10. Kabar tentangnya.

16.2K 1.4K 56
                                    


Pak bosy sepertinya tengah sibuk hilir mudik seperti aliran air sungai. Aku tak berani mengganggu walaupun kertas-kertas tak berdosa ini membutuhkan bubuhan tanda tangannya. Nanti sajalah aku ke si bossy. Andaikan sibuk karena pekerjaan, aku maklum. Masalahnya sekarang ia disibukkan dengan Miranda yang malah menangis di dekatnya. Apalagi yang terjadi dengan wanita itu? Tapi hebatnya dia, berapa ribu mili kubik air mata yang ia simpan seolah tak ada habisnya.

"Mbar, ikut aku yuk ke kantin!" ajak Selfi, salah satu teman kantorku.

Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah Selfi. Kami berjalan beriringan melewati koridor kantor menuju kantin yang letaknya di lantai paling bawah. Sementara kantor dan ruanganku sendiri berada di lantai tiga.

Siang itu memang cuaca amatlah cerah. Rasanya menenggak segelas minuman dingin yang segar akan menjadi solusi dahaga tenggorokan kering. Begitu pun aku dan Selfi, setibanya di kantin, pertama kali yang kami pesan adalah minuman dingin berupa es teh dan semangkok nasi soto. Cukuplah untuk mengganjal perut kami yang sedari tadi menabuh genderam perang karena cacing-cacing di perut yang sudah kelaparan.

"Mbar, keknya kamu merhatiin si bos terus? Emang keren sih, tapi dingin," ujar Selfi.

Aku yang awalnya diam saja mulai merespon dengan tampang tak mengertiku. Merhatiin bos? Siapa yang memperhatikan bos?

"Keknya kamu salah sangka. Aku gak pernah merhatiin bos."

"Tapi yang gue liat, kamu sering liatin ruangan si bossy," sergah Selfi dengan tatapan menyelidik padaku.

Aku menghela napas panjang. Segitu telitinya Selfi sampai ia tahu bagaimana aku yang sering memperhatikan ruangan si bos besar. Tapi jangan salah. Aku bukan memperhatikan si bos, tapi memperhatikan si pengikut setia bossy. Siapa lagi kalau bukan tunangan Pak Lewis, Miranda. Apa saja yang ada di otak Selfi? Mungkin dia mengira aku naksir pada bos besar. Jangankan naksir, diterima kerja di perusahaan yang termasuk kategori bonafide ini saja aku sudah bersyukur.

Yah, aku hanya heran pada hubungan asmara si bosy dan Miranda. Mereka sudah pada tahapan serius yaitu bertunangan, tapi lihatlah bagaimana sikap keduanya. Yang satu dingin dan satunya lagi, maaf, cengeng. Mengingatnya saja aku tertawa geli. Namun bukan itu yang menjadi fokus perhatianku. Lihatlah bagaimana hubungan dengan sifat pasangan yang bertolak belakang itu menjadi satu dalam ikatan yang kudengar sebentar lagi mereka akan menikah. Dan sepertinya Pak Lewis begitu menyayangi wanita hobi nangis itu. Jujur, aku iri pada Miranda.

Akbar, lagi-lagi aku mengingatmu dalam kenanganku.

"Ambar! Kamu ngelamun lagi?" Ucapan Selfi sontak mengagetkanku. Dan hal itu otomatis membuatku menggelengkan kepala cepat.

"Kamu itu jangan suka ngelamun. Pamali kata orang sunda. Makanya kalo ada masalah, biasakan terbuka, cerita sama orang lain. Temen-temen di sini pada ngomongin kamu, pegawai baru yang pendiem dan tertutup."

"Masa?" tanyaku.

Aku jadi punya coretan sendiri. Sisi positif teman-teman di sini adalah mengakrabi, hangat dan kekeluargaan yang aku rasakan. Namun sisi negatifnya, rupanya mereka suka ngrumpi. Sebenarnya bukan masalah besar jika aku sempat menjadi topik pembicaraan. Karena semakin orang perhatian pada kita, semakin gencar mereka membicarakan kita. Anggap saja begitu. Entahlah teoriku ini benar atau tidak. Positif tinking saja.

Selfi mengangguk sambil sibuk mengunyah makanan di mulutnya. Kentang goreng juga masih setia diapit oleh jari-jari lentiknya. Teman kantorku yang satu ini paling suka pedas. Keringat mengucur di wajahnya tak ia pedulikan lagi. Sesekali tangannya menyelinap ke dalam baskom kecil berisi sambal dan menuang ke mangkoknya sendiri beberapa kali. Namun jangan salah. Lepas ini bisa kutebak dia akan ke toilet untuk membenarkan make up-nya. Aku yang melihatnya jadi meringis sendiri. Katakanlah aku orang jawa yang juga suka pedas. Bagaimana ibuku yang selalu masak aneka masakan dengan rasa pedas yang menggelenyar di lidah, tapi tidak sehebat selfi. Kadar kesukaannya pada pedas jauh melampauiku. Aku hanya bisa menelan ludah saat melihatnya.

Inayat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang