Perfect Family

By badgalzia

8.9K 306 52

Temui Zia Mcfoy. Gadis 16 tahun, pencinta punk-idola gadis-gadis lesbian dan bi di sekolahnya. Tapi hey, dia... More

Chapter 1 | Call Me Zia
Chapter 2 | Meet Luke
Chapter 3 | The Boys
Chapter 4 | Tree House
Chapter 5 | Flour Fight
Chapter 6 | The Rumour
Chapter 7 | UFO Freak
Chapter 8 | Just Dreaming
Chapter 9 | Meet Cece
Chapter 10 | Lunch With Calvin
Chapter 11 | Meet Rory
Chapter 12 | Rock It Out!
Chapter 13 | Ignore
Chapter 14 | Be Mine?
Chapter 16 | Mad Rick's Cafe
Chapter 17 | Drowning
Chapter 18 | Nightmare
Chapter 19 | Fool Fight
Chapter 20 | Apologizes
Chapter 21 | Local Dish Resto
Chapter 22 | Confirmations
Chapter 23 | Cory's Top Secret
Chapter 24 | Carolina Place
Chapter 25 | Meet Avery
Chapter 26 | Singing Zach
Chapter 27 | A Dream Comes True

Chapter 15 | Under The Moonlight

170 11 2
By badgalzia

“Damn, I'm new to this dating shit.”

 

Aku melenggang santai dengan seringai tipis yang menghiasi bibir. Kotak bekal berisi kue cokelat bergoyang-goyang di dalam ransel, menimbulkan bunyi saat aku melangkah. Suasana pagi ini hatiku cerah ceria. Tentu saja karena sepulang sekolah nanti akan pergi ke rumah pohon bersama Luke, apalagi yang bisa membuatku lebih ceria?

Setelah Luke menyatakan cintanya, semua kecemburuanku terhadap duo pirang menghilang begitu saja. Untuk apa memikirkan mereka di saat Luke kini sepenuhnya milikku? Haha ya, terdengar seperti aku mengklaim Luke, tapi siapa peduli? He's all mine now, no one can' t deny it and I make sure no one can't talk shit about that. Including my best friends.

“Damn.” Gumamku, tanpa sadar membanting pintu loker. Bagaimana cara untuk menjelaskan pada the boys? Mereka pasti akan sangat membenci ini. Mereka membenci Luke, itu sangat jelas. Bagaimana jika mereka akan meninggalkanku setelah tahu aku berpacaran dengannya? Shit. Aku harap mereka semua akan mengerti. Aku tidak berharap Luke bisa berbaur dengan mereka—seperti Rory—itu terdengar sangat mustahil. Yang kuharapkan, setidaknya mereka menerima Luke sebagai kekasihku dan tidak mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti perasaanku. Itu saja.

“Morning, honey.” Bisikan suara berat seseorang tepat di telinga membuatku terperanjat. Deru nafasnya yang hangat menggelitik kulitku sehingga membuat bulu kuduk berdiri.

“The fuck?” Desisku sambil membalikkan badan. Terlihat Luke yang tersenyum lebar di hadapanku. Gosh, ternyata dia. Karena masih pagi, otakku belum terlalu aktif bekerja untuk mengenali suara seseorang yang berbisik di telingaku dari arah belakang, sekalipun itu suara kekasihku sendiri. Dasar.

“Oh—kau. Hey.” Ralatku, dengan sedikit tergagap.

“Whoa, terlalu sering mengumpat itu tidak baik.” Ujarnya sambil menyeringai.

“Bagaimana lagi, kau mengagetkanku.” Jawabku beralibi, sambil menampar lengannya. Kaget atau tidak, aku memang banyak mengumpat. Terutama saat terkena Pra-Menstruasi Syndrome.

“Aku hanya mengumpat di saat ibu jari kakiku terantuk meja atau pintu.” Luke berkata sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.

“Kalau aku sepertinya memang tidak bisa berbicara tanpa mengumpat.” Ujarku sambil mengangkat bahu. Luke tertawa kecil. Kamipun mulai berjalan beriringan, sesekali saling melempar candaan kemudian tertawa bersama. Ia sangat tampan hari ini dengan kaos merah polos, jaket denim dan celana jeans hitam. Tumben sekali ia memakai Macbeth, bukan Supra hitam kesayangannya yang sudah lusuh itu. Damn, mengapa aku begitu suka memperhatikan pakaian orang lain. Ah, ralat. Luke bukan orang lain tetapi kekasihku. Dan aku memang sudah sering memperhatikan dirinya sejak lama.

