Perfect Family

By badgalzia

8.9K 306 52

Temui Zia Mcfoy. Gadis 16 tahun, pencinta punk-idola gadis-gadis lesbian dan bi di sekolahnya. Tapi hey, dia... More

Chapter 1 | Call Me Zia
Chapter 2 | Meet Luke
Chapter 3 | The Boys
Chapter 4 | Tree House
Chapter 5 | Flour Fight
Chapter 6 | The Rumour
Chapter 7 | UFO Freak
Chapter 8 | Just Dreaming
Chapter 9 | Meet Cece
Chapter 10 | Lunch With Calvin
Chapter 11 | Meet Rory
Chapter 12 | Rock It Out!
Chapter 13 | Ignore
Chapter 15 | Under The Moonlight
Chapter 16 | Mad Rick's Cafe
Chapter 17 | Drowning
Chapter 18 | Nightmare
Chapter 19 | Fool Fight
Chapter 20 | Apologizes
Chapter 21 | Local Dish Resto
Chapter 22 | Confirmations
Chapter 23 | Cory's Top Secret
Chapter 24 | Carolina Place
Chapter 25 | Meet Avery
Chapter 26 | Singing Zach
Chapter 27 | A Dream Comes True

Chapter 14 | Be Mine?

231 12 2
By badgalzia

“I fucking love him and I can’t help it.”

Tidak terasa satu bulan berlalu tanpa kehadiran Luke di dalam benakku. Ini adalah hal yang bagus, tentu saja. Setiap harinya kulalui dengan senyuman, canda dan tawa bersama the boys dan Rory. Namun saat kesendirian menghampiri, baru aku menyadari jika hatiku terasa kosong. Tidak ingin menjadi seorang munafik, aku mengakui jika jauh di dasar sana, di dalam hati kecilku, merindukan Luke. Merindukan humornya yang seringkali tidak lucu, sorot hangat dari mata hazelnya, tawanya, senyumnya, bahkan aku merindukan sikap canggungnya yang sesekali muncul. Ia tidak kemana pun, aku melihatnya sepanjang hari di sekolah. Tapi itu semua terasa berbeda. Saat ini aku merasa jauh darinya. Meski ia ada di hadapan mata sekalipun, tidak bisa menahan perasaan jika aku merindukannya. Meski membalas sapaan dan senyumnya, itu semua semata-mata hanya untuk menunjukkan jika aku tidak mengabaikannya seperti yang ia katakan saat itu, tapi kenyataannya sangatlah ironis. Aku memang mengabaikannya, terus menjauh darinya, walaupun sebenarnya tak ingin. Jika tidak seperti itu, lantas mau bagaimana lagi? Aku benar-benar ingin melupakannya dan terbebas dari perasaan memuakkan yang kurasakan selama ini.

Aku lelah, di saat perasaan seakan mengambil alih semua pikiran rasional yang ada dalam otak. Pikiranku selalu mengingatkan jika Luke bukanlah orang yang tepat, namun hatiku dengan sangat egois mengaguminya, merindukannya dan yang terburuk... mencintainya. Perasaan yang tidak pernah terduga kedatangannya ini semakin hari terus berkembang secara tidak terkendali. Tidak tahu apa alasannya, yang pasti aku merasakannya. Bukankah cinta itu memanglah demikian? Tidak alasan pasti dibaliknya. Dan begitulah cintaku kepada Luke. Terdengar puitis tetapi menjijikkan di saat yang bersamaan, aku tahu. Namun memang seperti itulah kenyataannya dan aku tidak bisa menampiknya. Aku tidak bisa menyangkal jika hatiku menginginkan Luke, sekalipun selalu teringat bahwa ia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang kedua gadis itu dari hidupnya. Sadar atau tidak, peduli atau tidak, pada faktanya aku memang mencintai Luke.

“Kau harusnya lihat wajah Michie saat menonton film mengerikan itu! Lucu sekali, astaga!” Rory tertawa, membuyarkan lamunan tentang apa yang akan aku dan Luke lakukan di rumah pohonnya andai aku adalah pacarnya.

“Bisakah kau tidak membicarakan si kepala pirang yang satu itu untuk satu menit saja?” Aku memutar mata. Rory menyenggol lenganku dan menampakkan wajah cemberut.

“Bercanda.” Aku mencubit pipinya, tertawa tanpa dosa.

Seperti aku yang mencintai dalam diam, Rory juga hanya bisa melakukan hal yang sama. Kami berdua adalah pecundang, itu sangat jelas. Saat gadis-gadis lain sibuk mengejar-ngejar pria yang mereka incar, disinilah kami dengan sangat menyedihkan membicarakan pria-pria itu tanpa mengambil langkah apapun untuk mendekati mereka.

Anyway, kau seharusnya tidak pantas menertawakan Michie seperti itu di saat wajahmu bahkan lebih pucat darinya. Padahal kalian baru memandangi televisi selama kurang dari lima menit.” Kataku datar.

