NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#28

105K 12.7K 3.4K
By renitanozaria

Senyum masih melekat di wajah Suri ketika gadis itu berbalik, membuat matanya dan mata Sebastian bertemu. Cowok itu balik tersenyum padanya, dengan jenis senyum yang mampu mencipta lelehan hangat dalam dada Suri. Sebastian bukan tipe orang yang mudah tersenyum. Sekali pun dia tersenyum, biasanya itu bukan benar-benar berupa senyum, melainkan hanya satu tarikan tipis bibir yang tidak kentara. Gerimis masih turun, namun mereka terlindungi dengan baik di bawah naungan payung meja.

"Kamu telat." Suri cemberut.

"Cuacanya buruk. Jadi penerbangannya sempat delay." Sebastian merasa seperti harus menjelaskan, lantas tangannya terulur, menghapus jejak basah yang ada di pipi Suri. "Dan ini semua gara-gara lo."

"Kok gara-gara aku?"

"Soalnya lo cengeng. Jadi langitnya ikut sedih. Terus hujan. Terus penerbangannya sempat ditunda. Gue kasih tau ya, menunggu sendirian di lounge maskapai malam-malam di tengah hujan itu benar-benar nggak menyenangkan."

"Kenapa gitu?"

"Soalnya... banyak cewek cantik yang juga ikut nunggu di lounge bareng gue."

Spontan, Suri langsung meninju pelan dada Sebastian. Tindakannya membuat Sebastian terbatuk seraya memasang ekspresi seolah-olah hantaman kepalan tangan Suri benar-benar membuatnya kesakitan, namun tentu saja itu pura-pura karena sedetik berikutnya, Sebastian lagi-lagi tersenyum.

"Jahat." Suri menggeram. "Aku ulang tahun hari ini. Bukannya siapin kado, kamu malah lirik-lirikan ganjen sama cewek lain. Atau jangan-jangan lebih dari lirik-lirikan ya?"

"Kalau lebih, kenapa?"

Suri langsung merengek. "Sebastian!"

Sebastian tertawa sebelum melonggarkan genggaman tangannya pada kedua pergelangan tangan Suri. Lalu dia mendekap gadis itu sekali lagi, membiarkan napas hangat Suri menerpa bagian dada kemeja yang dia pakai selama beberapa saat. "Honestly, I don't understand your reactions. All those other girls, Girlie, they got nothing on you." Sebastian berujar diikuti pelukannya yang terlepas. "Happy birthday. Sori, gue telat."

"Permintaan maaf kamu aku tolak."

"Oh, come on."

Mata Suri menyipit. "Kamu tuh minta maaf tapi kayak nggak ada rasa bersalahnya. Pasti beneran deh, sempat lirik-lirikan sama cewek lain waktu nunggu di lounge maskapai. Coba sekarang kasih tau aku, delaynya berapa lama? Jangan-jangan kamu sempat makan-makan cantik ya di Changi?"

"Gue cuma bercanda."

"Bohong."

"Serius." Nada suara Sebastian berubah tegas. "Konser kakak lo masuk berita. Lo pasti nggak tau. Gue juga nggak ngerti, karena menurut gue kakak lo nggak seterkenal itu juga. Lagunya masuk standar dunia juga nggak. Tapi itu nggak penting."

"Terus apanya yang penting?"

"You scared the hell out of me." Sebastian merundukkan kepalanya, menatap Suri lekat-lekat. "Gue nyaris nggak bisa berpikir. Gue mencoba menghubungi ponsel lo tapi nggak nyambung. Gue mencoba menghubungi kakak lo si Krucil paling tua itu juga jaringannya sibuk melulu. Lo nggak tau gimana tersiksanya gue nunggu penerbangan gue diberangkatkan di bandara, sendirian, dengan pikiran bakal terjadi apa-apa sama lo."

Suri terdiam.

"Saking paniknya gue, gue sampai nggak sempat mampir ke rumah buat ganti baju. Atau buat mengambil apa yang perlu gue bawa." Sebastian berpikir sejenak sebelum meneruskan. "Your birthday present."

