Inayat Hati

By mawar_malka

585K 49.1K 2.6K

Aku mencintaimu tanpa henti. Bahkan Tuhan pun mungkin cemburu dengan rasa ini karenamu. Tapi sekilas waktu ka... More

Prolog
1. Kata Pisah
2. Cerita Kami
3. Yang Tak Kutahu
4. Bunga Di Luar
5. Ijinkan Aku Marah
6. Memilih Kejujuran
7. Mengikhlaskan
8. Hidupku sekarang
9. Melihat ke depan.
10. Kabar tentangnya.
11. Teman Bossy
12. Di manakah kebaikan?
13. Perempuan Yang Terluka
14. Dia lagi.
15. Wanita Hebat.
16. Kekuatan
17. Lepas Dari Sakit
18. Melepaskan Rasa
19. Lamaran Mas Al
20. Tak Terduga
21. Trauma
23. Musibah itu jawaban.
24. Bulan Madu Sederhana
25. Sebuah Teka-Teki
26. Membingungkanku.
27. Pencerahan
28. Sebuah Kesempatan
29. Kekuatan.
30. Wanita Berlian.
31. Bidadari Surga.
32. Cerita Akhiŕ
Epilog
Ekstra Part
Just Promote

22. Kebingunganku.

12.9K 1.2K 32
By mawar_malka

Aku meminta cuti beberapa hari lagi dengan alasan merawat ayah. Pak Lewis awalnya keberatan. Namun Mas Al yang membantuku meminta cuti lebih. Pak Lewis pasrah juga akhirnya karena bagaimana pun selain mereka berteman cukup lama, saham Mas Al di kantor lebih dominan daripada investor lain.

Mas Aldric memilih tetap pulang karena ada beberapa hal yang masih perlu ia urus. Aku sangat setuju akan hal itu.

"Mas Al lama-lama di sini bisa memunculkan fitnah," ujarku saat ia hendak pergi.

"Gak pa-pa. Karena setelah ini kita akan ijab sah," goda Mas Al.

"Jangan terlalu pede."

"Yah, semoga Allah mendengar doaku. Ucapan itu 'kan bisa jadi doa."

Beberapa hari kemudian, aku membantu ibu merawat ayah yang masih dalam tahap pemulihan. Kali ini benar ucapanku. Saran dokter, ayah hanya boleh makan daging yang dikukus agak tawar bersama sayur mayur dimasak matang yang tidak sampai overcook. Atau mengonsumsi makanan dengan sedikit karbo dan kacang-kacangan yang bisa menekan kolesterol jahat yang tanpa menyentuh minyak. Ini terbalik. Seharusnya ayah melakukannya dari awal. Bukannya setelah sakit begini.

Aku yang kini berubah peran menjadi perawat bagian dapur bagi orangtuaku yaitu ayah. Bagaimana pun, ayah atau ibu sekali pun harus mengonsumsi makanan sehat.

Setiap hari aku membantu ibu. Wajah senjanya membuatku berat bila harus meninggalkannya bekerja. Yah, sedikit aku ucapkan terima kasih bisa kenal dengan Mas Aldric karena dia membantuku dalam hal perijinan kantor. Peranku di kantor sementara digantikan oleh Andi.

Hampir setiap hari Mas Aldric menghubungi ayah untuk sekedar menanyakan kabar ayah dan juga ibu. Kubilang, ayah sudah sehat. Sebaiknya tidak usah terlalu mengkhawatirkan mereka. Dengan culasnya dia malah mengatakan, "Mereka kini adalah orangtuaku juga."

Kehadiran Mas Al sudah membawa efek tak baik dalam kehidupanku. Semua orang begitu memperhatikannya. Baru sekali saja menolong ayah, semua orang seolah bersimpati dengannya. Aku yang anak mereka, bukan si Aldric itu.

Namun kuakui saat dia jauh, aku merasa ada sesuatu yang hampa, sesuatu yang kosong dan terasa ..., sepi. Dan saat dia ada di sekitarku, aku merasa jengah dan bosan. Itu membuatku sangat bingung. Sebenarnya ada apa dengan diriku?

Sejak dia hadir, lambat laun bayangan Akbar semakin hilang, hilang dan akhirnya lenyap tak berbekas. Bahkan aku cenderung tak peduli dengan masa laluku lagi. Namun anehnya, kuakui saat dia ada di dekatku, aku merasa, dia harus segera pergi. Dia ..., dia adalah dia, yang kini mengusikku setiap hari. Yang sudah mencuri perhatian semua orang.

Bahkan mungkin, sudah mencuri perasaanku juga.

Aku masih ingat ketika ayah baru pulang rumah sakit, ayah memanggilku dan menepuk tempat duduk di sebelahnya.

"Ya, Ayah?"

"Ambar, Nak Aldric itu baik banget ya?" ungkap ayah.

Aku hanya mengangguk.

"Ayah mau punya menantu seperti itu," harap ayah sembari menatap langit-langit.

"Apalagi menantu yang dulu, maksudnya bekas menantu yang dulu jauh dari kata perhatian sama kita ya, Yah?" imbuh ibu.

Aku pun menyahut, "Jangan menilai dari kulit, Ayah, Ibu, karena kulit kadang gak sama dengan isi."

Kebingunganku mungkin beralasan karena ketakutan akan bayangan masa lalu. Saat aku benar-benar jatuh cinta, saat itulah aku benar-benar dijatuhkan oleh perasaan cintaku sendiri.

Allah!

Mungkin selama ini aku melupakan-Nya. Bukankah aku masih punya Dia? Aku bisa meminta petunjuk. Tapi sebentar. Bagaimana bila saat aku berdoa, malah terselip ragu. Bukannya mendapatkan petunjuk, malah petunjuknya cenderung pada apa yang aku pikirkan? Atau aku merasa tidak yakin kalau itu sebuah petunjuk?

Lagi-lagi aku bingung.

Lalu aku harus bagaimana?

Bolehkah aku berteriak?

Atau menangis sambil menggigit ujung bajuku dengan mencakar lantai?

Oh, tidak! Itu gila namanya.

Sebaiknya aku berdoa atau sholat saja dan bersujud lama dalam meminta petunjuk. Bagaimana pun akhirnya, biarlah semua berjalan tanpa perlu kupaksakan. Yang penting mintanya sering. Bukankah Allah sudah berjanji akan memberi pada yang meminta? Ya sudah, mudahnya begitu saja. Hmm, kali ini aku lebih bijak dari sebelumnya. Pikirku semata.

🌿🌿🌿

Hari ini adalah hari terakhir cutiku. Aku yakin pasti Mas Al akan menjemputku. Seperti biasa dengan jurus busur panah beracunnya yang menggoda dengan sedikit bumbu ejekan. It makes me even more illfeel!

Tebakanku seperti tukang ramal profesional saja. Bagaimana tidak, baru saja kupikir begitu, Mas Aldric sudah datang dengan mobil mewahnya yang memasuki halaman rumah. Ayah dan ibu sudah bersiap menyambutnya di kursi depan rumah karena sebelumnya ia menghubungi ayah. Tak lama berselang, mobil mewah milik Mas Al memasuki halaman rumah.

Keluar dari mobil, Mas Al tersenyum begitu manis pada kedua orangtuaku. Uhh, aktingnya, manis sekali. Kemucing yang kupegang setelah membersihkan meja tadi kupukul-pukul ke telapak tangan yang kutekuk. Aku tersenyum sarkastis.

Mas Al mengucap salam lalu mencium punggung tangan kedua orangtuaku. Mereka orangtuaku! Setelah itu, ia menghampiriku. Jangan bilang hendak mengeluarkan jurus-jurus godaannya itu lagi. Saya takkan tertipu lagi, sori.

Tanpa melihat wajahku, Mas Al menoleh dan tersenyum pada kedua orangtuaku. Ia menyerahkan padaku sebungkus besar entah apa isinya seraya mengatakan, "Ambar, tolong kupas buah-buahan ini ya? Pasti ayah sama ibu suka," titah Mas Aldric.

Aku menahan napas. Memangnya aku pembokatnya? Oke, ini buat orangtuaku. Kuterima.

Kulangkahkan kaki segera ke dapur dan melihat isi bungkus besar itu. Benar berisi buah-buahan segar yang jarang dijual di kedai buah. Ada apel, kiwi, strawberri, leci dan ini buah pear. Ada susu kental manis dan mayonesnya juga.

"Ini mo buat salad buah? Oke aku bisa," gumamku sendiri.

Dengan gesit kukupas bagian kulit buah yang perlu dikupas dan dibersihkan. Kuambil mangkok berukuran besar dan memotong dadu semua buah. Setelah itu kutuang mayonesnya. Ada susu kental manis yang tertinggal. Ah, sepertinya tidak perlu. Ayah tak boleh terlalu banyak manis.

