7. Mengikhlaskan

16K 1.3K 83
                                    


Aku terdiam di teras malam ini, sendirian. Seseorang menepuk pundakku. Saat kutoleh ternyata kakak laki-lakiku, Mas Johan.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku hanya menjawab dengan gelengan pelan. Mas Johan duduk di sebelahku sambil menatapku lekat.

"Jangan boong. Dari kecil, mas yang nemeni kamu maen. Bahkan selalu nyuapin kamu. Saat kamu marah atau sedih, pasti kamu diem kek sekarang ini. Memilih sendirian."

Aku hanya tertunduk bisu. Tak ada komentar. Mas Johan mengusap puncak kepalaku yang tertutup hijab dengan lemah lembut.

"Kalo ada masalah, cerita aja sama mas. Mungkin mas bisa bantu."

Aku menoleh dan berpaling menatap pada tanah di depanku sebentar.

"Mas, apa Ambar boleh nanya sesuatu?"

Mas Johan nampak menautkan kedua alisnya, namun tak lama setelah itu, ia mengangguk.

"Nanya apa aja boleh, gratis," goda Mas Johan.

Aku hanya tersenyum tipis. "Apakah setiap laki-laki itu punya kecenderungan untuk selingkuh setelah menikah, Mas?"

Mas Johan menoleh seketika padaku. "Apa Akbar selingkuh?" Ia malah balik bertanya.

Menggeleng adalah cara terampuh untuk menyembunyikan masalah.

"Lalu?" Mas Johan memandangku dengan tatapan selidik.

"Aku hanya takut, Mas. Takut Mas Akbar seperti itu karena dari cerita teman-temanku, laki-laki itu sulit menjaga pandangan mereka dari wanita lain. Walaupun mereka sudah punya istri cantik di rumah."

Mendengar ucapanku, Mas Johan malah tertawa terpingkal sampai menepuk pahanya sendiri. Ia mengacak hijab yang kukenakan.

"Kupikir Akbar macam-macam sama kamu, Bar."

"Aku serius, Mas," rengekku.

"Begini, laki-laki memang seperti itu. Suka melihat wanita cantik dan bening." Mas Johan tertawa sejenak. "Aku pun juga sering begitu. Entah kalo perempuan gimana. Cuma kalo urusan nyeleweng keknya jauh dari jangkauan deh, Bar. Cuma sekedar kagum aja kali."

"Masa?"

Mas Johan mengangguk mantap. "Bukan cuma laki-laki, tapi perempuan juga. Tergantung manusianya sih, Bar. Buktinya Mas Johan ini, masih setia sama Mbak Desimu. Memang, namanya mata kadang susah dijaga, tapi hati. Hati ini tetap terjaga buat yang di rumah," ledek Mas Johan sambil mencuil ujung hidungku dengan tertawa.

"Gitu."

"Makanya jangan suka bergosip kalo ngumpul sama temen-temenmu, Ambar. Omongan yang gak penting kadang bisa gak nenangin juga, 'kan? Yang penting sekarang berdoa saja semoga pasangan kita, keluarga kita, selalu dijaga ketenteramannya, gitu," ceramah Mas Johan.

Aku tersenyum geli juga. Sedikit terobati bertemu kakak laki-laki semata wayangku ini. Ia terbiasa memanjakanku dari kecil dulu. Jangan ditanya bagaimana dia membelaku saat beberapa temannya menggangguku, mereka habis babak belur kena bogem mentah kepalan tangan Mas Johan.

"Kalo sampai Akbar macem-macem, bilang sama mas gantengmu ini. Mungkin dia pengen nyoba kepalan tangan mas," tukas Mas Johan yang membuatku hanya tersenyum tipis.

"Ambar! Johan! Makanan sudah siap! Ayo makan!" panggil ibuku.

Kami berkumpul di meja makan. Sudah ada Mbak Desi bersama kedua anaknya yang juga duduk bersama di meja makan. Yang aku rasa iri, kapan aku bisa memiliki anak. Aku tidak mandul sama sekali. Bahkan, aku termasuk wanita yang subur jika dilihat dari keluarga ayah dan ibu. Seandainya tidak kuminum obat pencegah kehamilan setiap saat, mungkin aku sudah memiliki buah hati.

Inayat HatiOnde as histórias ganham vida. Descobre agora