NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#21

116K 13.3K 3.8K
By renitanozaria

Hari ini, Suri pergi ke kampus diantar Cetta, meski satu-satunya kelas yang harus dihadiri oleh kakak ketiganya itu baru akan dimulai menjelang jam tiga sore nanti. Ayah sibuk karena sudah punya janji pergi ke pasar burung bersama Opa Harjo. Laki-laki itu kelihatannya punya hobi baru dan berminat mengadopsi seekor beo cantik seperti Opa Harjo—walau buat Ayah, Beyi akan selalu jadi beo paling cantik di komplek perumahan tempat mereka tinggal. Calvin yang bertugas menjemput Suri saat jam kuliahnya sudah selesai sekaligus mengajaknya makan siang bersama Khansa nanti sudah pergi ke kantornya sebelum jam setengah tujh pagi. Chandra kembali sibuk di studio, konon berencana melakukan konser tunggal pertamanya setelah sekian tahun berkecimpung dalam dunia hiburan Indonesia, baik secara maya maupun nyata.

Jangan tanya Sebastian, karena situasi diantara laki-laki itu dan Suri sedang tidak memungkinkan baginya mengantar Suri seperti biasa.

"Jangan cemberut terus dong, Cantiknya Abang." Cetta berujar sesaat setelah menghentikan mobilnya di pelataran parkir gedung fakultas kampus Suri. "Abang nggak suka lihatnya."

"Kalau aku cengengesan terus, nanti aku dikira gila."

"Kalau kamu cemberut terus, seisi dunia bisa tau kamu lagi berantem sama pacar kamu."

"Aku nggak berantem!" Suri membantah. "Dianya aja yang cemburu buta."

"Cemburu itu tandanya sayang, Culi."

"Abang kenapa, sih?" Suri menyipitkan matanya, menatap pada Cetta dengan penuh selidik. "Abis kebentur tembok atau gimana? Kayaknya abang ngebelain Tian. Bukannya abang justru senang aku berantem sama Sebastian?"

"Abang senang."

Suri cemberut. "Jahat."

"Tapi kamu ngomong seolah-olah cemburu itu salah. Padahal kenyataannya nggak."

Suri mengernyit, lalu sebuah kesadaran menghantam benaknya. "Abang... lagi berantem sama Kak Rana ya?"

"Abang nggak berantem!" Kini giliran Cetta yang membantah. "Kak Rananya aja yang nggak bisa ngehargai perasaan abang."

"Maksudnya?"

"Kak Rana pergi jalan sama temen sekampusnya."

"Kan cuma teman, abang."

"Cuma teman yang sudah lama memendam rasa sama Kak Rana."

"Idih, abang kayak bintang sinetron yang gagal jadi bintang sinetron. Kenapa kemaren-kemaren pas dicasting sama Punjabi Brothers abang sok-sok-an nolak?"

"Culi,"

"Cuma jalan-jalan doang, abang. Buktinya Kak Rana pacarannya juga sama abang, bukan sama temannya itu."

Cetta terdiam.

"Lagian, abang juga kalau foto endorse suka rangkul-rangkul nggak jelas."

"Itu dulu, Culi."

"Mending jalan doang, daripada rangkul nggak jelas."

"Kamu belain Kak Rana?"

"Aku perempuan. Kak Rana perempuan. Jelas aku belain Kak Rana. Cemburu buta itu nggak baik, tau. Lihat aja sekarang aku marah sama Tian. Terus Kak Rana juga pasti marah sama abang, iya kan?"

"Nggak. Abang yang marah sama Kak Rana."

"Yakin? Awas aja kalau nanti abang yang minta maaf duluan."

"Nggak akan terjadi."

"Sekali pun abang harus kehilangan Kak Rana?"

Cetta melengos.

"Ingat dong gimana perjuangan keras abang dulu buat dapetin hatinya Kak Rana. Masa gara-gara gengsi main dilepas aja?"

"Kamu juga," Cetta berdecak, membalikkan kata-kata Suri. "Ingat dong gimana perjuangan keras kamu dulu buat dapetin hatinya itu Belalang Sembah. Masa gara-gara gengsi main dilepas aja?"

"Abang dukung hubungan aku sama Tian?"

"Nggak."

Suri melipat tangan di dada. "Dasar bihun jadi-jadian."

Cetta ternganga syok. "Suri, siapa yang ajarin kamu ngomong kayak gitu sama abang?"

"Kak Rana."

Cetta mengerjapkan mata, menatap ke luar jendela sebelum kemudian membelokkan pembicaraan dengan melepaskan sehelai scarf yang melingkari lehernya. Dalam diam, cowok itu mengalungkan scarf tersebut di leher Suri. Setelah selesai, Cetta menatap adiknya dengan jenis tatapan yang perlahan melembut. "Hari ini mendung. Jangan minum es. Nanti kasih tau abang kalau si Malika ngebawa kamu makan di tempat murahan. Gajinya dia udah gede. Jangan mau ditraktir di McDonald's. Belajar yang rajin, oke? Sekarang sebelum turun, cium abang dulu."

"Kalau nggak mau?"

"Nggak boleh turun."

Untuk pertama kalinya sejak bangun pagi ini, Suri melepaskan sebuah tawa kecil. Gadis itu lantas mencondongkan badan untuk memberikan satu kecupan ringan di pipi Cetta, lalu melangkah turun dari mobil. Dia menjauhi mobil dan bergerak menuju pintu depan gedung fakultasnya sambil melambai dan tersenyum lebar pada kakaknya, tanpa menyadari kehadiran seseorang yang berdiri nun jauh beberapa puluh meter dari sana, dibawah rentangan dahan pohon rindang yang sengaja ditanam di pinggir jalan.

Sebastian mengembuskan napas, merasa lega karena paling tidak dia bisa melihat Suri tertawa. Itu bagus. Setelah melihatnya menangis beberapa waktu lalu karena ucapan Sebastian yang kejam, dia hampir tidak bisa memaafkan dirinya. Itu adalah kali pertama Sebastian mengatakan sesuatu yang membuat Suri menangis.

Perlahan, cowok itu lantas merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel.

It's good to see you laughing. Jangan sedih karena gue, ya. Wish you have a good day.

Sederetan kalimat itu sudah ditulis, tapi seiring dengan waktu yang berlalu, Sebastian justru jadi ragu. Kemudian pelan, jarinya bergerak. Bukan untuk mengirim pesan tersebut pada Suri, melainkan untuk menghapusnya.

"Kamu mau yang mana?"

"Jelas bukan yang warna ungu."

"Hitam?"

"Bosan."

"Lalu kamu mau yang mana?"

"Itu."

Sombre hampir saja berujar nyinyir ketika melihat arah telunjuk Nael yang tertuju pada sebentuk ponsel berwarna rose gold dalam etalase bening. Mereka tengah berada di salah satu sentra penjualan ponsel dan barang-barang elektronik serupa di Jakarta sekarang. Jangan tanyakan Sombre mendapatkan uang dari mana. Dia punya identitas manusia, punya nama manusia, punya rekening atas nama manusianya bahkan sampai kartu kredit. Sebagian besar iblis dan malaikat pasti akan menganggap Sombre terlalu manusiawi, tapi memang begitulah adanya. Selain itu, dia punya hubungan baik dengan beberapa keluarga makhluk dimensi ketiga yang sangat berpengaruh dan beberapa kali berkomunikasi dengan dua klan bangsa Serpent terbesar, Klan Sasmaya dan Klan Diwangka.

Makhluk-makhluk dimensi ketiga bukan penggemar berat gaya hidup ala makhluk mortal seperti manusia, tetapi tentu mereka tidak bisa tidak bersinggungan dengan dunia tersebut. Demi alasan kenyamanan dan kemudahan segala urusan, memiliki harta mortal adalah sesuatu yang penting. Di dunia iblis, malaikat dan makhluk-makhluk supernatural, uang hanya tumpukan kertas berharga.

