NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#14

130K 13.1K 2.1K
By renitanozaria

Sore itu, setelah Cetta pulang dari Lombok, ketiganya langsung menggelar rapat paripurna di kamar Cetta. Kenapa kamar Cetta? Karena kamar Cetta adalah kamar paling rapi diantara kamar mereka bertiga. Kalau kata Chandra, mereka sudah cukup membuang waktu menyaksikan bagaimana noraknya Cetta melepas Rana melanjutkan perjalanan ke rumahnya dari bandara. Tadinya, Cetta berniat mengantar Rana lebih dulu, namun Rana memaksa Cetta mengambil pilihan yang lebih logis sebab jarak rumah Cetta yang lebih dekat dari bandara dibanding rumah Rana. Berani sumpah, bagi Calvin, adegan lima belas menit pelepasan Cetta dan Rana adalah adegan paling menjijikkan yang pernah dia lihat selain adegan Jack memeluk Rose di buritan kapal Titanic yang sudah tenggelam itu.

Anehnya, tadi sore, Cetta tidak terlihat malu sama sekali melakukan tindakan yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa fauna, tidak akan jauh beda dengan kelakuan kucing yang saling merayu sebelum kawin.

"Beneran nggak apa-apa aku yang pulang duluan?"

Cetta bertanya lagi saat dia baru turun dari taksi, sementara supir setengah baya yang mengemudikan mereka dari bandara. By the way, Calvin dan Chandra batal menjemput karena katanya Ayah mau ikut. Buat Cetta, mending dia menumpang mobil losbak pengangkut sayur sekalian daripada dijemput limosin yang disupiri oleh Ayah. Ayah memang tidak berniat tebar pesona, tapi kehadiran laki-laki itu tak pernah gagal membuat kharisma Cetta meredup.

"Dimi, cuma orang tolol yang bakal bolak-balik malam-malam begini hanya karena alasan sentimental—with a premium cab, if I have to add. Rumahku juga nggak jauh-jauh amat dari sini."

"Tapi kamu kan masih mual-mual. Kalau kamu muntah gimana?"

Telinga Chandra dan Calvin spontan langsung berdiri macam ekor kucing yang baru diinjak begitu mendengar kata-kata ambigu Cetta.

"Ada kantung plastik yang kamu beliin setelah keliling dari satu warung ke warung waktu kita masih di Gili."

Cetta cemberut, terlihat seperti anak TK yang merajuk karena tidak diizinkan membeli cotton candy oleh ibunya. "Kamu harus telepon aku begitu sampe di rumah. Janji?"

Akhirnya, setelah lelah memasang resting bitch facenya yang terkesan dingin, Rana melepaskan gelak kecil. "Kok kamu jadi super clingy gini, sih?"

"Soalnya udah biasa bobo sama kamu terus." Cetta melirik jengah pada Chandra dan Calvin yang kini sibuk memasang ekspresi wajah layaknya orang yang mau muntah. "Terus nanti malam sebelahan kamar sama dua kutu busuk ini. Huf."

"Aku balik duluan, deh ya. Nanti aku telepon." Rana menyempatkan diri berjalan keluar dari taksi, kemudian mendekati Cetta. Jari-jari gadis itu menyentuh garis rahang Cetta sejenak, lalu dia berjinjit dan memberikan ciuman kecil. "Sampein salam aku buat Ayah."

Cetta menggeleng. "Nggak mau."

"See you tomorrow, Dimi."

Dengan berat hati, Cetta memaksa diri untuk tetap diam tatkala Rana kembali masuk ke taksi dan taksi itu memutar arah sebelum kembali berlalu untuk bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain di jalan raya. Merasa jika adegan yang terjadi di depannya sudah lebih parah dari adegan sinetron paling norak mana pun yang bisa Calvin ingat, cowok itu kontan menarik bagian belakang kerah baju Cetta sementara Chandra memonopoli koper-kopernya. Beruntung Ayah kelihatan sedang sibuk di dapur bersama Suri—untuk membuat smoothies atau salad bowl atau apa pun itu—sehingga beliau tidak punya waktu mengomeli tingkah laku anak-anak laki-lakinya yang tidak jauh beda dengan kelakuan anak SD.

"Kok di kamar gue, sih?!" Cetta berseru protes ketika Calvin menggeretnya ke kamarnya disusul oleh Chandra yang menutup pintu kamar sebelum menguncinya.

"Yaelah, masih harus pake nanya juga, apa?" Chandra menyentakkan kepala, tapi lalu matanya menyipit mengamati penampilan Cetta. "Wow. Hebat juga ya lo. Berhari-hari kepanggang di Lombok tapi nggak jadi hitam."

"Udah gue bilang, kulit gue sama kulitnya Malika itu beda. Gue mau dipanggang di Sahara juga nggak akan jadi gosong. Beda sama Malika ini. Coba lo sekap dia setahun di Antartika. Yang ada dia malah mati beku macam sarden kalengan, boro-boro jadi putih."

"Gimana mau hitam, orang sebagian besar waktu liburan lo dihabisin dalam kamar, bukannya berjemur di pantai." Calvin menyindir, membuat muka Cetta memerah. "Tuh lihat, mukanya merah kayak abis ketumpahan saus mekdi. Ketebak banget si bungsu brengsek ini abis ngapain aja ama pacarnya yang kayak Mak Lampir itu."

"Heh, jaga mulut lo ya, Item."

Chandra mengabaikan adu mulut konyol yang terjadi antara dua adiknya. Dia justru sibuk membongkar isi koper Cetta yang sarat muatan. Layaknya seorang guru, dia mengabsen satu-persatu isi koper Cetta yang berhasil ditariknya keluar.

"Dream catcher. Apaan banget sih sok Bohemian abis. Dodol rumput laut. Hm, kayaknya enak. Kacang mete bumbu. Totally not my favorite, gila aja lo kebanyakan makan kacang bikin gue jerawatan nantinya. Gantungan kunci. Ole-oleh standar banget, Nyet. Abon ikan marlin. Wow, nggak ada gitu abon mermaid? And then... is this—what—kok bra cewek lo nyempil disini?!"

Refleks, Cetta langsung melotot. Mulutnya kontan terbuka ketika menyaksikan Chandra memegang sehelai bra warna merah gelap dengan aksen renda di bagian tali hingga bagian tepinya. Tadi, waktu dia berada di kamar mandi hotel untuk bersiap-siap sebelum mereka check out menuju bandara, Rana memang sempat berteriak padanya. Cewek itu bilang kopernya sudah penuh—salahnya sendiri karena memenuhi benda itu dengan berbagai macam benda yang dia temukan di Phoenix Food, bahkan dia sampai memborong terasi bakar—dan mau menitip sesuatu di koper Cetta. Cetta tak keberatan, hanya saja dia betul-betul tidak menyangka jika 'benda' yang dimaksud Rana itu adalah bra.

"Buset. Siniin!" Cetta berseru cepat sembari menyambar bra merah tersebut dari Chandra yang kini sibuk tertawa bersama Calvin.

"Gila, ngapain aja lo di Lombok sampai bra cewek lo bisa nyasar kesana, terselip diantara dodol rumput laut?" Calvin menyindir. "Lo nggak beneran coblosan, kan?"

"Kecilin suara lo bisa, nggak?" Cetta mendelik. "Gue bisa dipancung kalau Ayah sampai ngira yang nggak-nggak."

"Tapi ya, Tri, kalau gue perhatiin, kayaknya ada sesuatu yang salah. Tadi Rana mual-mual, kan? Gila, tokcer banget lo. Berapa kali tembak tuh sampai anak orang mual-mual lemas nggak karuan?"

"Dia mabuk darat dan emang lagi pusing, oke? Di pesawat dia juga muntah melulu. Jadi tolong bersihkan otak kalian yang kotornya ngalah-ngalahin kontainer Bantargebang itu."

"Gue sih bersih-bersih aja." Calvin bersiul, melirik lagi pada bra merah yang langsung Cetta sembunyikan ke dalam tumpukan benda di kopernya yang masih terbuka. Sebagian besar isinya sudah berantakan serupa isi perut korban Hannibal Lecter. "Tapi emangnya ada cowok yang pikirannya bisa bersih kalau udah ngeliat underwear cewek. Damn, warnanya merah pula."

"Malika Raskara, dengan hormat gue minta lo untuk menghapus fantasi aneh-aneh lo terkait underwear cewek gue dalam otak lo yang sudah rusak itu."

