NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#23

124K 13.6K 4.2K
By renitanozaria

Hari membosankan lainnya berlalu begitu saja, dan tanpa Suri sadari, begitu dia melangkahkan kakinya keluar dari ruang kelas, matahari sudah meninggi. Terpa cahayanya terasa tajam dan panas di kulit. Gadis itu membuang napas pendek sambil melihat pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Hampir tengah hari, yang artinya sebentar lagi jam makan siang akan tiba. Sayangnya, dia tidak punya teman makan siang hari ini.

Siena tengah sibuk dengan berbagai kegiatan barunya semenjak menjadi mahasiswa, berbeda dengan Suri yang cenderung pasif dan lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah selepas kelas, atau paling banter jalan-jalan sejenak di mall. Selain itu, departemen mereka juga berbeda, meski teknisnya masih berada di fakultas yang sama. Jika tidak sibuk mengurusi masalah tetek-bengek mahasiswa aktifnya, Siena bakal lebih sering menghabiskan waktu bersama Chandra, entah itu menemaninya selama berlatih di studio—just for your information, sebentar lagi Chandra akan menggelar tur konser tunggalnya yang direncanakan dilangsungkan di beberapa kota sekaligus di Indonesia—atau pergi bersamanya ke mall untuk membeli beberapa benda kecil seperti topi atau scarf yang nantinya akan Chandra bagikan untuk penggemar yang beruntung pada acara konsernya. Bukan berarti Suri tidak suka Siena dekat dengan kakaknya. Setelah menyaksikan bagaimana Chandra perlahan berubah selama setahun belakangan, Suri mulai merasa dia tak punya alasan yang cukup masuk akal untuk tetap melarang Siena dekat dengan Chandra. Hanya saja, jika begini, di tengah situasi hubungannya dengan Sebastian yang tak kunjung membaik, Suri merasa kesepian.

Well, mungkin ini semua memang salahnya yang terlalu aneh dan creepy untuk punya teman baru.

Suri sempat berpikir untuk menyambangi Sergio di departemennya, berniat memaksa cowok itu menemaninya makan siang ketika langkah kakinya terhenti bertepatan dengan matanya yang menatap pada satu sosok tinggi berjaket hitam. Orang berjaket hitam itu balik menatapnya dengan ramah, terlihat nerdy namun stylish dengan kacamata berbingkai bulat yang bertengger di batang hidungnya. Suri mengerutkan dahi, melontarkan sebuah gumam pelan.

"Abang?"

"—yang terganteng." Cetta terkekeh. "Kenapa kelihatannya murung banget? Nggak ada teman makan siang?"

"Abang ngapain disini?" Suri justru balik bertanya.

"Mau jemput adik abang yang paling cantik sekaligus ngajak adik abang makan siang." Cetta nyengir. "Kenapa? Kok kayak kaget gitu? Emang abang nggak boleh ngajakin kamu makan siang? Dulu juga kita sering banget makan siang bareng, kan? Hampir tiap hari malah."

"Hampir tiap hari sampai abang berhenti jemput aku di sekolah karena pacaran sama Kak Rana." Suri menyentakkan kepala. "Abang masih marahan sama Kak Rana?"

"Suri, abang nggak mau bahas itu."

"Idih, berarti masih. Lama banget, sih? Nanti kalau Kak Rana diambil orang, eh abang nangis termehek-mehek."

"Suri," Cetta cemberut, membuat Suri tidak bisa tidak melepas gelak sedetik kemudian.

Kakak-beradik itu akhirnya meninggalkan kampus. Mereka sempat berdebat sejenak tentang tempat yang akan mereka kunjungi siang itu, tapi akhirnya Cetta mengalah dan mengemudikan mobilnya menuju sebuah restoran steak yang berada tidak terlalu jauh dari kampus Suri. Mungkin karena hari ini bukan akhir pekan, restoran itu tidak terlalu ramai. Sesuatu yang patut disyukuri, karena setidaknya Cetta tidak perlu pusing meladeni deretan gadis-gadis abege yang mendekatinya untuk minta foto bersama. Memang, masih tetap ada yang meminta mengambil foto bersamanya, tapi jumlahnya tidak membuat Cetta pusing sampai-sampai kepingin membenturkan kepalanya ke kusen jendela.

