22. Kebingunganku.

12.9K 1.2K 32
                                    

Aku meminta cuti beberapa hari lagi dengan alasan merawat ayah. Pak Lewis awalnya keberatan. Namun Mas Al yang membantuku meminta cuti lebih. Pak Lewis pasrah juga akhirnya karena bagaimana pun selain mereka berteman cukup lama, saham Mas Al di kantor lebih dominan daripada investor lain.

Mas Aldric memilih tetap pulang karena ada beberapa hal yang masih perlu ia urus. Aku sangat setuju akan hal itu.

"Mas Al lama-lama di sini bisa memunculkan fitnah," ujarku saat ia hendak pergi.

"Gak pa-pa. Karena setelah ini kita akan ijab sah," goda Mas Al.

"Jangan terlalu pede."

"Yah, semoga Allah mendengar doaku. Ucapan itu 'kan bisa jadi doa."

Beberapa hari kemudian, aku membantu ibu merawat ayah yang masih dalam tahap pemulihan. Kali ini benar ucapanku. Saran dokter, ayah hanya boleh makan daging yang dikukus agak tawar bersama sayur mayur dimasak matang yang tidak sampai overcook. Atau mengonsumsi makanan dengan sedikit karbo dan kacang-kacangan yang bisa menekan kolesterol jahat yang tanpa menyentuh minyak. Ini terbalik. Seharusnya ayah melakukannya dari awal. Bukannya setelah sakit begini.

Aku yang kini berubah peran menjadi perawat bagian dapur bagi orangtuaku yaitu ayah. Bagaimana pun, ayah atau ibu sekali pun harus mengonsumsi makanan sehat.

Setiap hari aku membantu ibu. Wajah senjanya membuatku berat bila harus meninggalkannya bekerja. Yah, sedikit aku ucapkan terima kasih bisa kenal dengan Mas Aldric karena dia membantuku dalam hal perijinan kantor. Peranku di kantor sementara digantikan oleh Andi.

Hampir setiap hari Mas Aldric menghubungi ayah untuk sekedar menanyakan kabar ayah dan juga ibu. Kubilang, ayah sudah sehat. Sebaiknya tidak usah terlalu mengkhawatirkan mereka. Dengan culasnya dia malah mengatakan, "Mereka kini adalah orangtuaku juga."

Kehadiran Mas Al sudah membawa efek tak baik dalam kehidupanku. Semua orang begitu memperhatikannya. Baru sekali saja menolong ayah, semua orang seolah bersimpati dengannya. Aku yang anak mereka, bukan si Aldric itu.

Namun kuakui saat dia jauh, aku merasa ada sesuatu yang hampa, sesuatu yang kosong dan terasa ..., sepi. Dan saat dia ada di sekitarku, aku merasa jengah dan bosan. Itu membuatku sangat bingung. Sebenarnya ada apa dengan diriku?

Sejak dia hadir, lambat laun bayangan Akbar semakin hilang, hilang dan akhirnya lenyap tak berbekas. Bahkan aku cenderung tak peduli dengan masa laluku lagi. Namun anehnya, kuakui saat dia ada di dekatku, aku merasa, dia harus segera pergi. Dia ..., dia adalah dia, yang kini mengusikku setiap hari. Yang sudah mencuri perhatian semua orang.

Bahkan mungkin, sudah mencuri perasaanku juga.

Aku masih ingat ketika ayah baru pulang rumah sakit, ayah memanggilku dan menepuk tempat duduk di sebelahnya.

"Ya, Ayah?"

"Ambar, Nak Aldric itu baik banget ya?" ungkap ayah.

Aku hanya mengangguk.

"Ayah mau punya menantu seperti itu," harap ayah sembari menatap langit-langit.

"Apalagi menantu yang dulu, maksudnya bekas menantu yang dulu jauh dari kata perhatian sama kita ya, Yah?" imbuh ibu.

Aku pun menyahut, "Jangan menilai dari kulit, Ayah, Ibu, karena kulit kadang gak sama dengan isi."

Kebingunganku mungkin beralasan karena ketakutan akan bayangan masa lalu. Saat aku benar-benar jatuh cinta, saat itulah aku benar-benar dijatuhkan oleh perasaan cintaku sendiri.

Inayat HatiWhere stories live. Discover now