26. Membingungkanku.

12K 1.2K 125
                                    


Masalah mengajarkan aku pendewasaan.

Pengalaman mengajarkan aku ketenangan.

Dan semua itu mengajarkan aku keikhlasan.

Ikhlas atas nama kebaikan.

🌿🌿🌿

Dan kini aku di sini. Terjebak di sebuah tempat yang namanya kelabu hati. Menatap dia ..., wanita berhijab yang sama denganku. Mengulas senyum dan segera memelukku. Apa ini? Bahkan air mataku saja belum mengering. Wanita itu duduk dengan tenang di atas kursi rodanya. Tubuhku luruh dan meminta maaf.

"Aku bersalah karena tak mengetahui ini, Mbak," ucapku kaku.

Wanita di depanku kini bukannya marah malah semakin melebarkan senyum.

"Apa yang kamu katakan, Ambar? Bahkan aku yang meminta ini dari Aldric."

Ucapan wanita itu menghentakkan sanubariku. Bagaimana bisa?

"Duduklah di sini. Di dekatku. Aku akan menceritakan sesuatu padamu. Tentangku, tentang Aldric dan impianku. Tapi kumohon, janganlah marah. Maukah kau berjanji untuk itu?"

Aku yang masih tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku kini hanya bisa pasrah dan mengangguk pelan tak bersemangat.

"Kami dulu adalah sepasang kekasih. Kumohon jangan cemburu dulu, Ambar."

Aku mengangguk dengan air mata menggenang.

"Dia laki-laki baik. Kami menikah dan aku memutuskan mengikuti jejaknya menjadi mualaf. Aku baru tahu, agamaku kini adalah agama yang indah. Yang mengajarkan bagaimana sepasang kekasih menjadi begitu saling mendamaikan. Sampai usia pernikahan kami lima tahun. Tak kunjung juga dikaruniai anak. Aldric sangat sabar dan berjanji takkan meninggalkanku bagaimana pun ceritanya."

"Setelah pemeriksaan demi pemeriksaan dilakukan, ternyata aku ...."

Wanita ini malah menunduk dan memejamkan mata. Bibirnya seolah mengatakan sesuatu yang kudengar adalah Ya Allah Ya Fattah. Yang kutahu artinya adalah Ya Allah Yang Maha Membuka. Aku tak mengerti maksudnya apa. Apanya yang mau dibuka? Harusnya 'kan, Ya Allah Yang Maha Kuat atau apa. Begitu menurut hematku.

"Aku mengidap kanker rahim. Rahimku harus diangkat. Sejak itu, tak ada lagi harapan untukku punya anak, punya keturunan."

Aku masih di sini. Mendengarkan dengan seksama penjelasannya. Sementara Mas Al entah sekarang ada di mana.

"Kupikir, kehidupanku akan berlanjut normal. Soal anak, Aldric bilang, kami bisa mengadopsi anak dari baru lahir. Ternyata Allah masih berkata lain. Aku mengidap kanker serviks."

Wanita itu menatap langit di atas kami dengan senyum tulus yang masih belum bisa lepas.

"Dan dokter sudah memvonis umurku yang takkan lama lagi. Harapanku cuma satu. Aku ingin memeluk anak Aldric walaupun itu bukan dari rahimku."

Dia mengatakan itu, sejak itu aku sulit membendung air mata ini. Ya Allah ....

"Itu permintaan terakhirku, Ambar. Sebelum aku pergi untuk selamanya. Kumohon, ijinkan aku memeluk anak kalian. Biarkan aku yang menjadi ibunya. Walaupun selepas itu, aku akan pergi meninggalkannya."

Inayat HatiWhere stories live. Discover now