Ironisnya, di dunia manusia uang justru segalanya.

"Kamu ini benar-benar—pandai membaca kesempatan."

"Maksudmu?"

"Ponsel itu adalah salah satu ponsel termahal di pasaran saat ini, karena tampilan desainnya yang dianggap elegan dan mereknya yang dikatakan tidak mampu dibeli oleh semua kalangan. Anak-anak hits ibukota berlomba-lomba merengek pada orang tua mereka untuk memiliki gadget seperti itu, dan sekarang dengan polosnya kamu meminta aku membelikan benda itu untukmu. Demi Neraka Paling Bawah, Nael, bahkan ponselku pun masih Android."

"Hits? Gadget? Android?"

"Jangan buat aku pusing dengan pertanyaan kupermu itu."

"Kuper?" Nael memiringkan wajah, mengabaikan tatapan bingung yang diarahkan oleh pria Tionghoa penjaga toko yang sejak tadi mengamati tindak-tanduk mereka. "Ah, sudahlah. Aku juga tidak terlalu penasaran. Aku mau ponsel yang itu. Keren sekali. Aku bisa jadi iblis paling keren jika punya ponsel yang warnanya seperti itu."

"Bagaimana jika kita bertukar ponsel?"

"Kalau harus kuingatkan, Sombre, aku tidak punya ponsel."

"Maksudku, kamu akan menerima ponsel lamaku dan aku membeli ponsel yang itu."

"Oh, tidak bisa." Nael menyahut cepat. "Kamu yang sudah membawaku kesini, berjanji membelikan ponsel untukku. Bagaimana bisa sekarang kamu berniat memberiku ponsel yang sudah pernah kamu pakai?"

"Tolong ya, Nael,"

"Apa warna ponselmu?"

"Hitam."

"Kubilang aku bosan dengan warna hitam."

"Bagaimana jika kamu ambil ponsel yang ini saja." Sombre menunjuk alternatif ponsel lain dengan harga jauh lebih murah namun memiliki warna gold. "Ini juga warnanya tidak jauh berbeda."

"Jelas berbeda. Warnanya mungkin sama menyilaukannya, tapi tidak secantik ponsel yang itu. Pokoknya aku mau ponsel yang itu." Nael bersikeras.

"Lu olang sebenernya mau beli dagangan owe apa nggak, sih? Dari tadi lu olang ngobrooooool terus dan nggak beli-beli!"

Sombre menghela napas begitu kokoh penjaga toko ikut angkat bicara. "Sebentar, Koh. Sebentar, oke? Jadi kamu mau yang mana?"

"Pilihanku sudah kutentukan, Sombre."

"Cari yang lebih murah, bisakah kamu?"

"Tidak."

Sombre menggigit bibir, sadar kalau dia baru saja melakukan kesalahan besar dengan mengajak Nael langsung turun ke dunia manusia untuk membeli ponsel. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kini penyesalan tidak ada gunanya lagi karena selalu muncul di belakang. "Bungkus yang itu, Koh. Satu. Bisa ditawar nggak?"

"Waduh, tidak bisa, ini owe sudah kasih harga paling murah ini, dijamin, coba lu olang tanya penjual lain, pasti di toko ini yang paling murah."

"Yaudah deh. Ambil yang itu." Sombre menyerah seperti seorang bapak yang tak kuasa menolak permintaan anak laki-lakinya di toko mainan.

"Ini?"

Dengan berat hati, Sombre mengangguk. "Iya."

"Haiyyaaaa... selera lu olang memang jempolan. Tunggu sebentar biar owe bungkus dulu."

Sombre berpaling pada Nael dengan mata yang disipitkan. "Puas sekarang?"

"Terimakasih, Sombre."

Sombre berdecak. "Aku harus mengurus transaksi dan pembayaran ala manusia untuk benda itu. Tempat ini ramai, jadi jangan pergi kemana-mana. Nanti kamu tersesat."

"Kamu bersikap seolah-olah aku itu anakmu."