"Siapa juga yang berfantasi tentang Rana? Ogah banget. Orang gue lagi mikirin Princess Khansa gue. Hm. Dia udah pulang belum ya? Gue udah bilang, dia nggak boleh terus-terusan tidur di rumah sakit lagi kayak semalam. Nanti sakit." Calvin meraih ponsel. "Apa gue telepon aja kali ya? Siapa tahu bisa gue samperin dan makan malam bareng."

"Mana ada makan malem jam segini." Chandra melotot. "Lagian, jangan lupa. Malam ini kita mau rapat paripurna terkait misi kita yang terbaru."

Calvin menepuk dahinya. "Oh iya, lupa."

"Yaudah, jadi gimana rencana kita? Strategi-strategi apa yang harus kita lancarkan supaya mata Ayah terbuka dan Suri juga sadar kalau bocah jangkung itu terlalu jelek buat jadi adik ipar kita?"

"Tunggu dulu dong, Tri. Masa langsung bahas to the point. Rapatnya aja belum gue buka."

"Elah, lebay banget." Cetta menyembur kesal.

Chandra mengerjapkan mata, lagi-lagi menampilkan wajah yang mungkin kadar kebijaksanaannya mengalahkan kebijaksanaan Dalai Lama. Tong Sam Chong who? Dibanding muka adem penuh pengertian Chandra sekarang, Tong Sam Chong hanya berandalan terminal. "Selalu ceroboh begitu, saudaraku. Kita ini manusia beradab. Masyarakat madani. Kita harus bertindak layaknya manusia beradab. Dimana-mana, rapat penting itu selalu memiliki tatakrama. Mengerti?"

"Gaya lo udah kayak kita mau bahas masalah darurat negara aja."

"Loh, bukannya memang tingkat urgensinya setara?" Chandra menyahut kalem lagi, membuat kening Calvin berkerut—karena sumpah, Chandra hampir bengek menyusun skripsinya waktu kuliah dulu hanya karena istilah-istilah sederhana macam status quo atau embargo, jadi bagaimana bisa sekarang cowok itu memakai istilah tingkat urgensi? "Ibaratnya, keluarga kita ini seperti negara. Ayah adalah presidennya. Gue jenderal militernya. Lo menterinya. Calvin paspampresnya dan Suri adalah rakyat yang harus kita lindungi sepenuh hati."

"Tunggu dulu. Kenapa gue harus jadi paspampres?" Calvin memotong tidak setuju.

"Karena muka lo yang paling pantas jadi paspampres. Udahlah, elah. Cuma perumpamaan." Chandra balik sewot. "Sekarang rakyat kita berada di bawah ancaman negara asing. Parahnya, presiden yang harusnya melindungi justru termakan bujuk-rayu palsu negara asing itu. Kita tidak bisa menurunkan presiden terang-terangan, soalnya kita belum gila. Gimana pun juga, presiden punya kuasa lebih banyak dari kita. Tapi di sisi lain, kita harus melindungi rakyat hingga titik darah penghabisan."

"Chan, gue nggak tau lo punya rencana ikut casting sekuel filmnya Bung Karno atau gimana, tapi muka lo sama sekali nggak cocok untuk sok berorasi kayak gitu."

"Yeu, ayakan tepung, motong aja kerjaan lo." Chandra melotot kesal pada Calvin, tapi lantas dia berpaling pada Cetta. "Tri, sini. Gue bisikin rencananya. Nanti lo jelasin ke Malika. Lama-lama gue kena stroke kalau gue harus ngomong terus-terusan sama ini bocah Zimbabwe."

Cetta menurut. Dia mendekat dan Chandra membisikkan sesuatu di telinganya. Mereka saling berbisik selama beberapa saat, hingga kemudian Cetta manggut-manggut setuju.

"Untuk kali ini, ternyata otak lo nggak lemot-lemot amat, Chan."

"Sebenarnya gue itu pintar. Cuma sengaja aja nggak menunjukkan, nanti kalian stress kalau Ayah dan Bunda ngebandingin kepintaran kita bertiga."

"Mulut lo bau sampah." Calvin mencerca. "Kasih tau gue, Tri,"

Cetta lagi-lagi mengiyakan. Dia memberitahukan semua rencana yang dimaksud Chandra pada Calvin. Serupa Cetta, Calvin langsung mengangguk.

"Hm, not bad lah."

"Not bad kepala lo peyang! Itu adalah rencana paling brilian sepanjang masa, oke?"

