4. Bunga Di Luar

15.7K 1.2K 22
                                    


Mama mertua mengajakku ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Dengan senang hati, aku mau saja. Lagi pula di dalam rumah terasa sangat membosankan. Akbar masih di rumah mertua. Rasanya tak ada tanda-tanda ia akan mengajakku pulang. Mungkin karena jeda liburan yang diberikan kantornya saat ini menjadi momen menghabiskan waktu di rumahnya sendiri.

Mama memberitahukanku banyak hal selama di pasar. Kadang aku tertawa geli juga sambil berjalan di antara sesaknya orang dan barang. Mama bercerita banyak hal tentang Akbar. Walaupun sudah hampir lima tahun perjalanan pernikahan ini, aku merasa belum mengenal Akbar sepenuhnya. Kadang ia terbuka dan bercerita banyak hal padaku, namun juga ia tertutup. Aku mengerti dan sepenuhnya sadar, sebagai manusia biasa, kita juga punya privasi yang boleh dan tidaknya diceritakan pada orang lain sekalipun ia adalah orang terdekat kita.

Setelah berbelanja bahan makanan untuk beberapa hari, kami pulang dengan menaiki motor yang kami bawa tadi. Yang kusenangi, mama mertuaku begitu penyayang dan mudah sekali bergaul. Di pasar saja, banyak orang yang menyapanya. Sikapnya yang supel rasanya tak bisa kusamai diriku dengan beliau karena aku sendiri lebih banyak diam dan memperhatikan.

Sesampainya di rumah, aku tak menemukan keberadaan Akbar. Aku tanya pada adik Akbar, ia pun tak tahu. Kucoba menghubungi nomornya yang baru, ponsel dan kartu yang baru ia beli kemaren. Tak diangkat padahal sudah kucoba berkali-kali. Kenapa ia tak memberitahukanku? Padahal biasanya dia selalu ijin tanpa kuminta ke manapun hendak pergi.

Tapi kemudian aku cukup merasa lega saat melihatnya masuk ke rumah. Sepertinya ia baru saja dari luar rumah.

"Mas dari mana?" tanyaku yang penasaran melihatnya sudah serapi itu. Jika memang dia dari olahraga pagi, seharusnya pakaiannya tidak seperti itu.

Akbar tak menyahut hanya mengacak hijabku dan lantas masuk ke dalam kamar. Aku mengikutinya di belakang. Wajahnya nampak lesu.

"Sudah berpakaian serapi dan sewangi itu, masa wajahnya ditekuk?" godaku.

Suamiku menoleh dan hanya tersenyum tipis. Aku segera bangkit. Sepertinya Akbar butuh waktu sendirian saja. Dari tadi aku mengajaknya bicara, ia tak menyahut dan hanya membalas dengan senyuman. Jika seperti itu, aku yang merasa lelah sendiri. Aku bergegas ke dapur untuk membatu mama mertua menyiapkan makan pagi itu.

Selagi sibuk memasak, mama mertua nampak masuk ke dalam kamarnya. Aku hanya menoleh sejenak. Sepertinya mama menemui papa mertua. Aku kembali melanjutkan masakan yang sudah hampir matang semua. Setelah menyiapkan meja makan, aku menyendok beberapa masakan dan menghidangkannya di atas meja makan. Saat aku melewati kamar mama dan papa, tak sengaja aku mendengar pembicaraan mereka. Mereka menyebut namaku walau kudengar samar. Seketika saja aku menghentikan langkah otomatis. Orang lain menyebut namaku saja saat aku tertidur pulas, aku akan langsung terbangun, apalagi saat aku terjaga begini, orang lain menyebut namaku tentu saja aku akan reflek merespon dan mendengarkannya.

"Kasihan Ambar, Pa. Dia yang akan jadi korban di sini. Bagaimanapun juga, Akbar harus tegas!" Sekilas itu ucapan yang kudengar dari mama.

"Ma, ini gak semudah itu. Kamu masih ingat kan, gimana anak kita sampai opname dan hampir gila karena dia. Akbar anak kita, Ma. Papa cuma gak mau kejadian lalu terulang lagi. Mama juga masih ingat kan saat Akbar lahir prematur dan nyawanya hampir melayang?" sahut suara papa.

"Terserah Papa sama Akbar saja kalo begitu."

Aku mendengar percakapan mereka dengan begitu jelas. Saat suara langkah mendekati pintu, aku segera melangkah pergi. Sejenak dan aku tak tahu ujung pembicaraan mereka ke mana. Ada namaku dan nama Akbar yang disebut dan ..., dia. Dia siapa? Bolehkah aku berpikir positif dulu untuk tidak membuat kerumitan dalam hati dan jiwaku?

Inayat HatiWhere stories live. Discover now