“Jangan lupa sepulang sekolah.” Luke mengacak-acak rambutku didepan kelasnya. Aku menepisnya kasar. Tidak di depan teman-temanmu juga, bodoh. Batinku merutuk.

“Iya, iya.” Jawabku cepat.

“Jangan cemberut.” Ia mencubit pipiku gemas, hingga membuatku meringis, “See ya later, honey.” Mengedipkan sebelah mata sebelum masuk kelas. Semua orang didalam kelas itu membulatkan mata dan menjatuhkan rahang mereka ke lantai—terutama para gadis. Kenapa harus mengucapkannya sekeras itu Bentley sialan!

Aku segera mengambil langkah seribu, menyembunyikan wajahku yang merahnya sudah seperti kepiting rebus. Damn, I'm new to this dating shit. Apa menunjukkannya didepan orang-orang seperti tadi adalah hal yang biasa? Sepertinya aku tidak sanggup berurusan dengan hal semacam ini setiap hari. Tapi entahlah. Tadi itu sedikit manis juga. Tapi yang benar saja. Oh aku benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. God damn it.

***

“Kita harus menonton film itu lagi. Apa judulnya? Haki cho? Keren sekali astaga.” Cory terlihat bersemangat. Semenjak ada Rory pilihan film yang kami tonton saat kumpul-kumpul menjadi lebih beragam. Itu hal yang bagus. Tapi hal terburuknya adalah disaat Rory memilih film romantis bodoh dan aku menjadi satu-satunya orang yang protes. Film bertemakan cinta selalu menampilkan adegan ciuman. Ew. Sangat menjijikkan. Tapi aku setuju dengan Cory, Hachiko memang pilihan film yang bagus juga.

“Kenapa harus menonton film menyebalkan seperti itu dua kali? Seperti tidak ada film lain saja. Lagipula, judulnya itu Hachiko, bodoh.” Kataku tak acuh sambil menyendok salad dan memasukannya ke dalam mulut dalam suapan besar.

“Oh ya? Sejak kapan di ganti?” Balas Cory. Aku hanya memutarkan mata.

“Aku tahu kenapa kau anggap film itu menyebalkan.” Ujar Michie. “Kau tidak bisa berhenti menangis!” Lanjutnya lalu tertawa, membuat keenam orang lainnya di meja ini menjadi ikut tertawa.

“Hanya orang yang tidak berperasaan yang tidak menangis saat menonton film itu.” Jawabku datar.

“Hey!” Protes Max dan Michie bersamaan. Saat itu mereka tidak menangis, hanya berkaca-kaca saja.

“Film yang paling seru itu adalah Saw.” Ujarku santai.

“Zia!!!” Seru keenam orang sahabatku secara bersamaan dengan wajah marah bercampur jijik, menghentikan acara makan mereka seketika. Mata seisi kafetaria tertuju padaku. Tapi aku tidak peduli, sekarang giliranku untuk tertawa.

“Harusnya wajah kalian tadi di abadikan dengan kamera. Hahaha.” Kataku sambil memukul-mukul meja dengan telapak tangan.

“Lucu sekali, Zia.” Ujar Michie sarkastis sambil mengambil satu batang kentang goreng dan memasukannya ke dalam mulut. Rory menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum simpul.

“Oh ya, bagaimana dengan yang kemarin? Apakah berjalan dengan lancar?” Tanya Rory sumringah. Mendengar pertanyaan yang tidak mereka mengerti, mata the boys sontak tertuju padaku dengan ekspresi penasaran. Aku menelan makanan dalam mulut dengan mata membulat. Shit, aku tidak menduga jika Rory akan menanyakannya secepat ini. Maksudku, dihadapan the boys. Demi kacamata John Lennon, kenapa kemarin aku tidak memberitahu saja dia lewat pesan singkat? Jadinya aku tidak perlu menjelaskan dengan cara seperti ini. Aku benar-benar lupa! Ah, Zia bodoh.

