NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#35

112K 10.7K 1.9K
By renitanozaria

"Abang nggak perlu jemput aku. Pulang kuliah, aku ada kerja kelompok bareng teman kuliahku. Nanti pulangnya mungkin agak sorean. Kalau abang sibuk, biar entar aku naik Grab aja." Suri langsung mengucapkan serangkaian kata-kata tersebut sesaat setelah Chandra menjawab panggilan teleponnya. Siang ini memang giliran Chandra untuk menjemput Suri dari kampus--setelah Ayah menetapkan jadwal pasti agar ketiga anak laki-lakinya dan Sebastian saling bergantian dalam tanggung jawab mengantar-jemput Suri dari dan ke kampus.

"Kamu nggak niat bohongin Abang, kan?"

"Kapan aku pernah bohong sama abang?"

"Pernah." Chandra membalas tegas. "Waktu itu kamu bohong sama abang-abang, bilangnya mau ada kerja kelompok sama Siena tapi malah nemuin Bocah Termos di toko es krim. Abang nggak mau ya kalau kamu sampai luka karena jatuh kayak waktu itu. Apalagi ketemu cowok gaje kayak Belalang Sembah. No way."

"Ini serius, abang."

"Kalau gitu, abang minta nomor telepon teman kerja kelompok kamu."

"Abang kok jadi over protective gini?"

"Emang dari dulu abang over protective." Chandra menyahut cepat. "Kirimin aja nomor telepon teman kerja kelompok kamu lewat WhatsApp."

Suri membuang napas pelan, meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya. Dia akhirnya menyerah, tau jika Chandra, secara tidak biasa, cukup pintar hari ini hingga tidak bisa dia bohongi. "Aku nggak mau pergi kerja kelompok."

"Adik abang udah jago bohong, ya." Chandra membalas dengan nada dramatis, berlagak serupa Bawang Putih yang baru saja dizalimi oleh Bawang Merah.

"Tapi beneran deh, aku punya urusan penting yang nggak bisa aku kasih tau sama abang."

"Suri."

"Beneran, Abang."

"Ini nggak ada hubungannya sama koma-komaan atau bulan mati atau kucing garong hitam atau setan-setanan, kan? Kalau sampai iya, abang melarang keras."

"Abang!"

"Ini semua demi--"

"Demi kebaikan aku? Yaelah, Abang."

"Um... iya, itu benar. Tapi lebih jauhnya, ini juga demi kelangsungan hidup abang. Kalau kamu sampai kenapa-napa lagi atau menghilang kayak waktu kita di hotel, bisa-bisa abang dikebiri dan dijadiin mumi sama Ayah, Tri dan Malika. Kamu mau kehilangan abang kamu yang tertampan ini?"

"Teralay kayaknya lebih cocok."

"Culi, jangan gitu, dong."

Suri menghela napas panjang. "Aku mau ketemu Nadine."

"Oh, cewek yang semua bajunya segelap kulit Apin itu?"

"Abang!"

"Sori. Mau apa kamu sama si Bintang Iklan Capuccino?"

Suri memutar otak berusaha mencari alasan. Soalnya, jika dia jujur pada Chandra tentang penyebab mengapa dia merasa perlu menemui Nadine, Chandra jelas tidak akan setuju. Lebih buruknya, Chandra bisa jadi memberitahu Cetta, Calvin, Ayah hingga Sebastian. Kalau mereka sampai tau, bisa dipastikan Suri akan jadi tahanan rumah untuk beberapa hari ke depan. Jeda sejenak, hingga bola lampu imajiner dalam kepala Suri menyala tiba-tiba. "Sergio naksir Nadine. Aku udah janji bakal bantu Sergio, jadi ini salah satu strategi aku cari info tentang Nadine biar Sergio lebih gampang deketin dia."

"Hah?"

"Kok reaksi abang kayak gitu?"

"Nggak apa-apa. Abang kasian aja ama itu Bocah Termos."

"Kenapa?"

"Soalnya dia udah pasti ditolak. Sori aja, Suri, tapi cowok kayak Sergio itu kepedean banget kalau berharap bisa bareng-bareng sama cewek kayak Nadine."

"Loh, kok gitu?"

