Sunshine (ketulusan, cinta da...

By WidhiIbrahim

38.2K 1.2K 18

"Aku ingin seperti Matahari, aku tak mau merasa kesepian walau sendiri, aku tak mau mengeluh dengan setiap ra... More

bab 1 - part 1
part-2
part-3
part-4
Part-2
bab 3 - part 1
Part-2
part 3
Bab 4 - part 1
Part-2
Part-3
Bab 5 - part 1
Part-2
Bab 6
Bab-7
Bab 8-Part1
Part-2
part-3
Bab 9 - part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Bab 10 - Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Bab 11 - Part 1
Part 2
Part 3
Bab 12 - Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part - 5
Part-6 (END)

Bab 2- part 1

1.4K 46 0
By WidhiIbrahim

Beberapa bulan yang lalu.

Aku... Hanindhiya Lubis, gadis 18 tahun yang besar dalam keluarga kaya raya dan tinggal di rumah mewah yang menyerupai sebuah istana. Mungkin kehidupan seperti itu adalah impian setiap orang. Karena kenyamanan dan kebahagian sudah pasti terdapat di dalamnya. Tapi tidak dengan aku. Hidup serba berkecukupan bersama Bunda dan kedua kakakku lantas tidak membuatku bahagia. Semua bisa Bunda beli dengan uang, tapi tidak dengan kebahagiaanku. Mungkin aku tidak bersyukur? Bukan... Mungkin aku tidak beruntung? Ya... Bisa dibilang aku kurang beruntung, karena aku sakit.

Hari ini, tepatnya bulan dimana universitas-universitas membuka pendaftaran untuk mahasiswa baru. Pagi, sekitar pukul 10:00 aku menghampiri Bunda yang sedang duduk sendirian di ruang tengah sambil menonton tayangan televisi genre drama, Bunda terlihat terhanyut mengikuti alur dalam tayangan yang sedang Bunda tonton. Dengan rasa tidak enak karena akan mengganggu Bunda, dengan lembut aku mencoba menegur Bunda.

"Pagi, Bun." Aku duduk di samping kanan Bunda.

"Ehh, Sayang," jawab Bunda sambil mencium keningku.

"Bun, Hanin boleh minta sesuatu nggak?"

"Apa, Sayang?"

"Bun, Hanin mau minta izin buat daftar masuk universitas. Boleh ya, Bun?" pintaku.

Mendengar itu Bunda langsung kaget. Pandangan Bunda beralih tak lagi memandang ke arahku, seakan-akan membuang muka dan malah terdiam.

"Bun, boleh kan?" tanyaku lagi.

"Enggak, Sayang!" jawab Bunda singkat dan ketus.

"Kenapa, Bun? Hanin pengen ngelanjutin sekolah Hanin. Hanin masih berhak untuk itu kan, Bun?"

"Pokoknya Bunda nggak akan ngizinin kamu!"

"Kenapa, Bun? Kasih Hanin alasan. Apa karena aku sakit?"

Bunda terdiam, aku pun dibikin penasaran. Sambil menebak alasan apa yang akan Bunda katakan sampai-sampai membuatnya tidak mau memberikan aku izin.

"Bunda cuman nggak mau kamu kecapean. Bunda nggak mau ambil resiko. Jadi tolong dengerin Bunda!"

"Hanin emang sakit, Bun! Tapi Hanin nggak selemah yang Bunda pikir. Hanin bisa buktiin kok, kalau Hanin pasti kuat untuk beraktivitas normal. Dan Hanin janji, Hanin pasti baik-baik aja. Please, Bun ... boleh ya?"

"Hanin! Tolong jangan bantah Bunda!" kata Bunda sedikit membentak ku.

"Bunda nggak adil." Seketika air mataku menetes dan aku langsung pergi meninggalkan Bunda.

Di kamar, yang terletak di lantai dua. Aku berdiri di balkon kamar. Pandanganku melihat ke bagian bawah rumah. Dimana terlihat kak Sandra, kakak perempuanku yang hendak pergi bersama beberapa teman yang sudah menunggunya di depan rumah. Dalam hatiku rasa iri benar-benar muncul, aku benar-benar iri melihat kak Sandra. Aku sangat ingin seperti kakakku. Yang bisa bebas pergi kemana saja, dan punya banyak teman.

"Enak ya jadi kak Sandra? Bisa keluar rumah, bisa pergi kuliah, dan punya banyak teman. Tapi aku, aku hanya burung dalam sangkar emasnya Bunda. Yang terkunci rapat, dan tidak bisa terbang bebas," ucapku dalam hati.

Aku beranjak dari balkon dan melangkah masuk ke dalam kamarku. Mata ini memandang seluruh isi kamar, dimana terdapat banyak sekali alat-alat medis di dalamnya. Satu per satu ku sentuh alat-alat yang ada, dari mulai monitor EKG, tabung oksigen, botol cairan infusan yang masih menggantung, dan tempat tidur yang sudah tertata rapih. Lalu aku duduk di atas tempat tidur itu.