“Yang kemarin apa?” Melihat responku yang diam saja seperti tidak mendengar apa-apa, Will bertanya tak sabaran.

“Ya, semuanya berjalan dengan baik.” Jawabku seperlunya, mengabaikan pertanyaan Will.

“Bagus sekali!” Ujar Rory sambil bertepuk tangan gembira. “Apa saja yang kalian bicarakan? Ceritakan detailnya.” Lanjutnya. Rory ini memang tidak tahu bagaimana caranya menempatkan pembicaraan di waktu yang tepat. Aku ingin sekali mencekik lehernya sejak beberapa menit yang lalu andai ia bukan sahabat perempuan terbaikku.

Kupandangi wajah the boys satu-persatu, mulai dari Will yang ada dihadapanku, Max disebelahnya, kemudian Michie, Cory lalu Zach dihadapan pria berambut cokelat terang itu, dan terakhir kembali lagi kepada gadis berambut merah yang berada tepat di sampingku. The boys memandangiku dengan dahi berkerut sementara Rory menunggu jawabanku dengan senyuman seribu wattnya. Gosh, harus bagaimana mengatakannya.

“Kami mengobrol di bawah pohon ek. Dia menyatakan cinta, dan aku menerimanya.” Kataku dalam satu tarikan nafas.

“Sungguh? Oh my God! Kukira kalian hanya mengobrol bersama!” Rory membelalakkan mata birunya, dan harus ku akui terkadang itu terlihat agak menyeramkan. Senyuman lebar tak lama kembali menggantikan ekspresi kagetnya.

“Apa? Siapa yang kau bicarakan?” Tanya Max dengan raut wajah tidak percaya, dalam sorot matanya ada sekilas gambaran sebuah perasaan yang tidak dapat terbaca olehku. Will, Michie dan Cory menampakkan ekspresi bingung bercampur terkejut yang sama, sementara Zach yang hanya diam seribu bahasa dengan ekspresi yang netral.

“Bentley. Aku sekarang berpacaran dengannya.” Sangat konyol untuk dikatakan secara jelas seperti itu, tapi antara sadar atau tidak aku telah mengucapkannya.

“Kita harus merayakan ini!” Usul Rory layaknya ia telah menjelma menjadi Toby dalam bentuk perempuan, disusul dengan seruan kaget dari the boys secara serempak,

“APA??!!!”

***

“Jadi, mereka semua terkejut dan tidak percaya saat kau ceritakan semuanya?” Tanya Luke dengan satu ujung bibir hampir terangkat. Aku hanya menjawabnya dengan gumaman, “Ya, begitulah.” dan anggukan pelan.

“Teman-temanmu lucu juga. Sepertinya mereka orang-orang yang menyenangkan." Ujarnya sambil mengayuh kedua kaki panjangnya ke tanah. Rambutnya yang biasa ditata dengan gaya spike berayun-ayun di depan keningnya di terpa angin. Ayunan ini adalah tempat favoritku selain di atas rumah pohon untuk berduaan dengan Luke. Setiap kembali kemari, tidak ada perasaan yang mampu menggambarkan suasana hatiku kecuali, bahagia. Luke seperti mengembalikan rasa bahagiaku yang telah lama hilang. Lenyap tak berbekas sejak empat tahun lalu, ketika satu-satunya orang tua yang kupunya harus pergi memenuhi panggilan Tuhan. Dan sekarang kebahagiaan itu datang lagi. Aku sangat bersyukur Luke singgah dalam kehidupanku untuk mengembalikan rasa itu.

“Ya, tapi aku tidak berharap mereka bisa berbaur denganmu. Sepertinya hal itu sangat tidak mungkin.” Kataku sambil menengadah, agar bertemu dengan wajahnya.

“Kenapa tidak?” Luke bertanya dengan alis bertaut.

“Mereka... tidak begitu menyukaimu.” Jawabku dengan memperhalus kata ‘benci’ yang dijawab dengan gumaman, “Begitu ya.” darinya. Hell, sejak kapan aku memperhalus kata-kataku saat berbicara dengan orang lain? Bahkan kepada Toby pun aku sangat sering berkata-kata seenaknya. Kepada siapa lagi aku pernah memperhalus kata-kataku saat berbicara pada selain Luke? Tidak ada.