Ucapan Sebastian membuat Suri baru sadar jika cowok itu memang masih mengenakan setelan formal yang biasa dia pakai setiap pergi bekerja. Kemejanya masih rapi, meski agak sedikit kusut di bagian lengan. Sebastian juga tidak lagi mengenakan dasi karena dua kancing teratas kemejanya tidak lagi terpasang. Rambutnya agak sedikit lembab, mungkin karena terkena titik-titik air gerimis yang masih terus turun. Dia berbau seperti hujan, malam dan rasa lelah. Tiba-tiba, Suri merasa bersalah.

"Maaf ya."

"Jangan minta maaf. Apalagi di hari ulang tahun lo."

"Maaf aku udah nuduh kamu yang nggak-nggak. Dan maaf udah mengira yang macam-macam." Suri meringis. "Aku nggak butuh hadiah. Ada kamu disini aja udah cukup buat aku." Gadis itu meneruskan seraya mengeratkan genggaman tangannya pada ujung kemeja Sebastian.

Momen diantara mereka terinterupsi ketika tiba-tiba terdengar deheman seorang wanita, yang refleks membuat baik Sebastian mau pun Suri menoleh ke asal suara. Ternyata deheman itu bersumber dari sesosok perempuan tinggi semampai dengan rambut hitam panjang dan mata biru yang terlihat begitu sureal. Dia jelas indah, namun dengan jenis keindahan yang terlalu surgawi, seperti dia tidak benar-benar berasal dari dunia mortal yang fana. Kulitnya amat pucat dan wajahnya terlihat tidak senang. Meski berdiri di bawah hujan, tidak ada sejengkal pun dari bagian sosoknya yang basah.

"Ehem, tolong hentikan apa yang tengah kalian lakukan dan perhatikan aku sekarang."

"Lo... siapa?"

Sebastian mengernyit, lalu menusuk pinggang Suri dengan jarinya. "Dia bukan hantu, kan?" bisik laki-laki itu pelan.

Suri mengangkat kedua bahunya. "Aku nggak tau. Tapi kalau dia emang hantu penunggu hotel ini, tenang aja. Kamu aman selama kamu mepet-mepet sama aku. Hehe, jadi hangat juga kan kalau mepet-mepet sama aku?"

"Cukup." Sosok itu berkata lagi.

"Kenapa? Lo jomblo ya makanya sensi gitu ngeliat orang pacaran?" Suri justru menggeser tubuhnya kian dekat pada Sebastian. "Tapi lo siapa, deh? Putri Bulan? Eh nggak, deng. Putri Bulan mana ada yang rambutnya hitam kayak blackhole gini. Putri Salju? Tapi emang Putri Salju matanya biru?"

"Bisa aja, sih." Sebastian menimpali. "Putri Salju kan bule."

Suri mengusap rahangnya dengan wajah seperti tengah berpikir keras, kemudian dia manggut-manggut. "Hm, benar juga. Putri Salju itu bule. Tapi sebenarnya nama lo siapa? Atau mau dipanggil Snow White aja? Eh, jangan, deng. Kepanjangan. Dipanggil Shiro aja mau? Tian, Shiro artinya salju, kan?"

"Shiro itu Bahasa Jepangnya putih."

"Oh iya? Tapi anjingnya Sinchan namanya Shiro. Kan karena kayak salju."

"Bukan." Sebastian tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja dia jadi bersedia meladeni semua ocehan absurd Suri. "Dinamain Shiro karena warnanya putih."

"Oh, aku baru tau." Suri berpaling pada sosok berambut hitam yang berada di depan mereka. "Tapi lo juga putih banget, sih. Jadi gue panggil lo Shiro aja, oke?"

Shiro menggeram.

"Jangan tersanjung begitu. Lo bukan makhluk ghaib pertama yang gue kasih nama, kok. Tenang aja. By the way, ada perlu apa nih muncul malam-malam begini? Lo hansip hotel ini apa gimana? Kalau iya, tenang aja. Gue sama pacar gue nggak akan melakukan tindakan di luar batas asusila, kok. Kita cuma lagi kangen-kangenan setelah terjebak long distance relationship selama hampir tiga hari."

"Aku bukan Shiro."

"Terus apa? Akamaru?"

"Akamaru?"

"Anjingnya Kiba. Temannya si Hinata."

"Apa pun itu." Shiro mendelik kesal. "Aku bukan Shiro."

