2. Cerita Kami

22.7K 1.3K 10
                                    


"Adek masak apa hari ini?"

Aku tersenyum manja saat tangannya melingkari perutku dari belakang. Aku membalikkan badan menghadapnya langsung.

"Aku masak gulai ikan gabus kesukaan Mas."

Akbar memencet hidungku. "Makasiii, Sayang."

Suamiku malah mencium pipiku membuat wajahku merona seketika. Perlakuannya selalu saja membuatku tersipu. Walaupun kami sudah menikah empat tahun, tapi perhatiannya masih saja menerbangkan anganku.

"Dek, besok aku harus keluar kota. Ada pelatihan bersama staf dari kantor pusat."

"Pelatihan? Pelatihan apa lagi, Mas? Bukannya sudah bulan kemaren?"

"Kasitau gak yaa?"

Aku mengerucutkan bibir dengan niat merajuk. Apalagi yang ingin dia sembunyikan dariku. Wajah jujurnya sama sekali tak bisa membohongiku. Akbar segera menarik lenganku ke dalam dekapannya. Begitu nyaman sampai aku memejamkan mata sejenak sampai dia melepasnya dan menangkup kedua pipiku.

"Insya Allah mas akan naik jabatan."

Sontak saja perkataannya membuatku membolakkan kedua mata dan membuka lebar mulutku. Inilah momen yang paling aku tunggu. Bukan karena faktor ekonomi yang ada di benakku, tapi janji Akbar untuk memiliki buah hati setelah ia naik jabatan.

"Mas serius, 'kan?"

Suamiku hanya tersenyum. "Insya Allah, doakan saja semuanya lancar, Dek."

Spatula di genggamanku, aku acungkan ke atas. Entah bagaimana ekspresi Akbar melihat sifat kekanakanku keluar saat ia melihatku berjingkat senang. Aku malah menjadikan spatula layaknya gitar tanpa senar. Yang kulihat, Akbar malah tertawa melihat tingkahku. Saat aku menyadari sikapku yang berlebihan, aku hanya menutup mulut menyadarinya. Dengan menutup wajah, aku berhambur memeluk suamiku yang langsung didekapnya tubuhku. Lantas, aku mengangkat wajah dan menatap kelopak beningnya lama. Ia membalas tatapanku dengan penuh makna.

"Kita akan segera punya bebi, 'kan Mas?" rengekku manja.

"As your wish, Honey."

Aku memeluknya lagi lebih erat sembari memejamkan mata. Aroma woody dari parfum berkelasnya membuatku merasa nyaman. Dia, selalu saja membuatku bahagia. Tak pernah aku berhenti mengucap syukur pada Tuhan karena memiliki pasangan hidup seperti dirinya seiring tak hentinya aku mendamba dan mencintainya——suamiku——Akbar.

🌿🌿🌿

"Setelah sampai di Jakarta, jangan lupa segera kabari aku ya, Mas?" pintaku.

Beberapa helai pakaian dan perlengkapan Akbar, aku masukkan ke dalam koper besar miliknya. Satu bulan, bukan jangka waktu sebentar. Kenapa harus ada pelatihan kerja sampai selama itu. Mungkin saja hal itu dilakukan perusahaan tempat suamiku bekerja agar dia dan beberapa pegawai seperti Akbar bisa lebih profesional dan punya kinerja yang bagus dalam pekerjaannya.

Setelah semua beres, aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Bukan karena lelah diri saja, tapi juga lelah batin yang akan kuhadapi sebentar lagi. Aku akan jauh lama dari suamiku. Benar-benar membuatku murung.

"Kenapa diam aja, Sayang?" tanya Akbar yang duduk di sisi tempat tidur. Aku menoleh padanya dan segera duduk di dekatnya.

"Gimana aku gak sedih, Mas akan jauh lama dari aku."