"Kapan kamar ini bisa kembali ke semula? Tanpa suasana yang seperti ini. Suasana yang sangat jauh berbeda dari kamar-kamar pada umumnya," kataku ngomong sendiri.

Aku bener-bener bosan dengan semua ini, semua aturan yang Bunda berikan untukku. Kasih sayang dan perhatian Bunda terlalu berlebihan semenjak aku sakit, sampai-sampai untuk keluar rumah pun aku nggak berhak. Ketakutan Bunda yang menurutku sangat berlebihan terlihat jelas pada kamarku ini, Bunda rela mengeluarkan uang banyak untuk membeli semua alat-alat medis yang lengkap. Supaya aku tetap di rumah dan Bunda bisa mengawasi ku setiap waktu. Bahkan Bunda rela membayar mahal tante Dewi untuk stay di rumah, agar selalu ada untuk merawatku. Aku senang Bunda sangat perhatian padaku, tapi bukan seperti ini yang aku mau. Yang malah membuat aku jadi orang yang tidak berguna dan tidak bisa apa-apa.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, aku melihat kak Hans masuk menghampiri dengan membawa sebuah jinjingan kertas yang entah apa lagi isinya, lalu kak Hans duduk di sampingku.

"Pagi, De..." sapa kak Hans sambil tersenyum.

"Pagi, Kak. Tumben Kakak belum berangkat ke rumah sakit?"

"Ini juga mau kok, De. Tapi Kakak pengen ketemu sama ade kakak yang cantik ini dulu, soalnya Kakak punya sesuatu untuk kamu. Semalem Kakak beli ini, tadinya Kakak mau langsung kasih ke kamu tapi kamunya udah tidur. Nih ..." Kak Hans menyodorkan jinjingan itu ke hadapanku.

Aku pun mengambilnya, lalu membukanya. Yang ternyata di dalam jinjingan itu ada coklat dan sebuah baju beserta kupluk. Hadiah yang rutin kak Hans beri setiap minggu untukku. Tapi entah kenapa hari ini aku tidak begitu senang, saat mendapat barang-barang dari kak Hans.

"Kamu suka kan? Kamu pasti cantik kalau pake baju itu."

Aku hanya terdiam sambil memandangi barang-barang pemberian kak Hans, terutama baju lengan panjang berwarna putih yang kak Hans beri untukku.

"De ... kok diem? Kamu suka kan?"

"Hanin suka kok, Kak. Tapi harusnya Kak Hans nggak usah repot-repot beliin baju ini buat Hanin. Buat apa coba Kakak beliin Hanin semua ini terus."

"Kok kamu ngomongnya gitu sih De, apa kamu nggak suka sama semua barang pemberian Kakak?"

"Bukan gitu, Kak. Ya sayang aja kalau baju bagus kayak gini cuman dipake buat tiduran doang."

Kak Hans hanya terdiam mendengar perkataan ku itu.

"Kak, Kakak kan asisten dokter. Kakak juga yang selama ini bantuin tante Dewi buat ngerawat Hanin. Hanin yakin Kakak pasti tau betul tentang kondisi Hanin sekarang ini kan? Kak, apa kondisi Hanin ini tidak memungkinkan untuk beraktivitas normal?"

"Kenapa kamu nanya kayak gitu, De?"

"Ya karena Hanin pengen hidup normal aja Kak, Hanin pengen bisa kuliah kaya orang lain. Hanin pengen ngerasain hidup normal, yang bisa kesana-kemari kayak remaja lain seusia Hanin. Hanin cape sama peraturan Bunda, Hanin bosen kayak gini terus Kak," keluhku sambil meneteskan air mata.

Kak Hans mencoba menenangkan ku yang sedang bersedih. Dengan nada yang lembut kak Hans mencoba menjawab semua keluhan ku.

"De, Kakak ngerti perasaan kamu. Tapi Bunda ngelakuin ini karena Bunda sayang banget sama kamu. Bunda nggak pengen kamu kenapa-napa, Sayang."

"Tapi Hanin pengen kayak orang lain Kak. Udah tiga tahun Hanin jadi burungnya Bunda. Selama itu pula Hanin nggak pernah nyentuh dunia luar, bahkan untuk nginjek halaman rumah aja kayaknya Hanin nggak berhak. Hanin pengen kayak orang lain Kak, kayak Kakak, kayak kak Sandra. Bisa sekolah, punya banyak teman. Hanin pengen ngerasain itu Kak. Hanin mohon bantu Hanin! Tolong bujuk Bunda! Yakinin Bunda, please!"