Luke bahkan membuat kadar punk rock dalam diriku menurun drastis ketika aku berada di dekatnya. Terkadang di saat-saat tertentu, malahan hilang sama sekali. Aku berubah menjadi gadis yang manis, seakan dandanan sangarku hanyalah sebuah bahan olok-olok belaka. Maksudku, lihatlah, aku, yang notabene seorang gadis urakan dengan gaya seperti ini—rambut super pendek, eyeliner tebal, kaos putih tanpa lengan bertuliskan “Nirvana” yang ditumpuk dengan jaket kulit hitam, dipadukan dengan jeans hitam sejengkal di atas lutut dan boots hitam yang mencapai setengah betis—dirangkul dan menyenderkan kepala dengan nyaman di bahu seorang pria dalam sebuah ayunan rotan. Seandainya yang berada di samping Luke adalah Stacy atau Cece, aku yakin orang yang melihatnya akan berkata, “Mereka sangat serasi.” atau “Mereka terlihat sangat manis.”. Lain halnya jika mereka melihatku, pasti mereka akan berkata, “Pasangan yang aneh.”. Tentu saja aneh, Luke adalah seorang pria yang benar-benar berkebalikan dariku. Manis dan jauh dari kata negatif. Sedangkan orang yang melihatku sekilas saja, pasti akan langsung berpikiran buruk bahkan menyimpang.

Orang yang hanya melihat dari penampilan luar, aku yakin mereka akan beranggapan jika gadis sepertiku tidaklah patut untuk dicintai. Terdengar jahat, memang. Tapi begitulah faktanya. Aku dapat mengetahuinya melihat dari cara mereka menatapku. Aku tidak menyalahkan mereka, memang seperti inilah apa adanya diriku. Namun dengan adanya Luke disisiku, aku merasa menjadi seorang gadis biasa. Aku memanglah gadis biasa, hanya saja semuanya tertutup dengan image-ku selama ini sebagai gadis pencinta punk yang membuat orang-orang takut bahkan benci. Dan aku senang Luke ada disini bukan hanya untuk mencintaiku, tapi juga untuk menunjukkan kepada dunia jika aku layak untuk dicintai dan juga bisa mencintai, sama seperti gadis-gadis lainnya yang memakai dress, high heels dan make up. Satu yang membuatku berbeda dengan gadis-gadis lainnya adalah, aku tidak membutuhkan pria yang bisa membuat diriku merasa spesial. Aku merasa beruntung memiliki Luke yang membuatku merasa menjadi seorang gadis biasa dan normal. Bagiku itu lebih dari cukup.

“Luke, bagaimana tanggapanmu jika orang lain berkata yang tidak-tidak tentang kita?” Tanyaku dengan nada datar. Mataku lurus ke depan, menatap ilalang tinggi berbunga putih yang menari-nari di tiup angin dan bunga dandelion yang beterbangan di udara. Keindahannya selalu berhasil menghadirkan kedamaian.

“Aku tidak akan mempedulikannya. Mereka tidak tahu apapun tentang kita. Yang kutahu adalah aku mencintaimu dan kau pun sama, bukan begitu?” Meski kali ini tidak melihat wajah Luke, aku bisa mengetahui jika ia tersenyum saat mengatakannya.

“Ya, tentu saja.” Aku tersenyum simpul. Seakan tanganku memiliki otaknya tersendiri, keduanya melingkar begitu saja di tubuh Luke. Tangan Luke mengelus puncak kepalaku, lalu dikecupnya rambutku sekilas.

“I love you, Zee.” Bisiknya, berhasil mengalirkan kehangatan ke dalam dadaku.

Seakan perkataan Luke tadi mampu menyedot seluruh energiku, aku hanya bisa balas berbisik dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Love you too.”

Sesaat kemudian keheningan yang nyaman mulai menyelimuti atmosfer di sekeliling kami. Berdua menikmati hembusan angin yang lembut menyapu wajah. Bersama Luke di dalam ayunan ini, menikmati pemandangan senja yang begitu indah dengan langit jingga yang dihiasi awan-awan tipis keunguan. Burung-burung beterbangan pulang ke sarangnya menyemarakkan suasana di angkasa, membuat sore ini terasa semakin indah. Ini sempurna.

