Douze

17.7K 1.5K 82
                                    

"Bagaimana rasanya ditinggalkan seorang pria, huh?" Blue baru saja berjalan melewati kamar Harry dan langsung mendapatkan kata-kata pedas darinya--pastilah dia masih kesal karna kejadian tadi pagi. Kau masih ingatkan tatapan kesalnya pada Edward tadi pagi? Sungguh, andai saja Ed bukan saudaranya pasti sudah dihajarnya. 'Sialan!' pekik Blue dalam hati. Bagaimana bisa Harry sekejam itu pada Blue? Tidak bisakah dia melihat wajahnya yang sudah tertekuk-tekuk itu?

"Jadi, besok malam kau akan tetap pergi bersamaku," katanya dengan sangat bangga. Blue hanya terdiam sambil menatapi laki-laki yang sedang berdiri di ambang pintu dengan senyuman yang lebar. Haruskah dia berdebat dengan Harry sekarang? "Aku lelah, Harry. Jangan ganggu aku." Dan dia memilih masuk ke dalam kamar ketimbang berdebat panjang lebar dengan Harry.

Blue tak segan untuk membanting pintunya keras-keras ketika hendak menutup kamarnya. Lihat sekarang, keadaannya begitu kacau karna perasaannya kepada Ed yang terus tumbuh dari hari ke hari.

Apakah ini yang namanya sakit hati?

Tapi untuk apa dia sakit hati? Toh, Edward sudah ada yang memiliki. Berharap apa dia dari perasaan tak berbalasnya itu? Jangan bilang dia berharap bisa menjadi pengganti dari Sienna. Tidak, tidak, tidak! Itu tak boleh terjadi.

'Kau harus melupakan perasaan sia-sia ini Blunada!' tegasnya dalam hati, tapi justru membuatnya semakin sakit. Lagipula, Ed adalah saudaranya sekarang--walau memang tak ada hubungan darah sama sekali.

Beberapa jam telah berlalu, Blue akhirnya tertidur dalam tangisnya. Pasti Ia sudah lelah seharian tadi berjalan-jalan. Ini sudah hampir pukul 8 ketika Anne dan putra-putranya selesai makan malam. "Dimana Robin, Bu?" tanya Marcel sembari mengelap sisa makanan dari bibirnya.

"Dia lembur di kantor. Kuharap dia tak lupa makan malam," jawab Anne sambil berharap. Mata Anne kemudian sadar akan kejanggalan di meja makan. Selain tak ada Ed--yang keluar untuk makan malam bersama Ellena, Blue juga tak terlihat. "Apakah kalian melihat Blue? Seharian ini aku belum bertemu dengannya?" Marcel menggeleng kemudian melirik ke arah Harry. Dia pun mendengus. "Dia ada di kamarnya"

"Ya Tuhan! Kau jahat sekali tak mengajaknya makan," Anne langsung menyalahkan Harry. Anne lalu bangkit dari tempat duduknya sebelum Harry juga bangkit lalu berlari menaikki tangga. "Ada apa dengan anak itu?" Anne heran pada anak pertamanya.

Harry sudah mengetuk beberapa kali pada pintu kamar Blue. Namun sepertinya Blue masih marah pada Harry. "Hei Blue! Ayolah keluar! Maafkan aku!" Harry kembali mengetuk-ngetuk pintu kamar Blue. Masih belum ada jawaban darinya. Akhirnya Harry meraih gagang pintu lalu membukanya perlahan--kamarnya tak dikunci. Oh bagus ada kesempatan untuk Harry.

Harry berjalan masuk ke dalam kamar Blue yang gelap. Udara didalamnya dingin akibat jendela kamar yang belum tertutup. Tirai putih itu berkisar tertiup angin. Ada cahaya yang masuk dari lampu taman yang menyinari wajah cantik Blue yang sedang tertidur. Begitu cantik memang. Begitu tenang dipandang.

Harry membeku ditempatnya.

'Bagaimana ada gadis secantik dia?' Batinnya bertanya. Lihat wajahnya yang tenang itu. Walau masih terlukis bekas-bekas kesedihan dipipinya, wajahnya yang cantik itu masih memancarkan daya tarik tersendiri. Seakan ada sesuatu yang menarik seseorang untuk menatap wajahnya lebih lama lagi.

Harry berjalan mendekati Blue yang tertidur dengan nyenyak. Tubuhnya dilapisi selimut yang berwarna biru muda. Disebelahnya terdapat boneka beruang yang memang selalu terlihat didekatnya saat Ia sedang tertidur. Begitu Harry mencapai tempatnya, Harry berjongkok disampinya. Sekarang tak hanya dapat melihat parasnya yang begitu jelita namun sekarang Ia juga dapat mendengar tarikan serta hembusan nafas milik Blue.

The Triplets // harry stylesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang