[Sudah Terbit] I'mmortal Seri...

By PhiliaFate

213K 21.1K 10.1K

[Fantasy & Minor Romance | 15+ | Highest Rank: #23 in Fantasy] "Tidak ada manusia yang hidup s... More

Prakata
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
G I V E A W A Y
Chapter 8
Chapter 9
G I V E A W A Y W I N N E R
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 13.5
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
A S T A G A
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
G I V E A W A Y 2
Chapter 21
Chapter 22
G I V E A W A Y 2 W I N N E R
Chapter 23
Q n A (1)
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
CHAPTERNYA HILANG!
Proses Penerbitan
Q n A (2)
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
AUTHOR NOTE
Airlann: Perjalanan Masa
Aeila: Akhir yang Lain
Airlann: Janji sebelum Mati
NEED HELP!
PENGUMUMAN (lagi)
OPEN PO exclusive Grobmart
OPEN PO part 2 + GIVEAWAY

EPILOG

2K 205 164
By PhiliaFate

Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku terbaring memandangi langit malam yang suram, hitam tanpa bintang. Sekelilingku sunyi dan hembusan angin dingin menyapa kulit.

"Sudah bangun?" Sebuah suara yang familier menyapa.

Ah, aku pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Terbangun dan disambut oleh Maut. Kuhela napas dan mendudukkan diri. Hanya saja kali ini aku berada di tengah kota, gedung-gedung pencakar langit mengelilingiku dan alih-alih padang rumput, aku duduk di atas paving batu bermotif. Suasana di sekitar sepi, hanya ada beberapa pejalan kaki yang baru saja menyelesaikan lemburnya. Lampu jalanan memberikan cahaya yang cukup walau suasana tetap redup.

"Bagaimana dengan kepalamu?" tanya Takuto lagi, dia berjalan mendekatiku. "Apa perlu kupukul supaya kamu sadar?"

Aku mengabaikan ocehannya, masih berusaha menata pikiran. Semuanya masih terasa seperti mimpi buruk yang panjang. Dimensi yang rusak, ceceran darah, dan sentuhan dingin dari tubuh Eibie .... Aku menggenggam tanganku dan masih merasakan kehangatan yang perlahan menghilang. Kututup mata, berusaha mengusir perasaan tidak nyaman. Mungkin itu benar-benar hanya mimpi, aku berusaha mencari pembenaran. Kematian Eibie, darah yang mengaliri tanganku, semuanya tidak nyata. Saat ini dia mungkin sedang menungguku kembali dan aku akan sekali lagi melihat senyumnya.

"Mau ke mana?" Dia bertanya ketika aku berdiri.

"Pulang."

Takuto mengerutkan alis. "Ke mana?"

Aku menghela napas dan menoleh ke arahnya. "Tentu saja ke tempat Eibie berada."

Raut wajah Takuto seketika berubah menjadi kaku.

Aku mendengus. Ada apa dengan dia? Biasanya, Maut akan berubah ceria ketika nama itu disebut dan selalu membuatku kesal. Apa dia tidak tahu kalau rasa sukanya pada istriku terlihat jelas? Tidak mengindahkannya, aku meneleportasi diri langsung ke menara sambil tak sabar untuk melihat Eibie duduk menunggu sambil membaca buku seperti biasa. Mungkin juga dia sedang meramu sesuatu. Hatiku dipenuhi rasa rindu yang membuat senyum mengembang. Ingin sekali aku merengkuhnya dalam pelukan dan mengecup keningnya, lalu akan kukatakan betapa aku mencintainya.

Ketika sekelilingku berubah menjadi tumpukan batu berwarna gelap, aku segera berlari menaiki tangga, membuka pintu kayu dan memanggil namanya.

Kosong.