"Karena dia nggak ganteng-ganteng amat. Terus rada oon juga. Cewek kan sukanya yang ganteng, humoris dan pintar. Contohnya kayak abang."

"Pintar apaan, pas sekolah aja abang pernah dapet nilai kursi terbalik di mata pelajaran Bahasa Indonesia."

"Meski nggak jago berpuisi, abang jago mencintai seseorang dengan tulus. Misalnya kayak Siena."

"Bodo, Bang. Bodo."

"Yaudah. Kamu mau ketemuan sama Nadine di mana?"

Suri menjawab, menyebut nama salah satu pusat perbelanjaan terlengkap dan terbesar di ibukota.

"Loh, ketemuannya di mal?"

"Selain suka baca kartu tarot, Nadine juga kerja part-time di salah satu kafe yang ada di mal itu. Siang ini masih shiftnya, tapi kata Nadine aku boleh dateng ke kafe kapan aja."

"Yaudah, nanti kalau udah selesai bilang abang. Biar abang jemput."

"Nggak usah."

"Jadi kamu lebih milih abang-abang Grab yang bau ketek daripada abang kamu yang beraroma surga ini?" Chandra mulai merajuk. "Abang terluka, Culi. Sangat terluka."

Suri memutar bola matanya. "Aku dijemput Tian."

"Hah, macam mana pulak kerak caping Hokage itu mencuri start dari abang?!"

"Aku udah mau jalan, Bang. Abang Grab pesenanku kayaknya udah mau sampe. Udah ya. Bye." Suri buru-buru menyudahi percakapan telepon. Untung, Chandra tidak menelepon lagi. Entah karena sibuk berbalas pesan dengan Siena atau dia menerima telepon lain terkait urusan pekerjaan. Setelah konser perdananya yang berakhir kurang baik akibat gangguan cuaca tempo hari ditambah pernyataan cintanya pada Siena di atas panggung yang tengah viral di internet, Chandra memang semakin dikenal dan semakin sibuk. Meski begitu, dia bisa dibilang beruntung karena sebagian besar penggemarnya menerima kenyataan bahwa Chandra kini sedang jatuh cinta. Mereka bahkan mereka agak lega, karena ternyata Siena adalah bagian dari penggemar Chandra juga, sama seperti mereka. Mengenai hal itu, Chandra memang harus berterimakasih pada Siena yang telah aktif mengikuti berbagai acara yang diadakan oleh fanbasenya sehingga sebagian penggemar telah mengenalnya sejak bertahun-tahun lalu.

Siang ini, jalan protokol ibukota agak macet karena hujan yang mengguyur hampir seharian. Jalanan dipenuhi genangan air keruh disana-sini, menutupi lubang-lubang di aspal hingga tak terlihat dan membuat sebagian pengguna sepeda motor hampir terjatuh dari kendaraannya. Suara klakson terdengar bersahutan, namun Suri justru sibuk memandang keluar jendela armada Grab yang ditumpanginya. Langit tampak kelabu, diselimuti oleh mendung tebal yang tak habis dikikis oleh hujan yang turun tanpa kendali. Cuaca sangat buruk akhir-akhir ini, entah karena pengaruh global warming atau karena faktor lain yang tak teraba oleh logika--seperti misalnya eksistensi Blanc yang tak seharusnya menyeruak ke permukaan.

Ponsel Suri bergetar tiba-tiba, membuat gadis itu tersentak dari lamunan. Ternyata ada pesan yang baru masuk, dan itu datang dari Sebastian. Isinya singkat saja, seperti Sebastian yang Suri kenal.

Sebastian Dawala: Don't forget to eat your lunch.

Tanpa sadar, Suri tersenyum sebelum tangannya menekan opsi call. Terdengar nada tunggu selama beberapa saat. Lalu telepon dijawab setengah detik kemudian.

"Halo."

"Halo." Suri menyahut ceria. "Kamu udah makan?"

"Nanti." Sebastian menjawab singkat. "Lo?"

"Udah. Tapi sekarang aku lagi mau ke mal."

"Sama Siena?"

"Sendiri."

"Mau ngapain?"