Akbar mengusap rambutku yang terurai. "Sabar ya, Dek. Ini juga buat masa depan kita dan anak-anak kita kelak. Setelah ini, kita gak akan jauh lagi." Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Setelah kita punya modal cukup, aku akan resign dari perusahaan. Beginilah kerja pada orang, apapun harus nurut. Kalo modalnya sudah cukup, kita wirausaha saja."

"Aku setuju soal itu, Mas. Wirausaha itu solusi terbaik biar tiap pasangan gak perlu jauh-jauh."

Suamiku terkekeh pelan dengan menggenggam tanganku dan mengusap punggungnya. Tatapannya yang menerawang sekilas tersenyum menggodaku.

"Istriku makin cerdas aja," puji Akbar.

Aku pun ikut tertawa pelan. Selalu saja pujiannya membawaku tersipu. Ia mengusap pipiku pelan.

"Bersyukurnya aku memiliki istri sepolos dirimu."

"Polos?" tanyaku heran.

Kenapa harus kata polos yang menjadi pilihan katanya yang tersemat untuk memujiku?

"Banyak wanita di luar sana yang cerdas, Sayang. Tapi gak polos, kurang murni dalam menyikapi banyak hal."

Aku menutup mulut dengan kekehan pelan. Lihat saja bagaimana cara dia membuatku tersipu malu dengan semua pujiannya. Usia pernikahan seperti kami seharusnya sudah tak begitu mesra lagi. Seperti cerita teman-temanku, rumah tangga mereka sudah disibukkan dengan perkara materi dan masalah, sementara rumah tangga kami masih baik-baik saja. Suamiku selalu saja memberikanku banyak kejutan walaupun bukan di hari ulang tahunku. Bahkan, sikap dan perkataannya yang mesra masih saja sama dengan lima tahun lalu, saat pertama kami mengenal cinta satu sama lain.

Nikmat Tuhan yang mana lagi yang kudustakan? Kebahagiaan yang mana lagi yang kuharapkan? Begini saja aku sudah berada di surga.

Mungkin benar pilihan suamiku untuk tidak segera memiliki anak, agar kami masih terlihat seperti pengantin baru, selalu. Walaupun keping-keping rindu akan tangisan seorang bayi di tengah-tengah kebahagiaan ini selalu saja menggoda dan mengusikku, tapi tak apalah. Aku sudah bersyukur, sangat bersyukur karena perhatian suamiku yang selalu membuatku dalam khayalan nyata akan surga dan nikmatnya.

🌿🌿🌿

"Dek, mas sebentar lagi ada meeting. Gak pa-pa aku tutup telponnya ya, Sayang?" ujar Akbar lembut.

"Iya, tapi Mas jangan telat makan yah."

"Pasti, Cantik."

Sambungan telepon kami pun terputus. Suara bising di sekitarnya bisa kutebak, dia sedang ada di kantor atau di pabrik atau entah ada di mana. Biasanya Akbar selalu menyempatkan diri untuk video call, tapi hari ini dia seolah benar-benar sibuk. Aku tak akan mengganggunya lagi. Aku janji. Tapi, perasaanku mengatakan tak bisa. Aku harus bagaimana? Aku harus bersabar. Toh, dia selalu menghubungiku dan selalu menyempatkan mengangkat telepon dariku. Bukannya tak percaya padamu, Suamiku. Namun kerinduan ini yang sulit menahannya.

Akbar sudah menjali tali temali yang menjerat hatiku. Bagaimana akan lepas, sementara saat merindukannya, aku selalu mengikat satu ikatan tali baru untuk hati ini. Yah, tali perasaan padanya. Biarkan saja bila aku terlalu memujanya. Bukankah dia sudah halal untukku. Menyayanginya. Begitu tulus dan bisa dibilang, buta.

🎑🎑🎑

Bersambung
Situbondo, 17 Juni 2018

Follow IG mawarmalka😄

Inayat HatiWhere stories live. Discover now