"Terus lo siapa? Jelas bukan Annisa Cherrybelle sih. Annisa Cherrybelle kan udah hijrah sekarang."

Dengan kedua tangan terkepal, Shiro menghentakkan salah satu kakinya yang kemudian membuat perkerasan paving block di sekeliling kolam renang retak seketika. Tindakannya membuat Sebastian melotot, sementara Suri tercekat. "Astaga, lo baru aja merusak properti hotel! Anjir, lo nggak tau kalau itu mahal dan lo bisa dimintain ganti rugi?!"

"Itu tidak penting."

"Iya. Nggak penting buat lo karena lo bisa sim-salabim-abrakadabra hilang bersama angin. Tapi masalahnya, yang ada disini sekarang gue sama pacar gue. Bisa-bisa kita dianggap bertanggung jawab atas kerusakan yang sudah lo timbulkan." Suri berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ada-ada aja hantu jaman now. Tingkah lakunya kayak anak-anak you only live once bala-bala selebram sok hits di Instagram."

"Lo juga termasuk anak jaman sekarang." Sebastian mengoreksi.

"Tapi aku bukan hantu, oke Tian? Sekarang, sebagai pihak yang takut sama hantu, mending kamu diam dulu? Biar urusan ini menjadi urusan antar perempuan." Suri membantah sebelum kembali menoleh pada Shiro—atau siapa pun dia yang sebetulnya menolak disebut Shiro. "Oke, kamu bukan Shiro. Terus kamu siapa? Jelas bukan Raisa, karena dia pasti lagi sibuk bulan madu sama Hamish Daud."

"Aku adalah—"

"Putri Bulan?" Suri memotong, membuat Sebastian memutar bola matanya.

"Sekarang gue mengerti kenapa lo bisa selamat dari kejadian yang dulu-dulu. Hantu-hantu kayaknya nggak ada yang kuat lama ngomong sama lo." Sebastian berujar seraya menyentuh helai rambut di puncak kepala Suri dengan lembut. "Biarin dia selesain omongannya dulu, oke?"

Suri tersipu. "Oke. Shiro, mohon diteruskan."

"Aku bukan Annisa. Aku juga bukan Raisa."

"Dan jelas kamu bukan Isyana atau pun Pevita."

"Oriana Suri Laksita," Sebastian memperingatkan. "Kalau begini terus, bisa-bisa dia ikut bikin dinding kolam renangnya retak karena kesal ngomong sama lo."

"Oke, oke. Tadi itu yang terakhir." Suri manggut-manggut lalu menyambung. "Silakan, Shiro. Waktu dan tempat disediakan."

Dengan wajah memerah akibat menahan emosi, Shiro atau siapa pun yang enggan disebut Shiro, Annisa mau pun Raisa itu berujar dalam suara dalam. "Aku adalah Blanc."

"Hah?"

"Terkejut, hm?"

"Nggak juga, sih." Suri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kalau lo Blanc, berarti lo disini buat No—maksud gue, Nael. Naelnya lagi nggak ada disini, yang ada Sebastian. Tapi Sebastian pacar gue, jadi dia udah nggak ready stock dan nggak bisa lo gebet. Ngerti?"

Sebastian berbisik pada Suri. "Dia siapa?"

"Cewek yang udah seribu tahun ngejar-ngejar Nael. Kamu tau Nael, kan? Orang yang waktu itu kita temuin di depan rumah sakit jiwa, yang sempat bikin kamu cemburu karena lebih ganteng dari kamu itu."

"Dia nggak lebih ganteng dari gue." Sebastian mendengus.

"Idih, cemburu." Suri terkekeh seraya menyentuh pipi Sebastian dengan jarinya. "Tenang. Walau pun Nael lebih ganteng, tapi hati aku kan udah nemplok sama kamu. Jadi aku nggak akan berpaling ke Nael. Paling agak sedikit khilaf-khilaf dikit, lah."

"Apa kata lo?!" Sebastian melotot.