"Ketemu Nadine." Lalu sebelum Sebastian menduga yang macam-macam, Suri buru-buru menyambung dengan serentetan penjelasan. "Sergio naksir Nadine. Aku udah janji mau bantuin Sergio deketin Nadine. Ini salah satu cara aku gali info dari Nadine, biar nanti bisa dipake pedekate sama Sergio."

"Ah, jadi kalian mau meet up bertiga?"

"Bertiga?"

"Sergio bilang ke gue kalau siang ini dia mau cabut ke kafe tempat Nadine kerja part-time."

"Oh, iya. Aku lupa."

"Yaudah."

"Kamu nggak keberatan?"

"Kenapa gue harus keberatan?"

"Biasanya kamu parno kalau aku udah jalan sama Sergio. Takut ketikung adik sendiri."

"Gue nggak kayak gitu!"

Suri tertawa centil. "Cuma bercanda, Tian. Jangan panik gitu. Hehe, yaudah."

"Tapi nanti baliknya tetap gue yang jemput."

"Iya, Bos."

"By the way, hari ini tadinya gue berniat minum kopi dingin."

"Mmm... terus?"

"Terus nggak jadi."

"Kenapa?" Suri tahu jelas bagaimana Sebastian tidak pernah bisa lepas dari benda bernama kopi setiap kali dia bekerja. Suri tidak terlalu suka kopi, tapi dia mengerti bahwa bagi Sebastian, kopi sama berartinya seperti Mogu-mogu untuknya atau yoghurt stroberi bagi Calvin.

"I think I'm going to catch a cold. Have to prevent it at all cost."

"Kalau cuma flu doang harusnya nggak apa-apa. Nanti kalau minum obat dan dibikinin teh anget sama aku, pasti langsung sembuh. Hehehe."

"But if I catch a cold, I woudn't be able to do something important."

"Mmm?"

"I wouldn't be able to kiss you."

Pipi Suri kontan merona.

"Call you later, doe. Bye."

Seperti biasa, Sebastian tetap Sebastian. Tanpa memberi Suri kesempatan untuk bereaksi, laki-laki itu memutuskan sambungan telepon begitu saja. Suri tak marah. Gadis itu justru tersenyum kian lebar, lalu menyentuh kedua pipinya yang terasa hangat dengan telapak tangan.

Namun kemudian sebuah kesadaran menghantamnya, mengganti senyum riang di wajahnya dengan ekspresi muram.

"Kalian berdua nggak akan tiba-tiba menelepon gue secara bergiliran pagi ini dan minta ketemu tanpa alasan yang jelas." Nadine berujar seraya memindahkan dua gelas berisi frappe dari atas nampan ke atas meja. Shiftnya hampir berakhir, tapi keadaan kafe yang tidak terlalu ramai membuatnya punya cukup waktu untuk dapat duduk leluasa bersama Sergio dan Suri. "Jadi sekarang kalian bisa kasih tau gue, kenapa kalian tiba-tiba pengen ketemu gue?"

Sergio tergugu, matanya memandang pada Nadine lantas dia tertunduk. Pandangannya menusuk lantai sementara ada semburat merah muda menyebar di kedua telinganya. Ini adalah kali pertama Sergio melihat Nadine dalam kostum imut ala pelayan kafe tematik yang ada di Jepang. Nadine mengenakan celemek berenda warna merah muda--yang terlihat kontras di atas turtleneck hitamnya--serta rambut ginger yang dikuncir dua. Sekilas, Nadine lebih mirip cosplayer karakter anime ketimbang manusia sungguhan.

"Ini tentang Noir dan Blanc."

"Noir dan Blanc?"

Suri menghela napas, lalu meluncurlah darinya cerita panjang itu. Cerita tentang Noir yang dulunya hanya iblis biasa dan Blanc sebagai malaikat di bawah kepempinan tiga malaikat paling utama. Lalu kemudian, suatu hari Blanc melepaskan sebuah jiwa yang rusak dari Samsara. Dia diadili karena itu, namun alih-alih merasa bersalah akibat perbuatannya, Blanc justru mengakui di hadapan Sang Pencipta dan seluruh malaikat serta iblis bahwa dia mencintai Noir. Iblis dan malaikat hanya punya sedikit batasan. Mereka punya kuasa luar biasa besar dan divinitas yang hanya mampu diinterupsi oleh Sang Pencipta, namun mereka tetap punya aturan yang tak bisa dilanggar. Aturan itu adalah aturan tentang larangan untuk mencinta.

