NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#24

113K 12.6K 2.9K
By renitanozaria

"Nael?" Suri mengulang, mencoba sejenak mengabaikan suara ketukan yang kian menggila di pintu kamarnya. Ruangan sudah gelap sepenuhnya, hanya samar terlihat garis cahaya bulan yang menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dalam kondisi seperti itu, penampilan Nael justru terlihat kian mengintimidasi. Pakaiannya segelap malam, sementara wajahnya yang serupa patung porselen masih saja kaku dengan wajah beku.

"Nael?"

Pertanyaan Suri tidak terjawab, meski beberapa detik kemudian sosok lainnya muncul di kamar itu. Suri belum pernah melihatnya, tapi dari gaya berpakaian dan bagaimana dia menata rambutnya, mudah bagi Suri buat menebak jika sosok itu adalah teman Nael. Atau Zoei. Entahlah, yang jelas mereka segolongan.

"Jangan tampilkan wajah seperti itu, Noir. Kamu menakutinya."

Nael menoleh. "Aku menyuruhmu menunggu di luar."

"Aku tidak bisa terus-menerus menunggu di luar, terutama kalau kamu mulai bertindak menggunakan emosi seperti sekarang. Apa yang kamu lakukan jelas akan menciptakan kegegeran di dunia makhluk immortal. Orang-orang mati yang jiwanya tersesat itu akan bertanya-tanya, buat apa iblis seperti Noir yang terkenal mau repot-repot datang sendiri hanya untuk menolong makhluk mortal?" Pandangan mata Sombre jatuh pada Suri yang kini menyipitkan mata padanya, lalu laki-laki itu meringis. "Jangan tersinggung. Kamu bukan makhluk mortal tercantik, tapi jelas kamu salah satu yang terunik. Namaku Sombre. Aku adalah kepala para undertaker."

"Undertaker?"

"Iblis yang mengurusi pembukuan kelahiran, hidup dan kematian. Iblis yang memilah data-data tersebut dan kemudian mengirimkan surat perintah pencabutan nyawa kepada jajaran malaikat pencabut nyawa."

"Oh, kayak semacam pegawai Disduk-Capil gitu kali ya kalau di dunia manusia?"

"Dis-duk-ca-pil?"

"Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil." Suri tertawa. "Berarti kamu PNS."

Percakapan mereka terinterupsi oleh suara tenang namun sarat kekhawatiran yang tiba-tiba terdengar mengiringi ketukan yang masih saja berlanjut di pintu kamar Suri yang masih tertutup. "Oriana, ini Ayah. Buka pintunya."

"Siapa dia?"

"Ayah aku." Suri menukas masam. "Lampu kamar meledak. Ada kaca yang pecah. Ayah dan abang-abang aku pasti dengar."

"Well, tapi jelas mereka bisa menunggu sampai kita selesai bicara." Sombre berujar santai, lalu menjentikkan jarinya. Suri mengernyit, hampir tidak merasakan perubahan apa pun kecuali suara ketukan pintu yang terhenti ketika kemudian dia tersadar jika gerak angin pun ikut terinterupsi. Gadis itu memiringkan wajah, menoleh pada jarm besar yang terpasang di tembok kamarnya. Dengan bantuan cahaya bulan, Suri tersadar jika jarum detik pada jam dinding itu turut terhenti.

"Kamu... barusan ngapain?"

"Menghentikan waktu."

"Wow, selain mirip PNS, kamu juga mirip Doraemon."

"Tapi aku tidak suka Dorayaki."

"Kamu tau Doraemon?"

"Dulu pernah menontonnya beberapa kali, karena aku suka karakter Shizuka."

"Oh, aku sukanya sama Dekisugi." Suri jadi bersemangat. "Tapi lebih suka lagi sama Dorami. Dia rajin, suka bersih-bersih rumah. Coba aja Wati kayak Dorami, kayaknya aku bakal bahagia. Sayangnya, Wati justru lebih dablek daripada Nobita."

Wati melotot tersinggung, sementara Nael mendengus keras.

"Tolong hentikan obrolan mortal kalian yang tidak penting."

"Doraemon itu lucu!" Suri berseru.

"Benar." Sombre ikut mendukung.

"Sombre, jika aku mendengar kamu bicara sekali lagi, jangan salahkan kalau aku menendangmu sampai ke kerak neraka paling bawah."

"Oke. Aku diam sekarang."

Suri berdecak. "Nael, jangan galak-galak dong. Tadi pas baru dateng muka kamu asem banget. Kaya kedondong dipanen kemudaan. Aku sampe takut. Kamu kayak marah gitu. Sebenarnya kenapa?"

"Aku memang marah."

"Sama aku?"

Nael menatap Suri sejenak. "Kurasa aku tidak akan bisa marah pada kamu."

"Terus sama siapa?"

"Blanc." Sombre menyahut cepat, membuat Nael melepaskan sebuah dengusan secara refleks. "Ini semua karena Blanc, kan? Akui saja, Noir. Cinta sesurga-senerakamu itu yang sudah membuatmu merasa kesal seperti ini."

"Bukan karena dia, tapi karena apa yang sudah dia lakukan." Nael berkilah. "Apa yang dia lakukan sangat keterlaluan. Tindakannya berujung pada sesuatu yang berbahaya. Aku sudah bisa menebak dia akan melakukan ini, tapi tak menyangka dia akan sampai bertingkah laku sejauh ini."

"Maksud kamu?"

"Kamu ini agak sedikit letoy dalam berpikir kalau untuk ukuran manusia." Sombre mengusap dagunya seraya menatap pada Suri yang balik mendelik. "Jangan marah, Makhluk Mortal. Anggap saja itu pujian."

"Jangan salahin aku, dong. Mana aku ngerti soal surga, neraka dan urusan makhluk-makhluk tidak menapak tanah kayak kalian."

"Tongkat Zetheera dan data dari arsip yang dicurinya dari ruang arsip milik para undertaker jelas telah dia salah gunakan. Hantu-hantu yang datang tadi... mereka pasti datang kesini setelah mengetahui tentang kisah mereka di masa lalu. Mereka ingin bantuan kamu untuk membantu mereka kembali ke atas. Membantu mereka pulang."

"Iya, aku tau."

"Situasi akan memburuk, karena para hantu itu tidak akan hanya mengejar kamu, tetapi juga mengejar makhluk mortal lain yang punya kemampuan sama seperti kamu."

"Berarti Nadine juga?"

"Nadine?"

"Cappucino buatanmu... numero uno!" Sombre tiba-tiba bereru, membuat Nael melotot padanya dengan geram.

"Sombre, sekali lagi kamu menyela percakapan dengan celetukan tidak pentingmu, jangan salahkan aku kalau aku sampai mengambil tindakan radikal."

"Kamu ini benar-benar punya selera humor yang buruk." Sombre mendelik. "Tapi baiklah. Teruskan obrolan serius ala anggota dewan perwakilan rakyat kalian."

"Nadine temanku. Dia juga bisa melihat hantu kayak aku." Suri menerangkan.

"Ini bukan urusan yang sepele." Nael menegaskan, mengerutkan kening sejenak saat dilihatnya Sombre berjalan melintasi ruangan dan duduk di atas kursi meja rias Suri. Seolah tak sadar sedang diperhatikan, laki-laki itu menarik laci meja rias Suri dan mulai mengaduk-aduk benda yang bertumpuk di dalamnya. Menyerah, Nael mengabaikannya dan kembali meneruskan kata-katanya. "Energi manusia dan energi hantu itu bertentangan. Jika mereka berkumpul dalam satu ruangan dengan jumlah yang terlalu banyak dan niat yang tidak baik—seperti yang terjadi tadi—benturan medan energi akan berakibat buruk padamu."

"Aku tau."

"Kalau kamu tidak keberatan, aku bisa memasang rapalan anti hantu untuk melindungi rumah ini."

"Rapalan anti hantu?"

"Tidak akan ada satu pun hantu yang bisa melewati rapalan itu. Cukup bagus untuk perlindungan. Hanya para undertaker yang bisa melakukannya."

"Nggak."

Nael terlihat tak menduga Suri akan langsung menolak. "Kenapa?"

"Karena rumah ini bukan cuma rumahku. Bukan cuma rumah Ayah dan abang-abang. Rumah ini juga punya Wati, Melly dan Mpok Jessica. Aku nggak bisa melarang mereka masuk kesini."

"Oriana Suri Laksita,"

"Pokoknya aku nggak mau. Dan soal bahaya, kayak yang kamu lihat tadi, Wati sama Melly bisa kok melindungi aku."

"Melindungi?" Nael membalas masam.

"Mereka cuma kalah jumlah tadi." Suri beralasan.

"Sori," Wati mendadak memotong pembicaraan. "Tapi menurut saya, kayaknya apa yang dibilang sama Mas—ehm—Noir ini benar. Mending dipasang. Saya sama Melly bisa mengungsi kemana kek gitu buat sementara waktu."

"Kalau aku bilang nggak, berarti nggak." Suri menegaskan.

Nael masih terlihat enggan, tapi akhirnya dia berujar, "Aku menghargai keputusan kamu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu harus hubungi aku. Nomor ponselku sudah kamu terima, kan? Hubungi aku jika ada masalah."

"Tapi katanya nomor itu cuma berfungsi kalau kamu lagi ada di dimensi manusia?"

"Aku akan sering berada di dimensi manusia, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan. Ada banyak masalah yang harus diselesaikan, karena apa yang Blanc lakukan tidak hanya berpengaruh pada kamu, tapi juga pada alam semesta secara keseluruhan. Bahkan pada dimensi makhluk-makhluk ghaib."

"Oh."

"Kamu mengerti?"

"Nggak. Tapi kalau aku bilang aku nggak ngerti, kamu pasti kesal. Jadi aku pura-pura ngerti aja." Suri terkekeh, membuat Nael tertunduk untuk menyembunyikan seulas senyum yang diam-diam merekah di wajahnya.

"Kamu masih saja lucu." Nael menatap Suri, lalu tangannya terulur dan secara tidak terduga jatuh di pipi gadis itu. Suri hampir saja tersentak, karena tangan Nael terasa begitu dingin. Pucat, seperti dia baru saja menggenggam es batu. "Mungkin ini adalah salah satu alasan kenapa aku memutuskan untuk membuka penyamaranku waktu itu demi membantu kamu. Karena kamu memang murni dan tidak pantas diadili tanpa keadilan."

Suri nyengir. "Tapi by the way, Nael, bisa nggak kalau ngehubungin aku, jangan pake simbol-simbol dan emoji alay."

"Alay?"

"Alay tuh kayak... aneh... norak... memalukan. Gitu-gitu, deh."

"Kata Sombre, itu keren."

"Buat aku, itu alay."

Sombre yang sedang duduk di atas kursi meja rias langsung melotot—di depannya, beraneka pernak-pernik milik Suri mulai dari kutek hologram hingga phone case glitter yang sudah lama tak terpakai kini berjajar serupa barang dagangan di pasar loak. "Buatku itu keren."

"Alay, tau."

Sombre menatap tidak puas. "Selera kamu payah."

"Terserah, deh." Suri mendengus, lalu beralih kembali pada Nael. "Aku mau nanya sesuatu tentang Blanc. Boleh?"

"Aku akan menjawab apa yang bisa aku jawab."

"Berarti boleh." Suri tersenyum lebar. "Apa memang sesusah itu nemuin dia?"

"Hm?"

"Kamu hitam, dia putih. Kalian berlawanan. Bukannya yang berlawanan bakal saling tarik-menarik? Contohnya aja kayak Abang Calvin. Dia hitam. Dia tarik-menarik sama Kak Khansa yang putih. Harusnya kalian sudah saling tarik-menarik, mendekat dan ketemu. Kayak kutub magnet."

Nael terdiam dan justru suara Wati yang terdengar.

"Dari mana kamu paham soal magnet?"

Suri melotot. "Aku tuh nggak goblok-goblok banget, Wati."

"Hehehe. Maaf."

"Oke, lanjut." Suri menoleh lagi pada Nael. "Nael... apa kamu masih sesayang itu sama Blanc?"

"Oh, tentu saja. Masih perlu ditanya?"

"Diam, Sombre!"

"Oke, oke. Lagipula aku lebih tertarik mengamati phone case unicorn super aesthetic ini daripada bicara dengan kalian, makhluk-makhluk bermulut tajam. Huf."

"Apa pun yang kurasakan, itu tidak penting, Suri."

"Buat aku penting." Suri bersikeras. "Karena perasaan itu bukan sesuatu yang hanya boleh dipunya sama manusia, kan?"

"Iblis seharusnya tidak begitu."

"Apa yang sebenarnya harus dan nggak harus? Apa yang sebenarnya boleh dan nggak boleh? Sebagian manusia bahkan lebih nggak punya hati daripada iblis."

Nael tak menjawab, dan justru berpaling pada Sombre. "Waktu kita hampir habis. Perbaiki lampunya, Sombre."

"Kamu harus bayar ini nanti."

"Semangkuk mi instan dan segelas kopi cukup?"

"Di kedai makanan milik gadis cantik itu? Sip, deh!" Mata Sombre berbinar senang, lantas dia bangkit berdiri dan menjentikkan jarinya. Seperti disihir, pecahan lampu yang tersebar di seluruh penjuru kamar langsung saling tertarik, berkumpul pada bohlam dan membentuk lampu yang utuh seakan-akan benda itu tak pernah rusak sebelumnya. Dalam sekejap, kamar Suri yang semula temaram kembali terang-benderang. Sesuatu yang sama turut terjadi pada jendela kamar yang rusak.

"Oy, Makhluk Mortal, aku ambil phone case unicorn ini sebagai bayaran karena sudah memperbaiki lampumu."

Suri melotot. "Jangan, itu hadiah dar—"

"Tetot. Terlambat." Sombre menjulurkan lidah, kemudian menghilang di detik berikutnya bersama Nael. Suri mendengus kesal, tapi tak punya waktu untuk mengomel karena waktu sudah kembali berjalan. Suara ketukan di pintu berlanjut, membuat Suri mau tak mau beranjak dari kasur untuk membukanya.

Begitu pintu di buka, Suri disambut oleh wajah khawatir dari para pria yang tinggal di rumahnya.

"Suri, kamu nggak apa-apa, kan?"

"Hm... emang kenapa?"

"Tadi abang dengar ada suara ledakan. Sama barang pecah."

"Nggak ada. Abang salah dengar kali?"

"Nggak." Chandra ngotot, lalu memaksa masuk ke kamar Suri. "Jelas tadi abang dengar suara kayak kaca yang pec—hah? Kok kacanya nggak pecah?"

"Abang salah dengar." Suri menegaskan. "Dari tadi aku nggak ngapa-ngapain."

Ekspresi tidak yakin mewarnai wajah mereka, termasuk Ayah. Tapi pada akhirnya Ayah hanya menarik napas panjang sambil mengacak pelan rambut di puncak kepala Suri. "Tadi Ayah juga dengar suara seperti suara pecahan kaca. Tapi mungkin kamu benar. Ayah salah dengar."

"Aneh." Calvin mulai berspekulasi. "Terus yang tadi kita dengar itu apa?"

"Abang-abang sama Ayah butuh Aqua. Kalian semua kurang fokus."

"Apa pun itu, tapi ini udah malam." Cetta membalas. "Habis ini langsung tidur, oke Suri?"

Suri tersenyum lebar, lalu menganggukkan kepalanya.

Hari ini Rana hanya punya jadwal satu kelas untuk dihadiri, dan kelasnya dimulai jam satu siang nanti. Jadi begitu bangun, dia tak harus langsung sibuk bersiap-siap. Gadis itu memilih pergi ke dapur rumahnya, mengambil sekotak jus instan dari dalam kulkas dan berjalan menuju halaman depan rumah, tempat dimana ayahnya sedang sibuk melap body vespa hijau kesayangannya hingga mengilap di bawah rentangan dahan rindang pohon beringin. Begitu melihat Rana, Papa langsung berhenti melakukan kegiatannya untuk menyapa anak perempuannya itu.

"Morning, anak kesayangan Papa."

"Morning, Pa."

"Di atas meja ada kiriman paket. Tadi ada abang-abang ekspedisi yang anterin. Katanya buat kamu."

"Oh ya? Tapi aku nggak ngerasa lagi nungguin paket."

"Mungkin dari fans kamu?"

"Pa, tolong ya, aku bukan artis." Rana membalas jengah, lalu meletakkan kotak jusnya di atas meja dan berganti meraih paket tersebut. Daripada paket, kiriman itu lebih mirip dokumen. Tidak butuh waktu lama bagi Rana untuk merobek bungkusnya. Ternyata apa yang ada di dalamnya adalah dua lembar tiket konser Chandra yang akan diadakan sebentar lagi.

"Surat penggemar?" Papa bertanya masih sambil memoles vespanya.

"Tiket konser Barachandra Playboy Karbitan Aryasatya." Rana menyahut dengan ekspresi tak terkesan seraya merogoh saku celana pendeknya untuk mengeluarkan ponsel. Jarinya bergerak lincah di atas layar sebelum akhirnya dia menempelkan benda itu ke telinga. Butuh beberapa kali deringan, hingga teleponnya dijawab. "Halo, dengan Pisang Mojrot disana?"

"Kalau ada penghargaan calon adik ipar paling kurang ajar, mungkin lo bisa jadi pemenangnya, ya." Chandra mendesis di seberang sana. "Kenapa?"

"Lo ngapain deh ngirimin gue tiket konser lo yang nggak mutu ini? Tiketnya nggak laku, ya? Banyak yang nyisa? Nggak ada yang mau beli. Wajar, sih. Coba deh lo gaet Afghan kek, Tulus kek, atau Raisa kek. Biar menarik penonton. Fanbase lo kagak gede-gede amat udah gaya-gayaan bikin konser tunggal."

"Sori ya, tapi tiket konser gue udah pada sould out dimana-mana. Bahkan sampai ada yang bikin petisi minta kuota penonton diperbesar. Gue emang sepopuler itu, Rana Sayang."

"Tunggu sama Dimi tau kalau lo manggil-manggil gue 'sayang'."

"Dia nggak bakal tau, kecuali lo ngasih tau, which is nggak mungkin karena lo masih marahan sama dia."

"Kampret banget lo."

"Lagian, betah amat kali marahan."

"Itu urusan gue." Rana menukas sambil menatap tiket konser Chandra yang ada di tangannya sekali lagi. "Hm, apa tiket konser lo gue lelang aja ya. Biasanya dekat-dekat konser tuh banyak yang cari tiket. Mana ini VVIP pula, termasuk backstage pass. Lumayan, gue bisa beli sneaker baru kalau gue jual."

"Heh, jangan berani-beraninya ya!" Chandra berseru secara otomatis. "Dateng, Nyet. Dateng."

"Kalau gue monyet berarti lo simpanse."

"Apa pun itu. Dateng, dong."

"Kalau kayak gini, gue jadi curiga, deh. Jangan-jangan selama ini lo naksir sama gue, ya? Tapi sayangnya gue udah keburu diembat sama adik lo."

"Idih, ge-er. Bukan cuma lo, sih. Khansa juga gue kirimin tiket. Sebagai putra sulung Keluarga Wiraatmaja yang baik, gue selalu berusaha agar adik-adik gue dan adik-adik ipar gue selalu akur."

"Sebastian dikirimin tiket?"

"Nggak. Tapi gue kirimin Sergio tiket."

"Jadi sebenarnya calon adik ipar lo Sebastian atau Sergio?"

"Gue sih lebih merestui Sergio." Gelak tawa Chandra lantas menggelegar. "Dateng, woy. Awas aja kalau nggak."

"Males."

"Siena dateng, loh. Katanya lo mau melindungi dia dari segala marabahaya."

"Oh iya, benar juga."

"Fix berarti, intinya lo datang. Nanti pas konser, jangan lupa bawa banner gue yang gede."

"Males."

"I'll see you then, calon adik iparku yang mungkin saja tidak jadi adik iparku."

"Sialan lo ya."

Chandra tertawa terbahak-bahak, lalu menyudahi obrolan telepon mereka. Rana memasukkan kembali ponsel ke saku celananya. Gadis itu baru berniat untuk kembali masuk ke dalam rumah saat celetukan Papa menghentikan langkahnya.

"Lagi marahan sama Dimitrio ya?"

"Nggak."

"Nggak salah lagi."

"Abis, Papa tau sendiri dia cemburuannya kayak apa. Dia photoshoot rangkul-rangkul cewek, aku diam aja. Biasa aja. Aku jalan sama Gie lupa bilang ke dia, langsung marah-marah nggak jelas. Sebel."

"Cemburu itu tanda cinta. Lagian kamu juga senang kan dicemburuin?"

"Nggak banget."

"Kirana, kirana. Kamu tuh kalau ngeles bisa banget. Kamu juga suka cemburu sama Dimitrio. Kata ayahnya, Dimitrio nggak pernah terima endorse dari Calvin Klein sama susu pembentuk otot gara-gara kamu."

"YA IYA SOALNYA DIMI BUKAN COWOK MURAHAN."

"Tapi dulu waktu Papa jadi petinju dan perutnya kemana-mana kamu senang-senang aja, tuh."

"Papa kan beda. Perut Papa dulu bagus. Kotak-kotak kayak roti sobek. Perut Dimi kayak slime kadaluarsa."

"Baikan gih sama Dimitrio."

"Papa!"

"Kenapa?"

"Papa ngomong gitu kayak aku nggak laku aja. Kayak nggak ada cowok di dunia ini yang mau sama aku selain Dimi."

"Cowok lain banyak. Tapi Papa tau anak Papa cuma mau sama Dimitrio. Iya, kan?"

Mata Rana menyipit curiga. "Papa disogok berapa sama Dimi?"

Papa tertawa keras, membuat Rana jadi sebal.

"By the way, Papa mau nanya, dong. Menurut kamu, kalau Papa ikut piara burung kayak Ayah Kelana, gimana?"

"Nggak usah!" Rana membalas cepat.

"Loh, kenapa?"

"Papa udah punya burung!" Rana berujar keki sambil berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah-langkah lebar.

"Mas Tian sehat, kan?"

Sebastian masih sibuk mengamati deretan foto-foto yang Suri kirimkan padanya—bersama sejumlah hewan mungil di sebuah tempat penitipan dan perawatan hewan yang gadis itu kunjungi hari ini—saat suara Sasha mengejutkannya. Kepalanya spontan tertoleh, hanya untuk mendapati Sasha tengah memandangnya dengan wajah heran bercampur penasaran. Sebastian buru-buru memasang ekspresi wajah sedingin mungkin, seperti biasanya.

"Kenapa?"

"Dari tadi Mas Tian nggak berhenti senyam-senyum sambil ngelihatin HP."

"Saya sehat." Sebastian membalas tegas. "Cuma... baru dapet kiriman foto dari pacar aja."

Wajah Sasha kontan berubah pahit. Sebastian tau ini jahat, tapi kelihatannya dia harus memperjelas posisi Sasha dan statusnya. Bahkan setelah bertemu dengan Suri waktu gadis itu datang ke kantornya, Sasha tetap tidak bersedia mundur teratur. Dia masih kerap mencoba mencari perhatian Sebastian, dan terus-terang saja, itu bukan sesuatu yang membuat Sebastian nyaman.

"Oh." Sasha terlihat tidak mau membahas lebih lanjut. "Makan siang nanti Mas Tian mau makan di—"

Kata-kata Sasha terputus ketika Dinan, teman sekantor Sebastian dari divisi dan lantai yang berbeda menghampiri meja Sebastian.

"Bas, lo dicari sama Pak Adjie."

"Kenapa?"

"Mana gue tau. Tapi yang jelas lo ditunggu di ruangannya sekarang."

"Oke." Sebastian mengiyakan, lantas tanpa melihat lagi pada Sasha, laki-laki itu beranjak dan berjalan menuju lift yang ada di lantai tersebut. Kantor Pak Adjie yang dimaksud berada dua lantai di atas lantai tempat Sebastian bekerja. Tidak butuh waktu lama, dia pun tiba disana. Pak Adjie sedang duduk di belakang mejanya yang rapi—meski penuh dengan tumpukan berkas dan beberapa benda yang bersifat personal seperti foto keluarganya dan foto anak-anaknya—ketika Sebastian masuk.

"Bapak memanggil saya?"

"Iya." Pak Adjie menjawab ramah. "Saya ada acara di Singapura nanti. Berkaitan dengan kerja sama antara perusahaan Indonesia dengan perusahaan yang ada di San Fransisco. Kita sengaja ketemu di Singapura karena lebih dekat dan well, Singapura juga terkenal karena mice tourismnya yang bagus. Melihat dari prestasi kamu di kantor sejak kamu masuk hingga sekarang, saya rasa tepat kalau saja mengajak kamu untuk turut memberi paparan pada pertemuan itu. Kamu bisa, kan?"

"Kapan, Pak?"

"Minggu depan."

Shit. Sebastian merutuk secara spontan, karena apa yang terpikir olehnya begitu mendengar kata minggu depan adalah ulang tahun Suri.

"Sebastian?"

Sebastian menghela napas. Dia jelas tidak punya pilihan lain, terutama jika yang memintanya adalah seseorang dengan posisi seperti Pak Adjie. Terutama ketika pertemuan tersebut melibatkan perusahaan induk mereka yang berbasis di Amerika Serikat.

"Oke, Pak." 


notes: MICE TOURISM = Meetings, Incentives, Conferencing, Exhibition, sub-tourism yang berhubungan dengan penyediaan tempat untuk rapat, konferensi dan exhibition baik untuk kepentingan komersil dan pendidikan. (BUSET NYET KAYA BERPENDIDIKAN BANGET GW) 

Halow. 

Tadinya gue mau posting minggu atau senin, tapi tiba-tiba tersadar kalau ternyata sudah seminggu gue tidak posting. 

maaf toh ya. 

Tapi gue lagi happy akhir-akhir ini. entah kenapa. haha, dan gue harap kalian semua juga happy. buat yang masih sekolah, rajin belajar ya. gaul nggak apa-apa, tapi bukan berarti lupa punya dengan kewajiban dan lupa beretika. maksud gue, anak-anak jaman sekarang tuh kayak kurang bisa menempatkan diri, harus gimana pas sama teman, harus gimana pas sama orang tua, harus gimana sama orang yang lebih tua dan harus gimana ketika ada dalam situasi resmi. 

I mean, Im cursing a lot, tapi di kampus gue tetap pake saya-anda. aku-kamu kalau sama temen yang nggak deket-deket banget. baru omongan ga terkontrol sama orang-orang terdekat aja wkwk. 

buat yang kerja, semangat supaya bisa beli apartemen di meikarta *kenapa jadi iklan* buat yang sudah berumah tangga, semoga bahagia selalu wkwkwk 

oke deh sekian, i'll see you in the next chapter 

ciao. 


Published in September 9th 2017 

Semarang | 19.47


Continue Reading

You'll Also Like

621 96 27
[ter·beng·ka·lai] Rank: #1 in Kata (dari 15,6 rb) 14/01/24 #40 in Puisi (dari 75,6 rb) 14/01/24
349 54 11
'Bibliosmia', aroma khas kertas. Aroma buku baru pada kumpulan cerita, kisah, dan legenda yang belum pernah kalian baca sebelumnya. Maka, jangan rag...
21.5K 2.2K 68
Hanya kata sederhana ☺ Cover by : @Delta_Y
885K 123K 50
Menjadi mantan wanita malam membuat Kania merasa tak pantas jatuh cinta pada Theo, si pria istimewa pengidap sindrom asperger. Namun, ketika Theo mem...