"Di dunia manusia, mentalmu tidak jauh berbeda dengan anak-anak." Sombre mendelik sebelum akhirnya melangkah meninggalkan Nael sendirian.

Semula, Nael masih betah berdiri di depan etalase. Matanya sibuk mengamati jajaran benda-benda yang terpajang di dalam kotak kaca, begitu serius hingga dia hampir tidak menyadari bagaimana beberapa orang dari sekian banyak pengunjung yang berlalu lalang menatap padanya. Tapi lama-kelamaan dia merasa bosan. Jadi Nael memutar tubuhnya ke satu arah, namun langsung membatu begitu pandangannya bertemu dengan sepasang mata biru pucat milik seseorang.

Nael telah banyak bertemu dengan manusia dan makhluk dimensi ketiga yang bermata biru pucat, namun tiada yang dikenalinya sebaik sepasang mata biru pucat yang kini memandangnya.

Mata itu adalah mata milik Blanc.

Dia hadir dalam sosok seorang gadis semampai dengan rambut sehitam malam. Manusia melewatinya seperti dia adalah seonggok kerikil di tepi jalan yang tidak nyata. Wajahnya dingin, tapi ada senyum yang perlahan melebar begitu dia sadar tatapan Nael sedang tertuju padanya.

Kamu tidak seharusnya disini. Nael membisikkan kalimat itu hanya dari dalam pikirannya. Dia masih berdiri diam tanpa mengatakan apa-apa. Dan seperti hari-hari lama mereka hampir seribu tahun yang lalu, Blanc kembali menjawab juga dengan menggunakan telepati.

Jika bukan di dekatmu, maka dimanakah seharusnya aku?

Kesalahan adalah kesalahan, Blanc. Sesuatu yang tidak seharusnya terulang. Sesuatu yang harusnya dilupakan.

Bukan Nael. Bukan Putra Mammon. Bukan Putra Lucifer. Hanya Noir. Hanya kamu.

Nael atau Noir, selamanya kita tidak akan bisa berdampingan.

Nael atau Noir, kamu tetap kamu. Mengejarmu adalah pekerjaan paling melelahkan yang pernah kulakukan. Tapi aku senang, semua ini akhirnya berakhir.

Tidak ada yang berakhir. Tidak kemarin. Tidak hari ini. Tidak esok hari. Dan tidak selamanya.

Oh, siapa yang tau, Noir? Kelak akan tiba waktunya kamu sendiri yang mendatangi aku.

"Ini ponselmu."

Suara Sombre yang terdengar tiba-tiba mengacaukan perhatian Nael, membuat kepalanya tertoleh secara otomatis ke arah pimpinan para undertaker itu. Sombre mengernyit, bertanya-tanya akan alasan di balik perubahan ekspresi wajah Nael. Dia makin heran ketika Nael kembali menatap pada keramaian, namun langsung mengembuskan napas pelan seolah tidak menemukan apa yang dicarinya disana.

"Ada apa?"

Nael menggeleng. "Bukan apa-apa."

Suri merasa bersyukur sudah menolak tawaran makan siang bersama Calvin dan Khansa siang ini, karena pada situasi dimana hubungannya dan Sebastian sedang tidak baik seperti sekarang, Suri tidak yakin dia akan ikhlas menyaksikan kakaknya bermesra-mesraan dengan calon kakak iparnya. Untung sesaat sebelum Suri keluar dari kelas, Sergio sudah lebih dulu menunggu. Alasannya basi. Dia bilang dia ingin makan siang bersama Suri, padahal Suri sudah bisa membaca jelas niatnya. Sergio pasti ingin menanyain tentang Nadine.

Tapi tidak apa-apa. Dunia ini ibarat pasar. Ada timbal-balik untuk segala sesuatu, termasuk informasi terkait dunia percintaan. Buat Sergio, Suri tidak akan meminta timbal-balik yang terlalu mahal. Dia hanya ingin Sergio mentraktirnya makan sup dan pancake durian. Itu saja.

Untungnya, Sergio bersedia.