Dalam sidang itu, Noir tidak menampik perasaan Blanc, walau juga tak menerima. Oleh sebab itu, Sang Pencipta memutuskan menghukum keduanya. Noir tidak lagi menjadi iblis dengan kebanggaan, melainkan dipaksa menjadi iblis paling utama kedelapan yang harus menyembunyikan jati dirinya hingga semesta tiada. Blanc tidak jauh beda, kehilangan semua keistimewaan sebagai malaikat dan harus rela dianggap hanya sebagai legenda untuk sesuatu yang tercela. Hukuman itu, menurut Suri berdasarkan semua bayangan yang ditunjukkan Blanc padanya, adalah hukuman paling buruk yang bisa mereka terima.

Karena menjalani hidup tanpa identitas berarti melalui hari tanpa harga diri. Karena tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang ada tapi tidak diakui. Sebuah keadaan yang jauh lebih nista dari makhluk mana pun, sebab bahkan hewan paling menjijikkan sekalipun punya maksud di balik eksistensinya.

Kini, setelah Noir membuka identitasnya dalam sidang yang digelar untuk mengadili Suri, kehadiran Blanc pun tak bisa lagi diabaikan. Puncaknya adalah beberapa hari yang lalu, saat Blanc membawa Suri ke dimensi lain dan menunjukkan banyak kepingan peristiwa masa lalu padanya. Juga pecahan-pecahan kenangan yang sebetulnya tak ingin Suri ingat lagi.

"Ini rumit." Nadine berkomentar, sementara Sergio hanya mampu menatap kosong pada cahaya lampu yang tersemat di langit-langit kafe. Sejak mendengar nama Kesha disebut dalam cerita Suri, Sergio berubah jadi begitu muram. "Terus, apa lagi yang dia bilang ke lo? Gimana bisa dia memutuskan mengembalikan lo ke dunia manusia?"

"Dia menawarkan sesuatu ke gue."

"Sesuatu?"

Suri menarik napas panjang. Dia sempat terlihat ragu sebentar, tapi pada akhirnya tetap bicara. "Dia bilang, hanya gue yang bisa membantu dia, karena entah bagaimana, Nael mau mendengarkan gue. Gue hanya perlu membujuk Nael untuk berhenti menolaknya, nyuruh dia menjauh atau semacam itu. Nael cuma perlu menerima kehadirannya, dan perasaannya. Itu aja. Sebagai gantinya, dia bakal mengembalikan memori-memori yang terlupakan oleh jiwa-jiwa yang tersesat dan dengan itu, gue bisa membantu mereka kembali ke atas."

"Maksud lo, membantu hantu-hantu itu untuk menemukan kedamaian dan nggak lagi bergentayangan di dunia manusia?"

Suri mengangguk, melirik sekilas pada sosok transparan Jake yang berdiam di balik meja konter. Hantu itu menatap ke arah mereka dengan sepasang mata hijau kebiruannya. Suri berani bertaruh, Jake pasti mendengar semua percakapan mereka, walau secara logika, jarak hantu itu dari mereka terlalu jauh.

"Dan lo mempertimbangkannya?"

Suri mengangguk lagi.

"Kenapa?"

"Karena gue tau gue nggak akan hidup selamanya. Akan ada waktunya gue mati. Eksistensi gue nggak ada lagi di dunia ini. Kalau udah begitu, siapa yang bakal bisa mengerti Wati? Atau Asmi? Atau Melly? Bakal tiba saatnya gue nggak bisa nemenin mereka lagi. Gimana kalau mereka kesepian? Dan sebetulnya, jauh di dalam hati mereka, walau mereka nggak pernah mengakui, gue tau sebetulnya mereka lelah terjebak di dunia kita. Mereka butuh rumah. Rumah beneran. Mereka perlu pulang."