Detik berikutnya, wajah Chandra dihempas oleh sekotak dodol rumput laut. Mereka kembali berdiskusi, sesekali berdebat dan saling mencemooh. Itu berlangsung hingga satu setengah jam berikutnya dan mereka sama sekali tidak sadar bahwa ada saksi lain selain Tuhan yang menyaksikan rapat paripurna tersebut. Saksi pertama adalah Wati yang nongkrong asyik di atas lemari. Saksi keduanya adalah Ayah, yang mencuri dengar dari balik pintu.

Jarum pendek jam di dinding baru mencapai angka delapan malam saat ponsel Ayah berdering. Ayah tidak perlu berpikir lama untuk menjawabnya begitu dia melihat nomor siapa yang tertampil di layar. Nomor itu adalah nomor Sebastian. Dengan santai, Ayah men-swipe layar ponsel untuk menjawab panggilan tersebut.

"Halo, Bas?"

"Halo, Ayah." Sebastian menyapa, terdengar bersahabat sekaligus lelah. Mudah bagi siapa pun menebak kalau Sebastian mungkin baru beristirahat setelah sebagian besar harinya dihabiskan di kantor. "Selamat malam. Maaf kalau saya ngeganggu."

"Oh, nggak kok. Selow aja kayak di pulo. Hehehehe."

Sebastian tertawa garing.

"Sori, ya. Tapi bukannya ungkapan itu lagi nge-hits di kalangan anak-anak sekarang? Saya juga dikasih tau Pak Harjo, sih."

"Iya, Ayah." Sebastian diam sejenak. "Sejujurnya, saya nelepon karena saya mau minta izin sama Ayah."

"Hm, izin apa?"

"Besok saya mau cari hadiah ulang tahun buat Gio. Tapi akhir-akhir ini, saya jarang banget ngobrol sama Gio karena urusan pekerjaan. Justru Suri yang lebih sering kontakan sama Gio, entah itu dari chat atau waktu Suri main ke rumah. Besok, waktu ngejemput Suri, saya boleh minta izin bawa dia nemenin saya nyari kado? Nanti saya anterin pulang sebelum jam sembilan, kok."

Salah satu kualitas dari seorang Sebastian Dawala yang Ayah suka adalah, cowok itu tidak pernah takut meminta izin langsung padanya setiap ingin mengajak Suri pergi bersamanya. Ketiga kakak Suri tidak pernah tahu itu. Buat Ayah, jaman sekarang sangat jarang ada laki-laki yang seberani itu langsung bertanggung jawab kepada Ayah dari pacarnya. Dan satu lagi, Sebastian tidak mundur sama sekali meski kerap mendapat perilaku tidak menyenangkan yang bisa dilaporkan ke polisi dari ketiga saudara Suri.

"Oh, itu. Ya sudah, nggak apa-apa."

"Beneran, Yah?"

"Yaps. Have fun, ya. Cuma tetap, jam malam Suri jam sepuluh."

"Oke, Yah. Thanks."

"Your welcome, Bas."

"Kalau gitu, saya tutup ya? Sudah malam juga, khawatir ganggu waktu istirahat Ayah."

Ayah tertawa. "Kebalikannya, justru kamu yang harus istirahat. Dari suara kamu aja, siapa pun pasti tahu kalau kamu lagi capek sekarang. Oke."

"Good night, Sir."

"Good night."

"Kita mau nonton film apa hari ini?"

"Apa aja asal bukan Spiderman." Suri menjawab pertanyaan Siena sambil mereka berdua melangkahkan kaki menuju pelataran parkir. Cuaca tidak terlalu panas, tapi Suri tidak bisa berhenti mengeluh karena harus jalan kaki menuju tepi jalan besar sebelum Siena memesan Go-Car. Tadinya, Suri ingin memaksa Chandra untuk datang mengantarkan mereka ke mall, namun setelah dipikir-pikir lagi, Suri membatalkannya. Jelas menyuruh Chandra akan lebih bermanfaat buat Siena. Dan Suri tidak sedang ingin jadi obat nyamuk mengenaskan diantara sepasang—calon—kekasih yang baru saja baikan.

"Film horor?"

"Ogah ah."

"Lo takut?"

"Nggak. Film horor biasanya banyak ditonton sama hantu-hantu. Kadang malah hantu dari luar kota yang nggak ada bioskopnya ikut-ikutan nonton."

"Oh ya? Emang ada kota yang nggak ada bioskopnya?"

