NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#30

89.4K 11.2K 860
By renitanozaria

Suri masih menatap Blanc dengan penuh kekagetan ketika pelan-pelan, sosoknya sebagai Mpok Jessica lebur dan kembali terganti ke dalam bentuk gadis semampai berkulit pucat dengan sepasang mata sebiru lautan. Sorot matanya yang terarah pada Suri turut melembut, seiring dengan geraknya yang memperpendek jarak diantara mereka. Kemudian sebelum Suri mampu berkata-kata, salah satu tangan Blanc kembali terangkat. Jarinya mendarat pada satu titik diantara kedua alis Suri, membuat Suri lagi-lagi tertarik ke dalam sebentuk dimensi memori abstrak yang sulit didefinisikan.

Suri dibawa ke sebuah tempat yang jelas tak berada di langit maupun di bumi. Tubuhnya terasa ringan dan Suri seolah melayang diantara langit penuh taburan benda-benda ekstraterestrial serupa gambar manipulasi bertema galaksi yang banyak ditemukan di internet. Di depannya, ada dua sosok yang seperti tak menyadari kehadirannya. Salah satu dari mereka adalah Blanc, sementara yang lainnya adalah Nael. Nael melayang bebas di angkasa, seakan-akan kakinya menapak diantara bintang-bintang sementara Blanc duduk di lengkungan bulan sabit dengan cahaya redup keemasan.

"Ini adalah ruang memoriku." Suri mendengar suara Blanc walau wujudnya tidak bisa dia temukan dimana pun.

Bayangan langit berganti oleh bayangan sebuah ruangan maha luas yang diterangi oleh cahaya terang yang bukan berasal dari lampu atau benda sejenis melainkan dari dinding ruangannya. Dinding itu terbuat dari material yang tak pernah Suri lihat sebelumnya. Ada banyak makhluk berkumpul disana. Mereka semua memiliki wujud serupa manusia, meski Suri tau itu hanya salah satu dari sekian banyak wujud yang bisa mereka tiru. Seperti suasana pada saat persidangannya terdahulu, bagian kiri dipenuhi oleh para pria dengan pakaian serba hitam, sementara di bagian kanan didominasi oleh para perempuan yang sama pucatnya seperti Blanc—ah, setelah Suri perhatikan, Blanc juga turut berada diantara mereka.

Blanc tidak berkisah, tetapi dari pemandangan yang dia saksikan, Suri bisa menarik kesimpulan sendiri. Saat itu adalah saat di mana Sang Pencipta menetapkan posisi Nael sebagai salah satu dari delapan iblis paling utama yang membawahi legiun masing-masing. Selain Nael, di sana juga ada Zoei dan Sombre—yang berada di barisan terdepan untuk memimpin bagian undertaker. Perhatian Suri langsung tertancap pada sosok Blanc yang menatap pada Nael dengan penuh kekaguman. Ada binar dalam iris mata birunya, membuat siapapun yang melihat jelas tahu jika Blanc sangat memuji Nael.

Lalu sejenak kemudian, Suri kembali berada diantara benda-benda langit ekstraterestrial, dengan Blanc dan Nael di depannya. Mereka begitu dekat, namun di saat yang bersamaan juga teramat jauh. Rumit dan tidak manusiawi, membuat Suri sulit menuangkannya dalam deskripsi.

"Noir, apa melibatkan perasaan dalam tugas itu adalah sebuah kesalahan?" Blanc tiba-tiba bertanya.

Nael mengernyit, memandang pada Blanc lalu menarik senyum tipis. "Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu?"

"Karena aku merasakan sesuatu yang tidak seharusnya dirasakan." Blanc menyahut sendu. "Dan karena aku mempertanyakan sesuatu yang tidak sepatutnya dipertanyakan."

"Apa sebenarnya yang harus dan tidak harus?"

Blanc menatap Nael dengan bingung. "Maksud kamu?"

"Tidak ada yang harus dan tidak harus, Blanc."

"Tapi aku tercipta untuk menjalankan tugas yang sudah ditetapkan Sang Pencipta. Perasaan tidak seharusnya ada. Pertanyaan tidak seharusnya hadir."

"Hanya karena manusia berpikir dunia sepenuhnya adalah hitam dan putih, bukan berarti kenyataannya demikian. Tidak pernah ada sesuatu yang sepenuhnya jahat atau baik. Namun pemikiran seperti itu melampaui kapasitas berpikir manusia, sehingga mereka menciptakan kotak-kotak, di mana pada yang satu hanya ada kebaikan dan yang tidak termasuk ke dalam kotak kebaikan tersebut langsung dianggap sebagai keburukan. Sesuatu yang menurutku salah, karena sebetulnya dunia tidak bekerja seperti itu. Tidak ada perang yang abadi, tapi juga tak ada perdamaian yang selamanya."

"Lalu, apa cinta dan kasih untuk makhluk seperti kita itu wajar?"

"Untuk merasakannya? Tentu wajar. Selama kita hidup, kita akan merasakan cinta dan kasih. Masalahnya sekarang, apa kamu bisa mengendalikan dirimu atau tidak."

"Kita tidak hidup, Noir."

"Kita mungkin abadi karena ruang dan waktu tak punya kuasa terhadap eksistensi kita, Blanc. Namun pada satu titik, keabadian itu akan tersudahi. Sakit, luka, usia tua, kelaparan, selalu ada banyak sebab bagi manusia untuk mati. Tapi buat kita, sebabnya hanya satu; intervensi dari Sang Pencipta. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti Sang Pencipta memutuskan mengakhiri eksistensi kita."

"Noir."

"Kenapa?"

Blanc menatap Nael sejenak, lalu katanya. "Aku baru sadar jika matamu segelap malam. Dan kalau harus jujur, ia adalah satu-satunya gelap yang membuatku ingin lebur di dalamnya."

"Selama kita hidup, kita akan terus mencinta."

Suri menatap Blanc yang kini sudah berada di depannya. Dia tetap bungkam. Bukan karena Suri tidak bisa berkata-kata, melainkan karena dia justru tidak tau harus menjawab ucapan Blanc dengan apa.

"Katanya, semua yang terjadi di dunia, di segala dimensi, memerlukan andil Sang Pencipta. Segalanya adalah kehendak Sang Pencipta. Keberadaan iblis. Keberadaan malaikat. Bahkan keberadaan manusia. Jika aku merasakan perasaan seperti ini, apa itu salahku? Tidak. Karena Sang Pencipta mengizinkan segalanya terjadi."

Sunyi masih saja hinggap sampai Blanc menyentuh dahi Suri lagi, masih di titik yang sama—pada titik diantara kedua alisnya. Lantas, pusaran itu kembali menghisap Suri. Menjebaknya, seperti labirin tanpa ujung.

Tidak pernah ada satu pun makhluk yang bersedia masuk ke Samsara, bahkan mereka yang diberi tugas khusus untuk masuk kesana. Sialnya, Blanc mendapatkan tugas itu hari ini. Samsara adalah sebuah tempat mengerikan tempat jiwa-jiwa yang dikecualikan disimpan sebelum mereka benar-benar di bawah ke tempat di mana orang-orang yang telah mati berada. Samsara bukan neraka, melainkan sebuah tempat untuk jiwa-jiwa yang terjebak. Jiwa itu belum sepenuhnya mati, tetapi juga terlalu menyedihkan untuk hidup.

Blanc berhenti sejenak ketika dia tiba di depan pintu besar—sebetulnya, Suri tau itu bukan sekedar pintu, tetapi kata pintu adalah kata paling mendekati yang mampu menggambarkan penampakan benda itu. Jemari pucatnya mengeluarkan selembar kartu berisikan nama milik jiwa yang akan dia jemput dari Samsara. Selesai mengecek ulang, Blanc membuka pintu tersembut, menampilkan sebuah ruangan luar biasa gelap yang penuh dengan teriakan frustrasi. Suri sempat bergerak mundur beberapa langkah karena jeritan-jeritan itu bukan hanya menyakiti telinganya, tapi menusuk batinnya dan menyebarkan gentar yang ganjil. Tetapi matanya masih bisa melihat jelas saat Blanc memanggil sebaris nama, dan seseorang keluar dari sana.

Orang itu masih sangat muda. Kalau harus menebak, Suri bertaruh dia mungkin seumuran dengan Chandra atau satu-dua tahun lebih tua. Rambutnya yang hitam berantakan dan garis hitam di bawah matanya. Kulitnya luar biasa pucat, meski tidak sepucat Blanc atau malaikat-malaikat lainnya yang pernah Suri lihat.

"Adya Wiranata?"

Ada seringai ganjil yang muncul di wajah sosok itu. "Kamu benar."

"Sudah waktunya aku membawamu ke tempat yang seharusnya."