Kamar itu dingin, seakan sudah lama tidak ditinggali. Tidak ada bola-bola cahaya yang selalu meneranginya di kala malam. Aku berjalan masuk, menolak bisikan kenyataan bahwa orang yang kucari tidak akan pernah kutemui lagi. Tidak menyerah, aku membuka pintu bawah tanah, tempat di favoritnya, di mana dia bisa melihat koleksi artefak dan mencoba sihir baru. Setengah berlari aku menuruni tangga. Semuanya masih sama seperti yang aku ingat, lemari-lemari yang berdiri tegak berisi berbagai macam hal dan aku tahu, di ujung labirin kecil ini aku akan menemukan dia, berdiri membelakangiku lalu aku akan mengejutkannya dengan memeluk ....

Kosong.

Tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada dirinya yang menungguku. Kesedihan merambat pelan di dalam dada seiring dengan kenyataan yang menghantamku tanpa ampun. Aku berusaha menghibur diri, mungkin saat ini dia sedang pergi, menyelesaikan urusannya entah apa, tapi dia akan pulang dan aku akan terus menunggu. Alasan apapun untuk mengusir suara-suara di kepalaku, berkata bahwa dia telah pergi, tapi memori yang menyeruak menjelaskan segalanya. Satu per satu ingatanku terulang, momen-momen terakhirku bersamanya terputar lagi.

Gontai aku berjalan maju, meraih kursi kayu tempat dirinya biasa duduk dan menyandarkan dahiku pada meja. Masih ada sisa wanginya di sana membuat hatiku dibelit sedih. Aku bahkan tidak berani membayangkan dirinya untuk menuntunku berteleportasi, karena aku tahu ... yang kudapati hanyalah kekosongan. Dia sudah tidak ada di dunia.

Tetesan air mata kembali turun dan membasahi meja kayu itu. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup wangi yang tidak akan kutemui di manapun setelah ini.

Aku ingat semuanya.

Tidak ada satu pun yang terlepas dari setiap detik yang kuhabiskan dengannya, bahkan di saat terakhir, ketika dia terlerai dalam genggamanku.

Aku tahu.

Tapi aku lebih suka membayangkan bahwa dia hanya pergi sebentar dan sewaktu-waktu pintu akan terbuka dengan dia berlari turun mencariku. Aku tersenyum pedih karena itu tidak akan terjadi. 

Kuhapus air mata dan berdiri pelan, mengusapkan jari-jariku pada ujung meja, merasakan tangannya yang sering bertumpu di sana. Kemudian berpindah pada botol-botol ramuan penyembuh yang dia sediakan untukku. Bodoh, apakah dia tidak tahu kalau seorang Noxis bisa regenerasi? Aku menyentuh setiap tempat di mana dirinya tersisa. Rak-rak buku, tempat dia memaksa diriku membaca, suaranya yang kecewa ketika aku menolak. Mataku memandangi sekeliling ruangan dan aku masih dapat melihat bayangannya di sana, bergerak di antara lemari dengan gaun putihnya mengayun pelan seiring langkah. 

Perlahan, aku berjalan menuju tangga sambil menyeret memori yang tersisa. Aku meniti setiap sudut ruangan bundar itu, menyentuh lemari tempat terakhir kali dia memasangkan kemeja untukku. Tempat tidur tempat terakhir kali kami menghabiskan waktu bersama dan jendela tempat aku menemaninya menghabiskan malam. Aku berjalan dan duduk di sebuah kursi panjang tempat kami menatap langit. Ketika aku menoleh, aku masih dapat melihatnya tersenyum dan memandangku, rambut coklatnya tertimpa cahaya bulan, membuatnya berpendar, gaun putihnya bergerak pelan tertiup angin. Semuanya terasa nyata, membuatku menggerakkan tangan untuk membelai pipinya. Dia menyandarkan kepalanya untuk menikmati sentuhanku, kebiasaannya yang juga kusukai. Rasa hangat memenuhi hatiku, sebelum tiba-tiba sosoknya menghilang. Kugenggam tanganku sementara hatiku terasa sakit, air mata kembali menggenang.

Aku benar-benar merindukannya.

Ketika sekali lagi aku memandang ruangan itu, aku melihat diriku yang remaja merajuk di dekat lemari, memintanya mengizinkan aku untuk ikut membunuh Soul Eater. Pertama kalinya dia mempercayaiku dengan Soul Wind. Aku tersenyum. Betapa naifnya aku saat itu, berharap bisa membantunya dengan kekuatanku yang tidak seberapa. Bayangan tersebut perlahan menghilang ketika aku mengalihkan perhatianku ke tempat tidur. Seorang anak kecil sedang merengek karena mimpi buruk dan seorang gadis membelai kepalanya lembut.

Aku memegang dahiku, merasakan sentuhannya di sana. Satu per satu kenanganku bangkit, membentuk bayangan-bayangan samar dan suara-suara yang hilang timbul. Aku kembali tersenyum. Dia tidak benar-benar pergi. Dia ada di setiap ruangan tempat kami bersama, dia ada di dalam kenanganku, tertawa dan memandangku penuh kasih bahkan aku masih dapat merasakan sentuhannya. Tapi aku harus mengakui kalau aku merindukannya, sangat.

Perlahan, aku berjalan menuju salah satu lemarinya, mengambil sebuah kotak kayu dan membuka. Ada dua cincin di sana, kami melepaskannya ketika aku akan kehilangan ingatan, sebagai jaga-jaga jika hal ini akan membuat ingatanku kembali. Aku mengambil cincin dengan permata berwarna hijau dan menyelipkannya di jari manisku, tempat terbaiknya, meninggalkan cincin miliknya di sana, sebelum aku teringat sesuatu.

Perjanjianku dengan Takdir.

Aku segera menyambar cincin itu dan berteleportasi ke tempat di mana anak itu berdiam. Nyaris tidak kupedulikan kerlap-kerlip bintang yang membuatku terkagum ketika pertama kali datang. Pikiranku hanya satu, aku harus bertemu Diyn.

"Aku sudah menunggumu." Suara tinggi khas anak kecil menyapaku ketika aku tiba dengan napas terengah.

Dia tersenyum datar di antara huruf-huruf emas yang mengelilinginya. Tenang dan terkendali.

"Aku menagih janjimu," ucapku kembali mendapatkan ketenangan walau jantungku berdetak keras.

Anak itu memandang ke atas, membuatku mengikuti arah tatapannya dan melihat sebuah cahaya berwarna hijau berpendar lembut di antara gemerlap emas, membuatnya terasa salah tempat, aku tidak peduli. Itu adalah hal terindah yang bisa kulihat.

"Dia menunggumu di sini, Pemusnah," ucap Diyn tetap menengadah, senyum tersungging di wajahnya. "Tertidur dan menantimu di sini hingga akhir masa, saat tugasmu selesai."

Aku tersenyum penuh harapan.

"Dan pada saat itu, kita akan kembali bersama dalam keabadian," gumamku pelan dengan janji. 

   END  

Sleep is the rest of the body

Pray is the rest of the mind

and Death is the rest of the Soul

Continue Reading

You'll Also Like

68.5K 9.8K 25
Aku merasa dunia ini membosankan dan memuakkan. Perasaan itu kucurahkan setiap waktu. Untuk pendengar tanpa nama. Lalu pendengar itu menawarkan se...
677K 76.4K 25
[Paranormal & (Minor)Romance] Yume, seorang gadis indigo yang tidak pernah menyukai bakat dari garis keturunan ayahnya, tiba-tiba saja mengetah...
938K 88.9K 58
​Victoria bersama adiknya terjebak di dalam dunia antah berantah berisi makhluk yang hanya mereka dengar di dongeng bernama Esarant, begitu melewati...
25.6K 4.4K 30
A HARRY POTTER FANFICTION [Fantasy-Adventure-Minor Romance] Brianna harus menelan kenyataan pahit ketika mengetahui kalau dunia penyihir seperti di n...