"Abangku memang sabar-sabar ya kalau sudah urusan ngeladenin cewek-cewek buat foto bareng." Suri berkata sambil membuka-buka buku menu, membuat salah satu alis Cetta terangkat.

"Maksud kamu?"

"Nggak Abang Chandra, nggak Abang Calvin, nggak Abang Cetta. Kalau ada cewek minta foto bareng pasti diladenin. Memang, gen genit sepertinya mengalir di badan abang-abang dari lahir."

"Bukan gitu, Suri. Abang ngerasa nggak sopan aja kalau menolak."

"Alah, alasan. Abang Calvin yang bukan selebgram aja santai banget kalau diajakin foto bareng. Malah paling rajin pose. Yah, meski pun Abang Calvin suka nggak mau diajak foto bareng kalau nggak pake aplikasi B612 atau Candy Camera."

"Malika tuh hitungannya selebgram tau. Cuma nggak dimanfaatin aja sama dia."

"Padahal Abang Calvin nggak ganteng-ganteng amat."

"Emang nggak ganteng." Cetta menyahut pongah. "Kalau urusan ganteng sih, malaikat juga tau siapa yang jadi juaranya."

"Juaranya tentu Sebastian Dawala."

"Dih." Cetta mencibir. "Intinya, abang foto bareng orang-orang karena emang abang nggak enak nolaknya."

"Bahkan sama cewek?"

"Bahkan sama cewek."

"Kak Rana nggak cemburu?"

Cetta terdiam.

"Nggak adil. Abang cemburuan sama Kak Rana, tapi Kak Rana nggak boleh cemburuan sama abang."

"Kak Rana juga cemburu."

"Cuma sama Irene Mandala yang dulu berapa kali pernah foto endorse bareng abang. Sisanya, Kak Rana santai-santai aja tuh. Malah kadang bantu fotoin."

"Culi, jangan ngomongin Kak Rana, dong."

"Tapi abang cemburu sama semua cowok yang deket sama Kak Rana. Bahkan sama abang tukang ketoprak."

"Culi!" Cetta merengut. "Nggak gitu."

"Lama-lama bokapnya Kak Rana juga abang cemburuin."

"Kalau bokapnya Kak Rana sih abang nggak berani. Hehehe." Cetta meringis, teringat pada ayah Rana yang mantan atlet tinju nasional dan sempat berlaga hingga jadi juara tingkat dunia sewaktu dia masih lebih muda.

"Iya. Kalau abang nyolotin bokapnya Kak Rana, abang bisa dijadiin daging gepuk."

Mata Cetta menyipit. "Kamu kayaknya senang banget ngeledek abang hari ini."

"Emang. Udah lama nggak ada hiburan. Lagian abang genitnya kelihatan. Berlagak sok ramah dan sok nggak enak. Giliran aku yang diajak foto bareng aja, abang langsung nolak. Banyak alasan ini-itu."

"Kamu perempuan Suri. Nanti kalau foto kamu beredar bebas di internet, dilihat sama pedofil, nanti kamu diculik, gimana hayo? Nggak, deh. Mending nggak usah."

"Abang lebay."

"Karena abang sayang kamu." Cetta menyahut. "Lagian itu nggak lebay. Tau Michael Jackson, nggak? Dulu aja waktu anak-anaknya masih kecil, Michael nggak nunjukkin muka anak-anaknya di depan publik. Anak-anaknya ditopengin semua kayak ninja. Soalnya takut diculik."

"Abang kebanyakan alasan. Persis kayak Abang Chandra. Tapi lebih enak ngobrol sama Abang Chandra."

"Kok gitu?" wajah Cetta langsung berubah muram.

"Soalnya Abang Chandra lebih dodol dari abang. Jadi kalau aku debat paling reaksinya cuma 'iya, iya' aja. Abang Cetta lebih banyak bantahnya."

"Ah, Chandra mah emang goblok dari dulu."

"Abang, nggak boleh ngomong gitu."

Cetta nyengir. "Sori, Culi."

"Abis makan siang kita ke studionya Abang Chandra, yuk?"

"Nggak bakal boleh masuk." Cetta mengambil alih buku menu dari tangan Suri yang sudah selesai memilih. "Tadi abang udah kesana. Nggak boleh masuk, soalnya udah ada Siena yang nemenin. Malika paling juga sibuk janjian sama ceweknya. Atau janjian sepedahan bareng calon mertuanya weekend nanti. Gercep abis emang itu benda hitam. Takut nggak dapet cewek yang kayak Khansa lagi kali ya kalau yang ini sampai lepas."

"Oh, pantesan abang nyamperin aku. Ternyata aku pilihan terakhir buat abang."

"Bukan gitu. Kamu hobi banget berburuk sangka sama abang?"

"Wajar." Suri melipat tangan di dada. "Makanya, buruan baikan sama Kak Rana. Kalau Kak Rana sampai lepas, abang bisa merana seumur hidup."

"Jangan salah ya, banyak yang mau sama abang."

"Banyak yang mau karena abang ganteng. Coba kalau udah pacaran terus lihat semua kejelekannya abang, soal bokser abang yang masih bergambar tokoh kartun, soal playlist lagu abang yang ada lagu Rhoma Iramanya. Pasti abang langsung diputusin, dan itu berlaku buat cewek mana pun. Kecuali Kak Rana."

Lagi-lagi, Cetta hanya bisa cemberut.

"Abang nggak minat bahas itu."

"Terus mau bahas apa?"

"Gimana kalau kita mulai bahas soal omongan kamu semalam?"

"Omongan aku yang mana?" Suri justru melempar tanya.

"Omongan kamu sama entah-siapapun-itu-yang-nggak-ada-wujudnya di kamar kamu semalam."

Mata Suri terbelalak. "Abang nguping?!"

"Nggak sengaja dengar. Lagian kamu ngomongnya keras banget. Sekarang kasih tau abang, apa maksud omongan kamu semalam?"

Suri terdiam, merasa seperti pencuri yang baru tertangkap basah.

"Culi, abang ngomong sama kamu, loh."

"Semuanya sesuai kayak yang abang dengar."

"Abang nggak ngerti."

"Ceritanya panjang, abang. Kalau aku ceritain sekarang, sampai maghrib juga nggak bakalan kelar."

"Abang lagi nggak mau bercanda soal ini, Suri." Wajah Cetta berubah serius, membuat Suri terbungkam seketika. Setiap kali melihat Cetta yang berekspresi seperti itu, Suri justru teringat pada Ayah. Rasanya seperti dimarahi oleh Ayah karena tertangkap basah melakukan kesalahan besar. "Apa pun itu, yang jelas abang nggak suka kalau kamu terlibat bahaya lagi. Kejadian kemarin udah cukup buat keluarga kita. Semua orang khawatir sama kamu. Even belalang sembah itu. Kamu mau bikin kita khawatir lagi?"

"Maksud abang?"

"Iya, kita semua khawatir banget waktu itu."

"Bukan soal itu." Suri mengoreksi. "Tapi soal Tian. Dia kenapa?"

Cetta menghela napas, terlihat tidak suka membicarakan Sebastian tapi akhirnya dia tetap menjelaskan. "Dia selalu nemenin kamu setiap ada kesempatan. Dia bahkan pernah nggak masuk kerja demi nemenin kamu. Jangan salah sangka. Abang masih nggak setuju kamu sama dia, because surely, my lovely sister deserves better. Tapi dia emang sesayang itu dan sekhawatir itu sama kamu. Paling nggak dari yang abang lihat."

