Hai-hai, maaf belakangan ini agak slow update.
Soalnya Shab lagi siap-siap ujian, nih. Jadi deh waktunya kebagi buat belajar.
Anyway, enjoyyy! Much smoches from Shab😚😚❤❤
🎹 🎹 🎹
Sudah beberapa hari berlalu, namun Arin dan Rizky masih saling menjauh. Saat di sekolah jam istirahat, Tasya selalu menghampiri Arin dan terus bertanya tentang apa yang terjadi di danau hingga mereka kini bertengkar.
Arin memilih untuk diam karena tidak mungkin dirinya memberitahu Tasya bahwa foto dirinya bersama Dika adalah alasan mereka bertengkar.
Hari Minggu ini Arin memilih bersantai di rumah. Padahal Tasya dan Dika memberi pesan di grup DART untuk berkumpul di Sugar Cafe. Arin yakin, pasti Tasya dan Dika sedang berencana untuk membuat dirinya akur lagi dengan Rizky.
Beretemu Rizky membuat Arin takut. Momen disaat Rizky marah dan penuh kekecewaan selalu terbayang dalam benaknya. Maka, Arin pun memutuskan untuk tidak pergi dan membiarkan mereka kumpul hanya bertiga.
Kini ia sedang berada di atas kasurnya, mencoba menonton film favoritnya. Saat karakter dalam film sedang memainkan biola, tiba-tiba Arin merasa rindu dengan musiknya. Entah mengapa intuisinya mengatakan dirinya untuk bermusik kembali. Apa aku kini siap untuk kembali? batin Arin dalam hati.
Setelah Arin meyakinkan dirinya untuk kembali bermain, ia pun bangkit dari kasur lalu pergi ke ruang musik. Saat dirinya telah berada di depan piano, jari-jarinya mulai menyentuh piano. Nada 'do' terdengar dari piano. Ia pun mencoba bermain lagu yang mudah dan masih ia ingat.
Baru beberapa detik, tiba-tiba jarinya kembali gemetar. Arin tetap bermain dengan paksa meski dengan air mata yang sudah memasahi bawah matanya karena ketakutan.
Tak lama kemudian, dari belakang terdengar bunyi nyaring dari benda berbahan kaca yang jatuh. Seketika tangan dan badan Arin melemas dan semua pun tiba-tiba saja menjadi gelap total.
🎹
"Arin?"
Ia mendengar seseorang memanggilnya yang samar-samar. Lalu ia mencium aroma minyak kayu putih yang begitu menyengat hidungnya.
"Arina Ella?" panggil orang itu lagi.
Dengan perlahan ia mencoba membuka matanya, meski terasa berat. Ketika mata terbuka, ia mendapati dirinya yang sudah terbaring di atas sofa ruang tengah dan juga ayah yang berada di sampingnya. "Arin kenapa di sini?" tanyanya dengan suara lemas.
Saat ayah hendak membuka mulut, datang Tasya sambil membawa baskom kecil berisi air es. "Arin, kamu udah bangun?" Arin menatap Tasya kebingungan. "Syukurlah," ucap Tasya yang menaruh baskom di atas meja lalu menghampiri Arin.
"Lho, kok lo di sini? Lo nggak jadi kumpul di Sugar Cafe?" tanya Arin bingung.
"Om kasih kalian privasi, ya," ucap ayah yang kemudian pergi meninggalkan mereka di ruang tengah.
"Gue khawatir sama lo. Di sekolah, lo selalu menjauh dari gue, Dika, sama Rizky. Lo kenapa?" tanya Tasya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
Kini Arin mencoba untuk bangkit dari sofa. Saat bangun, Arin meringis karena merasa kepalanya begitu nyeri. "Eh, sini gue kompres air es," ucap Tasya. Setelah kain sudah diperas dengan air es dalam baskom, Tasya menempelkannya pada kening Arin. "Ya ampun kening lo jadi biru gini."
Kini Arin mencoba mengingat apa yang terakhir ia ingat. Terakhir ia sedang berada di ruang musik bermain piano. Lebih tepatnya memaksakan dirinya untuk bermain piano. Kemudian entah kenapa semuanya tiba-tiba menjadi gelap total.
"Tasya," panggil Arin. "Gue tadi kenapa?" tanya Arin karena tidak bisa mengingat mengapa semuanya menjadi gelap total.
"Tadi gue ke ruang musik sambil bawa minum yang tadi dikasih sama Bibi. Pas masuk, gue tersandung kabel gitar listrik dan akhirnya gelas yang gue bawa pecah.
"Terus, entah gimana tiba-tiba gue dengar kening lo membentur tuts piano dan disitu lo pingsan," jelas Tasya.
