba."

Dan sialnya aku jadi penasaran dengan Juna-Juna ini.

Tenang, yang pasti Juna yang ini bukan Chef dan Juri ajang masak di Televisi.

Bersambung

Btw, aku nggak pernah mendaki Prau. Cuma karena temen pernah ke sana dan cerita, ya setidaknya ada yang terbayangkan. Beberapa info Prau lainnya aku ringkas dari blog-blog yang aku baca. Ya semoga, penjelasan aku terbayanglah di kalian.

1. Apa perasaan kalian setelah membaca cerita ini?

2. Cie, sekarang penasaran sama Juna atau Wira. Dari nama sih cakep-cakep ya wkwk.

3. Gimana masih sanggup lanjutin baca atau udah nggak tertarik?

4. Lanjut bab 3, yay or nay?

Salam, Laju (Laras Juna wkwkwk)

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 93.1K 31
April, seorang staf di sebuah kantor konsultan di bidang konstruksi, harus menahan sabar setiap kali para petinggi di kantor menanyakan satu pertanya...
939K 132K 42
[HATI] . Terbiasa hidup hanya untuk makan, tidur, dan bernafas sehari-hari, bisa dibilang membuat Maya si Pengangguran dengan track record selama dua...
68.4K 12.2K 55
🏅1 in Teenlit Indonesia [8/11/19] (Follow sebelum baca) Di Brazil ada sebuah kota bernama Nao-me-Toque yang artinya "Don't touch me". Bagiku, kota...
634K 67.7K 44
Antara cinta, keragaman, dan kemanusiaan. Bagaimana cara membuktikan manusia saling mencintai? Beri saja perbedaan di antara mereka.