NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#34

95.7K 10.8K 2.3K
By renitanozaria

Balada penyiksaan terhadap ketiga abang Suri tak lantas berakhir sesaat setelah mereka tiba di rumah usai berbelanja di supermarket. Ketiganya dibikin tidak menganggur selama Ayah sibuk memasak bersama Tim Ajinomoto andalannya. Ayah selalu saja punya pekerjaan untuk dibebankan pada Chandra, Calvin dan Cetta, mulai dari sesepele mengupas bawang merah—yang membuat Calvin menelurkan ide jenius mengupas bawang pakai kacamata renang supaya matanya tidak perih—hingga menuangkan air langsung dari galon ke dalam sejumlah pitcher berukuran besar. Chandra hampir dibuat encok karenanya, sementara Khansa justru sibuk memotret Calvin yang menurutnya tampak konyol dengan kacamata renang.

"Gue tau gue ganteng, Khansa." Calvin bergumam sebal tanpa melepaskan pisau dan bawang dari tangannya, karena hanya Tuhan dan Ayah yang tau apa yang akan terjadi jika Calvin melakukan itu. "Tapi jangan foto gue dalam kondisi yang kayak begini juga, kali."

"Nggak apa-apa. Lo jadi mirip Obito Uchiha kalau lagi kayak gitu."

"Edeh, boro-boro. Obito Uchiha kebagusan kalau dimiripin sama dia." Rana yang sedang menumis sesuatu dalam wajan menyambar cepat. "Dia lebih mirip Sasuke Uchiha."

"Sasuke bukannya lebih ganteng daripada Obito ya?"

"Sasuke Uchiha yang terdampar di Afrika terus diseruduk babon."

Cetta kontan terkekeh. "Aku suka banget deh kalau kamu udah kayak gitu."

"Nggak usah sok manis. Mending kamu bantuin Suri keluarin dan lap-lap piring yang nanti mau kita pake."

"Idih, kok galak?"

"Karena hari ini aku emang lagi pengen galak sama kamu." Rana berdecak. "Buruan, Dimi. Kamu tuh anak ayah tapi kadar kegantengan dan kegercepannya kalah jauh sama Ayah."

Cetta cemberut, namun dia menurut.

Mereka menghabiskan hampir dua jam berikutnya untuk memasak sejumlah hidangan yang menurut Ayah selalu Bunda sajikan setiap kali anak-anaknya berulang tahun. Suri sempat dibuat terharu selama sejenak karena sejak Bunda meninggal, dia tidak pernah merayakan ulang tahunnya bersama banyak orang—ditambah lagi, kali ini dia punya seorang Sebastian di sisinya. Acara makan siang diisi oleh perdebatan, pertengkaran dan lontaran ejekan diantara ketiga kakak laki-laki Suri. Setelah semuanya selesai, Ayah menugaskan Tim Superindo untuk mencuci piring sementara ketiga tim yang tersisa bertugas membawa piring-piring kotor ke wastafel sekaligus membereskan hidangan yang masih tersisa.

"Ayah menugaskan Sebastian lagi yang jadi pemimpin."

"Nggak adil!" Chandra berlagak menggebrak meja, namun langsung mengaduh kesakitan sambil menatap miris pada telapak tangannya yang memerah.

Cetta berdecak. "Masa dia lagi yang jadi ketuanya?"

"Kepemimpinan Sebastian sudah terbukti dengan baik." Ayah menyahut penuh percaya diri. "Buktinya nggak ada satupun barang belanjaan dalam daftar yang lupa dibeli, semuanya lengkap dan plastik belanjaan nggak dipenuhi oleh komoditas nggak perlu macam bir atau soda."

"Tapi ada yoghurt!" Chandra menukas, masih tidak mampu menerima keputusan Ayah.

"Jangan bawa bayi-bayiku ke dalam konflik ini!" Calvin melotot pada Chandra. "Lagipula, yoghurt itu nggak dibeli pake uang Ayah atau uang lo berdua. Dan lagi, gue melewati perjuangan panjang yang jauh lebih keras daripada perjuangan samurai jaman Edo untuk membawa mereka ke rumah ini. Jadi tolong, jangan seret bayi-bayi manisku ke dalam konflik kekuasaan ini."

"Lebay lo, Kampret."

"Ngaca, Anjing."

Ayah melotot pada Calvin. "Calvin, language!"

"Tadi Ayah ngomong tete sapi aja nggak apa-apa!"

"Bagian mana yang kasar dari tete sapi?"

"Segala sesuatu yang berbau tete itu nggak patut dibicarakan di depan umum, Yah." Calvin masih saja mengelak.

Ayah menyipitkan matanya pada Calvin. "Calvin, kayaknya udah lama ya Ayah nggak nyuruh kamu tidur di luar."

Calvin langsung kicep. "Oke. Nggak. Ayah benar. Aku salah. Anggap aja aku nggak pernah ngomong gitu."

"Bagus." Ayah berpaling pada Sebastian. "Kamu boleh menentukan pembagian tugas buat mereka, Sebastian."

"Oke."

"Ini namanya pelanggaran Hak Asasi Manusia!"

"Benar!"

"Tindakan kalian memaksa Sebastian memanjat pohon mangga hanya dengan pakai kaus dalam dan bokser itu juga bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia."

"Oh, kalau yang itu sih nggak, karena itu termasuk ke dalam agenda Pendidikan Karakter."

"Pendidikan Karakter macam apa ya?" Ayah mengernyit.

"Pendidikan Karakter dalam rangka memastikan kalau pacar Suri ini adalah laki-laki bertanggung jawab yang bisa diandalkan, bukannya cowok brengsek yang hanya akan memanfaatkan kepolosan Suri untuk kepentingan pribadi."

"Lo bisa kategorikan adik lo dalam jenis apa pun, tapi dia jelas bukan anak polos." Sebastian berdecak.

"Chandra, gue rasa lo barusan mendeskripsikan diri lo sendiri." Rana menukas.

"Maksud lo apa?"

"Lo adalah cowok brengsek yang hanya akan memanfaatkan kepolosan Siena untuk kepentingan pribadi."

Chandra melotot, menunjuk wajah Rana dengan jarinya. "Heh, jangan ikut campur ya, Daki Legolas!"

Emosi Cetta langsung naik sampai ke ubun-ubun. "Kalau Rana lo sebut Daki Legolas, terus lo apaan? Tai Kuku Saruman?!"

"Tri, jangan ikut campur. Ini urusan antara—"

"Daripada ribut, saya bakal bagi tugasnya sekarang." Sebastian menyela, yang dibalas Ayah dengan anggukan setuju. "Calvin cuci piring. Cetta nyapu. Chandra buang sampah."

"Dan lo?"

Mata Sebastian jatuh pada Suri, kemudian pada liontin dari kalung yang ada di lehernya dan senyum tipisnya mengembang seketika. "Saya perlu ngomong sebentar sama Suri tentang sesuatu yang penting."

"Eh, apa?"

"Nanti lo bakal tau."

"Gue nggak setuju."

"Gue juga nggak."

"Meski lo udah beliin gue yoghurt, dengan berat hati gue harus nyatakan gue satu suara dengan Tri dan Mojrot."

"Kalian harus menghormati keputusan kepala tim." Ayah membalas. "Sekarang, bergerak ke pos kalian masing-masing atau malam ini kalian bertiga tidur di luar."

"Ayah lebih membela dia?!"

"Ini nggak adil!"

"Rakyat tidak butuh presiden yang diktator dan tidak menjunjung tinggi demokrasi!"

"Kalian. Mau. Tidur. Di luar?"

Ketiga kakak laki-laki Suri kembali bungkam. "Oke."

"Sebagai tambahan, Khansa bakal bertugas mengawasi Calvin. Rana mengawasi Dimitrio. Dan Siena mengawasi Barachandra."

Selesai dengan pembagian tugas, ketiga abang Suri bergerak menuju pos kerja masing-masing. Awalnya, Calvin merasa senang karena sepanjang dia menyentuh tumpukan piring-piring kotor di wastafel, Khansa ada di sisinya. Namun tidak sampai lima menit kemudian, dia jadi harus menahan sebal sebab Khansa kelihatannya tidak berencana bersikap manis. Alih-alih membantu Calvin, gadis itu justru meraih sebuah gelas yang baru saja Calvin letakkan di atas rak pengering dan mengamatinya dengan lagak serupa Sherlock Holmes tengah mencari clue pada Tempat Kejadian Perkara sebuah peristiwa kriminal.

"Tehnya masih ada."

"Hah?"

"Ampas tehnya masih ada." Khansa berdecak. "Cuci lagi."

"Tapi—"

"Bokap gue nggak suka menantu yang nggak teliti dan nggak paham bersih-bersih."

Calvin menghela napas, lalu meraih gelas yang Khansa letakkan dan mencuci ulang benda tersebut sambil bersungut-sungut.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada Cetta yang sibuk menyapu dan membersihkan meja. Rana mengamatinya sambil duduk di kursi makan dengan sebungkus permen kenyal bertabur lapisan gula di pangkuan. Semula, Rana hanya mengamati saja, tapi wajah tersiksa Cetta membuat inner devilnya memaksa untuk beraksi. Tanpa peduli, Rana melempar bungkus permennya ke lantai begitu saja, tepat di bawah kakinya. Cetta dengan sabar meraihnya menggunakan sapu dan menariknya masuk ke dalam serokan plastik. Tetapi Rana kembali melakukannya beberapa kali, hingga Cetta berdecak dan berhenti menyapu.

"Sayang, aku lagi nyapu loh."

"Aku tau. Aku lihat. Kamu kira aku buta?"

"Terus kenapa kamu buang sampah permen Yupinya disitu?"

"Tempat sampahnya jauh. Dan aku nggak bisa kesana, soalnya disuruh Ayah buat ngawasin kamu."

"Dikumpulin di atas meja aja dulu. Nanti aku yang buangin."

Rana menggeleng. "Nggak mau. Kan aku emang lagi pengen juga nyiksa kamu. Biar nyapunya nggak kelar-kelar juga. Hehehe."

Cetta berdecak.

"Kenapa? Mau marah sama aku?"

Cetta menarik napas panjang. "Nggak, Sayang. Nggak."

"Pengertian banget sih, Dimi. Berarti aku boleh buang kulit pisang juga?"

"Rana."

"Hm?"

"Kamu beruntung deh aku sesayang itu sama kamu."

"Kamu juga beruntung karena aku juga sesayang itu sama kamu." Rana memasang wajah cute dan innocent yang tak pernah gagal membuat Cetta luluh. "Dan ini salah satu cara aku nunjukkin kalau aku sayang sama kamu. Aku nggak pernah sembarangan nyiksa orang, loh. Lagian Dimi, kamu itu jarang gerak. Jadi nggak apa-apa, mumpung sekarang lagi ada kesempatan nyapu, aku ngasih kamu motivasi supaya kamu nyapu dengan totalitas tanpa batas."

"Iya."

"Oh iya, Dimi, nyapunya yang bersih, ya. Kamu nggak kepengen punya istri brewokan, kan?"

"Iya, Sayang. Iya."

Sebastian menarik Suri ke teras belakang rumah Keluarga Wiraatmaja setelah pembagian tugas untuk Calvin, Chandra dan Cetta selesai. Hari sudah menjelang petang dan semburat jingga telah mewarnai beberapa sudut langit. Sekoloni burung melintasi langit, tampaknya bersiap untuk pulang ke sarang. Di bawah siraman cahaya senja, Suri dibuat terperangah sejenak karena sosok Sebastian terlihat sangat sureal. Cowok itu kelihatan seperti terlalu indah untuk jadi nyata—mungkin karena saat ini dia masih mengenakan kemeja putih yang membuatnya terlihat rapi walau rambut hitamnya agak sedikit berantakan.

"Kamu mau ngomongin apa?"

Sebastian tidak langsung menjawab. Dia justru menatap Suri lekat-lekat, lantas menyelipkan sejumput rambut di tepi wajah Suri ke belakang leher gadis itu sebelum bicara. "What a wonderful wonderwall you are."

