Almost Paradise [COMPLETED]

By IronHeights

14.9K 2.9K 357

[PROSES PENERBITAN. PART MASIH LENGKAP] Lita terlalu sering menonton drama Korea. Hingga ia ingin menciptakan... More

SATU
DUA
TIGA
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TRAILER
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
DUA PULUH SEMBILAN
EXTRA PART - Before Daffa
GOOD NEWS!

EMPAT

465 125 5
By IronHeights

"Hahahahahahahahahaha......."

"Heh! Mana ada cewek anggun ketawa nyablak gitu? Si ketua golf kabur baru rasa lo." Lita bersungut kesal mendengar ketawa Lerina yang lebar dan nyaring.

Lerina menutup mulutnya, namun Lita tahu temannya yang kadang judes banget itu lagi setengah ampun menahan tawa yang mau menyembur lagi.

"Nih, tisu basah. Siapa tau itu merah-merahnya ilang dielap ini." Erick menyodorkan tisu basah yang berasal dari saku jasnya. Agak takjub ada cowok bawa tisu basah sih, tapi kalau Erick bukan hal aneh lagi.

Lita mengambil juga tisu basah yang diberikan Erick, walaupun ia tahu tisu itu tidak akan bisa menghilangkan bekas merah di pipinya dalam sekejap.

"Jadi, kemarin kamu asal nyebur dan itu pipi ketampar air, karena kamu nggak tau gimana loncat yang bener dari papan loncat?"

"Nggak usah diperjelas lagi, Mar!" Lita mendorong bahu Mary gemas.

"Hahahahahaha.... malu-maluin abis." Tawa Lerina kembali menyembur dari mulutnya.

"Diem sih." Lita menelungkupkan kepalanya di atas meja.

Lita masih merasa malu banget kalau ingat kejadian tadi sore. Gara-gara terlalu emosi dibilang manja sama Fiksa, dia loncat begitu saja kedalam kolam. Lita lupa kalau sebelumnya dia tidak memerhatikan anggota ekskul renang sebelumnya bagaimana mereka melompat, bagaimana ancang-ancang atau gaya mereka. Akibatnya, wajahnya duluan yang menghantam air dan itu sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi karena seluruh anggota ekskul yang ada di kolam renang menertawakannya, sedangkan Fiksa hanya diam memandangnya dengan mata yang disipitkan.

"Terus, terus gimana kelanjutannya?"

"Kalo gue ngalamin kejadian malu-maluin aja lo demen banget nanya. Giliran gue nanya-nanya sama lo, lo males-malesan jawabnya." Lita mendelik pada Lerina yang masih tertawa di sela ucapannya. 

"Nggak ada terus-terus. Gue diketawain sama anggota lain disana sampe jam ekskul kelar. Puas lo?"

Tidak ada jawaban. Hanya ada Lerina yang ngakak puas, sepertinya Lerina lupa mempertahankan image anggun bak seorang putri raja khasnya, Erick yang menatap sok iba dan Mary yang senyum sedikit. Menatap ketiga orang di depannya, sebenarnya Lita bersyukur ada tempat mencurahkan segala kejadian yang dialaminya, termasuk kejadian memalukan kemarin.

Lerina yang pada awal sekolah sangat anti pada Lita, lama-lama mulai menjawab dan membalas setiap perkataan Lita yang kadang tidak penting, walaupun masih tetap mempertahankan gaya sombongnya. Tapi, Lerina terkadang lupa sama gaya princess, seperti sekarang ini dia masih tertawa puas atas kejadian yang menimpa Lita.

Sementara Erick memang dari awal sekelas sama Lita adalah murid laki-laki yang paling dekat dekat dengan Lita. Lita hanya santai dan menganggap godaan Erick adalah bercandaan yang bisa menghiburnya, meskipun kadang suka bikin bete. Erick tetap teman pria satu-satunya yang dekat sama Lita dengan gaya metroseksualnya yang lebih rapi, bersih, fashionable, dari Lita yang seorang perempuan. Dan Mary, masih dengan sikap dan sifatnya yang memang 'Mary banget'. Kadang bisa ngomong sepotong saja, mengangguk pelan, tapi kadang juga bisa ngoceh panjang lebar melebihi guru Bahasa Indonesia yang lagi mendongeng.