"Iya De, iya ... nanti Kakak coba omongin sama Bunda, ya!" Kak Hans menghapus air mataku. "Jangan sedih lagi ya!"

Aku menganggukkan kepala, lalu kak Hans memelukku.

***

Malam harinya, Bunda dan kak Hans sedang berada di ruang depan rumah. Nampaknya kak Hans sudah menyampaikan apa yang aku inginkan saat ini kepada Bunda, tapi Bunda terlihat marah dan sama sekali tidak setuju dengan permintaan kak Hans.

"Nggak Hans, Bunda bilang enggak, ya enggak!"

"Bun, Hans minta tolong. Kali ini aja..."

"Enggak, Bunda nggak akan pernah ngizinin. Bunda nggak mau Hanin kenapa-napa."

Tiba-tiba kak Sandra masuk, langkahnya terhenti saat melihat Bunda dan kak Hans berdebat.

"Bun... nggak ada salahnya kan untuk nurutin kemauan Hanin. Selama ini dia nggak pernah minta apa-apa, dia selalu nurut sama apa yang Bunda mau. Termasuk dengan semua peraturan yang Bunda kasih buat dia. Tapi kali ini Hans mohon, Bun... kasih Hanin kesempatan. Hans nggak mau Hanin sedih kayak gini karena Bunda nggak ngasih izin buat dia."

"Bunda punya alasan untuk itu, jadi tolong ngertiin perasaan Bunda, Hans."

Melihat Bunda dan kak Hans sedang membicarakan ku, kak Sandra malah terlihat kesal mengetahuinya.

"Ekhhhhh ..." gumamnya sambil pergi menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2, dengan langkah yang cukup cepat.

Sebuah kamar yang cukup rapi, dengan wallpaper yang bagus menghiasi dinding kamar, tempat tidur yang nyaman, tersedia meja rias, pokoknya benar-benar sebuah kamar yang nyaman. Aku berdiri di depan meja rias, sambil senyum-senyum sendiri melihat bayangan wajahku di cermin. Sementara tangan ini sedang memegang bedak yang ada di atas meja milik kak Sandra.

Brakkk... suara pintu yang didorong cukup keras. Aku pun merasa kaget, spontan aku langsung membalikan badan ke arah pintu dan lebih kagetnya lagi yang masuk itu kak Sandra. Kak Sandra menghampiriku dan langsung mengambil bedak yang aku pegang saat itu, dengan muka yang terlihat begitu marah dan kesal.

"Lancang banget sih lo masuk kamar gue! Pake pegang-pegang bedak gue segala. Udah mendingan lo keluar sana!"

"Maaf Kak kalau Hanin nggak sopan, karena udah masuk kamar Kakak tanpa izin. Hanin sengaja nunggu Kakak pulang, Hanin pengen diajarin dandan sama Kakak, makanya Hanin tunggu Kak Sandra di sini, Kakak mau kan?"

Mendengar ucapanku tadi kak Sandra malah tersenyum, seakan-akan meledekku.

"Nggak salah denger tuh, lo mau dandan? Ehh denger ya. Buat apa coba lo dandan? Sok kecentilan banget tau nggak. Kalau orang sakit itu mau dandan secantik apapun tetep aja mukanya pucet. Udah deh nggak usah banyak gaya, mendingan lo urusin tuh kamar lo! Buang monitor lo yang berisik itu. Ganggu banget kalau gue lagi tidur. Lagian ini rumah, bukan rumah sakit."

Hatiku terasa sakit mendengar perkataan kak Sandra kepadaku, aku sama sekali tidak menyangka kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut kak Sandra. Kakak kandungku yang sikapnya mendadak berubah drastis semenjak aku dinyatakan sakit. Namun, aku masih berusaha untuk tersenyum.

"Sekalian tuh urusin Bunda sama kak Hans! Yang lagi berantem gara-gara lo. Dasar biang onar."

"Hanin minta maaf ya, Kak," ujarku sambil menahan kesedihan dan langsung keluar dari kamar kak Sandra.

Kak Sandra berjalan menuju tempat tidur, ia duduk dan langsung menghela napas panjang untuk mencoba menenangkan hati yang cukup kesal padaku.

***

Continue Reading

You'll Also Like

204K 7.3K 30
Pertemuanya dengan pencuri kecil yang membawanya pada seseorang yang mampu membuat debar. jantungnya terasa dua kali lipat. Dan apa kah dia mampu me...
213K 11.5K 18
kalea, ia terus menangis meraung-raung saat melihat pemandangan hina yang membuatnya benar-benar sakit hati. Joska dan Dora, mereka dengan teganya me...
29.6K 2.4K 13
Melepas bukan berarti tak cinta, hanya saja keadaan tak akan bisa memihak. Meski awalnya terasa sakit, tapi jika masih bisa bahagia lebih baik lepask...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

839K 44.2K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...