"Mm?"

"Wonderwall." Sebastian menunduk sedikit, lantas tertawa kecil dalam cara paling indah yang pernah Suri lihat. "Someone you find yourself thinking about all the time. A person you are completely infatuated with."

"Tian."

"Happy birthday, darling girlfriend of mine. Today, I promise that I will follow you everywhere. Even if your hair turn grey and your beauty is no longer shine. I'll stay beside you as you lie softly down and death do us part." Sebastian meraih jari-jari Suri, menggenggamnya erat. "So, promise me that you will never leave me."

Suri terperangah, namun kemudian senyumnya merekah dan spontan, gadis itu melepaskan tangannya dari genggaman Sebastian untuk balik memeluk dada laki-laki di depannya. "It's a promise."

"Great. Now let me go."

"Hm, kenapa?"

"Because I have another present for you."

Suri melepaskan dekapannya pada Sebastian dengan ragu. "Hadiah lain lagi? Apa?"

Sebastian tidak menjawabnya dengan kata, namun laki-laki itu mencondongkan tubuh. Dia membungkuk dan memberikan satu kecupan yang sangat lama di dahi Suri. Begitu dia menarik dirinya, ada senyum lebar yang jarang Suri lihat menghiasi wajahnya. "I love you."

"Apa?"

"Gue hanya akan mengucapkannya sekali. Jadi nggak ada rewind."

Suri merengut. "Jahat."

"Salahnya lo nggak denger—"

"I love you too."

Sebastian terperangah, lalu samar, ada rona merah di wajahnya walau hanya sejenak.

"Cuma itu doang?"

"Terus lo mau apa?"

"Nggak ada cium di bibir?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Karena kita ada di rumah lo. Karena ada bokap lo yang pasti lagi mengawasi kita. Dan ada tiga kakak lo yang siap mencabik-cabik gue kalau gue melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang tadi gue lakukan."

"Berarti kalau lagi nggak ada di rumah, nggak ada Ayah dan nggak ada tiga abang, boleh dong?"

"Dengan satu kondisi."

"Apa?"

"IP lo semester ini harus minimal tiga."

"Jahat!"

Sebastian terkekeh, kemudian mengacak rambut di puncak kepala Suri. "Belajar yang rajin, oke? Kalau IP semester lo lebih dari tiga, gue janji gue akan memberikan hadiah yang pantas lo dapatkan."

"Beneran?!"

Sebastian mengangguk.

"Huhu, sayang banget sama kamu." Suri berujar, lalu dia kembali memeluk Sebastian. Orang yang dipeluk hanya tersenyum lembut, lalu perlahan tangannya balik memeluk punggung Suri sambil benaknya menggumamkan serentetan kata;

Me too, Girly. Me too.

Waktu merambat hampir melewati tengah malam. Suasana rumah sudah sepi karena Ayah dan tiga kakak laki-laki Suri telah terlelap sejak jarum pendek jam masih menunjuk di angka sepuluh. Namun tidak dengan Suri. Di tengah malam, gadis itu justru membuka jendela kamarnya, membiarkan angin semilir yang dingin berembus meniup wajahnya. Matanya menatap pada bulan yang muram di langit mendung, memikirkan semua peristiwa yang terjadi padanya selama empat puluh delapan jam terakhir.

Suri tidak tau apa yang salah pada hidupnya. Semula, dia tidak memiliki niat apa pun selain untuk membantu Kesha dan hantu-hantu lain yang datang memohon bantuannya. Dia tidak tau jika tindakannya akan membuatnya terhubung lebih jauh dengan para iblis, malaikat dan entah apa lagi namanya. Dia tidak suka terjebak dalam situasi seperti ini—dimana konflik semesta terlibat di dalamnya. Tapi apa dia menyesal dengan semua yang terjadi?

Jawabannya tentu saja tidak. Suri tidak pernah menyesali apa yang sudah dia lakukan. Bagaimana pun juga, jika dia tidak memilih jalan ini dari awal, dia tidak akan pernah bertemu dengan Sebastian.