"Hari ini ekskul apa?" tanya Erick tengah sibuk merapikan rambut jigraknya yang memang sudah rapih.

"Siang PMR. Sorenya paduan suara." Lita menjawab sambil melihat catatan kecilnya.

"Kalo ada kejadian lucu lagi, jangan lupa cerita-cerita. Oke?" Lerina kembali tertawa.

"Mending kamu siap-siap sekarang. PMR mulai jam satu, kan?" Mary mengingatkan.

Lita mengangguk kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas, tidak lupa melempar tisu basah bekasnya ke arah Lerina yang belum capek tertawa.

Ekskul PMR diadakan di Aula Dua, luasnya sama seperti lapangan basket atau futsal indoor. Ketika memasuki aula sudah ada beberapa orang di sana sedang sibuk masing-masing. Ada yang mengobrol, ada juga yang sedang merapikan peralatan latihan. Lita baru saja mau duduk di pinggir panggung yang ada dalam aula itu ketika ia diberi perintah, kalau semua anggota harus berkumpul ditengah aula dan duduk mengampar dibawah.

"Jadi, hari pertama ini kita akan pengenalan awal dulu. Saya Tari, wakil ketua PMR, kelas sebelas. Sistem latihan kita tiap minggu itu perkelompok biar lebih gampang nantinya. Saya minta kalian bentuk kelompok terdiri dari enam orang. Laki-laki sama perempuan dipisah, ya. Terus, kalo udah kumpulin data kelompok kalian ke saya."

Semua anggota PMR yang baru langsung sibuk sana-sini mencari teman satu kelompok, sedangkan Lita celingukan mencari seseorang yang membuatnya daftar ekskul ini. Sang ketua ekskul malah tidak kelihatan sama sekali. Lita mulai curiga kalau informasi yang diberikan Lerina itu salah, karena tidak mungkin ketua terlambat atau bahkan tidak hadir dipertemuan pertama ekskulnya. Lita terpaksa harus berhenti mencari sosok ketua PMR, karena ia harus ikut dalam salah satu kelompok agar bisa ikut latihan.

Sejam berlalu Lita sudah tenggelam dalam latihan Pertolongan Pertama. Ia kebagian jadi leader, seseorang yang memberi komando menangani korban di tiap kejadian. Seorang teman kelompoknya sudah terbaring menunggu diberi pertolongan pertama oleh Lita, sementara anggota kelompoknya yang lain siap siaga dibelakang Lita menunggu komando untuk membantu atau memberi peralatan yang Lita butuhkan. Rasanya Lita ingin sekali menggetok kepalanya, karena tadi ketika kelas sebelas menjelaskan dan memberi contoh pertolongan pertama ia malah sibuk mencari-cari seseorang yang jelas-jelas tidak ada dalam aula itu. Alhasil, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Teman sekelompoknya yang menjadi korban mulai kesal, karena Lita tidak juga memulai latihan, malah diam kebingungan.

"Saya rasa dia udah mati, karena penolongnya hobi ngelamun." Seseorang di sebelah Lita membungkukkan badannya, menatap si pasien yang tadi pura-pura pingsan sepertinya akan benar-benar pingsan, karena ditengok 'malaikat maut' berwajah tampan.

Lita terlonjak kaget dan menoleh. Ada Seran di sebelahnya memandangi Lita dengan wajah serius.

"Kamu bisa beli kain kafan sekarang juga. Pasien kamu udah dicabut nyawanya saking kelamaan ditolong." Seran berlalu dari hadapan Lita yang masih bengong.

*

Ekskul PMR selesai lebih cepat dari jadwal seharusnya dan Lita berniat memanfaatkannya untuk makan siang yang belum sempat ia lakukan, karena tadi dia langsung ke Aula Dua. Lita terlebih dulu masuk ke ruang musik berniat menaruh tasnya, baru akan makan di kafetaria.