"Pokoknya gitu. Intinya, Shiro udah ngejar-ngejar dia selama seribu tahun. Pokoknya perjuangan Sakura mendapatkan Sasuke aja kalah, deh. Tapi sayang, Shiro nggak ditaksir balik sama Nael kayak Sakura yang dikawinin sama Sasuke. Makanya dia jadi agak-agak sensi kayak cewek PMS seperti sekarang." Suri menjelaskan, dengan pilihan kata-kata yang membuat Sebastian tidak mengerti bagaimana bisa dia jatuh cinta pada gadis berjalan pikir seajaib itu. "Naelnya nggak ada disini. Kalau mau cari Nael, mending cari ke Tanah Abang. Kata Sombre sama Zoei sih, dia lagi senang-senangnya nongkrong di Tanah Abang. Atau ke KFC terdekat."

"Aku tidak disini untuk Noir." Blanc membalas dingin seraya mengangkat salah satu tangannya, lalu dengan satu gerakan, dia membuat Suri melayang ke udara dan menarik gadis itu mendekat padanya. "Aku disini untukmu."

Keluarga Cemara (3)

Dimitrio G. : Oy

Barachandra: Mandi wajib aja dulu, bos

Dimitrio G. : Otak lo kapan beresnya sih? -_-

Calvin Raskara: Kenapa?

Dimitrio G. : Liat ke luar jendela deh. Ke area kolam renang. Kok gue kayak ngeliat ada cahaya biru-biru gitu ya.

Calvin Raskara: Oit, bentar

Barachandra: Wah, iya benar

Barachandra: Ada syuting video klip apa ya?

Dimitrio G. : Ngaco lo. Mana ada orang syuting video clip dinihari begini

Barachandra: Ada. Gue dulu gitu.

Calvin Raskara: Lo bukan orang normal.

Calvin Raskara: Tapi serius, itu apa ya?

Dimitrio G. : Jagoan Neon turun ke Bumi?

Calvin Raskara: Tri, bukannya yang kebentur pilar itu tangan lo? Kenapa malah jadi otak lo yang geser?

Dimitrio G. : Becanda, Tem. Gitu doang lo sensi

Barachandra: Adik-adikku, ini bukan saatnya bercanda

Barachandra: Berdasarkan analisis gue selaku kakak pertama, gue curiga cahaya itu adalah pertanda tidak baik

Dimitrio G. : Jangan bikin gue deg-deg an

Calvin Raskara: Pertanda apa?

Barachandra: Pertanda kalau........

Barachandra: Cie, nungguin ya?

Calvin Raskara: Jawab, kampret

Barachandra: Pertanda kalau monster tengah beraksi dan demi membela keadilan serta menjaga perdamaian dunia, ranger biru tengah memanggil mega zord

Dimitrio G. : Geblek

Calvin Raskara: Salah gue percaya sama lo

Barachandra: Lemesin aja, Bray

Dimitrio G. : Tunggu bentar

Dimitrio G. : DI BAWAH ADA CULI

Calvin Raskara: HAH?!

Calvin Raskara: ANJIR DIA BERSAMA KODOK ZUMA

Barachandra: Serius lo semua?!!

Barachandra: Anjir

Barachandra: Buruan turun!!!

Read by 2

Barachandra: Read doang ya lo berdua!

Barachandra: Di mana #SuriProtectionSquad saat Suri dalam bahaya seperti sekarang?!

Read by 2

Barachandra: RAKYAT DALAM KEADAAN DARURAT

Calvin Raskara: Udah di lift

Dimitrio G. : Udah di lift. Bareng Malika. Berasa terputih.

Barachandra: KOK KALIAN NINGGALIN GUE?!

Calvin Raskara: Lo kebanyakan bacot

Dimitrio G. : Super sekali, Saudara Malika bin Kecap Bango

Barachandra: ...

Hujan turun rintik-rintik mengguyur Yogyakarta menjelang pukul dua dinihari. Meski suasana nyaris senyap, tapi geliat aktivitas masih terasa. Kebanyakan orang memang tidak memadati jalan, tapi bukan berarti seluruhnya lebih memilih berada dalam ruangan. Meski tidak banyak, ada beberapa yang menghabiskan waktu di angkringan. Mereka bicara tentang hidup, atau sederhananya, hanya merenung di depan segelas kopi dan setumpuk gorengan. Berpikir dalam kesunyian yang membentuk tanya tentang apa itu hakikat kehidupan.