“Waktu kecil aku suka sekali main ayunan.” Kataku, tersenyum. Kepala Luke tertoleh, ia tersenyum, nafasnya yang beraroma mint berhembus mengenai keningku. “Dad membuatkan ayunan sederhana yang terbuat dari sebuah papan kayu tebal dan tambang besar yang di tambatkan di sebuah pohon besar di halaman depan rumah kami. Saking sukanya dengan ayunan itu, aku tidak pernah memperbolehkan Toby untuk mendudukinya,” Aku tertawa kecil. “Dia selalu menontonku atau bahkan menyuruhnya untuk mendorongku saat aku sudah lelah tapi merengek masih ingin bermain ayunan. Aku sendiri tidak ingat sejak kapan mulai sering bertingkah kurang ajar padanya. Meski begitu, ia tidak pernah mengeluh. Walaupun saat itu masih kanak-kanak, ia selalu menjadi kakak yang bertanggung jawab.”

“Sepertinya kau punya masa kecil yang indah.” Luke tersenyum.

“Ya, bisa dibilang begitu. Meski tanpa adanya sosok ibu, masa kecilku begitu menyenangkan.”

“Tanpa sosok ibu?” Luke menghentikan ayunannya seketika, membuat tubuh kami berdua sedikit terhuyung ke depan. Wajahnya menampakkan raut terkejut, bisa kulihat meski ekspresinya itu tidak begitu ketara.

“Ibuku meninggal saat melahirkanku ke dunia. Meski seumur hidup tidak pernah bertemu bahkan melihat wajahnya, aku bangga, di lahirkan oleh seorang malaikat sepertinya.” Aku memberikan tatapan intens pada Luke, disusul dengan sebuah senyuman. Berusaha meyakinkannya jika aku baik-baik saja. Padahal jika membicarakan Mom dan Dad dihadapan Toby, air mataku selalu tidak pernah berhasil untuk dibendung.

“Ia pasti bangga memiliki seorang anak yang kuat dan tegar sepertimu.” Luke mengusap-usapkan telapak tangannya pada pangkal lenganku, sentuhannya mampu membuatku lebih tenang.

“Aku harap begitu.” Jawabku dengan tawa kecil.

“Sejak Dad meninggal, aku tidak melihat diriku sebagai seorang anak yang kuat. Aku bisa menjadi begitu rapuh kapan saja, tapi syukurlah aku mampu menjadi kuat saat berada di hadapan sahabat-sahabatku dan ...” Aku menatap Luke dan dengan melihat mata hazel yang mampu menghadirkan rasa aman itu, membuat senyumanku mengembang lebih lebar dari sebelumnya. “Kau, Luke.”

“Jadi... kau seorang yatim piatu?” Gumam Luke terdengar seperti berbicara pada diri sendiri.

Gosh,” Bisiknya. “I'm sorry to hear that, honey.” Ia meremas lenganku pelan.

“Aku baik-baik saja.” Ujarku seraya bercanda dengan menepis dadanya. Aku selalu benci menerima simpati, itu membuatku merasa jadi orang yang paling menyedihkan.

“Aku masih punya Toby. Ia segalanya untukku. Toby bukan hanya seorang kakak, tapi juga bisa berperan sebagai orang tua dan menjalankan tugas itu dengan baik. Dia mencari uang, membelikan apapun yang aku inginkan, mengerjakan sebagian pekerjaan rumah dan bahkan ia memasak untukku.”

“Dia sungguh seorang kakak yang hebat. Aku salut.” Puji Luke.

“Aku sangat beruntung memilikinya.” Kataku menatap Luke, ia tersenyum membuatku ikut melakukan hal yang sama. Mata kami saling bertaut selama beberapa detik.

“Oh ya aku baru ingat!” Pekikku dan reflek melompat dari dalam ayunan. Luke menatapku dengan wajah bingung.

“Tunggu sebentar.” Dengan segera aku memanjat tangga, bermaksud mengambil ranselku yang ada di dalam rumah pohon. Tak lama kemudian aku menuruni tangga dengan ransel di pundak kanan.

“Aku membuatkan ini ...” Kataku seraya memasukkan tanganku kedalam ransel. “Untukmu.” Tanganku terulur di hadapan Luke. Seringai Luke yang menggoda merambat di bibirnya.

