trente-quatre

12.7K 1.1K 96
                                    

Bukannya Marcel ingin membuat saudaranya kelimpungan, hanya saja sekali-kali Edward harus diberi pelajaran yang pantas bahwa mencintai dua gadis sekaligus itu salah. Meski Edward tak main-main seperti yang dilakukan Harry tapi justru itulah yang lebih parah.

Saat kau jatuh cinta kau harus yakin siapa yang kau cinta dan siapa yang kah pilih. Bukannya sok menggurui, namun bukankah itu salah jika kau mencintai dua orang diwaktu yang sama?

Marcel tahu bahwa pada awalnya Edward memang sudah melabuhkan hatinya pada Ellena, gadis yang dikenalnya semenjak SMA. Tapi Ia sekarang tak yakin dengan teori tersebut, bisa terukir diwajah Edward bahwa cintanya sekarang telah terbagi. Cintanya bukan sepenuhnya milik Ellena.

"Benarkah kau tahu?" Suara Jack mengalihkan perhatiannya dari dinding kaca kamar Kelsey. "Kumohon beri tahu aku. Ayahnya mencarinya kemana-kemana"

"Entahlah aku tidak yakin. Kurasa Ia bersama Ed, tenang saja, dia akan aman bersamanya. Ed bukan tipe orang yang suka memaksa"

Jack menghembuskan nafasnya lega seolah-olah beban baru saja hilang dari pundaknya. Beberapa jam terakhir memang berat untuknya, pikirannya tak tenang bak melayang-layang tanpa tujuan. Membayangkan dimana gadisnya berada. Syukurlah Ellena bersama Ed, walau jujur saja ada perasaan tersayat dihati.

"Bagaimana rencana pernikahanmu, Jack?" Tanya Marcel memecah keheningan. Marcel tampak santai dengan celana jeans serta kemeja kotak-kotak berwarna merah dengan kacamata kesukaannya menempel manis di depan matanya.

Marcel duduk dengan tangan tersilang sama pula kakinya. Jack lalu mengambil tempat kosong yang berada disamping Marcel.

"Kami akan menikah dipinggir pantai, saat sore hari kurasa. Mereka (Wedding Organizer) yang menyarankannya. Aku hanya tinggal mengiyakan saja" Marcel memperhatikan dengan saksama setiap kata yang diucapkan oleh Jack, entah mengapa Ia jadi merasa kasian terhadap saudara kembarmya itu.

"Kami akan menikah 3 minggu lagi, aku berharap ini bisa berjalan dengan lancar"

Marcel menepuk bahu Jack yang kekar itu. "Aku berdoa yang terbaik untuk kalian semua"

...

Sejauh ini keadaan Ellena dan Edward baik-baik saja tanpa masalah, mereka memang saling tak bicara atau menatap namun sejauh ini baik-baik saja tanpa pertikaian yang dipikrkan oleh Ellena. Edward tampak pasrah tak peduli jika Ellena tahu tentang Sienna dan hal-hal mengerikan lainnya.

Ia tak mungkin meninggalkan Ellena diwaktu seperti ini. Gadis itu terlalu rapuh untuk Ia tinggalkan, ditambah lagi rasa cintanya pada Ellena yang tak kunjung hilang walau sebenarnya Ia ingin menyudahi permainan konyol ini. Edward sudah dewasa bukan lagi remaja yang gundah gulana karna ditinggal pacarnya lalu mencari gadis lain.

Kesalahannya memang sangat fatal.

Kadang kau memang benar-benar harus menyadari kesalahanmu walau itu memalukan. Itu memang yang Ed perbuat dua tahun lalu. Sekarang Ia malah terjebak dalam permainannya sendiri.

Seperti yang kalian ketahui, mencintai itu tidak mudah.

"Ed, bisakah kita berhenti sebentar di POM? Kupikir aku butuh ke toilet" Pinta Ellena. Edward mengangguk singkat sembari mencari-cari tanda POM disekitaran. 

"Aku akan kembali dalam lima menit, oke?" Tanya Ellena sebelum Ia turun dari mobil. "Kuharap kau tak terlalu bosan menungguiku" Gadis itu pun tersenyum singkat--berharap Edward mau membalas senyumannya itu, namun tidak.

'Lima menit bukan waktu yang lama' Ucap Edward dalam batinnya, Ia memang sedang berusaha untuk tidak masuk ke dalam toilet wanita dan penarik paksa Ellena keluar. 'Kau harus bersabar'

Edward benar-benar benci menunggu.