"Oh, gitu."

Ucapan Cetta mau tidak mau membuat Suri kembali memikirkan tentang apa yang dia lakukan terhadap Sebastian selama beberapa hari terakhir. Dia menolak semua panggilan telepon cowok itu, juga tak membalas satu pun pesan yang Sebastian kirimkan. Sampai akhirnya Sebastian berhenti menelepon dan mengirimnya pesan. Suri tidak mengerti apakah Sebastian sudah menyerah atau sengaja memberinya ruang. Namun setelah tau apa yang Sebastian lakukan ketika dia terjebak dalam koma beberapa bulan lalu, Suri merasa dia sudah bersikap terlalu jahat.

Lamunannya terbuyarkan ketika sesaat kemudian, ponselnya bergetar. Ada pesan yang baru masuk ke LINE-nya. Dari Rana.

Rana: Suri, Kak Rana boleh minta tolong? Tanyain sama Dimi, dong. Dia udah makan siang atau belum? Kalau belum, marahin aja. Kalau bisa yang galak. Makasih, Suri sayang.

Suri mengembuskan napas pelan. Ada tanya yang perlahan lewat dalam benaknya. Sebetulnya apa yang lebih berarti? Rasa atau gengsi yang terlampau tinggi?

Satu hari lainnya lewat dan Suri masih belum menghubunginya lagi.

Sebastian mengembuskan napas lelah sambil merebahkan tubuh ke atas ranjangnya sesaat setelah dia keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang masih meneteskan air langsung membuat seprei pelapis kasurnya basah, tapi Sebastian tidak peduli. Matanya menatap langit-langit kamar dengan muram, lantas telapak tangan kanannya mengusap permukaan kasur dengan perlahan. Beberapa bulan yang lalu, gadis itu pernah terbaring disini. Matanya tertutup, dengan kulit sepucat pualam yang membuatnya terlihat lebih mirip boneka daripada manusia.

Apakah Sebastian egois jika untuk sesaat, dia berharap Suri ada disana? Dalam sosok nyata, bukan hanya pada sebentuk jejak hampa yang sisanya bahkan tak lagi tertinggal di udara. Sebastian berpikir sejenak, mempertimbangkan untuk mengisi vas bunga kosong di atas nakas dengan beberapa tangkai anyelir dan mawar sekedar untuk mengingatkannya pada kehadiran gadis itu.

Lalu dia berdecak. Oh, betapa fatalnya kerusakan yang bisa diakibatkan oleh sebuah reaksi kimia bernama cinta. Kini dia jadi melankolis, jadi sesuatu yang bukan dirinya. Terimakasih untuk gadis itu dan bagaimana dengan jahatnya dia menolak semua pesan serta panggilan telepon dari Sebastian selama berhari-hari. Menggerutu pelan, Sebastian meraih ponsel. Sesaat setelahnya, matanya terbuka lebar-lebar tatkala menyadari ada tiga panggilan tak terjawab pada catatan log telepon ponselnya.

Tiga panggilan tak terjawab itu semuanya berasal dari nomor Suri.

Tanpa pikir panjang, Sebastian balik menelepon. Dering demi dering terdengar, diiringi oleh bisik memohon Sebastian. Please... you have to answer. Please.

Sebastian merasa seperti baru saja menang lotre satu juta dolar ketika Suri menjawab teleponnya pada dering kelima.

"Halo."

Shit. Shit. Shit. Sebastian merutuk. Damn, I miss that voice too much.

"... halo."

"Tian?"

"Lo nelepon gue?"

"... iya."

"Kenapa?" Sebastian berusaha keras agar suaranya terdengar senormal mungkin.

"Aku..." Suri terdengar ragu, tapi akhirnya dia tetap bicara. "Aku mau minta maaf."

Hell no, Love. No. It was my goddamn mistake. You don't need to say sorry. Please, sweetheart, don't say sorry when it was entirely my fault.