Setelah semua dirasa cukup, kusiapkan beberapa mangkok kecil dan sendok makan. Kubawa ke ruangan depan. Semua menikmati apa yang sudah kusiapkan. Aku hanya melihat mereka makan dengan lahap terutama ayah dan ibu. Mereka tersenyum saat menikmatinya. Bagaimanapun juga, melihat wajah mereka yang tersenyum membuatku bahagia.

"Ambar, kok gak ada manis-manisnya?" protes Mas Al sembari mengernyitkan kening. "Bukannya udah aku siapin susu kental manis juga ya?"

"Maaf, Mas. Ayah kan lagi sakit, hipertensi pula. Gak boleh banyak manis-manis," sahutku agak sewot. "Buahnya 'kan udah pada manis."

Ini orang malah mo nambahi penyakit. Sengaja kali ya?

Aku malah menatap Mas Al tak suka. Berbeda dengannya yang malah menggeleng pelan.

"Mbar, ayah itu hipertensi, bukannya diabet. Ayah butuh gizi lebih dari susu manis. Orang kena diabet sekali pun masih butuh manis buat kesehatan jantungnya," terang Mas Al.

Sok tahu!

Tanpa banyak protes lagi, aku menuju ke dapur dan meraih susu kental manis yang kubuka tube-nya. Lalu kuserahkan pada si bos besar sok pemerintah itu.

Mereka kembali menikmati makanan penuh taburan buah itu. Sementara aku memilih ke kamar untuk membereskan baju. Sore ini aku sudah harus kembali ke kos. Berat sebenarnya hendak meninggalkan ayah dan ibu, tapi aku sudah berkomitmen untuk bekerja. Tidak bekerja malah menjadi beban untuk ayah dan ibu. Setidaknya dengan bekerja, aku bisa memberi mereka sebagian hasil keringatku. Oh, Tuhan, jaga dan bahagiakan mereka.

Aku keluar kamar sembari memasang tas ranselku.

"Ayah, ibu, Ambar pamit balik ke kos ya?" Kusalami tangan lembut kedua orangtuaku dengan berat hati.

"Gak barengan sama Nak Aldric, Mbar?" tanya ibu.

"Aku sama dia bukan mahram, Ibu. Takut terjadi fitnah," ujarku. "Lagian sekarang tindak kriminal rame gegara gak bisa jaga iman."

"Ayah bangga padamu, Nak," puji ayah membuatku senang. "Tapi gimana kalo di jalan ada yang jahatin kamu?" Ucapan ayah seketika membuatku malah drop. Lagi-lagi aku dibuat mati kutu. Namun keyakinanku kembali bangkit segera.

"Ayah, Allah itu udah janji bakal jagain orang beriman. Ambar yakin, ada Allah Yang jagain kok," kukuhku.

Tak mau memperpanjang urusan lebih lama, aku menciumi lagi punggung tangan ayah ibu dan segera keluar rumah. Setelah itu, aku menyetop angkutan umum yang lewat di depan rumah. Kebetulan depan rumahku berhadapan langsung dengan jalan raya.

Aku merasa lega dalam hati karena sore ini, aku balik ke kos tanpa direpotkan oleh Mas Al. Perlu penekanan di sini. Dia bukan mahramku sekalipun kami kenal dan bahkan ..., dekat. Memang ibadahku tak semulus rel kereta atau jalan tol, tapi soal prinsip, aku tak mau menanggung resiko.

🌿🌿🌿

Seseorang berdeham di belakangku. Aku tahu siapa. Seperti biasa.

"Mbar, kamu gak pa-pa kan?" tanya Mas Al.

Aku bergeming. Akting apalagi coba. Kuperiksa tubuhku. Baik-baik saja.

"Apaan?" tanyaku tak mengerti.

"Semalem tu ada kabar kalo angkot yang kamu tumpangi mengalami kecelakaan."

"Kata siapa?"

"Kata tetangga kamu."

"Oh, itu. Bukan kecelakaan, Mas. Bannya kempes."

"Tapi kamu gak pa-pa?"

Aku menggeleng masih dalam ketidakmengertianku. Nampaknya wajah di depanku itu tidak sedang akting dengan mimik wajah khawatirnya.

"Alhamdulillah." Mas Al mengusap dadanya tanda lega.

Aku berdiri dan mendorong kursi ke belakang. Setelah itu meninggalkannya berlalu. Aku hendak mencari udara keluar kantor saja karena ini sudah jam istirahat. Sempat kutolehkan wajah ke belakang sesaat. Mas Al menatapku entah dengan bahasa perasaan seperti apa. Kelopak beningnya seolah menyiratkan luka dengan ketidakacuhanku. Terlihat jelas ada sebentik cairan bening dalam mata jernih itu. Yang masih menatapku.

Allah ..., aku harus apa kalo begini?

Kulangkahkan kaki segera keluar kantor. Menyusuri trotoar di pinggiran jalan yang ramai. Masih dengan keambiguanku. Bukannya kutak tahu isi hati seorang Aldric. Dan bukannya aku tak mengerti bagaimana perasaanku terhadapnya. Aku masih dilanda sindrom. Entah sindrom apa namanya jika sepertiku.

Saat seorang perempuan merasa terluka. Saat seorang perempuan merasa terbuang karena kekasihnya yang tak lagi mencintainya. Saat itu pula, perempuan itu merasa sudah tak berharga lagi. Merasa tak diinginkan dan tak pantas untuk bahagia. Mungkin hanya sebagian perempuan yang merasakan itu. Dan aku adalah salah satunya.

Aku tak pernah bermain perasaan sebelumnya dengan laki-laki selain Akbar. Aku yang selalu menjaga kehormatan dan harga diri sebagai perempuan. Namun kemudian dihempaskan begitu saja oleh orang yang kukasihi, bagaimana aku tak merasa terluka? Bagaimana aku tak merasakan ketakutan lagi?

Kupejamkan mata sejenak dan menghentikan langkah. Aku berpikir sambil menahan napas. Dalam hati kukatakan, 'Aku mulai mencintainya, Tuhan. Tapi ketakutanku justru mengalahkan rasa cinta itu sendiri.'

Kamu mau apa, Ambar?

Mau Mas Al menjauh!

Masalahnya perkara hatiku tak bisa jauh.

Ya, lepaskan!

Buat apa?

Buat berhenti mengharapkan hati seorang perempuan yang sudah beku!

Andaikan bisa, dari awal aku sudah lakukan, Ambar.

Usaha lebih keras lagi!

Baiklah.

Itu lebih bagus!

Tapi aku minta satu hal padamu.

Apa?

Lunakkan sedikit hatimu untuk terbuka. Terbuka menerima perasaan tulusku.

Dan koran di kursi ruang tamu itu menjadi korban yang menempel pelan ke wajah seorang Aldric. Ayah dan ibuku malah terkekeh melihat tingkah kami.

Cepatlah kalian menikah, Nak. Pasti lucu kalo kalian punya anak.

Iya, Nak. Anak-anak kalian yang akan jadi penengah kalo kalian bertengkar gini.

Restui kami, Ayah, Ibu.

Pasti, Nak Aldric.

Ngimpi!

Aku menggeleng pelan saat mengingat kejadian di rumahku kemaren. Antara sedikit senyum dan luka.

Dalam kebingungan ini, aku masih mengingat bahwa ada kekuatan besar yang bisa membimbingku. Mengarahkanku untuk menemui jalan terbaik yang pantas untuk kutempuh.

Allah ..., aku memiliki Dia Yang akan menunjukiku. Aku yakin pasti ada pemecahan soal ini.

Setelah berdiri melaksanakan sholat dua rakaat dan salam, kulamakan dalam sujud memohon petunjuk. Apapun bentuknya nanti. Pasti Dia akan memberiku cahaya.

Aku memang bukan ahli ibadah, Tuhanku. Tapi aku yakin meminta pada-Mu adalah satu-satunya jalan yang bisa kutempuh.

Kukuh dan tetapkan hatiku jika dia yang terbaik. Namun bubarkan rasa ini jika dia hanya cerita fiksiku.

Allah Ya Hadi, berikan hamba petunjuk-Mu.

Aamiin ....


🎑🎑🎑
Bersambung
Situbondo, 26 November 2018

Kuy jangan lupa follow akun wp sama IGku yapp😲

Continue Reading

You'll Also Like

788K 78.6K 35
Pernikahan Rhea dan Starky hanya berlangsung selama tiga tahun. Meskipun mereka telah dikaruniai seorang putra, ternyata Starky belum juga bisa usai...
4.3M 479K 50
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
1.1M 103K 50
Ceisya gak pernah tau kalau semesta akan mempertemukannya lagi dengan Arga. Si cowok Indonesia yang dulu pernah jadi seniornya saat sekolah di Ameri...
105K 18.7K 32
COMING SOON...