"Ada-lah. Namanya juga Indonesia." Suri menyentakkan kepala, seperti merasa konyol pada pertanyaan Siena.

"Tapi gue masih nggak ngerti deh hubungan antara film horor dan setan nonton di bioskop. Maksud gue, emang setan masih napsu nonton film yang tujuannya nakut-nakutin pake setan? Itu tuh kayak ngegertak Superman pake racun."

"Emang Superman kebal racun?"

"Harusnya iya. Namanya juga Superman." Siena membalas polos. "Udah ah, jawab dulu pertanyaan gue tadi."

"Aduh, lo pernah nggak sih nonton acara dangdut? Nih ya, lo suka lihat kan misal ada kontestan dari Jonggol. Kenapa Jonggol? Ya suka-suka gue lah. Intinya ada kontestan dari Jonggol. Terus kebeneran suaranya bagus. Pokoknya cengkok dangdutnya dangdut banget, deh."

"Kenapa jadi bawa Jonggol dan kontestan dangdut?"

"Perumpamaan, lemotku sayang." Suri dibikin gregetan sejenak. "Misal dia melaju sampai babak final. Pasti banyak deh orang-orang Jonggol yang ikutan dateng buat nonton di studio. Kadang sampe pake dresscode, bawa spanduk dan sewa bus segala. Rombongan pendukungnya udah kayak rombongan haji satu kloter. Situasi yang sama juga berlaku di dunia para hantu."

"Hah? Maksudnya?"

"Kalau hantu udah sampai difilmin, itu berarti hantunya lumayan famous. Apa ya kalau di Indonesia tuh mungkin sejenis artis go international gitu. Dia udah ditonton sama manusia. Udah bikin manusia takut. Udah lintas dimensi gitu deh popularitasnya."

"Oh." Siena manggut-manggut. "Jadi nonton apa, dong?"

"Wonderwoman aja kali, ya?"

"Emang masih main?"

"Nggak tau."

"Eh by the way, nanti kalau pesan Go-Car, kalau bisa mobilnya jangan yang warna hitam."

"Hah? Emang kenapa?"

"Ojan mau ikut kita nonton. Cuma katanya dia dulu matinya gara-gara ketabrak mobil warna hitam. Jadi rada trauma gitu. Gue udah terlanjur bilang iya."

"Ojan siapa lagi?" Siena melotot.

"Teman baru gue. Ketemu di belakang gedung serbaguna lama yang udah nggak kepake. Katanya sih dulu dia mahasiswa sini. Namanya Fauzan. Gue panggil Ojan aja biar gampang."

"Lo tuh ya, bukannya temenan sama manusia malah temenan sama setan."

"Kadang manusia juga bisa lebih seram daripada setan." Suri berkilah. "Buktinya liat aja hate messages yang lo terima. Juga tumpukan requested direct messages Instagram lo pasca foto lo sama abang gue di rooftop nyampe muncul di akun gosip. Manusia tuh bisa nge-judge orang yang nggak pernah mereka kenal hanya karena ada sesuatu dari orang itu yang menurut mereka menyinggung mereka. Padahal tau karakter aslinya aja nggak. Serem banget. Mana makiannya jahat-jahat lagi. Pusing deh pala Princess."

"Terserahlah."

"Yaudah. Pesan aja Go-Car—hah? Tian?!" Suri belum lagi menyelesaikan ucapannya ketika kepalanya tertoleh pada satu arah dan dia mendapati Sebastian berada disana. Cowok itu masih memakai kemeja kerjanya, hanya saja dasinya sudah dilepas. Dua kancing teratas kemejanya juga sudah dibuka. Dia berdiri di samping mobilnya, menatap Suri dengan alis terangkat.

"Hm." Gumamnya sekenanya saat Suri mendekat.

"Kamu ngapain kesini?"

"Minggu depan Gio ulang tahun." Sebastian memulai tanpa berbasa-basi. "Karena gue bingung Gio lagi kepingin apa dan harus beliin kado yang gimana, gue mau minta saran lo. Temenin gue belanja, oke?"

"Tapi Siena ikut, ya?" Suri langsung membalas. "Soalnya kita udah janjian mau nonton dan shopping barang-barang unyu bareng-bareng. Kan bisa sekalian."