Di luar dugaan, ketiga iblis yang tengah menyamar termasuk ke dalam orang-orang tersebut.

Sebetulnya, Nael tidak berniat nongkrong di angkringan. Apalagi sampai pergi jauh hingga ke Yogyakarta, sebuah daerah yang berada di tengah Pulau Jawa dan dikenal karena kehidupan kotanya yang kental oleh pendidikan serta budaya. Ini semua karena Sombre dan Ernest. Dua senior-junior yang sering terlibat rivalitas di kalangan para undertaker itu ngotot berlomba untuk menentukan siapa yang tercepat saat terbang. Nael, mau tidak mau, mengikuti mereka dan harus pasrah ketika perlombaan tidak berfaedah itu baru terhenti saat mereka tiba di langit Kota Yogyakarta, yang berjarak ratusan kilometer dari titik awal perlombaan di ibukota.

Demi menghibur Nael yang masih kesal dan Ernest yang nyaris kehabisan energi, Sombre punya inisiatif mengajak kedua rekannya mampir ke sebuah angkringan di tepi jalan sepi, di mana dia dibikin takjub dengan menu nasi kucing dan kopi arang yang tersedia. Dengan penuh semangat, Sombre langsung memesankan tiga gelas kopi hitam bercelup arang panas dan tiga porsi nasi kucing ekstra gorengan hangat.

"Ini gara-gara kalian." Nael bergumam pelan masih dengan wajah kesal. "Kita jadi tersasar sampai sejauh ini. Kalian betul-betul konyol."

"Hei, lihat dari sisi baiknya. Kita jadi bisa nongkrong sebentar di tempat yang tidak pernah kita datangi." Sombre berkata dengan suara pelan. "Aku benar kan, Ernest?"

"Tidak." Ernest cemberut. "Aku bukan penyuka makanan mortal atau—astaga, apa itu?!" Ernest tidak bisa menahan diri untuk tidak memekik ketika pria setengah baya pemilik angkringan menghidangkan tiga kopi bercelup arang di depan mereka. Panas dari arang membuat kopi dalam gelas agak bergolak dan pemandangan tersebut tidak gagal membuat ketiga iblis itu menatap takjub.

"Ini keren sekali!" Ernest berseru dengan mata berbinar. "Melihatnya jadi membuatku teringat pada danau yang ada di neraka."

"Ernest, pelankan suaramu!" Sombre memperingatkan ketika dia sadar ucapan Ernest membuat bapak-bapak pemilik angkringan dan sejumlah pengunjung lainnya langsung menatap heran.

"Oke, oke. Aku minta maaf. Aku hanya terlalu... antusias. Ini benar-benar keren. Iya kan, Noir?"

"Hm... memang lumayan keren."

"Kopi ini mungkin bagian paling keren, tapi bukan bagian terbaik." Sombre berujar saat dia membuka kemasan kertas yang membungkus nasi kucing. "Hm, baunya betul-betul enak."

"Aku setuju."

"Tadi kamu bilang kamu tidak suka makanan mortal." Sombre menyindir.

"Kelihatannya... aku salah."

"Apa kataku!" Sombre berseru girang sambil memukul punggung Ernest. "Harusnya sejak dulu kamu bersedia jika kuajak jalan-jalan melanglang buana ke dunia manusia. Kamu pasti menyesal baru bisa mencoba ini semua sekarang."

"Jujur, iya."

"Kalian terlalu banyak bicara." Nael berkata sambil meraih gelas kopinya, namun tepi gelas itu belum lagi mencapai bibirnya ketika dia merasakan sebentuk tanda bahaya yang bersumber dari sebuah titik berjarak ratusan kilometer dari tempatnya berada sekarang. Nael kontan meletakkan kembali gelas kopinya ke atas meja, kemudian tanpa mengatakan apa-apa, dia meraih lengan Sombre dan lengan Ernest. Dua iblis itu menolehkan kepala, tetapi mereka belum sempat memberi reaksi apa pun saat Nael membawa mereka pergi dari tempat itu, membuat mereka bertiga lenyap seketika seolah mereka adalah unsur yang lebur dalam udara.

Tercekat, bapak-bapak penjaga angkringan dan sejumlah pengunjung yang menyaksikan peristiwa tersebut langsung pucat pasi, meski untuk alasan yang berbeda. Wajah mayoritas pengunjung didominasi oleh ekspresi ngeri karena mereka menebak tiga iblis yang baru saja menghilang adalah sejenis dedemit dari alam ghaib. Sedangkan bapak-bapak penjaga angkringan tercekat karena tiga pelanggan itu melakukan tindakan paling tidak bermoral yang bisa dilakukan oleh pengunjung mana pun yang ada di dunia; pergi tanpa membayar.

"Suri!" Sebastian berseru ketika Suri ditarik paksa menjauh darinya dengan cara magis yang kelewat dramatis. Gadis itu melayang ke udara seolah diangkat oleh sebuah tangan tak kasat mata yang membuat hukum gravitasi tak bekerja padanya. Kedua kaki Suri baru menapak kembali di tanah saat Blanc menurunkannya beberapa meter dari tempatnya berdiri. Hujan gerimis masih turun, membuat rambut Suri lembab terkena derai airnya.

"Urusanku adalah dengan kamu, Oriana Suri Laksita." Blanc berujar sambil berjalan mendekati Suri dengan gaya serupa dewi yang baru turun dari langit. Rambutnya amat panjang, tergerai melewati garis pinggulnya dan tidak tampak terpengaruh oleh air hujan.

"Sori, tapi kalau lo berpikir gue mencoba merebut Nael dari lo, lo salah. Gue nggak naksir Nael. Oke, mungkin gue agak terpesona sedikit. Namanya juga cewek, kalau nggak terpesona sama cowok ganteng bisa dipastikan dia lesbi dan gue masih normal. Tapi gue nggak ada niatan untuk menjadikan Nael pasangan hidup apalagi mengejar dia sampai seribu tahun—karena gue juga tau gue nggak bakal bisa hidup sampai seribu tahun." Suri mulai meracau. "Jadi tolong jangan bersikap seolah gue adalah cewek PHO antara lo dan Nael."

"P—HO?"

"Perusak Hubungan Orang." Suri menjelaskan. "Atau PHMG? Perusak Hubungan Makhluk Ghaib? Eh, tapi itu kepanjangan, deng."

Blanc mengibaskan rambutnya. "Tidak lucu."

"Emangnya siapa yang ngelucu?"

"Makhluk mortal hina." Blanc mencibir dengan mata yang disipitkan, dia menatap Suri dengan pandangan jijik. "Aku tidak mengerti kenapa Noir mau melanggar batas hanya untuk menolongmu untuk terbebas dari semua tuduhan yang menjeratmu waktu itu. Kamu bukan apa-apa, melainkan makhluk mortal yang kotor dan rendah."

"Waduh, kalau ngomong suka nggak pake pembukaan ya!" Suri berseru kesal. "Dan hellooooooow, ngapain juga lo kibas-kibas rambut kayak gitu?! Lo kira lo bintang iklan shampo?! Lo kira lo Duta Pantene?!"

"Cukup dengan semua omong kosongmu."

"Lo yang harus berhenti bacot, ngerti?!" Suri berkacak pinggang. "Pantene nggak sebagus itu, ngerti? Treeseme masih lebih bagus dari Pantene. Mau tau buktinya?! Lihat rambut aku." Suri berkata lagi, kali ini seraya mengibaskan rambutnya dengan lagak tidak kalah dramatis serupa Blanc.

Di belakangnya, Sebastian terperangah. "Sur—Suri—lo—"

Suri menoleh sebentar dengan wajah horor. "Tolong jangan ikut campur, Tian. Ini adalah pembuktian harga diri antar perempuan. Kamu harap diam aja."

Sebastian langsung terbungkam, namun perdebatan antara Suri dan Blanc tidak sempat berlanjut lebih jauh karena suara pekikan kompak dari tiga pengacau yang baru datang mengalihkan perhatian Blanc dan Suri sejenak kemudian.

"Jagoan Neon?!"

"Abang Chandra?!" Suri berseru, sementara Sebastian langsung menepuk dahinya, sudah bisa menebak bagaimana semuanya akan bertambah konyol dengan keberadaan trio tim Tong Sam Chong yang baru tiba.

"Culi!" Calvin berseru. "Dia siapa?"

"Dia bukan ranger biru, kan? Soalnya setahu abang, ranger biru itu cowok!" Cetta menimpali.

"Siapa pun dia, dia manis juga." Chandra terkekeh. "Hai, Jagoan Neon, boleh minta nomor teleponnya nggak?"

"Abang, ingat Siena!!" Suri berseru geram. "Sori, abang gue emang suka kalap gitu kalau liat cewek mulus. Meski jelas masih mulusan gue daripada lo."

"Cukup!" Blanc berseru penuh emosi sebelum mengangkat salah satu tangannya ke udara. "Aku akan membawamu."

Ketiga kakak laki-laki Suri dan Sebastian ternganga tidak percaya dengan apa yang kini tengah berlangsung di depan mereka; Blanc berjalan mendekat dan meraih pergelangan tangan Suri. Dia menyentuhnya seperti Suri bukan makhluk mortal dan dirinya bukan makhluk immortal. Tidak cukup sampai disitu, situasi kian memanas ketika sebuah portal muncul sepersekian detik kemudian, di mana Nael, Sombre dan Ernest muncul dari sana.

Dalam interval waktu yang amat pendek, pandangan Nael dan Blanc bertemu. Iris sehitam obsidian terkunci dengan lensa sebiru lautan. Ada banyak emosi yang bergejolak dalam medan yang tercipta diantara kedua mata yang saling menatap, yang kemudian memunculkan senyum tipis di wajah Blanc. Lalu, tanpa aba-aba apa pun, dia lenyap bersama Suri.

Pertama-tama dan paling utama, saya hendak memberitahu bahwa disini, cerita ini tidak disponsori oleh KFC, angkringan, jagoan neon, power ranger, despacito, kecap bango, mi instan, treseeme, pantene, mogu-mogu, indomilk, aqua, teh botol, McD dan kopi arang. semua muncul tanpa endorsement dan tidak ada maksud untuk menjatuhkan pihak mana pun. 

Kedua, untuk yang tinggal di semarang, adakah yang tau tempat penyewaan sleeping bag atau tempat recommended untuk beli kasur pompa yang single (pengen beli onlen tapi takut gue udah keburu cus studio duluan sebelum barangnya sampe kan kampret) 

ketiga, maap kalo jarang posting karena sibuk kuliah, lagi mid-test dan banyak hal urgent yang harus diurus di dunia maya. 

keempat, buat yang baru follow, peringatan yang harus selalu kalian tanamkan dalam sanubari, hati dan pikiran adalah bahwa sesungguhnya renita itu galak luar biasa, jadi jangan menanyakan sesuatu yang tidak sepatutnya ditanyakan dan jangan menyuruh renita ini itu karena renita 

ga 

akan 

peduli 

kelima, akhir kata sekian dan terimakasih. 

keenam, (ini terakhir) gue laper, belum beli makanan tapi sekarang lagi hujan deras. oh, betapa aku butuh pasangan seperti cowok secret yang tau-tau muncul di depan kosan bawa martabak telor mojarela 

keenam bagian dua, gue tau author notes gue nggak berfaedah. tapi biasanya gue menyelipkan informasi di author notes gue (biasanya infonya juga ga berfaedah) jadi itu hak lo untuk skip, tapi gue nggak akan jawab kalau lo nanyain sesuatu dan itu sudah pernah dibahas di author notes. sekian dan terimakasih. 

sampai ketemu di chapter berikutnya 

ciao. 


Published in October 2nd 2017 

Semarang | 19.07

Continue Reading

You'll Also Like

9.9M 1.2M 60
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
798K 57.9K 58
Andra dan Berlian bukan lagi sekadar pengawal dan atasan, tetapi sebelum dapat melanjutkan hubungan mereka, mereka masih harus menghadapi masa lalu y...
169K 14K 36
Ketika persahabatan mereka diuji, apa yang harus mereka lalukan? akankah mereka akan kembali bersama? atau memilih Jalannya masing-masing? dimanakah...
55.9M 770K 11
PINDAH KE APLIKASI FIZZO Hanya kehidupan sehari-hari tentang Kana, cewek super pemales yang tidak mau melakukan semua hal karena dianggap repot. Kes...