"Apa yang sebetulnya harus dan tidak harus?" Adya mendadak bertanya, membuat Blanc seketika membeku di tempatnya berada. Suri tau mengapa Blanc seperti itu. Pertanyaan Adya tidak jauh berbeda dengan kata-kata Nael waktu dia bicara dengan Blanc pada kilas balik sebelumnya. "Ada sesuatu yang mengganggumu, Nona Malaikat?"

Blanc menatap Adya. "Tidak. Meski begitu, berhenti bicara. Aku harus segera membawamu ke suatu tempat. Sebaiknya, kamu tidak melawan."

"Aku tidak berencana melawan." Adya terkekeh. "Tapi kamu tau, di dalam itu sangat buruk. Berapa lama aku sudah terjebak di dalam sana hingga kamu datang? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Ah, kita tidak pernah tau karena ukuran ruang dan waktu tak berlaku dalam Samsara. Aku bersedia pergi kemana pun, sesuai kemauanmu, asal tidak kembali ke dalam sana. Namun, aku ini agak kesepian. Maukah kamu mendengar ceritaku sebentar saja?"

"Aku tidak seharusnya—"

"Apa sebetulnya yang harus dan tidak harus?"

Blanc kontan terbungkam.

Lantas tanpa diminta, Adya mulai berkisah. Dia bercerita tentang seorang Raja yang mencintai seorang gadis. Cintanya demikian besar untuk gadis itu, bahkan dia berani bertaruh cinta Sang Raja jauh lebih besar dari seluruh jagad raya. Cinta itu tanpa syarat. Cinta itu serupa samudra. Dia teramat luas, dalam dan tak bertepi. Tetapi cinta itu juga yang kemudian membunuh Sang Raja. Cinta itu yang membuat Sang Raja ditusuk oleh pengkhianatan, dari semua orang yang berarti seluruh dunia baginya.

Cinta itu yang kemudian menyegel Sang Raja ke dalam Samsara, tersiksa diantara gulita selama puluhan tahun lamanya.

"Sang Raja yang kumaksud adalah aku."

Blanc menatap nanar.

"Aku tidak keberatan untuk mengikutimu kemana pun kamu pergi, ke tempat apa pun yang kamu mau, tetapi jika boleh, aku ingin diberi kesempatan membalas perbuatannya. Aku ingin membalas perbuatan orang itu, yang telah membunuh gadis yang kucintai dan menjebakku dalam Samsara."

Blanc tidak merespon dengan kata-kata. Dia hanya menggerakkan tangannya, membentuk simbol-simbol rumit dengan jemarinya hingga detik berikutnya, sosok Adya menghilang dari sana. Suri tidak harus bertanya untuk mengetahui apa yang terjadi; Blanc baru saja melepaskan satu jiwa dari Samsara.

"Chandra, lo aja yang telepon Ayah!"

"Udah dari tadi. Nggak diangkat."

"Lo teleponnya via nomor, kan?"

"Oh, sudah pasti tidak. Gue telepon ke WhatsApp sama LINE Ayah. Dua-duanya nggak diangkat."

"Idih, udah tau Ayah itu katrok kalau urusan teknologi! Dia tuh suka males kalau ada notifikasi Get Rich dari LINE, makanya sering matiin data seluler!"

"Woiya, baru inget."

"Telepon buruan. Via nomor."

"Kenapa harus via nomor kalau ada Via Vallen." Chandra terkekeh, tapi langsung mengaduh kesakitan begitu detik berikutnya, kepalan tinju Rana mendarat di kepalanya.

"Adek lo hilang, Dodol! Lo masih aja nyengir-nyengir nggak jelas macam kera hutan lagi diajak selfie!"

"Gue nggak bisa telepon. Nggak punya pulsa. Apalagi nelepon ke Ayah yang pake nomor IM3. Bisa kekuras habis nanti duit gue."

"Dasar pelit." Cetta mendengus. "Yaudah, gue aja yang telepon Ayah."

"Loh, nggak nanya gue dulu?" Calvin menyela.

"Lo sih nggak usah ditanya juga udah jelas. Diantara kita berdua, lo yang paling miskin." Cetta membalas sewot sambil menempelkan ponselnya ke telinga, membuat Calvin kicep seketika dibuatnya. Sunyi sejenak, hingga Cetta kembali bicara. "Halo, Ayah?"

Sebastian memilih untuk menjauhi mereka saat Cetta mulai memberi penjelasan pada Ayah. Dia lelah sekali. Setelah seharian kemarin hingga sekarang tubuhnya dipaksa bekerja tanpa henti, Sebastian benar-benar merindukan kasur. Sekarang sudah pukul empat pagi, dua jam sejak Sebastian melihat Suri terakhir kali. Nadine berada dalam sebuah ruangan yang lain, membicarakan entah apa dengan tiga cowok tinggi berpakaian serba hitam—yang berpenampilan seperti manusia namun Sebastian curigai bukan manusia. Meski begitu, dia tidak bisa tidur. Tidak sekarang, ketika Suri benar-benar menghilang seperti ditelan angin.

Sebastian menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, lalu memejamkan mata. Ada sakit menusuk satu titik di kepalanya. Rasa sakit yang justru membawa angannya pada suatu siang ketika Suri datang ke kantornya sesudah kelasnya berakhir, di mana mereka kemudian memutuskan untuk pergi ke sebuah bistro yang terletak tidak jauh dari kantor Sebastian.

"Kenapa kamu nggak pernah panggil aku pake sebutan aku-kamu?" Suri bertanya sesaat setelah mereka memilih menu.

"Nggak suka."

Suri cemberut. "Tapi kamu pacar aku. Bukannya kalau udah pacaran harusnya manggil aku-kamu?"

"Gue nggak suka." Sebastian berdehem, pura-pura memainkan ponsel.

"Kamu pake aku-kamu waktu sama Kat."

"Lo bukan Kat."

Obviously, Sebastian berpikir. Of course you aren't her. Not that it's a big problem to me, but because both of you are not the same. Because to me, you're more wonderful than she will ever be.

Suri menghela napas. "Tian."

"Kalau lo nggak bisa terima gue apa adanya, berarti lo nggak cocok jadi pacar gue." Sebastian tau kalimatnya terlampau tajam. Dia langsung menyesal sudah bicara seperti itu sesaat kemudian.

Suri diam sebentar, lalu menjawab. "Maafin aku."

Kini, mengingatnya kembali membuat sakit kepala Sebastian kian menyiksa. Cowok itu lantas meraih ponselnya, menekan satu tombol di bagian sisi ponsel. Layar yang semula gelap menyala, menampilkan senyum milik seseorang yang dua jam lalu sempat berada dalam dekapannya. Seseorang yang kini berada entah di mana.

"I'm sorry." Sebastian berbisik penuh penyesalan. "But please, be okay. Be okay until I find you."

Lebih pendek dari biasanya, tapi emang udah harus diputus disitu karena di chapter berikutnya, bakal ada kejutan. wkwk. nope, polanya nggak akan kayak NOIR book sebelumnya kok. 

Dan anyway, tentang Blanc dan Adya Wiranata akan terkoneksi dengan masalah utama dalam cerita Memento Mori so yah begitu deh. Gue tau sebagian orang mungkin menganggap fantasy itu berat, tapi fantasy itu seru buat ditulis wkwk. Dan seperti biasa, gue akan mencoba menulisnya seringan mungkin. 

Sori kalau gue jarang on, jarang balas pesan kalian atau kadang terkesan agak jutek. Lagi capek banget sama tugas kuliah (tapi sekarang gatau kenapa ga semenyiksa semester kemarin lol i guess i learned lots of thing. and that i realized for I live in present, i shouldnt worry about my past nor my future) 

im okay and sometimes i have good sleeps. thankyou. 

ah ya, by the way gue punya target menyelesaikan Jinx dan setelah Jinx selesai, gue akan merilis satu cerita lain yang sudah lama masuk draft mode. entah Lucid Dream atau Claire de Lune. ANC akan dilanjut di Bulan Desember, waktu gue udah libur. 

oke deh sekian. 

i'll see you in the next chapter 

ciao. 


Published in October 22nd 2017 

Semarang | 18.33

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 202 180
Mari ceritakan tentang hari ini.Mari tersenyum hari ini,hari esok dan seterusnya.Sampai suatu saat waktu mengusaikan.
1.5M 15.9K 2
21 sampai ending diprivate Nerissa Aprodita menganggap dirinya hanya boneka sang Mama yang harus tetap tersenyum walau mengalami segala kepahitan d...
That Day. By jysa

Fanfiction

5.9M 567K 71
[TELAH DITERBITKAN] Hari itu benar-benar adalah sebuah awal dari plot-twist bagi hidup Hyeri. Sejak hari itu, semuanya tak akan pernah sama lagi. Dan...