Selang beberapa menit, Ellena kembali dengan minuman bersoda ditangannya. "Aku membawakan ini. Kuharap kau suka coke" Tangan Edward menyambar cepat. "Terima kasih"

"Jadi, apa kau memiliki tujuan kemana kita akan pergi?"

Edward meneguk sedikit minuman yang diberikan oleh Ellena. Wajahnya yang tampak kelelahan itu sedikit lebih rileks sekarang. Harus diakui bahwa kaki kanannya berasa ngilu sejak tadi, namun apa boleh buat?

"Kita bisa pergi ke daerah Victoria. Aku punya rumah disana" Ellena mengangguk setuju dengan pasrah. "Ingatlah ini hanya sementara Ellena. Victoria akan jadi tempat pertama yang akan mereka kunjungi"

"Ya. Tentu" Rasa mengganggu itu menerjang lagi. Mengapa Ia sekarang ragu? Apa ini karna Ia tahu bahwa Edward menjalin hubungan dengan gadis lain? Tetapi lelaki itu buktinya masih hadir untuknya disaat seperti ini. Bukankah itu menunjukkan keseriusan?

"Kaki ngilu setengah mati. Aku harus beristirahat sejenak"

Ellena berlari kecil mengelilingi mobil menuju kursi mengemudi. "Apa yang kau lakukan??"

"Biar aku saja yang menyetir. Kau pasti sangat lelah" Ucap Ellena dengan nada manis yang khas. Itu cukup berhasil karena membuat Edward tersenyum dan berpindah ke kursi sebelah.

"Terima kasih, Edward" Kata Ellena sembari menggenggam tangan Edward erat sebelum menjalankan mobilnya.

Sementara itu, mari kita berkunjung ke kediaman Robin Shine. Rumah tak seribut biasanya semenjak tadi pagi. Tak ada suara geram Blue yang sebal dikerjai oleh Harry. Tak ada suara gelak tawa Harry yang puas setelah mengerjai Blue. Hambar rasanya.

"Jadi Ansel, kudengar kau adalah keponakan Anne ya?" Tanya Blue sambil menyesap jus jeruknya. Ansel dan Blue sedang bercakap-cakap dipunggiran kolam renang, mengingat rumah sangat sepi dan sangat menjenuhkan jika hanya berdiam diri didalam kamar. 

"Ya. Ibuku adalah kembaran Anne. Amie namanya" 

"Benarkah?? Aku tidak tahu jika Anne punya kembaran" Siapa yang tak terkejut? 

Ansel mengangguk dengan roti isi yang masih dikunyahnya. Serius? Yang benar saja, Anne memiliki saudara kembar? "Ibuku, Amie sudah tiada sejak aku masih balita. Dia sakit keras" Jelas Ansel.

"Aku turut berduka cita, Ansel. Sungguh aku tak tahu jika Ibumu telah tiada"

Ansel kembali menangguk dan cepat-cepat menghabiskan roti isinya. Dia tampak begitu tegar sekali dimata Blue saat ini. Mungkin itu adalah salah satu sebab mengapa Ansel terkadang membenci Harry--Harry memiliki segala yang Ansel inginkan dan butuhkan.

"Bagaimana hubunganmu dengan Jane? Aku belum mendengar kabarnya lagi dari Harry maupun kau semenjak malam itu" Tanyanya kepada Ansel.

Ansel tertawa dengan nada tak lucu. "Yang benar saja Blue. Aku dan Jane tidak menjalin hubungan istimewa sekali pun. Aku dulu hanya mempermainkannya. Memanfaatkannya. Hanya itu. Aku tidak memilki perasaan apapun padanya"

"Benarkah begitu? Mengapa kau terdengar kejam sekali?"

Ansel tersenyum kecil lalu menatap mata Blue. "Laki-laki hanya bermain Blue. Dia hanya akan berhenti bermain saat mereka benar-benar mendapatkan satu yang tak terkalahkan. Satu yang bisa membuatnya bertekuk lutut"

"Kata-kata yang manis" Puji Blue dengan senyum miris.

"Dan kurasa ini sudah saatnya aku berhenti bermain, Blue"

"Kau sudah menemukannya?" Blue menaikkan satu alisnya dengan memasang senyum bertanya. Kemudian Ansel mengangguk sekali.

"Kau"

Hey this is so short guys, maaf ya. Vomment please

The Triplets // harry stylesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang