Epilog

17.7K 1.4K 94
                                    

Tespack di tangan terus saja kupandangi. Ini sudah tes kehamilan entah kesekian puluh berapa kali. Aku terus saja memandanginya. Seandainya oh seandainya ada kekuatan magis yang datang tiba-tiba, aku ingin garis ini bertambah merah satu lagi. Jika perlu tiga garis juga tak apa karena kumerasa setengah putus asa. Kali ini aku hanya bisa duduk memandanginya terus menerus. Tak ada keajaiban. Garis merah itu tetap tegak lurus satu saja.

Walaupun mataku tengah berkabut karena air mata, aku tahu ada Mas Al yang datang. Dan aku tahu dia sedang memandangiku. Namun buat apa? Aku hanya perempuan mandul yang tak berguna. Walaupun pemeriksaan kemaren sudah menjelaskan bahwa keadaan Mas Al baik-baik saja. Aku juga baik-baik saja. Dokter cuma bilang, "Mungkin sedikit ada shock di rahim Nyonya karena keseringan meminum pil kehamilan dulu. Padahal rahim Nyonya belum pernah hamil."

Ingin rasanya mencakar wajah Akbar. Ini semua gara-gara dia. Aku salah memilih jodoh. Geram rasanya mengingat itu semua. Menikah dengan orang itu dulu cuma memberi unfaedah tak bermutu.

Tanpa tedeng aling-aling, aku menangis pelan lalu terisak lalu kemudian menangis cukup keras sampai tak terbendung lagi. Mas Al segera berlari memelukku.

"Hei, apalagi, Sayang?"

"Aku gak hamil-hamil, Mas. Dan ini semua gara-gara Mas Akbar siwalan itu!" racauku.

Mas Al merenggangkan pelukannya dan menyeka air mataku, "Sudahlah, kita ambil hikmahnya saja. Mungkin dengan begini, rahimmu hanya akan berisi janin nantinya yang akan menjadi anak dariku." Dalam keadaan sendu begini, Mas Al masih sempat-sempatnya terkekeh pelan. Wajahku lurus menatapnya

"Tapi kapan?"

"Usia Adinda manis sekarang berapa?" tanya Mas Al mencoba merayuku.

Aku melupakan angka di umurku sekarang, "Sudah melewati seperempat abad." Dan aku, melanjutkan tangisku.

"Ahh masih jauh dari usia menopause. Santai sejenak. Kita bisa jadi punya banyak waktu berdua, hemm?"

Dan begitulah seterusnya ....
Mas Al selalu bisa membuatku kembali tersenyum.

"Allah itu tidak akan menguji hamba-Nya, kecuali sesuai kemampuan si hamba."

Mas Al selalu bisa menggadaikan kesedihanku dengan doktrin keagamaan. Ya emang iya sih.

Pernah suatu hari aku bertanya, "Apa Mas Al mau cari ìstri lagi yang normal? Yang bisa kasi Mas Al anak?"

"Big No! You're the one for my life until jannah, My wife!"

Siapa perempuan yang tidak melted saat lelaki yang dicintainya mengatakan seperti itu?

🌿🌿🌿

Aku melangkahkan kaki menuju meja kerjaku di bagian keuangan seperti biasa. Senyum tak lepas dari bibirku. Aku bahagia, yah. Bahagia yang sesungguhnya. Beberapa pegawai teman kantorku tak heran melihatnya. Sebagai pegawai rendahan, aku cukup beruntung bersanding hidup dengan seorang investor terbesar di perusahaan ini. Dan bonusnya, ia begitu mencintaiku. Mungkin jika aku di posisi mereka, aku akan lebih iri lagi dengan bahasa tubuh sok acuh tak acuh.

Namun yang membuatku merasa lebih tenang lagi, si Anggrek sudah tak sering ke kantor ini lagi. Kerjasama periklanan dengan perusahaan ini sudah lama selesai. Jadi, untuk apa lagi dia ke sini. Jika dia masih sering ke sini ya itu hak dia, tapi silakan saja bila tak ada kepentingan cuma buat jual tampang. Sekali lagi, itu hak dia.

Inayat HatiWhere stories live. Discover now