"Jadi lo butuh informasi apa lagi?" Suri bertanya sesaat setelah dia menghabiskan dua mangkuk sup durian dan tiga pancake. "Buset, tiap hari aja lo kayak gini. Bisa-bisa orang tewas begitu make kamar mandi gue."

"Bentar." Sergio mengeluarkan sebuah bloknot mungil dari saku jaketnya, membuat Suri ternganga.

"Lo nyiapin list?! Yaelah, udah kayak mau belanja bulanan aja!" Suri terperangah. "Gue nggak nyangka lo seserius itu sama ini anak aneh."

"Nadine nggak aneh." Sergio menukas cepat. "Kalau dia aneh, berarti lo anomali."

"Makasih, Gioku Sayang."

"Jangan panggil gue sayang. Cuma Nadine yang boleh panggil gue sayang."

"Loh, kok gitu?"

"Karena gue punya firasat dia bakal sayang sama gue."

"Tapi dia nggak punya firasat bakal sayang sama lo."

Sergio melotot. "Tau dari mana?"

"Kalian nggak cocok."

"Nggak cocok apanya?!" Nada suara Sergio berubah gusar. "Kalau lo aja bisa pacaran sama kakak gue yang takut berat sama makhluk yang namanya hantu, apalagi Nadine sama gue."

"Emang lo siapa?"

"Bukannya sombong nih, Sur, tapi banyak banget anak-anak FH yang mencoba menggaet perhatian gue. Itu artinya gue nggak jelek-jelek amat, dong. Terus yang paling penting, gue nggak takut sama yang namanya hantu dan kecoak."

"Oh ya?"

Sergio cemberut, membuat siapa pun yang melihat akan tergerak mencubit pipinya. "Kok lo kayak nggak mendukung gitu, sih? Harusnya lo senang dong karena gue udah nggak galauin Kesha lagi."

"Tapi kayaknya Nadine itu terlalu muluk buat lo. Dia itu untouchable."

"Dia nggak untouchable. Dia itu kayak Edelweiss di puncak gunung. Segala daya-upaya akan gue kerahkan untuk merebut hatinya."

"Astaga, jadi lo benar-benar serius?"

"Kalau gue nggak serius, gue nggak akan mengorbankan isi dompet gue neraktir lo dan mulut lo yang penyedot segala kayak vaccuum cleaner itu."

"Makasih, Gioku Sayang."

"Jangan panggil gue sayang." Sergio menegaskan sekali lagi.

"Makasih, Ciprut Bantetku."

"Terserah."

"Terus lo mau nanya apa lagi?"

"Kali ini kalau gue nanya gratis, kan?"

"No. Tiga pertanyaan tetap harus dibayar pake semangkuk sup duren. Satu pertanyaan dibayar pake satu pancake duren. Ketentuan tidak bisa diganggu gugat serta syarat dan ketentuan berlaku."

"Bisa miskin gue kalau harus begini tiap hari."

"Nggak boleh pelit-pelit sama calon kakak ipar."

"Jadi lo nggak ada niatan putus sama kakak gue?"

Suri hampir tersedak. "Sergio Termos, maksud lo apa ya?!"

"Nggak usah ngegas, cewek bodygoals. Cuma nanya. Abis kakak gue udah galau abis beberapa hari ini gara-gara lo nggak mau jawab telepon dia."

"Gue masih kesal. Udahlah, sekarang lo mau bahas kisah pribadi percintaan gue atau nanya soal Nadine? Kalau lo mau kepoin kisah percintaan gue, bayarannya lebih mahal lagi karena lo bukan Feni Rose."

"Soal Nadine," Sergio akhirnya kembali ke topik. "Dia kelihatannya tertarik banget sama lo. Entah kenapa. Bukan dalam artian yang romantis, karena gue tau Nadine masih demen sama cowok dan lo nggak secakep itu sampai bisa menarik perhatian cewek lesbian—"

Suri berdehem. "Saudara Sergio Dawala, apa yang anda maksud dengan kata-kata nggak secakep itu? Excuse me? Kakak lo yang dinginnya kayak arca Borobudur aja bisa bertekuk lutut sama gue dan lo masih bilang gue nggak secakep itu? Ya ampun, lo itu kufur nikmat. Sudah diberi penglihatan yang sehat masih aja hobi mengingkari kebenaran."

"Oke, Sergio Dawala memohon maaf anda, Yang Mulia."

"Good. Sekarang lanjutin pertanyaan lo."

"Sebenarnya, waktu di kamar mandi bareng, apa yang lo omongin bareng Nadine?"

"Hm, banyak. Mayoritas berkaitan sama hantu-hantuan."

"Terus?"

"Gitu deh."

"Gitu deh gimana?"

"Ceritanya panjang."

"Gue siap mendengarkan."

"Gue yang nggak siap cerita. Perut gue mulai nggak enak. Kayaknya mabuk durian. Gue harus ke kamar mandi dulu bentar. Mau kentut."

"Kenapa nggak kentut disini aja?"

"Kalau gue kentut disini, malam ini gue bisa-bisa tidur di kantor polisi karena sudah membunuh dua puluh lebih manusia dewasa dengan kentut gue yang super maknyus."

"Oh ya. Yaudah sana buruan! Bisa berabe kalau gue tewas gara-gara kentut lo! Tapi jangan lupa balik lagi kesini kalau udah."

"Siap, Ciprutku."

"Jangan lama-lama."

"Nggak janji. Kalau ampasnya ikut keluar, bukan salah gue, toh?"

Sergio memutar bola matanya. "Buruan."

Suri memberi hormat ala pasukan pengibar bendera pusaka sebelum bangkit dari kursi dan melangkah tergesa menuju toilet. Restoran yang menjual sup duren itu cukup ramai, tapi toiletnya terhitung sepi. Sesuatu yang lagi-lagi Suri syukuri, karena gadis itu bisa kentut tanpa menahan diri. Begitu masuk, Suri langsung melakukan gerakan absurd hingga suara kentut panjang yang sekaligus melegakan perutnya terdengar. Gadis itu mengembuskan napas lega, namun kontan melotot penuh keterkejutan tatkala dia berbalik ke satu arah dan mendapati sosok Zoei berada disana. Laki-laki tinggi berbaju serba hitam itu tampak tengah mengibaskan tangan dengan ekspresi layaknya seseorang yang hampir semaput.

"Zoei!" Suri menghampiri Zoei, memegang lengan laki-laki itu sebelum dia benar-benar terhuyung jatuh. "Aduh, mabok ya? Makanya kalau muncul tuh bilang-bilang. Jangan dadakan karena kamu bukan kelincinya Pak Tarno. Tapi kenapa juga kamu nongol disini? Aduh, nggak hantu nggak iblis, demennya main di kamar mandi!"

"Aku... aku hanya ingin mengunjungimu." Zoei menyahut terbata, lalu mengerjapkan mata sebelum menegakkan tubuhnya secara sempurna. Gila, bau apa pun itu, jelas baunya lebih menyengat daripada kaus kaki Belzeebub yang tidak dicuci selama satu dasawarsa. "Aku sedang pergi ke dunia manusia untuk mencari Cello dan malaikat lainnya yang sampai sekarang belum kembali."

"Cello yang aku tau mah alat musik, hehe."

"Apa pun itu, kamu memang tidak seharusnya memusingkannya." Zoei berujar. "Kamu terlihat lebih cantik dari terakhir kali kita bertemu, Oriana. Senang bisa melihatmu lagi."

"Hehe, aku tau. Makasih."

"Seharusnya aku tidak boleh mampir apalagi menemui manusia. Ayahku pasti akan menghukumku setelah ini. Tapi untuk menemuimu, aku tidak apa-apa." Zoei berkata lagi. "Kamu harus hati-hati. Soal Blanc dan sebagainya, aku yakin Nael sudah memberitahumu."

Suri mengangguk lalu tersenyum lebar. "Makasih, Zoei."

"Jika ada yang aneh, kamu bisa beritahu aku."

"Gimana caranya? Kan nggak ada tukang pos yang bisa ngirimin surat ke dunia iblis."

"Kamu bisa datang ke tempat kamu dan Nael pertama kali bertemu. Gedung tua di sekolahmu itu, ingat? Lalu bisikkan kalimat ini tiga kali; descencus averno facilis est."

"Des—ember?"

Zoei tertawa. "Descencus averno facilis est."

"Dicatat aja deh nanti. Bisa kebakar kepala aku ngapalin itu mantra."

Zoei tertawa lagi. "Semuanya terserah kepadamu."

"Tapi kalau aku baca mantra itu, aku nggak akan jadi pengikut iblis, kan?"

Zoei tersenyum lebar, lantas secara tidak terduga dia mengangkat tangan kanannya dan mengacak rambut di puncak kepala Suri perlahan. "Kalau aku tidak salah informasi, seminggu lagi adalah hari ulang tahunmu. Benar?"

"Kok kamu tau?"

"Happy birthday." Zoei berkata dengan wajah sumringah. "Manusia biasanya mengatakan itu, kan?"

Percakapan mereka terinterupsi oleh suara dari ponsel Suri yang tiba-tiba berbunyi. Gadis itu mengernyit, mengeluaran ponsel dan langsung mengerjap tak percaya begitu melihat pesan apa yang baru saja dia terima dan siapa pengirimnya. Tidak lain dan tidak bukan adalah Nael.

From: Unknown Number

Ini nomor ponselku :) Baru dibelikan oleh Sombre ^o^ Mungkin tidak bisa dihubungi jika aku tidak sedang berada di dimensi manusia T.T Tapi simpan saja untuk jaga-jaga.({}) –nael \^o^/

PS: Sombre mengajariku menggunakan emoji. Bagus kan? :D 

Hehehe. 

Mohon maaf porsi Sebastian tidak banyak di chapter ini karena bagaimanapun juga sayah punya plot sayah sendiri yang harus diikuti ea 

Blanc itu cewek. Rambutnya hitam. Matanya biru. 

Visualisasinya belum gue tentukan, tapi Blanc (yang menyamar ea) sendiri sudah pernah muncul di lebih dari satu chapter di cerita ini jadi yah silakan menebak-nebak. Terus apa ya, hm, gue sudah baik-baik saja, kok. Gue sering sakit kepala karena kurang tidur atau kelebihan tidur jadi ya begitu cuma kemaren-kemaren mencoba untuk nggak melarikan semuanya ke obat ceileh 

Untuk besok kayaknya gue nggak posting apa-apa soalnya besok seharian penuh dan kemungkinan besar sampai malam, gue bakal sibuk sama studio. 

Buat cerita yang lain, ketika tiba waktunya bakal dilanjut atau dipublish lagi kok, jadi ditunggu aja oke. 

oke deh, sekian. selamat belajar buat kalian semua, semangat buat yang besok sekolah, kerja, kuliah dan melakukan tugasnya masing-masing. have a goodnight and a good rest and also, i'll see you in the next chapter 

Ciao. 


Published in August 21st 2017 

Semarang | 18.03

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 202 180
Mari ceritakan tentang hari ini.Mari tersenyum hari ini,hari esok dan seterusnya.Sampai suatu saat waktu mengusaikan.
That Day. By jysa

Fanfiction

5.9M 567K 71
[TELAH DITERBITKAN] Hari itu benar-benar adalah sebuah awal dari plot-twist bagi hidup Hyeri. Sejak hari itu, semuanya tak akan pernah sama lagi. Dan...
565K 61.6K 65
WARNING!! BXB AREA. MOHON MENJAUH JIKA ANDA HOMOPHOBIA! CERITA INI 100% KARANGAN SEMATA. HANYA FANTASI. TOLONG BEDAKAN MANA YANG FAKE DAN REAL. WARN...
621 96 27
[ter·beng·ka·lai] Rank: #1 in Kata (dari 15,6 rb) 14/01/24 #40 in Puisi (dari 75,6 rb) 14/01/24