Prolog

46.7K 1.9K 33
                                    


Melihat senyummu saat kau tertidur pulas, aku begitu puas dan bahagia. Sangat bahagia. Semoga senyum itu selalu terbingkai di bibir manismu. Aku sangat mencintaimu kekasihku, suamiku.

Saya terima nikahnya Ambar Sari binti Hamdun dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 2 gram 23 karat dibayar tunai!

Bagaimana, Saksi? Sah?

Sah!

Sah!

Sah!

Lima tahun yang lalu kita mengikrarkan janji suci di depan penghulu. Sudah banyak kebahagiaan yang kau torehkan dalam lembaran biduk rumah tangga ini. Walaupun kita belum memiliki buah cinta dari pernikahan ini, kita tetap bahagia.

Entah bagaimana ceritanya, kau belum siap memiliki seorang anak dari rahimku. Dengan alasan faktor ekonomi kita belum mumpuni. Sebenarnya kau bukan pengangguran atau pegawai bawahan. Gaji sebagai asisten manajer bagiku sudah lebih dari cukup kita memiliki momongan, tapi berbeda alasanmu. Jika kau naik jabatan atau naik gaji, kau sudah siap memiliki makhluk kecil dari rahimku. Satu Alasanmu, kamu ingin anak kita tidak merasakan kekurangan sedikitpun dari segi finansial. Seperti dirimu di masa lalu. Aku terima walaupun bagiku agak berbelit. Bukankah sudah janji Tuhan akan menjamin rejeki setiap hamba-Nya. Setiap hari aku harus meminum pil pencegah kehamilan. Namun aku terima, karena kau menginginkannya. Kita bahagia. Itu poin dari pernikahan ini. Bagiku.

🌿🌿🌿

Siang itu aku duduk sendiri di depan rumah setelah selesai membersihkan rumah. Aku melihat anak kecil berlari dan mencabuti bunga-bunga yang sudah susah kusirami setiap hari. Tapi entah kenapa aku tidak marah. Justru aku tertawa melihat kelucuannya dengan bibir mungilnya yang mengerucut seolah gemas dengan tanaman dalam genggaman kecilnya itu. Aku tersenyum melihatnya. Entah karena kerinduanku akan buah hati ataukah memang aku menyukai anak kecil. Bagiku keduanya mungkin saja. Dari arah pintu depan aku melihat suamiku sudah pulang sembari menenteng tas kerjanya. Wajahnya nampak lusuh. Aku tersenyum menyambut dan mencium punggung tangannya. Aku merasa sejuk saat tangan lembut itu mengusap rambutku dengan kasih sayang.

"Sudah makan?" tanyanya lembut. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan dan seulas senyum.

Aku membantu suamiku membuka sepatu dan meletakkan sandal di depan kakinya.

"Makasih, Sayang," ucap suamiku.

"Sama-sama."

Aku beranjak dan menyiapkan air hangat untuk mandi sorenya. Aku tahu dia sangat lelah. Sengaja aku menyiapkan air hangat dengan sedikit garam ke dalam bak mandi. Setelah itu, dia pasti akan merasa lebih segar.

"Gak usah pake air anget kalo capek," seru Akbar, suamiku.

"Gak pa-pa, Mas. Itung-itung juga biar Mas gak capek. Mas mandi ya, aku siapkan makan dulu."

Suamiku mengangguk dan lanjut ke kamar mandi. Suara air beriak terdengar. Suamiku sepertinya sudah berendam dalam bak mandi.

Kehidupan kami begitu sederhana. Tak ada bathub atau kamar mandi modern yang bisa langsung mengucurkan air hangat sesuka hati. Tanganku sendirilah yang masih harus memetik api dari kompor untuk menyiapkan air hangat untuknya mandi kala suamiku sedang lelah.

Perjalanan pernikahan ini yang sudah 5 tahun tanpa buah hati, namun dipenuhi buah cinta yang begitu ranum. Aku mencintainya dan dia pun mencintaiku tanpa kata tapi. Kami saling mencintai saat pertama pandangan itu jatuh pada manik mata kami masing-masing dan tepat mengena pada hati enam tahun lalu. Setelah menjalin asmara selama satu tahun, akhirnya kami memberanikan diri mengikat ikatan ini menjadi ikatan suci demi ridha Ilahi.

Hingga satu kejadian membuatku membuka mata atas semua ini. Membuatku benar-benar menjadi orang paling jatuh dan terpuruk. Tuhan! Kuasa seperti inikah yang Kau tawarkan padaku?

Saat dia mulai berbenah pergi, aku mulai berbenah mengobati. Cinta ..., kata yang penuh makna. Namun penuh dengan berbagai rasa.

🎑🎑🎑

Bersambung.
Situbondo, 12 Juni 2018

Follow IG mawarmalka😄

Inayat HatiWhere stories live. Discover now