9. Melihat ke depan.

15.6K 1.4K 126
                                    


Hari ini sudah jadi hari kesekian aku bekerja di sini. Semua tumpukan berkas aku terima dan harus kuselesaikan segera. Sepertinya pegawai sebelumku meninggalkan banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan. Jadilah sekarang aku yang harus menyelesaikannya, tapi tak apalah. Semakin banyak kerjaan, semakin akan melupakanku akan kenangan tentangnya.

"Weh, rajin bener, Mbar?" goda seorang teman di sebelah meja kerjaku.

Aku hanya menunduk dan tersenyum. Memang rasanya masih kaku. Andi, teman kerjaku ini memang punya sifat usil dan suka menggoda para pegawai lain terutama pegawai wanita. Jika teman pegawai lain akan membalas kicauannya, aku hanya bisa menanggapinya dengan ekspresi biasa. Aku memang tak bisa mengimbangi pergaulan. Niatku di sini hanya bekerja, mencari nafkah untuk diriku sendiri. Sebenarnya aku tidak kekurangan karena usaha keluargaku juga mencukupi. Namun niat utamaku bukan itu. Aku hanya ingin melupakan Akbar. Nama itu. Nama yang masih melekat di hatiku. Entah sampai kapan. Aku hanya ingin menjalaninya sekarang.

"Kalo ngelamun mulu awas kesambet," ucap Andi lagi.

Aku hanya tersenyum tipis tak begitu menanggapi dan melanjutkan pekerjaanku kembali.

"Ambar, kamu dipanggil pak bos."

Seorang pegawai yang kulupa namanya menyampaikan itu. Aku segera berdiri dengan memeluk beberapa berkas berisi laporan yang sudah kukerjakan sedari tadi.

Saat sudah di depan ruangan direktur, aku nyaris bertabrakan dengan seorang wanita yang sepertinya menangis. Apa direkturnya galak sampai orang itu menangis? Entahlah. Aku enyahkan pikiran burukku dan segera melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan. Baru pertama kali ini aku masuk ke ruangan luas nan sejuk ini. Terasa nyaman dan santai di dalamnya. Pak bos sepertinya terlihat sibuk membuka dan membaca tumpukan kertas di atas meja kerjanya dan sesekali melihat ke layar datar di depannya. Aku melangkah tenang dan menyapanya ramah.

Pak bos mengangkat wajah dan melihatku. Bayanganku akan bos besar yang setengah baya, perut buncit dan galak rasanya harus kubuang jauh. Masalahnya bosku orang yang masih bisa dibilang muda, berkarisma, tegap dan dia pantas dibilang bos seperti umumnya. Hanya saja perawakannya memang sedikit terlihat angkuh dan berhati keras. Itu segelintir pendapatku tentangnya. Selebihnya hanya dia dan Tuhan Yang Tahu bagaimana dia menjalani hidup ini.

"Kamu pegawai baru?" tanya bos besar.

Tatapannya seolah mengintimidiasiku. Aku lupa tadi namanya. Padahal bubuhan tanda tangan di kertas laporan tertulis nama lengkapnya. Sayangnya aku lupa. Saat kulirik nama lengkap di atas mejanya, aku baru tahu, namanya Lewis Dean. Nama barat kataku. Mungkin karena sekilas aku lihat sepertinya dia indo keturunan. Entahlah itu tak penting karena sekarang aku di depannya dengan menyerahkan berkas yang kugarap tadi dan dia memeriksanya. Melihat tatapannya pada setiap kertas laporan yang kukerjakan tadi membuatku bergidik. Sepertinya dia juga manusia teliti dan tidak sembarangan menilai. Aku menarik napas panjang dan berdoa dalam hati. Aku masih baru dan masa percobaan kerja di sini. Semoga tidak nampak banyak kesalahanku dalam menggarap laporan itu. Apalagi membayangkan perempuan yang menangis keluar dari ruangan ini. Sepertinya aku tidak akan menangis, tapi langsung pingsan. Kuakui mentalku masih mental keripik setelah lama tak bercengkrama dengan dunia luar.

Pak Lewis melemparkan ke mejanya laporan yang sudah dibaca. Dan itu membuatku terkejut. Aku yakin dia bisa menangkap ekspresi keterkejutan itu dan dia malah menampilkan senyum sunggingnya.

"Laporan kamu lumayan bagus. Padahal masih baru di sini. Oke, lanjutkan. Kerjakan laporan penjualan bulan ini. Aku pengen tahu soal perkembangan kurs penjualan produk kita."

"Baik, Pak."

Setelah pamit pergi, aku melangkah ke luar ruangan. Wanita yang tadi menangis sepertinya balik masuk ke dalam ruangan bos. Tanpa kusadari, alisku bertautan penuh pertanyaan. Setengah penasaran juga. Bukannya kalau sudah disakiti tak akan balik lagi. Lah, perempuan ini? Aku menggeleng kepala pelan. Kenapa pikiranku jadi memikirkan wanita itu? Pasti efek pelarian. Pelarian tak ingin memikirkan masalah pribadiku.

Inayat HatiWhere stories live. Discover now