Mungkin karena ekskul baru akan dimulai sekitar dua puluh menit lagi, ruang musik baru diisi tiga orang. Lita menaruh tasnya di tempat duduk urutan pertama, ia harus duduk paling depan agar apapun yang diajarkan dan diinstruksikan bisa dicerna baik olehnya. Tujuan utamanya sih bukan itu, ia duduk di pojok depan samping piano besar berwarna putih agar bisa melihat jelas pemain piano yang nantinya akan mengiringi tim paduan suara.

Lita melangkah cepat ke arah pintu keluar, waktu untuk makannya tinggal tersisa lima belas menit sebelum ekskul keduanya hari ini dimulai.

"Eh, aduh..." Lita mengusap-usap kepalanya membentur sesuatu yang membal, tapi lumayan bikin sakit keningnya.

"Eits, sor..... kalo jalan pake mata dong!"

Padahal Lita yakin banget tadi cowok di depannya ini mau bilang 'sorry'.

"Maaf, Kak. Buru-buru." Lita terpaksa meminta maaf sama Daffa yang mukanya berubah judes. 

Daffa masa bodo sama permintaan maaf dan ngeloyor masuk ke dalam ruang musik sambil menenteng bola, tapi tidak lama keluar lagi dengan muka bingung. Lita yang melihat muka bingung Daffa, rasanya ingin sekali mengeluarkan ponselnya dan mengabadikan ekspresi itu.

"Advin mana sih?" Daffa berbicara sendiri, nengok kanan-kiri.

"Kak Advin belum dateng, Kak." Lita mencoba menjawab kebingungan Daffa.

"Nggak nanya." Daffa kembali pergi dari hadapan Lita.

Lita baru mau membuka mulut membalas kata-kata Daffa, tapi dari ujung koridor dilihatnya Advin berjalan tergesa-gesa sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya, yang entah kenapa terlihat sangat keren.

"Yah, nggak sempet makan deh gue," ujar Lita mengelus perutnya begitu melihat Advin masuk ke ruang musik dan menyeret langkahnya masuk ke dalam ruang musik.

Beda dari tiga ekskul sebelumnya yang diawali basa-basi dari pengurus, ekskul paduan suara dimulai tanpa basa-basi. Bahkan Advin tidak mengenalkan siapa dirinya, mungkin merasa kepopulerannya sudah mewakili perkenalan yang hanya membuang waktu. Ekskul paduan suara memiliki anggota terbanyak kedua, setelah ekskul basket. 

"Saya mau dengar suara dan kemampuan kalian pada tangga nada dasar. Oke, kita mulai," kata Advin tanpa mengalihkan pandangannya dari tuts piano.

"Do... re... mi... fa... sol..."

"Stop." Advin memberi tanda berhenti dengan tangannya. Dua puluh lima orang yang ada dalam ruangan itu diam sekejap.

"Kamu." Advin menunjuk Lita yang duduk dekat dengan piano. "Samain suara kamu sama yang lain. Jangan beda sendiri."

"I-iya, Kak." Lita tengsin abis, rasanya kalau saja Advin itu bentuknya kayak buto ijo pengen banget Lita sambit gitar disampingnya. Untung, Advin cakep meskipun yaaa, setipe ekspresinya sama Kay, Fiksa, Seran, dan Daffa.

"Doo......."

Semua dalam ruangan menoleh ke Lita yang bersuara sendiri. Suara yang jauh dari kata merdu.

"Saya kan belum suruh mulai." Suara Advin yang tadinya datar berubah mulai bete.

"Maaf, Kak." Lita menunduk. Malu.

Advin menarik napas. "Oke....."

Advin menghempaskan jari-jarinya ke tuts-tuts piano. Konsentrasinya kacau oleh suara dari 'paduan suara' cacing-cacing di perut Lita yang berdemo kelaparan.

"Ma-maaf, Kak." Lita makin menundukkan kepalanya. Malu, tengsin, dan segala macam jenis rasa malu yang ada di dunia ini pokoknya dirasakan Lita saat itu.

