25. Sebuah Teka-Teki

12.6K 1.3K 113
                                    


Aku melangkah pelan memasuki koridor kantorku. Tak terasa waktu bersenang-senang menikmati bulan madu sudah usai. Dengan santainya kaki ini melangkah. Dan kutahu segenap perhatian tertuju padaku. Walaupun pesta pernikahan kemaren tak digelar, tapi akad yang kami langsungkan mulai terdengar juga ke bagian ujung berita kantor. Sebagian teman-teman yang kukenal mengucap selamat dan yang tak kukenal hanya bisa berbisik dan tersenyum.

"Rejeki mbak itu ya, baru kerja udah dapet bos-bos. Mana kece lagi Pak Aldric," bisik sebagian dari mereka.

Aku mendengarnya. Yah, entah itu suara pujian atau sindiran. Mana kupeduli. Aku tak mau ambil pusing. Bagiku memiliki pendamping hidup yang kucintai dan mencintaiku, itu sudah cukup.

Saat terduduk di meja, sebuket bunga berwarna merah pekat kembali hadir. Mas Al. Ini pasti kerjaan Mas Al. Aku tersenyum dan menyesap aroma setiap kelopaknya.

Oh, Tuhan ..., aku pernah merasakan kebahagiaan seperti ini dulu bersama Akbar. Merasa sangat dicintai dan dipuja. Lalu bagaimana bila sejarah terulang? Ketakutan terkadang muncul. Tak terasa air di sudut mataku berlinang. Semoga Mas Al tak seperti Akbar yang menyayangiku di awal saja. Tapi yang membuatku yakin pada Mas Al adalah tatapan Mas Al dan Akbar memang berbeda.

Bahasa tatapan keduanya berbeda. Tatapan Akbar penuh keraguan dan kehati-hatian. Sedangkan tatapan Mas Al adalah tatapan keyakinan dan ketegasan. Sudah seharusnya aku bersyukur mendapatkan Mas Al.

Ya Rabb, semoga Kau jodohkan kami di dunia akhirat-Mu.

🌿🌿🌿

Setelah sibuk mengetik laporan keuangan yang menumpuk, aku berjalan menuju kantin. Seseorang mencegah tanganku. Setelah kutoleh, itu Selfi. Apalagi ini anak.

"Apa, Sel?"

"Mas ojobmu keknya lagi dirayu tu ma bunga bangke," ujar Selfi.

"Bunga bangkai?"

"Si Raflesia beraksi. Cantik-cantik gak tau diri," sungut Selfi. "Lo perhatiin arah barat daya mepet selatan hampir selatan."

Aku memutar tubuh. Benar saja Mas Aldric sedang dirayu oleh Anggrek.

Ya Rabb, itu perempuan punya penyakit apa sih?

Jari telunjuknya mengacung pada wajah Mas Al. Seolah mengancam. Dan aku menangkap sesuatu yang tidak beres di sini. Kenapa Mas Al bukannya marah, malah seolah mengatakan sesuatu dalam diamnya. Selepas itu Mas Al pergi dengan wajah sedikit frustasi.

Apa yang dikatakan perempuan itu?

"Mas Al?" sapaku.

Mas Aldric menatapku dan Selfi bergantian. Setelah menghampiriku, dia mendekapku ke dalam pelukannya. Jujur aku malu, masih ada Selfi di antara kami.

"Jangan mikir macem-macem ya, Sayang. Dia cuma angin musim kemarau kemaren."

Aku tersenyum geli. Angin musim kemarau kemaren. Tapi mimik wajahnya yang datar itu yang menambah kegelianku. Apa peduliku kini? Meskipun si Anggrek akan menggoda suamiku lagi dan dia berhasil lagi, ambil saja. Mungkin benar ucapan orang,

Semakin Tuhan mengajarkan rasa sakit, kita akan semakin mengabaikan sakit itu. Menikmati, membiarkan lalu mungkin mati rasa.

Mati rasa akan perasaan.

Kadang aku merasa ketakutan, tapi setelah kupikir lagi, buat apa takut? Hanya akan menyiksa batin saja. Jika memang harus pergi lagi, ya sudah pergi saja.

Inayat HatiWhere stories live. Discover now