"Maaf buat?"

"Semuanya."

Sebastian terdiam. Oh, betapa dia ingin mengatakan serentetan kalimat itu. Betapa dia ingin menyebut gadis itu dengan semua sebutan paling manis yang dia tau. Tapi lidahnya terasa kelu, seperti ada tulang yang secara magis tumbuh disana.

"Aku tau aku udah jahat sama kamu. Aku salah. Aku minta—"

"I was wrong." Sebastian memotong. "Semuanya salah gue. Bukan salah lo. Orang yang seharusnya minta maaf itu gue, bukan lo."

"Aku udah maafin kamu, kok." Bahkan hanya dengan mendengar suaranya, Sebastian bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Suri sekarang. Dia pasti sedang tersenyum.

"... thankyou."

"Anytime, Tian. Anytime."

Sebastian benar-benar ingin menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Tapi tidak bisa. Mereka terpisah jarak yang cukup jauh.

Atau... mungkin tidak sejauh itu?

"Lo dimana sekarang?"

"Di rumah."

"Di kamar?"

"Di balkon." Suri tertawa kecil. "Keluar, deh. Langitnya lagi bagus. Beda kayak kemarin-kemarin. Malam ini langitnya nggak mendung. Jadi bintangnya kelihatan. Bagus banget."

"Stay there."

"Hm?"

"I'll go to you."

Suri tak menjawab, tapi hubungan telepon mereka masih belum terputus. Sebastian sengaja membiarkannya menyala, lalu secepat kilat bergerak keluar dari kamarnya setelah menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Sergio masih berada di kamarnya, sementara Mami sibuk mengerjakan entah apa di dapur. Bagus, Sebastian jadi tak perlu beralasan hendak pergi kemana. Begitu tiba di garasi, cowok itu langsung bergerak masuk ke mobil, menyalakan mesinnya dan menyempatkan bicara pada telepon sebelum mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah.

"Jangan dimatiin, oke?"

"Kamu... ngapain?"

"Just listen to... this." Dan hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian menekan satu tombol pada perangkat sound system mobilnya, membuat sebuah lagu langsung mengalun memenuhi seisi mobil sesaat setelahnya.

I met you in the dark, you lit me up

You made me feel as though I was enough

We danced the night away, we drank too much

I held your hair back when you were throwing up


Then you smiled over your shoulder

For a minute, I was stone-cold sober

I pulled you closer to my chest

And you asked me to stay over

I said, I already told ya

I think that you should get some rest

"Tian... kamu nggak benar-benar mau ke rumah aku, kan?"

"Menurut kamu?"

Hening lagi.

I knew I loved you then

But you'd never know

Cause I played it cool when I was scared of letting go

I know I needed you

But I never showed


But I wanna stay with you until we're grey and old

Just say you won't let go

Just say you won't let go

"Di rumah aku lagi ada tiga abang, loh."

"Hm... terus?"

"Nggak takut dikerjain lagi kayak waktu itu?"

"Just promise me a kiss when I arrive there, then." Sebastian berbisik. "I deserve it."

I'll wake you up with some breakfast in bed

I'll bring you coffee with a kiss on your head

And I'll take the kids to school

Wave them goodbye

And I'll thank my lucky stars for that night


When you looked over your shoulder

For a minute, I forget that I'm older

I wanna dance with you right now

Oh, and you look as beautiful as ever

And I swear that everyday you'll get better

You make me feel this way somehow

"Kamu kerja hari ini?"

"Mmm... yes. As usual."

"Nggak capek kalau ke rumah aku sekarang?"

"Udah terlanjur di jalan."

"Macet nggak?"

"Untungnya nggak." Sebastian tertawa kecil. "I'm driving like a crazy man."

"Jangan ngebut-ngebut." Suara Suri berubah khawatir. "Aku nggak mau kenapa-napa. Ya ampun. Kamu harusnya istirahat di rumah. Nanti kecapekan."

"Lebih capek lagi nahan kangen."

I'm so in love with you

And I hope you know

Darling, your love is more than worth its weight in gold

We've come so far, my dear

Look how we've grown

And I wanna stay with you until we're grey and old

Just say you won't let go

Just say you won't let go

"Kamu kangen aku?"

"Menurut lo?"

"Kangen banget?"

"Somehow, too much. I want to hold you and never let go."

"Wah, berat."

"Kenapa?"

"Kalau gitu, kamu harus manjat balkon aku. Soalnya tadi pas aku lihat, abang-abang lagi pada ngumpul di ruang tengah."

"Who do you think I am? Pohon mangga aja gue panjat hanya dengan pakai kaus dalam dan bokser buat lo."

I wanna live with you

Even when we're ghosts

Cause you're always there for me when I needed you most

"Jangan manjat. Nanti jatuh." Suri terkikik.

"Terus gue harus ngapain?"

"Masuk aja. Ada Ayah."

"Kalau gue masuk, gue bakal lebih banyak ngobrol sama Ayah daripada sama lo."

"Sekangen itu sama aku?"

"Sekangen itu."

I'm gonna love you till my lungs give out

I promise till death we part like in our vows

So I wrote this song for you, now everybody knows

Cause now it's just you and me till we're grey and old

Just say you won't let go

Just say you won't let go

"I'm here."

"Iya. Aku lihat."

"Jangan melambai kayak gitu."

"Terus aku harusnya gimana? Loncat dari balkon biar bisa dipeluk kamu?"

"Jangan. Jatuh itu sakit."

"Lebih sakit jatuh cinta sama kamu."

"Siapa yang ngajarin lo gombal?"

"Emang udah bakat."

Sebastian berdecak. Sambil masih bersandar pada mobilnya, dia memegang ponselnya ke telinga, tetap bicara pada telepon. Matanya menatap ke atas, pada balkon tempat Suri berada. Sangat cheesy, seperti potongan tak tepat dari film Romeo and Juliet. Namun Sebastian tidak peduli.

"You're right."

"Apanya?"

"It's beautiful."

"Langitnya emang bagus. Bintangnya banyak banget."

"No. Not the sky. But you."

Pipi Suri bersemu diantara temaramnya cahaya. "Gombal banget. Siapa yang ngajarin?"

"Emang udah bakat."

Diam sejenak.

"Oriana,"

"Iya?"

"Smile for me. So I'll come home in peace."

Suri menatap pada Sebastian yang berada di bawah sana sambil tetap menempalkan ponselnya di telinga, lalu pelan-pelan senyum manisnya merekah. "Kayak gini?"

"Beautiful. As usual." Sebastian berbisik, hampir tidak terdengar. "I'll drive you tomorrow morning."

"Oke."

"Oriana,"

"Hm, apalagi?"

"Listen carefully,"

"Iya?"

"Nggak akan gue ulang dua kali."

Suri terkekeh. "Iya."

"Aku sayang kamu."

Sesaat setelah menyaksikan mobil Sebastian berlalu dan menghilang di tikungan jalan, Suri beranjak kembali masuk ke kamarnya. Melly dan Wati ada disana. Mereka tengah melipat tangan di dada, menatap pada Suri dengan pandangan menggoda.

"Cie, udah baikan."

"Cie." Melly ikut-ikutan.

Pipi Suri merona lagi. "Apa sih?"

"Tapi cowok kamu bisa semanis itu ya." Wati berkomentar.

"Iya, kayak Leonardo DiCaprio waktu nyamperin Claire Danes di film Romeo and Juliet."

"Tian jelas lebih ganteng dari Leonardo."

"Cakepan ayang Leonardo kemana-mana." Wati tidak setuju, membuat Suri langsung mendelik padanya. Mereka terlihat sudah siap untuk mulai berdebat panjang jika saja suara keras seperti batu yang baru menghantam jendela tidak mengalihkan perhatian ketiganya. Kepala mereka kompak tertoleh pada jendela, hanya untuk terbelalak kala mendapati apa yang ada disana. Lebih dari tujuh hantu berada di balkon Suri. Beberapa diantaranya pernah Suri lihat. Beberapa diantaranya tidak. Ada ekspresi penuh harap sekaligus memaksa yang buat Suri terlihat agak menyeramkan disana. Gadis itu membatu di tempatnya berdiri, tidak tahu harus mengatakan apa.

"Kalian siapa?!" Wati berseru galak sambil berkacak pinggang.

Bukannya menjawab, hantu-hantu itu justru saling berpandangan dan mulai melakukan tindakan radikal. Seperti belum cukup, hantu-hantu lainnya ikut muncul entah dari mana. Jumlah mereka langsung membanyak dalam waktu singkat. Beberapa diantaranya menerobos jendela, membuat kaca jendela langsung pecah berkeping-keping karena medan energi yang terlampau kuat. Suri terperangah, tidak tau harus berkata apa. Untungnya, Wati dan Melly bertindak seperti perisai untuk melindunginya. Mereka berusaha mengusir hantu-hantu itu menjauh. Wati bahkan terlibat adegan jambak-menjambak seru dengan salah satu hantu. Namun jumlah mereka terlalu banyak, dengan cepat Wati dan Melly kalah jumlah. Lampu kamar mulai berkedip-kedip hingga akhirnya mati sepenuhnya diiringi suara letusan yang membuat Suri mendengar suara-suara kaki-kaki menapaki anak tangga.

Kaki-kaki itu pasti milik ketiga kakak laki-laki dan ayahnya yang sudah mendengar suara letusan lampu itu.

Suri tercekat, merasa seperti ada gumpalan yang menyumbat tenggorokannya. Dia tetap terpaku, tak mengerti harus melakukan apa ketika salah satu hantu dengan rambut panjang kusut-masai mendekatinya. Tangannya yang pucat dengan jejak-jejak hitam terjulur, mungkin sudah akan menyentuhnya jika tidak ada angin keras yang tiba-tiba datang menyerbu lewat jendela yang kini sudah tak memiliki kaca. Angin itu seakan membawa medan energi baru, karena hantu-hantu yang ada langsung terlempar jauh. Mereka berbalik, menatap nanar pada selubung hitam yang ikut bergerak masuk terbawa angin. Wajah mereka yang pucat kontan berubah gentar begitu selubung hitam itu perlahan membentuk satu sosok.

"Nael?"

Nael tidak terlihat seperti Nael yang biasa Suri lihat. Wajah laki-laki itu terlihat dingin. Matanya menatap tajam, sekelam obsidian dan teramat beku. Dengan sekali tatap, dia mengusir hantu-hantu itu pergi dari dalam kamar Suri. Ada sesuatu yang asing di wajahnya. Entah apa itu. Mungkin... kemarahan? Atau kekhawatiran? Atau justru perpaduan dari keduanya? Suri sulit mendefinisikannya.

Di luar, pintu kamar Suri diketuk berkali-kali diikuti suara ketiga kakak laki-laki dan ayahnya tak berhenti memanggil namanya.

"Nael?" Suri mengulang lagi.

Namun Nael tak bicara. Laki-laki itu masih saja berdiri serupa manekin tanpa nyawa. Wajahnya dingin, seperti menyimpan banyak rahasia. 

Ea gue update dua kali ya hari ini

Pertama-tama, gue mau mengucapkan terimakasih untuk semua dukungan dan apresiasi yang sudah kalian tunjukkan di cerita ini, terimakasih karena sudah mendukung NOIR dan baru dapet kabar kemaren-kemaren kalau ternyata NOIR masuk #Wattys2017 wkwk semoga NOIR bisa menyusul sodaranya JINX yang berjaya di #Wattys2016 yha. Makasih loh. Suri terharu banget. 

