11. Teman Bossy

14.4K 1.3K 48
                                    


Keseharianku banyak kulewati di kantor. Sudah saatnya aku melakukan perjalanan ke rumah ayah ibu. Jika menunggu hari libur biasanya hanya hari minggu saja. Jadi aku memutuskan untuk cuti tiga hari. Aku memang tidak ijin langsung pada pak bossy, tapi melalui HRD yang mengiyakan ijinku. Akhirnya jadilah aku di sini, di rumah ayah dan ibu.

Aku tahu di balik wajah lembut ayah dan ibu tersimpan sakit dan pilu seperti yang aku alami. Tapi mereka menyimpan rapat semua itu dengan sebuah senyuman. Ibu memang sempat menyalahkanku karena dulu begitu mempertahankan hubunganku dengan Akbar dari pada pilihan ayah. Tapi setelah Mas Johan menenangkan, ibu akhirnya diam dan memelukku.

Maafkan aku, Ayah, Ibu, karena tak berhasil dalam pernikahan ini. Maafkan aku sudah mengecewakan kalian. Mempermalukan kalian karena anak perempuan kalian ini, kini menjadi seorang janda.

Aku menuju taman belakang rumah sore itu. Melihat ke atas awan. Rasanya senja menyambut keterpakuanku mengingat tentang Akbar dan pernikahannya dengan Anggrek. Mereka mengenakan setelan busana berwarna silver. Nampak anggun sekali Anggrek dalam busana pengantin itu. Dia terlihat tambah cantik. Di foto itu, aku melihat mama dan papa dan juga Vero. Mereka dulu adalah keluargaku. Mama Ira adalah ibuku juga. Ketika aku sedih, aku juga memeluknya seperti ibu kandungku sendiri. Sekarang mereka bukan apa-apaku lagi. Vero juga adalah adikku. Saat dia sedang bimbang, yang dihubunginya pertama kali adalah aku.

Akbar, kau memisahkanku dengan mereka.

Aku menatap langit senja itu dengan memejamkan mata. Merasakan semilir angin sore dan mencoba menenangkan diri. Namun memang air mata ini terlanjur nakal, tidak bisa kukomando untuk berhenti mengalir. Ia malah melaju bebas melewati pipi. Semakin lama bayangan akan kenangan itu kian merapat di depan mata, semakin pula membuatku terisak. Aku merasa sesak di dada. Ada seseorang yang memelukku dari belakang yang juga ikut terisak. Saat aku menoleh, ternyata ibuku.

Ibu maafkan anakmu ini.

"Jangan menangis lagi, Nduk. Jadilah seperti air. Biarlah semuanya mengalir. Suatu hari nanti, kamu akan mendapatkan pasangan hidup, jodohmu yang sesuai. Belum saatnya kamu bertemu dia, Nak." Ucapan ibu mengatakan bahwa Akbar bukanlah jodohku.

Pasangan hidup.
Jodohku.
Bahkan aku sudah menghapus kata-kata itu dari kehidupanku.
Aku takut tersakiti lagi.
Bagaimana bila sejarah terulang lagi?
Aku tak mau.
Lebih baik aku menepi dan melupakan soal itu.

"Bu, Ambar gak pa-pa." Aku menatap wajah ibu penuh arti. Mengatakan bahasa kalbuku bahwa aku baik-baik saja. "Ambar cuma lagi menikmati sore. Kebawa suasana senja aja, Bu."

🌿🌿🌿

Setelah cuti tiga hari, rasanya semua pekerjaan menumpuk di hari ini. Pak Lewis menyuruhku mengerjakan beberapa berkas bejibun. Aku bisa apa? Sebagai pegawai bawahan, aku menurut apa kata atasan saja.

"Kamu ke mana aja, Mbar?" tanya Andi.

Andi berbisik padaku saat aku mulai sibuk bekerja. Fokus pandanganku pada layar di atas meja kerja. Tapi aku tetap menanggapi setiap ucapannya.

"Aku pulang ke rumah. Kangen sama ayah ibu."

"Untung aja kamu cepet balik. Kalo gak, kamu bisa dipecat."

Aku menghentikan jemariku yang sibuk menekan tombol keyboard komputer dan menoleh tak mengerti dengan ucapan Andi.

"Emangnya ada apa?"

Inayat HatiWhere stories live. Discover now