“Untukku?” Tanyanya seraya mengibaskan bulu matanya secara dramatis. Damn, he looks adorable. Aku mengangguk.

“Thanks, honey.” Ia tersenyum. Senyuman yang selalu berhasil menghipnotisku.

“It's nothing.” Kataku seraya kembali duduk di sampingnya.

“Lihat! Matahari terbenam!” Kataku antusias, membuat Luke yang sedang membuka tutup kotak bekal langsung menyentak kepalanya ke arah langit yang perlahan mulai gelap.

“Indah sekali.” Ujar Luke.

“M-hm.” Gumamku sambil tersenyum, mengagumi keindahan yang dipancarkan sang mentari. Mataku seolah enggan berpaling dari pemandangan yang belum pernah kulihat secara langsung seperti ini sebelumnya. Kurasakan tatapan Luke terarah padaku, namun aku mengabaikannya.

“Zia.” Panggilnya. Saat aku menolehkan kepala, tangannya merayap di pipiku, mengelusnya lembut. Ia menjilat bibirnya sekilas seraya meraba bibir bawahku dengan ibu jarinya.

“Bolehkah?” Tanyanya dengan wajah berharap, menatap mataku. Untuk sesaat, aku merasa tergoda. Namun cepat-cepat aku menghapus keinginan itu.

“Aku minta maaf, tapi jawabannya tidak. Aku tidak bisa—maksudku, aku tidak mau melakukannya.” Kataku seraya tertunduk.

“Kenapa?” Tanyanya bingung. Dalam nada bicaranya bisa kutemukan jika ia merasa malu dan sedikit terluka.

“Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Luke. Bukannya aku tidak mau melakukannya karena aku tidak mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, kau tahu. Tapi aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak berciuman selain dengan suami sahku nanti.” Ungkapku dengan kepala bersandar pada bahunya. Mendengar ia terkekeh, aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan alis bertaut.

“Kau serius?” Tanyanya seakan aku sedang bercanda.

“Tentu saja, apa aku terlihat bercanda?” Setelah berkata demikian, barulah raut wajahnya berubah serius.

Well, kalau begitu... sayang sekali.” Ia menggaruk belakang kepalanya.

“Apa hal semacam itu sangatlah penting?” Gumamku datar. Aku tidak akan mengatakan alasan sebenarnya, takut ia akan menganggapku orang aneh nantinya.

“Sebenarnya, iya. Sebagian orang percaya jika kita mencium seseorang, kita bisa tahu bagaimana sebenarnya perasaan yang ia miliki kepada kita. Tapi aku tidak akan memaksa jika memang kau tidak mau.” Luke tersenyum mengerti.

Aku hanya terdiam sambil memandangi sepatuku, merasa konyol dengan diri sendiri. Bagi kebanyakan orang berciuman memang bukanlah hal yang besar dan rumit, tapi bagiku memanglah seperti itu. Dan aku adalah orang yang memegang janji. Masa bodoh apa yang dikatakan orang lain, jika mereka bilang aku aneh, bodoh, naif, aku sama sekali tidak peduli. Bagiku saling bertukar saliva dan bakteri mulut bukanlah hal yang keren untuk dilakukan. Masih banyak hal keren lainnya yang bisa dilakukan dengan pacar, seperti balapan motor misalnya? Oke, itu terdengar aneh.

“Bagaimana jika kita mencoba kuenya?” Luke turun dari ayunan lalu berjalan ke arah hamparan rumput dan berbaring di sana dengan tangan kiri sebagai bantal, kotak bekalku yang sudah terbuka tutupnya diletakkan di atas perut. Ia melirikku sambil menepuk sisi kosong di sebelahnya dengan tangan kanan, bibirnya membentuk senyum separuh. Aku bergegas turun dari ayunan, berjalan ke arahnya lalu beringsut duduk di samping kanan tubuhnya yang terlentang.

“Apa yang kau lakukan?” Tanyaku, tertawa kecil.

“Apa punggungmu tidak sakit, duduk terlalu lama?” Pertanyaannya membuatku tertawa.

“Tidak kakek, umurku enam belas jadi tulang belakangku masih dalam kondisi yang sangat baik.” Candaku, ia tertawa kecil.