"Pada akhirnya, semua bakal pulang. Meski tanpa bantuan kamu atau bantuan malaikat terbuang bernama Blanc itu." Sosok yang menjawab ucapan Suri bukan Nadine. Bukan pula Sergio. Melainkan sosok Jake yang melayang cepat dari balik meja konter hingga kini dia telah berada di sisi kursi yang Nadine duduki.

"Maksud kamu apa?"

Jake tersenyum, menciptakan dua dekik yang membuat wajahnya jadi terlihat begitu sempurna. Bahkan dalam sosok astral, setelah kematiannya, dia masih saja tampak menawan. "Aku lebih suka menganggap fase yang kulalui sebagai bagian dari perjalanan. Sama seperti yang kamu bilang, nggak ada yang abadi di dunia ini. Nggak ada air mata yang kekal, tapi juga nggak ada bahagia yang selamanya. Untuk saat ini, kami memang terjebak di dunia manusia. Dipaksa menjalani hari-hari dengan memori yang semakin lama semakin menipis hingga benar-benar hilang dan kami nggak ingat lagi gimana kami hidup dulu atau siapa kami sebenarnya. Tapi ini nggak akan berlangsung seterusnya. Saat semesta berakhir, waktu dunia ini udah nggak ada lagi, kami juga bakal dipulangkan ke rumah yang sesungguhnya. Untuk sekarang, anggap saja ini hukuman karena kami nggak menjalani hidup dengan baik, sampai-sampai kami mati tanpa sempat membereskan urusan-urusan duniawi."

"Tapi tetap aja."

"Segala sesuatu yang terjadi selalu memiliki maksud dan tujuannya masing-masing." Jake berujar. "Apa yang menurut kita baik, belum tentu sebenarnya baik. Tapi takdir yang terjadi mungkin adalah situasi terbaik yang bisa kita dapatkan, menurut Sang Pencipta."

Suri menghela napas. "Nadine, tolong ingetin Jake untuk nggak ngebacot sok bijak gini di depan Wati atau hantu komplek gue yang lain. Atau Asmi. Atau Iteung."

"Kenapa?"

"Dia bijak. Dan ganteng. Wak Ito aja bisa khilaf jadi setan homo kalau tau Jake sebegini bijaknya."

Nadine berdecak, lantas melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya dan beranjak bangkit dari kursi. "Shift gue udah selesai. Gue rasa kita bisa ngobrol lebih serius di tempat yang lebih sepi, bukan kafe yang mulai ramai kayak kafe ini. Tunggu sebentar, oke? Gue ganti baju dulu."

Mereka bergerak menuju lift sesaat setelah melangkah keluar dari kafe. Sergio masih saja melamun. Moodnya jadi berubah drastis semenjak dia mendengar cerita tentang bagaimana Kesha muncul untuk membela Suri dalam sidang bersama makhluk-makhluk beda dimensi. Suri memilih membiarkannya, begitu pula Nadine yang tak mengatakan apa-apa. Mereka berdiri bersebelahan di depan pintu lift yang tertutup. Tidak sampai satu menit, suara denting khas terdengar dan pintu lift bergeser terbuka di depan mereka. Tidak ada seorang pun di dalam sana. Suri sempat keheranan, karena menjelang sore seperti ini, biasanya mal cukup ramai. Namun dia tidak berpikir lebih jauh dan berjalan masuk ke dalamnya bersama Sergio dan Nadine.

Mereka diselimuti keheningan di dalam lift selama beberapa saat. Suri menghabiskan waktunya mengamati penunjuk lantai digital di bagian atas pintu lift atau sesekali menelan ludah untuk melegakan telinganya yang terasa pengap. Lalu suara denting khas itu kembali terdengar, disusul pintu lift yang bergeser terbuka.

Ketiganya tercekat seketika, karena pemandangan yang mereka lihat di balik pintu lift bukan pemandangan ruangan besar mal dengan orang yang berlalu lalang, melainkan sebuah dimensi lain dengan bentangan langit berwarna ungu pucat dan tanah retak-retak penuh debu.

"Kita bertemu lagi, Oriana Suri Laksita." Sosok Blanc muncul dari udara kosong, dengan mata sebiru safir yang memandang pada Suri dengan teramat lekat. "Ini waktunya aku mendengar jawabanmu terkait tawaranku tempo hari."