*

"Hahahahahahaha..... hahahhahahaha....."

Lita melangkah lebar-lebar, keki banget barusan diketawain lagi sama Lerina yang ternyata memang Princess Abal-abal. Mana mungkin ada tuan putri ketawa kayak kuda nil?

Beberapa menit lalu Lita baru menceritakan kejadian ketika dia ekskul paduan suara yang berakhir mengenaskan. Ia diusir Advin untuk mengisi perutnya ke kafetaria. Lita dikasih waktu lima menit untuk makan. Selesai cerita, Lerina ketawa ngakak, Erick menepuk pundak Lita agar dia tabah, dan Mary cuek membaca buku rekomendasi dari klub baca yang diikutinya.

Tawa ngakak Lerina sepertinya menempel jelas di telinga Lita, saking kesalnya Lita sampai menggaruk telinganya yang tidak bersalah.

"Argghh, nenek lampir suaranya masih ada di kuping gue."

"Aduh!"

"Aww..." Lita terpental sampai jatuh ke lantai.

"Elo tuh kalo jalan nggak pernah pake mata, ya?!" seru orang yang ditabraknya barusan.

"Jalan kan pake kaki, bukan mata," gerutu Lita sambil mengusap-usap pantatnya yang sakit membentur lantai.

"Apa lo bilang?" Kali ini muka Daffa sudah ada tepat di depannya.

"Eh, Kak Daffa..."

"Iya, ini gue Daffa. Tadi lo bilang apa?" Daffa makin nyolot.

"Nggak apa-apa, Kak." Lita nyengir lebar.

Daffa menggeram kesal, lalu meninggalkan Lita begitu saja. Padahal Lita berharap Daffa mau membantunya bangun, tapi Daffa kan setipe sama temen satu gengnya yang datar bin judes, bin dingin, bin nyebelin, segala jenis bin yang ngeselin.

"Heh, elo ngapain ngikutin gue?" seru Daffa pada Lita yang tahu-tahu sudah berada di belakangnya.

"Saya nggak ngikutin. Saya mau kesana." Lita menunjuk pintu lapangan futsal indoor.

"Ngapain kesana?" tanya Daffa galak.

Lita pengen banget narik dasinya yang melilit asal di leher Daffa, tapi ditahannya keinginan itu,

 "Mau ekskul, Kak. Kakak nggak liat nih, saya udah pake baju olahraga. Saya mau ekskul futsal."

"Hah? Ekskul futsal?"

"Iya, ekskul futsal. Kemarin saya udah kasih form-nya ke sekretaris kok."

"Toni! Toni!!! Woy, cepetan lo kemari!!!" Daffa berteriak sambil berjalan masuk ke dalam lapangan.

"Ada apa, Kak?" Seseorang yang bernama Toni menghampiri Daffa.

"Kenapa lo terima form ekskul dia?" Daffa menuding Lita yang berdiri mematung dibelakangnya. 

"Elo kan tau kita cuma terima murid cowok."

Eh? Futsalnya cuma khusus cowok? Lita bingung.

"Ohh itu, gue nggak nerima dia buat jadi anggota futsal. Kita kan lagi butuh manajer futsal, Kak. Jadi, gue terima aja form dia. Lo nggak keberatan kan, Kak?" jelas Toni yang sepertinya murid kelas sebelas.

"Keberatan!" Suara Daffa yang keras membuat Toni mundur selangkah.

"Sebentar, saya juga keberatan. Saya daftar bukan buat jadi manajer, saya mau jadi anggota futsal. Saya main langsung di lapangan. Main futsal." Lita sudah berada diantara Daffa dan Toni.

"Disini bukan tempatnya cari perhatian," kata Daffa sambil menyampirkan jas ke bahunya kasar.

Kalau gerakan menyampirkan jas tadi membuat mata Toni hampir kesabet ujung jas Daffa, buat Lita adegan tadi itu keren banget. Mungkin ada yang konslet di otak Lita.