“Sudahlah, berbaring saja tidak usah cerewet.” Ia mengarahkan tatapan mata pada lengan kanannya yang terjulur lurus, memberikan kode untukku agar menyandarkan kepala di atasnya.

“Sekarang apa?” Tanyaku saat sudah berbaring disampingnya, menjadikan otot bisepnya sebagai sandaran kepala. Mataku menelisik setiap inchi wajahnya. Ia terlihat semakin tampan dari jarak sedekat ini. Bulan dan bintang-bintang yang telah muncul di permukaan langit memberikan efek ekstra pada wajah Luke dengan cahayanya, membuatnya terlihat... menggoda.

“Sepertinya kedua tanganku sibuk,” Mataku nakal mengamati gerak bibirnya saat ia berbicara. “Jadi kau suapi aku.” Lanjutnya dengan senyum separuh, yang aku rasa memiliki kekuatan magis karena selalu berhasil menyihirku untuk mengaguminya. Bersama dengan hasrat alamiah yang ditekan, berusaha membuangnya jauh-jauh, aku menelan liur di dalam mulut dengan susah payah. Aku segera menepis keinginan itu, menggelengkan kepala pelan sambil terkekeh.

“Dasar bayi.” Kataku, Luke tertawa. Kusodorkan satu keping kue ke arah mulutnya yang terbuka, ia menggigit dengan gigitan besar lalu mengunyahnya.

“Wow,” Ucapnya di sela-sela mengunyah. “Ini enak sekali.”

“Aku tahu. Toby menyebut kue buatanku yang satu ini adalah kue paling enak yang pernah ada.” Aku tidak bisa menahan senyuman angkuh yang muncul di bibirku tanpa permisi.

“Sangat rendah hati.” Ujarnya penuh nada sarkastis. Aku tertawa.

“Tapi serius, ini benar-benar enak.” Ia memejamkan mata saat mengunyah habis kepingan di tanganku.

“Lagi?” Aku menyodorkannya dan saat mulutnya terbuka, aku memasukannya ke dalam mulutku sendiri, menggigitnya hingga separuh.

“Hey! Curang!” Protesnya.

“Hmm.” Aku hanya mengunyah sambil menggumam. Tanganku yang lain mengambil kotak bekal lalu menjauhkannya dari Luke, menaruhnya di samping tubuhku.

“Berikan itu padaku.” Aku menggelengkan kepala, sekuat tenaga menahan senyum. “Kau membawakannya untukku, bukan?” Ia memajukan bibir, dan demi eyeliner Gerard Way, ia terlihat sangat imut! Aku tertawa geli dibuatnya.

“Berikan itu padaku, please?” Mendengar ia menambahkan kata ‘please’ membuatku tertawa lebih keras. Ia mencubit hidungku, sehingga udara masuk melalui tenggorokanku menghasilkan suara seperti babi.

“Hey! Apa-apaan itu?” Aku menyikut perutnya. “Ini milikku, jadi biarkan aku menghabiskannya sendiri.” Aku berguling ke sisi kanan, memunggungi Luke. Memasukkan kue separuh yang sedang kupegang kedalam mulut dan mengunyahnya.

“Berikan saja!” Luke setengah memaksa.

“Tidak!” Jawabku keras kepala sambil mengunyah.

“Berikan!” Caranya memaksa penuh dengan nada bercanda.

“Tidak.” Aku menjulurkan lidah.

“Babe...” Rengeknya dengan nada manja.

“Tid—hahaha... Fuck, hentikan!”Luke menggelitiki pinggangku dari belakang. Aku tertawa kegelian, menendang-nendang kakiku secara reflek.

“Ayo, bilang tidak sekali lagi.” Tantangnya.

“Tidak, tidak, tidak! Hahaha” Ucapku sambil tertawa.

“Baiklah, terima ini.” Luke membalikkan badanku hingga punggungku berposisi datar di atas rerumputan, lalu menggelitikiku lebih ekstrim dari sebelumnya. Aku berusaha menepis tangan jahilnya tapi ia memiliki tenaga yang lebih besar. Aku hanya tertawa dan tertawa dengan mata terpejam hingga perutku terasa sakit. Bisa kudengar tawa Luke menyatu dengan tawaku di saat yang bersamaan. Dan bagiku, perpaduan tawa kami berdua merupakan melodi yang sangat ajaib. Melodi yang mampu membuat kupu-kupu di dalam perutku menjadi liar, menyebarkan sengatan-sengatan aneh ke sekujur tubuhku, dan ternyata rasanya sangat menyenangkan. Rasanya begitu menyenangkan untuk merasakan ... dicintai. Juga mencintai. Sehingga hal kecil apapun yang dilakukan, setiap detiknya, terasa istimewa dan memiliki kesan tersendiri di dalam hati.