Sebastian menghela napas, menatap Siena yang balik memandangnya polos sebentar. Kalau boleh jujur, sebetulnya dia ingin berdua saja dengan Suri. Entah hal aneh apa yang telah terjadi padanya, tapi Sebastian menyadari dia merindukan Suri lebih sering dari biasanya akhir-akhir ini. Namun tentu saja, jika Suri sudah menatapnya dengan pandangan penuh harap seperti itu. Sebastian jelas tidak punya pilihan lain.

"Hm. Yaudah."

"Yaay! Makasih, Tian!" Suri berseru girang, refleks meraih leher Sebastian dan memeluknya. Gadis itu seperti lupa kalau mereka masih berada di parkiran kampus. Siena bersemu menyaksikan pemandangan itu, sementara Ojan cemberut—sampai matinya, dia tidak pernah punya pacar, jadi memang agak sensitif menyaksikan adegan peluk-memeluk penuh kasih sayang secara langsung. Sebastian sempat terperangah sebentar, tapi akhirnya dia balik merengkuh bahu Suri—tentu saja dengan jenis gerakan yang tidak begitu kentara.

Well, setidaknya dia dapat satu pelukan siang ini.

Saat Chandra berjalan melewati bagian depan sebuah toko perhiasan di sebuah mall dan melihat seuntai kalung berliontin batu berbentuk mawar berwarna merah muda, entah bagaimana Siena langsung terlintas dalam benaknya. Lalu secepat itu pula, tanpa berpikir lagi, Chandra langsung masuk ke toko tersebut. Semenit-dua menit terlalui dengan Chandra menanyakan soal batu serta harga perhiasan tersebut, dan berakhir dengan Chandra membelinya. Matanya menatap liontin mawar itu sekali lagi sebelum pramuniaga toko perhiasan memasukkannya ke dalam kotak beludru berwarna merah.

Chandra merasa seperti dia akan melamar seseorang—tapi hei, jangan salahkan dia. Salahkan kakinya karena membawanya melewati toko perhiasan saat niatnya ke mall hanya untuk bersantai sambil minum kopi di Starbucks. Salahkan liontin itu karena mengingatkannya pada sosok Siena.

Ah, Siena. Mengingat gadis itu tak pernah gagal membuat senyum Chandra terkembang. Setelah obrolan mereka di rooftop hotel waktu itu, Siena Padmarini yang menjauhinya kembali berubah jadi Siena-nya—Chandra tahu ini sangat norak, tapi paling tidak dia merasa senang. Dalam suasana hati seperti ini, Chandra bisa ditempatkan dalam sebuah ruangan yang tak henti memainkan lagu-lagu kampung dari Kangen Band dan dia tidak akan protes—malah mungkin akan menyanyi mengikuti lirik lagu.

Lalu, semesta seperti ingin menggenapkan suasana hatinya yang tengah berbunga-bunga. Chandra baru melangkah keluar dari toko perhiasan dan menjejalkan kotak beludru merah ke dalam saku jaketnya ketika pandangan bertemu dengan seseorang. Seseorang yang baru saja dipikirkannya tidak sampai setengah menit yang lalu.

Orang itu adalah Siena.

Sama seperti Chandra, Siena terlihat sama terkejutnya.

Senyum Chandra terkembang kian lebar. Dia makin bersemangat untuk menghampiri Sien, tapi langkahnya kontan terhenti mengiringi senyumnya yang memudar tatkala dia melihat siapa yang berjalan di belakang Siena. Mereka adalah adik perempuannya sendiri, bersama pacar yang mungkin tidak akan pernah Chandra restui sampai mati.

Kuampret.

Tanpa pikir panjang, Chandra merogoh saku celana dan mengetikkan pesan untuk kedua adik laki-lakinya yang lain.

MAYDAY!! MAYDAY!! MENTERI DAN PASPAMPRES HARAP SEGERA MELUNCUR KE PIM!! RAKYAT DALAM BAHAYA!!

Setelah pesan tersebut terbaca, baru Chandra bisa mengembuskan napas lega. Calvin dan Cetta pasti akan menghentikan apa pun kegiatan mereka sekarang—sekali pun mereka sedang sibuk menaati aturan setoran alam harian di kamar mandi—dan meluncur menemuinya.

Tapi yang kini jadi sisa kekhawatiran Chandra adalah; bagaimana bisa Siena ada disana ketika dia punya misi menjaga adiknya dari siluman belalang sembah setinggi sutet itu?

Chandra punya firasat hari ini akan jadi hari yang panjang. 

Hehe sori baru posting lagi. 

