27. Pencerahan

11.9K 1.2K 111
                                    

Sembari memakan kentang goreng tanpa jeda, tak kupedulikan tatapan melongo Selfi. Ia meraba keningku.

"Gak panas," ucap Selfi.

Terus saja kukunyah kentang goreng kesukaanku. Kali ini bukan karena aku menyukainya, tapi karena ingin mengenyangkan perutku. Bukan pula karena aku lapar. Bukan. Namun karena memikirkan nasib dan luka ini yang tak kunjung usai.

Aku terluka, Ya Allah, Ya Tuhanku. Kau tahu dan membiarkan itu? Sampai hatiku jadi meragukan kasih-Mu. Apakah kalian bersekongkol untuk itu?

Tak terasa di sudut mataku mengalir air mata yang tak bisa kubendung lagi. Ini sakit. Terlalu sakit. Impian dan angan yang kuimpikan seolah buyar dalam sehari.

"Ambar!?" Selfi melirik ke kanan dan kiri. "Pliz, jangan nangis di sini. Sini tempat umum. Oke. Gue akuin, gue suka gosip, tapi gue gak suka soto babat alias sobat gue entar yang digosipin."

Selfi menyeret tanganku keluar dari kantin yang sebelumnya ia keburu membayar ke kantin, makanan yang kami makan. Kami duduk di tepi kolam di taman belakang kantor yang sepi.

"Ambar, ada apa?" tanya Selfi.

Aku menggeleng dengan tetap menangis tanpa suara. Selfi malah kebingungan mengeluarkan tisunya dari dalam tas. Seolah memberikan jeda, ia menungguku bercerita. Setelah tangis isakku reda, barulah Selfi menepuk pundakku.

"Sekarang kamu cerita, ada apa?" pinta Selfi.

Aku hanya menggeleng.

"Udahlah, Ambar. Aku tahu gimana kamu. Semua hal sering banget kamu tutupi. Bahkan, menangis itu bukan cara kamu nunjukin di depan umum. Gue yakin banget, masalah ini tu udah kebangetan nyerang kamu. Kalo gak, mustahil kamu nangis pek gini."

Aku tertunduk dan mencoba menenangkan diri sendiri. "Mas Al, Sel. Mas Al ternyata udah punya istri."

Dan dengan lancar, aku pun menceritakan semuanya pada Selfi. Bukan niatku memublikasikan kisahku pada teman kantor yang sudah kuanggap saudaraku ini. Bukan. Tapi setidaknya aku bercerita. Selain untuk mengeluarkan kesakitanku, aku juga butuh pendapat orang lain di sini. Dan kuanggap Selfi mumpuni memberi solusi.

Selfi mendengarkan dengan saksama tanpa menyela seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku harus gimana, Sel?"

"Bertahan."

"Bertahan apa maksudmu? Sampai Mbak Fara meninggal, gitu? Aku malah gak mau wanita selembut kapas seperti dia pergi dari dunia ini. Andaikan kamu liat dan bertemu langsung dengan Mbak Fara, kamu akan langsung ngerasain ketulusan tu cewek," ujarku. "Karena itu, aku gak tega ngerebut Mas Al dari dia."

"Karena itu gue bilang, lo bertahan aja. Lagian dia gak punya niat jahat kok. Mungkin aja emang beneran kalo Mas Al cinta sama lo dan Mbak Fara langsung setuju waktu liat lo karena kamunya baik."

"Tapi aku sakit dipoligami, Sel. Aku ngerasa, bukan aku satu-satunya orang yang ada di hati Mas Al."

Selfi menghela napas sejenak, "Itu sudah kemauan si Fara. Ya mo gimana lagi. Kali aja emang si Fara tulus pengen meluk anak Pak Aldric dari istri yang baik. Daripada sama perek, ya gak? Jadi anak apa entar. Ato anak dari bunga bangke, bukannya nyenengin malah nambah penyakit ke si Fara. Kadang mikir emang harus objektif, Mbar. Mikir subjektif itu seperti panah beracun yang bisa ngehancurin diri sendiri. Makanya saran gue, lo bertahan dulu. Ato kalo nggak, kamu omongin dari hati ke hati sama Pak Aldric soal ini."

Masuk akal apa yang dikatakan Selfi. Menjurus dan tepat sasaran. Tapi bagaimana dengan perasaanku yang merasa dibohongi?

"Aku cuma kecewa karena ngerasa dibohongi. Kerasanya kek model dijebak," lirihku.

Inayat HatiWhere stories live. Discover now