Please stop, aku lelah.” Kataku dengan nafas terengah-engah, berusaha menghentikan tawaku dan membuka mata. Hal yang pertama kulihat adalah mata itu. Mata hazel yang selalu berhasil menghipnotisku. Luke balik menatapku dengan tawa yang masih sedikit tersisa, lalu berangsur menghilang, perlahan berganti menjadi wajah datar. Nafasnya yang memburu seakan beradu dengan nafas yang keluar dari mulutku. Dada bidangnya naik dan turun sesuai ritme. Tangannya yang belum lama berada di pinggangku, kini berada di samping kiri dan kanan bahuku, telapaknya bersandar pada rerumputan. Luke berada di atasku sekarang, dan tubuhku terasa membeku. Ia terlihat seperti malaikat, dengan bulan berada tepat di atas kepalanya, seperti membentuk sebuah halo. Terbawa suasana, tangan kananku yang hangat terangkat, bersentuhan dengan pipi kirinya yang dingin. Ibu jariku membelainya lembut, membuatnya tersenyum. Terpesona oleh keindahan yang dipahat oleh Tuhan pada wajah seorang Luke Bentley, aku tidak menyadari jika wajah itu semakin mendekat. Jarak kami sekarang tinggal beberapa inchi saja, hingga bisa kurasakan nafasnya menyapu wajahku.

“You look so beautiful.” Bisikku pelan. Ia tersenyum.

“No, you are.” Jawabnya dengan bisikan pula, jarak antara bibir kami berdua sangat dekat, sehingga hembusan nafas beraroma mint itu tercium sangat jelas. Aku sedang sibuk mengamati wajahnya yang luar biasa tampan itu, seraya mengusap-usap rambut di belakang kepalanya yang terasa begitu halus. Ia membelai pipiku lembut, membuat jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba saja suara dering ponselku memecah keheningan.

“Damn.” Umpat Luke sambil menjauhkan wajahnya dariku, dan sontak terbangun dari posisi sebelumnya, terduduk di rerumputan. Aku beringsut duduk dan merogoh ponsel di dalam saku celana.

“Ada apa?” Tanyaku pada si penelefon, melayangkan tatapan mata pada Luke yang sedang melihat ke arah lain sambil menyisir rambut dengan jemarinya.

“Kau dimana? Kita tampil di Mad Rick’s malam ini, ingat?” Suara Max terdengar jengkel. Oh crap. Aku benar-benar lupa!

“Aku segera kesana.” Jawabku sebelum mengakhiri panggilan.

“Aku harus segera pergi.” Ujarku pada Luke yang terlihat sedikit kesal, namun ia berusaha bersikap biasa.

“Pulang?” Tanyanya terdengar kecewa.

“Tidak, malam ini bandku manggung di sebuah kafe. Seharusnya aku sudah berada di sana sekarang. Aku benar-benar lupa. Astaga.” Aku menyisir rambutku ke arah belakang. “Bisakah kau antarkan aku, please?”

“Tentu.” Jawab Luke, tersenyum, berusaha menutupi rasa canggung.

“Soal tadi ... lupakan saja oke? Aku terbawa suasana.” Kataku, merasa malu pada diri sendiri.

“Ya, tidak masalah.” Luke terlihat sama malunya denganku, namun bisa ia sembunyikan dengan sikap tenang.

What the actual fuck just happened a while ago? What if your cellphone wasn’t ringing at the right time? Stupid Zia.

Continue Reading

You'll Also Like

473K 35.6K 44
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
874K 6.2K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
283K 19.9K 49
~Warning!~ •DILARANG PLAGIAT!! •up dua hari sekali •Mengandung beberapa kata-kata kasar dan adegan kekerasan⚠️ •Harap bijak dalam memilih bacaan! Rac...
793K 22.2K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...