Suri menghela napas, merasakan tenggorokannya disumpal oleh gumpalan aneh yang entah muncul dari mana--mungkin itu hanya sugesti pikirannya--dan melirik pada Sergio dan Nadine yang berada di dekatnya. Samar, mereka menganggukkan kepala seolah-olah menyuarakan dukungan untuk segala keputusan yang akan Suri ambil.

"Aku menolak."

Blanc menyeringai. "Then, know pain."

Hanya dalam sekejap mata, tatapan Suri, Nadine dan Sergio berubah nanar. Blanc memunculkan kembali momen-momen terburuk dalam hidup mereka dalam sebuah kilas balik serupa adegan film usang yang diputar ulang. Nadine menutupi kedua telinga dengan tangannya, sementara air matanya berhamburan keluar tanpa bisa dikontrol. Ada rasa sedih bercampur luka membayang di matanya, membuatnya terlihat seperti seorang penderita PTSD yang tengah mengalami mimpi buruk. Suri tidak jauh berbeda, hanya saja, yang terkenang olehnya kini adalah saat-saat terakhir ketika Bunda pergi. Ekspresi pahit di wajah Ayah, mendung yang bergelayut di mata ketiga kakak laki-lakinya, rumah yang mendadak beku, semuanya berbaur menjadi satu, menikam Suri dalam bentuk pisau tak kasat mata tepat di ulu hati.

Jake yang sejak awal memang mengikuti mereka masing ke dalam lift tersentak. Hantu itu berniat menyerbu ke arah Blanc, namun hanya dengan satu kibasan tangan, Blanc membuat tubuh Jake terlempar begitu jauh, hingga sosoknya hanya meninggalkan debu tebal beterbangan tatkala dia menghantam tanah penuh retakan. Dalam dimensi tersebut, mereka seperti satu wujud yang sama-sama mampu dikuasai oleh rasa sakit dan terlibat baku hantam.

Suri dan Nadine telah sepenuhnya larut dalam duka, namun lain halnya dengan Sergio. Awalnya, cowok itu memang sempat dibikin berlutut dengan kedua tangan dan kaki gemetar saat ingatannya tentang hari pemakaman Kesha kembali membanjirinya. Air mata mengaliri kedua pipinya, membuat wajahnya basah. Matanya luar biasa merah. Rasa sakit itu adalah rasa sakit paling menyiksa yang pernah Sergio rasakan seumur hidupnya. Rasa sakit yang tak berdarah, tapi dia tau berasal dari sebuah lubang yang digerus dalam dadanya. Rasa sakit yang tak bisa disentuh, apalagi diobati.

Rasa sakit karena ditinggal oleh seseorang yang tak akan pernah mampu dia panggil untuk kembali.

"Menyedihkan." Blanc bergumam, suaranya bergema. "Manusia adalah makhluk paling menyedihkan. Kalian tidak berdaya di bawah terpa rasa sakit, tapi menolak ketika diberi pilihan untuk menghilangkan rasa sakit itu."

Mata biru Blanc memandang pada Sergio yang tampak berusaha keras menguasai dirinya sendiri. "Oh, dan kamu. Makhluk yang penuh penyesalan. Hatimu dipenuhi oleh nyeri dan rindu. Kenapa harus mati-matian tetap bertahan dalam kondisi seperti itu? Akan lebih baik jika kamu dan yang lainnya menyerah saja. Bujuk Noir untukku. Buat dia menerima perasaanku. Cukup dengan itu, semua rasa sakit kalian akan hilang. Kalian akan bersatu kembali dengan mereka yang kalian rindukan."

Air mata Sergio mengalir melewati garis rahangnya, jatuh ke atas telapak tangannya dan ke permukaan tanah yang retak-retak.

"Pain is inevitable, but suffering? Suffering is optional."

Blanc mengernyit. "Apa katamu?"

Sergio mendongak, lalu perlahan, seulas senyum tertarik di wajahnya. "In pain, I find her. In pain, I know she loves me. In pain, I know that I love her to. And finally, in pain, I feel joy. And pain, is what I shall turn into power."