"Saya nggak mau cari perhatian. Saya mau ekskul futsal." Lita menegaskan sementara jantungnya berdegup kencang gara-gara adegan tadi.

"Oke." Daffa menarik tangan Lita yang makin membuat jantung Lita berdegup tidak karuan.

Lita terus menatap tangannya yang berada dalam genggaman penuh Daffa yang kuat. Menyadari Lita hanya diam saja, Daffa menoleh sekilas dan langsung menghentakkan tangannya dari tangan Lita.

"Sini lo." Daffa sudah berada di tepi lapangan.

Lita menghampiri Daffa yang sudah melempar jasnya ke lantai pinggir lapangan.

"Sana, ke gawang. Jaga gawang," suruh Daffa dingin.

"Saya, Kak?" Lita menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, elo. Masa tuyul. Cepet sana."

Lita berjalan ragu memasuki lapangan dan berdiri di tengah gawang, menunggu perintah selanjutnya.

"Ton, tendang bola ke gawang." Daffa memberi komando pada Toni.

"Serius, Kak?" Toni tampak ragu.

"Seserius niat dia mau ikutan ekskul futsal." Daffa menatap Lita sinis.

Mati gue. Beneran mati. Gue mau di eksekusi mati. Nggak pake hukum tembak atau penggal kepala, atau hukum gantung. Tapi, jadi sasaran bola futsal yang diarahkan langsung ke jantung mungkin. Eh, itu bisa bikin mati nggak sih?

Sett.....

Suara desingan terdengar jelas di telinga sebelah kiri Lita. Ternyata selama Lita berbicara sendiri dalam pikirannya, Toni sudah menendang bola ke arah gawang.

"Tendangan apaan tuh?" Daffa geram dan menggeser Toni dari posisinya.

"Kak, cewek itu. Jangan serius-serius banget." Toni coba mengingatkan.

"Berisik."

Bisa dilihat ada kobaran api di mata Daffa, Lita makin menciut. Daffa di depannya kelihatan serius sekali. Daffa sudah mengambil posisi menendang, sementara Lita merentangkan tangannya ragu-ragu. Semua yang ada di dekat lapangan menahan napas ngeri.

"Daf, Daffa!" teriak seseorang dari tepi lapangan, membuat Daffa yang sudah siap menendang bola jadi hampir terpeleset.

"Arghh, apa sih?" Daffa menghampiri seseorang yang memanggilnya, yang ternyata Kay.

Lita mengembuskan napas lega. Kalau saja ekspresi wajah Kay tidak mirip T-rex yang diambil telurnya alias gahar banget, pasti Lita sudah jumpalitan berterimakasih, karena menyelamatkannya dari tendangan petir Daffa.

"Minggir sana lo." Daffa sudah kembali setelah tadi terlihat berbicara dengan Kay.

"Saya diterima, Kak?"

"Terima apa sih?" Daffa mulai kesal lagi.

"Diterima jadi anggota futsal."

"Duh, elo tuh... ck, Ton! Urus nih, ajarin dia jadi manajer yang bener."

"Kak Daffa, saya nggak mau jadi..."

Toni menarik Lita. "Udah, kalo emang lo mau jadi anggota futsal nurut aja apa kata Kak Daffa. Posisi manajer juga termasuk anggota futsal kok."

Lita akhirnya pasrah dibawa Toni ke pinggir lapangan. Matanya masih belum lepas dari Daffa yang menatapnya galak, kemudian berbalik menuju tengah lapangan dengan ujung bibirnya tertarik sedikit.

Kak Daffa senyum?

*

Continue Reading

You'll Also Like

6.4K 1K 48
Naya mencoba untuk mencari tahu kebenaran tentang kematian kedua orang tuanya. Namun dirinya tidak bisa melangkah lebih dikarenakan penyakit yang ia...
2.4M 141K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
21.4K 1.2K 52
[COMPLETED] ⚠️Harsh words, violence or threat of violence. Beberapa bagian mungkin tidak sesuai untuk anak di bawah 13 tahun⚠️ Disaat takdir terlalu...
890K 87.8K 49
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...