Kini Arin mengerti. Suara pecahan gelas kaca sama dengan pecahan lighting yang waktu dulu menimpa bunda. Mengingat tragedi membuat Arin menangis karena merasa telah gagal mengalahkan traumanya untuk bermusik.
"A-Arin. Are you okay?" tanya Tasya yang kebingungan juga takut.
"Gue juga nggak tahu kenapa trauma gue untuk bermusik kembali lagi. Suara pecahan kaca gelas itu mengingatkan gue sama-"
Tasya yang memahami maksud Arin langsung memeluk erat Arin. "Ini salah gue, ya? Maaf banget gue ceroboh," ucap Tasya menyesal.
Lalu Arin segera melepas pelukannya dan menatap Tasya. "Lo nggak salah. Dari awal gue main piano, jari gue udah gemetaran," jelas Arin sambil menyeka air matanya.
"Arin, kalau lo memang belum mampu untuk bermusik, jangan paksa diri lo," ucap Tasya menasehati.
Arin kembali menangis. "Gu-gue juga nggak tahu kenapa tiba-tiba maksain diri gue buat bermusik."
"Karena lo sekarang hampa. Iya, kan?"
Sambil menyeka air matanya, Arin bertanya. "Maksudnya?"
"Gue tahu hidup lo adalah musik. Meski pada akhirnya lo berhenti bermusik, lo masih tetap bisa bahagia karena masih ada Rizky di sisi lo yang selalu nemenin dan support lo.
"Dan karena sekarang karena lo ribut sama Rizky, lo jadi merasa hampa. Akhirnya lo jadi maksain diri lo buat balik bermusik," jelas Tasya.
"Kok jadi bahas Rizky, sih?" keluh Arin. Namun ia menjadi ragu dengan dirinya sendiri.
"Tapi apa yang gue bilang bener, kan?" tanya Tasya dengan nada menekan. "Jangan bohongin diri lo sendiri, Arin."
Air mata Arin yang membendung kini mengaliri pipinya kembali. "Lo benar, Tasy," ucap Arin dengan lemah. Kini napasnya menjadi tak beraturan karena tangisannya.
"Baikan sama Rizky ya, Rin?" pinta Tasya sambil memegang bahu Arin. "Kita ketemuan dan selesain bareng-bareng, yuk."
"Gue nggak bisa bareng sama Rizky, karena dia udah terlanjur cemburu." Lalu Arin langsung menggigit bibir bawahnya saat sadar dirinya telah keceplosan.
"Cemburu? Cemburu sama siapa, Rin?" tanya Tasya dengan raut wajah yang penasaran.
Kini Arin bungkam. Mana mungkin dirinya menjawab menjawab pertanyaan Tasya, karena cowok yang Rizky cemburui adalah pacar Tasya.
"Cemburu sama Elvan?" tanya Tasya menduga.
Arin menatap Tasya dengan lemah. "Gue nggak bisa cerita ini sama lo. Maafin gue, Tasy."
"Oke, gue nggak akan ikut campur masalah lo sama Rizky," ucap Tasya mengalah, meski sebenarnya ia masih sangat penasaran. "Tapi please baikan lagi sama Rizky. Gue kangen banget sama kita berempat, Rin," bujuk Tasya.
Arin mengangguk lemah pada Tasya. "Besok gue akan coba ngomong sama Rizky." ujar Arin meski ia masih merasa belum yakin dengan perkataannya. Apa benar ia siap untuk bertemu Rizky dan menjelaskan semuanya?
🎹
Esok Seninnya, Arin pergi ke sekolah dengan concealer yang ia oles pada keningnya. Benturan pada tuts piano kemarin begitu keras sehingga memar birunya masih membekas.
Ketika Arin masuk ke kelas, ia tidak melihat Dika di kelas.
Tumben Dika belum datang? Biasanya ia selalu datang pagi, batin Arin. Kemudian, ia pun duduk pada bangku yang biasa ia duduki. Setelah beberapa menit, terlihat Dika yang kini berada di ambang pintu kelas. Arin terkejut saat melihat plester yang menempel di bagian pelipis Dika. "Dik lo kenapa?"
Lalu Dika berjalan ke tempat duduk. Kini semakin terlihat jelas oleh Arin bibir bawah Dika berwarna merah dan sedikit robek. Bawah mata Dika juga tampak berwarna biru ke hitam.
"Dik, lo kenapa?!" tanya Arin yang panik.
🎹 🎹 🎹
Jangan lupa tinggalin v o t e nya ❤
⚠WARNING⚠
Setelah chapter ini, cerita semakin menegang, huehehe😁
Luff y'all
Shabrina Huzna😘
Instagram: shabrinafhuzna