Jadi akhir-akhir ini gue lagi sangat mager ngapa-ngapain dan bawaannya mau makan mulu oke jadi kerjaan gue dua hari kemarin cuma bobo-bobo sambil nonton Knowing Bros dan stage Music Bank, Inkigayo sejenisnya so maavkand aku. 

Mari kita lupakan sejenak masalah Bleng-blengan dan Noir-noiran karena cuy, pusing amat kalau lo dijejelin berat berat terus wakakakaak (meskipun kayaknya ini cerita kaga berat-berat amat) (sebenernya cerita ini berat cuma kerecehan yang ada menciptakan ilusi seolah-olah cerita ini ringan yawla ngomong apedah gue) 

Hm, btw katanya Oka mantannya awkarin meninggal ya. 

Well, gue bukan fans awkarin sih, cuma gue rada syok aja liat komen-komen nyinyir terkait meninggalnya si Oka ini lol kadang netizen bisa sejahat itu ya. Mulai dari yang langsung bilang dia masuk neraka begini-begitu sampai ada yang nanya si Karin kapan nyusul. Buat gue, itu terlalu jahat. Wishing for someone's death is one of the most un-human things, imo. Terlepas dari si Oka ini orangnya gimana ya masalah akhirat dia mah urusan dia sama Tuhan. Toh posisi kita sama dia juga sama-sama terdakwa gitu, nggak perlulah berasa paling deket sama 'Hakim'nya. Masuk surga itu nggak ada pake jalur belakang, ok. 

Soalnya berita kematian dimana pun adalah berita duka. Binatang aja bisa bersimpati ketika sesamanya ada yang mati, masa manusia nggak bisa. For a moment, why can't you just be a human? 

Ea gue jadi bawel ya. Gue bukan fans awkarin. Gue bahkan pernah ngehujat dia dulu di ask.fm gue. Tapi ya, gue adalah orang yang fair bahkan ketika gue benci seseorang. Kalau emang dia punya kualitas baik ya bakal gue akuin. 

Jadi ceramah deh gue buset tapi yang lagi gue pikirin ya itu. Nanti kalau author notes nya kosong lo pada protes lagi. 

Oh ya, gue emang baru pindah ke Bandar Lampung. Jadi gue sebenernya orang lampung. Orang tua dua-duanya dari Lampung Tengah. Tapi gue banyak tinggal di jabodetabek dan jawa barat dari gue kecil. Jadi gue mengerti bahasa Sunda, bahasa Betawi dan Bahasa Jawa-Serang. Then, karena gue kuliah di Semarang gue jadi rada mengerti bahasa Jawa. Karena temen-temen gue sangat multicultural, ada yang dari Sumbawa, Padang, Riau sampai Batak, gue jadi mengerti logat dan sebagian kata-kata atau dialog dalam bahasa mereka. I know some words in Mandarin too, karena dulu waktu gue SMP, gue biasa nungguin dijemput di depan toko lemari dan yang punya toko lemarinya orang tionghoa dan sering banget ngajak ngobrol. Gitu. You know, Indonesia is a beautiful country and so full diversity (dan gue nggak mengerti kenapa perbedaan justru seolah dipaksa harus disamakan karena alasan-alasan yang nggak masuk akal)

Btw, yang di Bandar Lampung, kalau mau meet up, ayo ayo aja lol. Gue disini sampai tanggal 13 Agustus. 

Oke deh. 

Sampai ketemu di chapter berikutnya. 

Ciao. 


Notes: 

Published in July 19th 2017 

Bandar Lampung | 19.45

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 202 180
Mari ceritakan tentang hari ini.Mari tersenyum hari ini,hari esok dan seterusnya.Sampai suatu saat waktu mengusaikan.
24.3K 2.6K 56
Cukup. Hanya itu. Cukup bahagia, cukup tertawa. Hingga kecewa dan sedihpun tak akan terlalu terasa dalam dan menyakitkan. ''Harusnya dulu, gue ga mem...
55.9M 770K 11
PINDAH KE APLIKASI FIZZO Hanya kehidupan sehari-hari tentang Kana, cewek super pemales yang tidak mau melakukan semua hal karena dianggap repot. Kes...
184K 4.8K 25
Pada kalimat usang yang masih kerap mengusik hidupku. Pada wajah bahagia yang selalu aku nantikan kehadirannya mengapa kini nampak pudar? Mengapa wak...