Blanc melotot ketika Sergio mengangkat salah satu tangannya, menciptakan sebentuk energi kebiruan di udara yang mengarah padanya dalam bentuk kepalan tinju. Energi itu menghantamnya dengan keras diiringi oleh tatap mata tak percaya dari Sergio. Debu-debu beterbangan di udara, berdansa dalam bentuk partikel yang saling bercumbu dengan embus angin.

harusnya gue nggak posting sampe tanggal 1 desember but well, you guys deserve at least an update, so here it is ;) 

meskipun sebenernya gue lagi stress banget sama tugas salah satu matkul wkwk untuk tugas individu udah gue beresin semua (sumpah gue paling gabisa nunda kerjaan lama-lama berasa jadi beban) cuma untuk satu tugas kelompok ini kayak orang-orangnya mager dan gue juga gabisa gerak kalau yang lain nggak gerak. huf, kadang pengen deh kalau tugasnya individu doang. ea jadi curhat 

hm, terus apa ya? 

bingung mau ngomong apa. but it kinda annoys me when my readers start treating me like... aduh nggak tau sebutannya gimana. kayak gaes, you can freely talk to me, dan kalau gue lagi buka atau lagi sempet, pasti gue balas. jadi nggak perlu kayak 'Omg dibales' kayak apa ya kayak sumpadeh siapalah gw, kecuali lo dibales habibie atau jokowi atau oppa tuh baru girang 

dan gue juga bukan orang yang suka dipuji berlebihan jadi yha gmn yha 

gakmutu banget kan ocehan gue. hh. btw laptop aing rusak masa. laptopku sejak masa sma, yang menemaniku dalam suka maupun duka sejak aku masih bersamanya sampai aku naksir oppa. dari sehun masih kerempeng sampe sehun udah buka-buka baju pake kalung emas gaya preman kaya teyang bigbang lagi nyanyi eyes nose lips. jadi kronologinya tuh kayak layarnya kedap-kedip tiba-tiba macem layar tv kalau sadako mau keluar gitu. terus muncullah garis garis putih ghaib entah dari mana. terus garis ghaibnya merambat, ada yang berubah jadi item ada yang berubah jadi layar pelangi. 

sedih loh, gue sampai mewek sambil mengguncang-guncang layar laptop kaya rose mengguncang badan jake waktu jake metong gara-gara jake kelamaan berendem di dalem air es 

lebay bgt 

tapi gimana ya sedih aja laptopku menyerah sebelom gw wisuda. ea padahal wisudanya masih lama. sekarang jadinya buat nugas gue pinjem laptop temen (tajir banget cuy laptopnya dua, mana yang dipinjemin ke gue processornya core i5 dengan ram 8gb dan kapasitas hdd hampir 1TB okesip stop sebelum gue kedengeran kaya cici cici glodok) 

meski begitu, jangan sedih, karena bapake seperti biasa kembali ikhlas diporotin anak perempuannya yang dari lahir cuma bisa ngerepotin doang, jadi moga moga update tidak terkendala masalah laptop (paling masalah tugas lagi, rasanya gue mau amnesia buat satu mata kuliah) 

yaudalaya uda malam juga cuma lo pada kayanya seneng baca catatan unfaedah gue jadi gue kasih tuh okeoke sip tolong buat yang gasuka diskip aja gausa dibaca gapapa 

sampai ketemu di chapter berikutnya 

(btw ini arch terakhir dari noir, probs bakal tamat di chapter 40an) 

i'll see you in next chap and ciao 


sergio termos 

kesha. tolong jangan dibash kaka. masa udah ngendon di akhirat masih di bash jg. 


Published in November 24th 2017 

Semarang | 23.32

Continue Reading

You'll Also Like

70.9K 481 12
Rekomendasi cerita wattpad yang bertema teenfiction dan Chicklit Semua cerita yang ada disini itu udah complete tapi gatau masih ada atau ngga jadi...
184K 4.8K 25
Pada kalimat usang yang masih kerap mengusik hidupku. Pada wajah bahagia yang selalu aku nantikan kehadirannya mengapa kini nampak pudar? Mengapa wak...
1.5M 15.9K 2
21 sampai ending diprivate Nerissa Aprodita menganggap dirinya hanya boneka sang Mama yang harus tetap tersenyum walau mengalami segala kepahitan d...