Hm, terus... gue bingung mau ngomong apa. Ah ya, beberapa dari kalian suka bertanya 'kak kenapa sih sebastian pake lo-gue ke suri, kaku banget' atau 'kak kenapa begini' atau 'kak kenapa begitu', percayalah, gue punya alasan gue sendiri. sesuatu kalau nggak mudah diberikan, begitu diberikan pasti bakal kerasa lebih spesial. ada saatnya sebastian aku-kamu ke Suri. tapi nggak setiap saat, karena sebastian bukan reksona. ea apa sih gue garing banget. intinya, semua yang gue bentuk disini, mulai dari karakter, gaya pacaran dan lain-lainnya punya alasan tersendiri. dah 

by the way, entah kenapa gue merasa happy banget akhir-akhir ini. i had a good lunch and evening snacks. gue beli masker muka banyak banget (maskeran adalah hobi gue selain makeup-an wkwk), beli liptint baru, beli blush on baru, beli highlighter baru. Sebagian dari kalian nggak bisa berhenti bertanya apakah gue nonton mu-bank atau nggak, apakah gue sedih, apakah bla-bla-bla. apakah gue sedih? anehnya, nggak sama sekali. wkwkwk tugas kuliah gue banyak banget weekend ini, and surely, kuliah gue lebih penting dari oppa. dan entah kenapa gue juga merasa terlalu tua buat nangisin oppa (dan lagi, sebenernya yang cuma menarik perhatian gue jongin doang jadi i dont really care that much, i guess? since jongin once said that his fans have to 'focus more on your study and meet us again proudly in the future') jadi sori kalau gue tidak menanggapi semua message, terutama mereka yang mengajak bertangis-tangisan. i am incredibly happy today. jadi menurut gue gak ada alasan menangis hanya karena masalah sesepele nggak nonton konser? dan jujur ya, gue takut nonton konser sendirian di indo. rusuh banget. meskipun gue galak, tapi badan gue rapuh. olahraga berlebihan aja bikin gue nyeri otot, apalagi desak-desakan diantara fangirl histeris. karena dari itu, nyokap juga tidak memberi izin jadi yha

but here's a little advice. oppa itu hobi kalian. hanya distraksi kalian waktu lagi suntuk. jangan sampai oppa bikin kalian mengorbankan kebahagiaan kalian, mengorbankan hidup kalian. sadarlah, oppa tidak akan mengerjakan tugasmu. oppa tidak akan membantu mengerjakan soal ujian. oppa nggak akan membuatmu masuk ke kampus yang kamu mau. gitu, adik-adikku. ngefans boleh, buta jangan. ea gue ceramah ya. 

oh ya, soal ANC, gue gak unpublish. gatau kenapa ilang aja dia. kayak SR. waktu itu SR pernah ilang, tapi di librarynya amel masih ada dan malah ada dua (karena gue bikin work baru). terus sekarang ANC di gue ilang, tapi di library dia masih ada cuma bab 3 sama bab 6. gue bingung. ini error atau gimana.

oke deh, sekian dariku. aku mau mandi dulu. 

i'll see you in the next chapter 

and ciao


BTW LAGUNYA LAGU JAMES ARTHUR YANG SAY YOU WON"T LET GO YA 


Published in September 2nd 2017 

Semarang | 19.57

Continue Reading

You'll Also Like

885K 123K 50
Menjadi mantan wanita malam membuat Kania merasa tak pantas jatuh cinta pada Theo, si pria istimewa pengidap sindrom asperger. Namun, ketika Theo mem...
24.3K 2.6K 56
Cukup. Hanya itu. Cukup bahagia, cukup tertawa. Hingga kecewa dan sedihpun tak akan terlalu terasa dalam dan menyakitkan. ''Harusnya dulu, gue ga mem...
9.9M 1.2M 60
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
169K 14K 36
Ketika persahabatan mereka diuji, apa yang harus mereka lalukan? akankah mereka akan kembali bersama? atau memilih Jalannya masing-masing? dimanakah...