Lamunan Suri tiba-tiba buyar saat angin berembus lebih keras secara tidak wajar, disusul kemunculan sejumlah hantu yang membuat Wati dan Melly keluar dari persembunyian mereka—Wati memilih tinggal di atas lemari kamar Suri setelah dia dibuat patah hati oleh penolakan Cetta saat Suri memberitahu ada hantu yang diam-diam menyukainya sedangkan Melly lebih suka berdiam di kolong tempat tidur Suri. Bau bunga kamboja bercampur kemenyan yang sangat kuat menguar, membuat Suri serasa baru diteleportasi ke kuburan terdekat.

"Selamat ulang tahun!"

Ternyata mereka yang datang adalah Asmi, Kayla dan beberapa hantu lain di sekolah yang sudah lama tidak Suri temui. Refleks, Suri terlonjak dari kursi yang dia duduki dan menatap tak percaya. Mungkin ini aneh, tapi faktanya Suri agak sedikit merindukan kehadiran mereka, mengingat dia belum mampu bersahabat dengan hantu mana pun yang ada di kampus.

"Asmi!"

"Sori banget ya kita telat." Kayla tersenyum manis, terlihat sepucat seperti yang terakhir Suri ingat. "Soalnya jam terbang gentayangan Asmi lagi tinggi banget. Kalau dia ditinggal, bisa-bisa dia ngamuk dan bikin satu sekolah kesurupan."

"Emang kenapa dengan jam terbang gentayangan lo?"

"Sekarang kan saya jadi artis terkenal gitu di dunia hantu." Asmi menyahut penuh percaya diri. "Secara, saya adalah salah satu hantu yang beruntung bisa bertatap muka langsung dengan Noir, mengenal Oriana Suri Laksita yang dianggap sebagai fenomena dahsyat di dunia para hantu abad ini serta sosok yang selama ini berteman dengan Mpok Jessica sang Sosialita Ternama yang ternyata adalah Blanc, malaikat manja cetar membahana yang pernah membuat Noir jatuh cinta."

"Lo udah tau?"

"Haduh, di dunia para hantu, gosip nyebar lebih cepat daripada berita meme bocah labrak-melabrak di perosotan, Suri."

"Terus kok lo jadi alay gini?"

"Ini bukan alay. Ini namanya gaul. Yah, gimana ya, saya juga agak pusing gitu dapet undangan talkshow disana-sini. Risiko orang terkenal sih ya."

"Lo bukan orang. Lo hantu."

"Ah, iya. Maksudnya gitu."

"By the way, kita datang kesini mau ngasih kado buat kamu. Ciprut, mana kadonya?"

Sosok hantu yang disebut Asmi dengan nama Ciprut mengangguk sigap, kemudian menjentikkan jari, memunculkan tangkai-tangkai bunga kamboja dan melati yang dirangkai dalam sebuah buket berhiaskan kantung kain berisi menyan.

"Ciprut ini siapa?"

"Ajudan baru saya. Kan saya udah bilang kalau sekarang saya bukan lagi hantu jelata."

Suri berdecak. "Kenapa kadonya beginian?"

"Tadinya kita mau bikinin puding ulat sagu, tapi karena ulat sagunya harus didatangkan dari Papua, dedemit Papua keburu pegel melayang terbang dari Wamena kesini. Emang bisa numpang pesawat sih, tapi karena kebanyakan transit nanti nggak bisa kilat. Jadi amannya, kita kasih kado buket bunga aja. Jangan salah, kamboja ini didapatkan langsung dari TPU Jeruk Purut dan dipetik oleh tangan Abang Kepot penguasa sana."

"Abang Kepot?"

"Abang Kepala Copot."

"Tapi harus banget bunga kamboja dan kantong menyan?"

"Ini setingkat sama tulip Belanda kalau di dunia hantu."

"Terserah lo deh."

"By the way, tadi saya lihat ada cowok ganteng banget. Bahkan lebih ganteng dari Julian Jacobs, cemewew saya di dunia manusia itu." Asmi berkata, membuat Wati kontan melotot. "Tapi dia jelas lebih wow dari Mas Juli, karena dia sealam sama saya. Namanya siapa, sih? Boleh kenalan nggak? Dia hantu komplek ini juga?"

