17. Lepas Dari Sakit

13.9K 1.4K 74
                                    


Aku memang pedih dan getir mendapati kejujuran Akbar yang pernah menciderai hati dan pernikahanku dengannya, tapi kejujuran itu sudah membuka mataku lebar bahwa dia memang bukanlah laki-laki yang pantas aku pikirkan. Dia bukanlah laki-laki yang pantas ada dalam kenangan. Karena kenangan buruk hanya akan mengotori hari-hari yang indah. Dan semua itu harus segera dilupakan. Mungkin ungkapan Akbar kemaren adalah pertanda bahwa dia harus segera dilenyapkan dalam pikiran.

Aku tidak membenci poligami karena setidaknya dengan poligami, wanita tanpa suami di luar sana juga tertolong dengan adanya penopang hidup walau jadi yang kedua. Tapi aku juga tidak setuju dengan cara laki-laki yang tak mempedulikan perasaan seorang wanita. Apakah ia akan terluka ataukah biasa saja. Biasa saja dalam artian yang mustahil.

Seandainya semua lelaki yang hendak poligami meminta ijin dulu. Sedikit demi sedikit berkata jujur dan memperkenalkan calon "istri baru" dengan lebih baik, kupikir wanita baik juga akan terima.

Banyak wanita di luar sana yang mau dipoligami setelah mengenal calon madunya dengan sangat baik. Ini bukan soal surga atau neraka. Ini bukan berbicara soal agama, tapi berbicara tentang perasaan. Bukankah dalam agama, menyakiti perasaan wanita adalah sebuah dosa juga?

Setiap menyakiti ibu, adik perempuan dan istri bukankah namanya dosa? Namun kutahu, di balik itu ada juga cerita wanita mulia yang bahagia dipoligami karena si istri kedua, ketiga atau keempat begitu ramah dan bersahabat dengan istri pertama. Yah, aku pun sering mendengarnya. Jelasnya si lelaki tidak seperti Akbar. Yang diam-diam menyakitiku begitu dalam.

Dan suatu hari nanti setiap perbuatan pasti akan menerima balasan. Sekecil apapun kebaikan dan kejahatan yang kita lakukan. Karena itu agama menyuruh kita berhati-hati dalam tindakan atau ucapan.

Sudah cukup!

Sekarang sudah jelas bagaimana Akbar yang sesungguhnya.

Di balik diam dan senyumnya, tersimpan racun yang jika tak segera kukeluarkan, malah akan memusnahkanku.

—★—

"Mbar, ada berita aneh," seru Andi.

Aku tak menghiraukannya. Pasti dia sedang ingin bergosip lagi. Awalannya sudah berita. Berita yang masih mengambang.

Jemariku sibuk membuat laporan keuangan. Aku hanya mengangguk saja atas ucapan Andi dengan mata tetap fokus pada layar komputer.

"Kamu dari tadi ngangguk-ngangguk aja, Mbar. Emang yakin gak penasaran sama berita yang aku bawa?"

Aku menoleh sejenak dan lalu kembali fokus pada layar komputer di depanku.

"Laporan keuangan bulan ini mesti kukebut, An. Gosipnya nanti aja ya?" ucapku.

Setelah dirasa cukup aku menyimpan file dan mem-print sebagian untuk diserahkan pada si bossy.

kuseret kursi putarku ke belakang dan kemudian bangkit sembari merapikan berkas-berkas yang kucetak barusan.

Saat kakiku melangkah, Andi mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkanku.

"Pak Lewis jadi nerima iklan dari temen Miranda itu."

Aku menghentikan langkah seketika dan memaksa otak kananku untuk berpikir.

Bukankah aku hanya pegawai bawahan di sini?

Aku menoleh dan memandang lekat pada Andi. "Itu urusan Pak Lewis. Dia 'kan yang punya perusahaan di sini. Ya jelaslah dia punya hak veto. Aku mah apa atuh," ucapku ringkas.

Inayat HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang