"Tuan McCarity, sebaiknya masukkan dulu kopermu ke dalam kamar." Blue tiba-tiba saja kembali muncul di dapur mengejutkan Ansel dan Harry. Wajah Ansel dan Harry sungguh berbeda kali ini. Harry tampak menegang ditempatnya serta siap untuk meninju wajah tampan Ansel. Namun, dilain sisi, Ansel tampak santai saja dengan berjalan keluar dapur mengikuti Blue. "Tidak secepat itu, Bodoh!" Harry menyusul langkah cepat mereka.
Blue yang awalnya didepan jadi mundur dan berputar ke belakang. Mungkin kali ini dia sudah tidak tahan lagi dengan sifat Harry selama beberapa jam terakhir. Ditambah lagi sikap tak ramahnya pada Ansel. "Kau ini kenapa Harry?" Mata Blue memandang tajam pada Harry.
"Jangan ikut campur."
Dia masih marah?
Ansel terkekeh sebentar melihati mereka, ada senyum licik pada wajah menawannya itu dari sudut pandang Harry. Amarah itu masih terus bergejolak setiap kali Harry melihat senyum itu. "Itu tak lucu, McCarity," kata Harry sinis dan datar pada Ansel. "Aku pergi." Harry menghela nafasnya keras-keras sebelum kembali ke kamarnya.
Entah apa yang sedang terjadi pada dirinya, Ia jadi merasa ingin menghilang saja dari kehidupan ini. Entah mengapa Ia juga jadi merindukan Jane, Harry jadi merasa bersalah mengabaikannya tadi pagi. Mengaktifkan ponselnya kembali, lalu men-dial nomor Jane, nada sambung sudah mulai terdengar sekarang.
"Hai, Harry!" sorak Jane yang terdengar gembira sekali.
"Halo Tuan Putri. Kau tahu, aku merindukanmu."
"Haha, tak biasanya kau seperti itu. Maksudku sudah lama kau tak merindukanku."
"Tentu tidak. Aku selalu merindukanmu, Tuan Putri."
"Kau tak lucu Harry. Jangan membuat melayang menyentuh atap kamarku, haha."
'Jadi kau masih seperti dulu, tersipu akan kata-kataku walaupun itu hanya sebuah kata-kata sehari hariku,' batin Harry.
"Tuan Putriku selalu melakukan itu, bukan?"
"Jangan men-Tuan-Putri-kan aku, Harry. Kau sudah cukup dengan itu," tawa manis Jane pecah.
"Baiklah, sayang. Kalau begitu cepat bersiap-siaplah untuk kencan kita nanti malam. Aku sudah memesan tempat."
"Oke?" tanya Harry memastikan.
"Oke"
"Hey, sayang. Aku bukan Augustus dan kau bukan Hazel, haha."
"Haha, aku mencintaimu"
Harry lalu diam. Memikirkan kalimat itu dalam otaknya. Apa yang harus ucapkan sekarang.
"Ya. Aku tahu. Bye." Dia pun mematikan sambungannya.
-Harry POV-
Sialan! Ini benar-benar gila. Seolah aku benar-benar jahat sekarang, bagaimana aku bisa mempermainkan perasaan Jane padaku? Mengapa aku tak bisa melupakan masalah itu.
"Harry. Kurasa kau belum makan siang bukan? Aku sudah membuatkanmu pasta. Keluar dan turunlah, Harry."
Gadis itu. Aku tak yakin dia bisa membuat sebuah makanan, bahkan makanan instant sekalipun aku yakin dia tak bisa membuatnya.
Aku berjalan malas menuju pintu kamarku lalu membukanya pelan. Namun apa yang kulihat, gadis pirang dengan senyum manis serta piring yang berisi pasta ditangannya. "Aku tahu pasti kau akan berkata kemampuan memasakku buruk, tapi kumohon maafkan aku atas hari ini. Pasti aku begitu mengesalkan."
Mengapa gadis ini begitu manis? Membuatku selalu ingin tertawa saat melihat wajah polosnya itu--wajah orang bodoh Amerika. "Kau pikir semudah itu?" tanyaku sambil memalingkan wajah. "Aku baru saja mendatangkan awan mendung dihari cerahku, Bodoh! Kau menyebalkan."
"Mengapa kau seperti anak laki-laki berusia tujuh tahun, huh?!" tanyanya geram sembari memasang ekspresi kesalnya yang teramat menggemaskan itu. Aku jadi ingat pertama kali aku menaruh rasa sukaku pada Jane. Aku masih ingat itu.
Gadis anggun juga tomboy. Dia benar-benar sempurna dimataku saat itu. Cheerleader yang selalu menyemangatiku saat tim sekolahan kami sedang bertanding. "Hey kau! Mengapa diam saja?!" bentaknya.
Ya Tuhan, Blue memang benar-benar manis bagaikan gula-gula yang dulu sering kubeli.
"Aku mau kau pergi kencan denganku seharian."
Wajahnya menampilkan ekspresi berbeda lagi sekarang. Wajahnya yang begitu indah itu menampilkan tanda tanya besar. Haha. Oh Tuhan dia memang sasaran empuk untuk dikerjai.