"Kakanda Jake hanya milikku seorang!"

Mata Asmi menyipit. "Siapa lo?"

"Wati." Wati menyahut bangga seolah-olah namanya sama saktinya dengan nama Paris Hilton. "Hantu paling bahenol dan cantik di komplek ini."

"Apa hantu komplek ini sejelek itu sampai hantu paling cantiknya adalah hantu yang bentuknya macam Raisa abis ketubruk delman kayak kamu ini?"

"Kamu menghina saya?!"

"Menurut kamu, saya lagi memuji?!" Asmi balik membentak. "Jelas saya lagi menghina kamu, Bahlul. Aduh, udah tampang kagak ada, bahlul pula. Malang nian nasib kamu. Dan kamu berpikir kamu bisa bersama dengan hantu yang lebih cakep dari Mas Juli itu? Helloooooooooowwwww, bawa golok ke dalam sevel, ngaca goblok lo nggak selevel!"

"Setelah Si Iteung, sekarang kamu juga mau genit sama Kakanda Jake?!" Wati mendesis sinis. "Langkahi dulu mayat saya!"

"Wati, lo udah mati dan mayat lo udah kagak tau ada dimana."

"Oh iya, lupa."

"Udahlah, jangan berantem. Gue lagi pusing." Suri mendengus. "Tapi kebetulan banget, kalian ada disini. Gue mau nanya sesuatu. Tolong dijawab serius."

"Apa?"

"Seandainya lo semua punya kesempatan kembali ke atas, apa lo bakal menerima kesempatan itu?"

"Itu nggak mungkin."

"Kan gue udah bilang, seandainya."

"Tentu aja mau." Asmi menjawab tanpa berpikir, sementara Wati hanya terdiam. "Bagaimana pun juga, dunia manusia sebenarnya bukan tempat kita. Kita itu hanya tertahan disini, karena berbagai faktor yang membuat jalan kita ke atas jadi terhambat. Tapi emang kenapa tiba-tiba kamu nanya begitu?"

"Nggak apa-apa." Suri menggeleng cepat. "Cuma berpikir aja."

"Kamu aneh."

"Lo kira ada orang normal yang ngobrol sama hantu jam satu pagi?" Suri berdecak sambil melangkah mendekati meja dan meraih buket bunga kamboja yang diberikan Asmi dari sana.

"Iya juga."

"Asmi."

"Apa?"

"Makasih sudah memberi gue hadiah ulang tahun."

Asmi terdiam sejenak, namun kemudian dia tersenyum. "Sama-sama."

maap saya telat posting. 

makasyeh buat yang udah baca chapter kemaren dan meninggalkan vote mau pun komen. maap gue lagi hectic banget karena november udah mau abis dan tugas besar gue belum pada kelar (karena tugas kelompok jadi yha begitulah) 

makasih juga buat yang udah ikut PO Noir dan sudah mendukung Noir sampai sekarang. terus apalagi ya. hm. bingung gue. 

dah ah pusying. 

sampai ketemu di chapter berikutnya and ciao 

culi


abang dimi


Published in November 17th 2017 

Semarang | 22.43

Continue Reading

You'll Also Like

55.9M 770K 11
PINDAH KE APLIKASI FIZZO Hanya kehidupan sehari-hari tentang Kana, cewek super pemales yang tidak mau melakukan semua hal karena dianggap repot. Kes...
169K 14K 36
Ketika persahabatan mereka diuji, apa yang harus mereka lalukan? akankah mereka akan kembali bersama? atau memilih Jalannya masing-masing? dimanakah...
326K 25.6K 88
(Action, Fantasy, Sci-Fi) This page is intentionally left blank. *Biar berasa kek baca buku-buku luar negeri ya kan? Wkwkwk..
621 96 27
[terΒ·bengΒ·kaΒ·lai] Rank: #1 in Kata (dari 15,6 rb) 14/01/24 #40 in Puisi (dari 75,6 rb) 14/01/24