"Tentu aku bercanda, Bodoh! Haha. Siapa juga yang mau berkencan dengan gadis jelek sepertimu?" tanyaku menyindirnya. Tidak, Blue. Kau bukan gadis jelek. Aku hanya membohongimu.
"Awas kau, Harry!" Dia merengut memalingkan wajahnya dariku. "Habiskan pastamu. Lalu bawa ke bawah dan cuci sendiri" Bukannya aku kesal. Namun, dia memang selalu membuatku kesal karna berhasil selalu membuatku tersenyum geli.
...
-Normal POV-
Sienna masih berbincang dengan Jack ketika Kelsey tiba-tiba hadir dihadapan mereka. "Jack, bisakah kau antarkan aku pulang? Aku lupa membawa kacamata serta syalku," pinta Kelsey yang mengabaikan Sienna walau dia benar terlihat sedang duduk disebelah kakaknya.
"Aku membawa kacamataku. Jika kau mau meminjamnya, aku tak keberatan," tawar Sienna ramah pada Kelsey. "Kalau kau mau, kau juga boleh memakai syalku."
Mata Kelsey menyamping melihat Sienna yang bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. "Aku terkena kanker. Apa kau tak jijik nantinya?" tanya Kelsey dengan polosnya. Raut mukanya malu akan kenyataan yang sedang terjadi pada dirinya. "Aku terkena kanker hati."
"Tak apa, kanker bukanlah penyakit yang menular lagipula. Ambil ini jika kau perlu" Sienna malah tersenyum memberikan kacamata serta syalnya yang berwarna putih itu. "Aku berharap semoga penyakit itu cepat meninggalkan tubuhmu"
Kelsey tersenyum miris pada Sienna. "Terima kasih," kata Jack dan Kelsey bersamaan. Lalu mereka tertawa bersamaan. "Aku harus segera pergi." Kelsey kemudian mengambil barang-barang yang dipegang oleh Sienna dan mulai berjalan ke belokkan kiri menuju rute penyakit dalam.
Sedetik kemudian Marcel terlihat keluar dari kamar Edward. Mukanya agak kusut. "Apakah Ellena masih di dalam?" Jack bertanya cepat-cepat pada Marcel namun Ia hanya mengangguk untuk jawabannya.
"Sedang apa kau disini? Bukankah akan berbahaya jika semua orang tahu?"
Jack terdiam bingung melirik ke arah Marcel dan Sienna.
"Aku hanya merindukannya. Aku hanya ingin melihat keadaannya. Aku akan menunggu," jawab Sienna dengan sabar.
Sungguh ini sangat menyakitkan untuk Sienna. Dia tak dapat merasakan kehadiran Edward lagi saat ini. Dia rindu. Dia menyimpan perasaan rindu. Tapi semua itu hanya disimpan.
"Marcel, bisakah kau berikan ini pada Edward? Kupikir kalau-kalau dia memiliki waktu senggang Ia bisa membacanya" Sienna menyerahkan sepucuk surat pada Marcel. "Kuharap kau tak keberatan. Kuharap dia bisa membacanya"
Marcel menerimanya lalu mengangguk. "Aku akan pergi kalau begitu. Ini ada buah untuk Edward. Sampaikan salamku padanya." Sienna tersenyum tipis sebelum Ia beranjak dari tempat duduknya lalu pergi meninggal Marcel dan Jack sendirian.
"Aku tak paham dengan ini. Siapa gadis itu?"
Marcel mendengus. "Teman kami."
Ketika malam menjelang. Anne dan Robin memutuskan untuk pulang ke rumah dan melihat keadaan Harry di rumah. Semoga saja dia benar-benar baik dengan Blue. Sedangkan Ellena, Ia terpaksa harus pulang karna Ayahnya mencarinya. Jadi, hanya tersisa Marcel diruangan itu.
"Ed, tadi gadis jalang itu kemari," ucap Marcel dengan nada datar dan kesal. "Apa-apaan kau ini? Dia pacarku! Bukan seorang jalang!"
"Terserah kau. Bagiku dia jalang karna dia telah masuk ke dalam hubunganmu dengan Ellena." Marcel merogoh sakunya. "Dari dia."
Edward mengambilnya sambil memasang muka tak menyangka bahwa Sienna harus menulis surat agar dia bisa berinteraksi dengannya.
Dear Edward
Hai apa kabarmu? Kuharap kau sudah sadar dan dapat membaca surat ini dengan baik. Aku merindukanmu semenjak kau tak lagi ada dihari-hariku. Rasanya seperti donat tanpa meses atau gula diatasnya. Ketika aku bangun dan tak mendapatimu disisiku, aku seperti kehilangan sesuatu. Aku tak biasa tak mendengar suara pagi harimu. Aku tak biasa tak diucapi Selamat Pagi darimu.
Aku menyayangimu, cepat sembuh.
Dari Sienna.
"Aku menyayangimu juga, Sienna. Aku merindukanmu," jawab Edward dengan sadar dihadapan Marcel.
-----------------------------------------------------------------------
i hope this is long enough for you guys. Btw, udah pada download fireproof?! Umigit tab gue ga bisa ngedownloadnya masa?! Gilaaaa. Itu lagu nadanya bikin nyesss. Vomments tysm