“Aku tahu, aku tahu! Tapi siapa yang tahan melihat manusia di potong menjadi dua dengan gergaji mesin seperti itu!” Rory bergidik sambil membelalakkan kedua bola matanya, merasa ngeri. “Kau membuatku teringat lagi! Astaga! Aku merasa ingin muntah sekarang.”

Aku menanggapinya dengan tawa. “Kau sangat berlebihan! Itu hanya film! Kau tahu, aku rasa usus yang jatuh dari perut wanita itu seharusnya lebih panjang, mengingat usus seorang manusia itu panjangnya sekitar—”

“Stop it! Stop it!” Rory menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Tawaku terdengar lebih keras dari sebelumnya. “Berhenti mengingatkanku dengan film sialan itu! Aku bahkan tidak nafsu makan setelah menontonnya.”

“Judulnya bukan ‘film sialan’, tapi Saw, part ke tujuh.” Kataku dengan polosnya seraya menyeringai lebar lalu kembali tertawa.

“Aku tidak peduli! Astaga! Bagaimana kau bisa suka film semacam itu? Aku curiga, jangan-jangan kau sendiri adalah psikopat.” Rory memicingkan mata secara dramatis.

Aku menghentikan tawaku lalu menyenggol bahu Rory. “Hanya karena aku suka film berbau pembunuhan bukan berarti aku psikopat.” Jawabku dengan memutar mata. “Aku hanya suka film semacam itu karena suasana tegang didalamnya memacu adrenalin, walaupun terkadang memang menjijikkan tapi menonton film semacam itu rasanya menyenangkan.”

“Terserah. Lain kali jangan putar film SawFinal Destination, atau film semacam itu saat ada aku bodoh! Dasar gadis punk gila.”

Aku hanya tertawa sebagai respon untuknya, tidak merasa tersinggung sama sekali dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan. Ia hanya sebal padaku, aku tahu. Aku memang suka membuatnya sebal. Kurasa “Annoy Rory” akan masuk ke dalam daftar hobiku mulai dari sekarang.

“Zia itu Luke!” Tiba-tiba saja Rory menarik lenganku lalu berbisik histeris di telingaku.

Dammit, Rory. Biarkan saja!” Aku mengernyitkan alis, merasa sedikit terganggu dengan reaksinya yang sangat berlebihan.

“Jangan bodoh! Kau ingat apa yang kukatakan?” Tanya Rory menyebalkan. Sebelum bibirku menjawab, pikiranku terlebih dahulu mengingatkan. Well, Rory bilang, bersikaplah biasa jika ada Luke, hadapi saja, tersenyum dan mengobrol. Yang benar saja! Seakan pikiranku tidak tersambung dengan tubuh, aku tidak pernah bisa bersikap biasa di saat pria bertubuh tinggi itu berada di dekatku. Selalu saja gugup dan gelisah, namun sebisa mungkin kututupi semuanya dengan raut wajah apatis.

“Aku ingat, aku ingat. Jangan sekarang please.” Kataku malas.

“Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” Rory menatapku bergantian dengan Luke yang posisinya di depan kami dalam radius sekitar lima meter. Aku hanya menatap pria itu sekilas lalu melayangkan tatapan ke arah lain.

Fuck.” Desisku. Rory menyikut lenganku, yang kuduga sebagai kode jika Luke sudah dekat. Benar saja, tiga detik kemudian Luke sudah menampakkan senyuman lebarnya di hadapanku.

“Hai, Zee.” Sapanya seperti biasa.

“Bentley.” Jawabku datar, tanpa senyum atau apapun.

“Abaikan saja, Zia sedang berada dalam suasana hati yang buruk saat ini.” Rory tertawa kecil, berusaha sedikit mencerahkan suasana hati Luke.

“Sepertinya ia memang selalu begitu saat aku di dekatnya. Apa kau tahu apa alasannya?” Tanya Luke seraya mengangkat kedua alisnya. Meski bertanya pada Rory, tatapan matanya enggan meninggalkanku.

“Entahlah, sepertinya ia sedang datang bulan.” Rory tertawa tanpa dosa, tidak menyadari jika dalam candaannya terselip hal yang sensitif bagi pria. Dan yang mengejutkan, hari ini aku memang sedang mengalami rutinitas bulananku. Aku menyikut Rory sambil melayangkan tatapan tajam, sementara Luke berusaha menahan tawa. Aku mengalihkan tatapanku dari Luke seraya melipat tangan di depan dada. Rory membuka mulut, tapi sebelum ia sempat berbicara, aku memotongnya.

“Jika kalian bertingkah seakan aku tidak ada disini, lebih baik aku pergi.”

“Zia.” Rory memperingatkan. Aku hanya mendesah, mengurungkan niat untuk meninggalkan mereka berdua. Aku selalu benci suasana seperti ini, dimana Luke tepat di hadapanku tapi aku merindukannya. Dan disisi yang lain benakku tidak bisa berhenti menayangkan adegan Luke berpelukan dan berciuman pipi dengan Cece, atau berangkulan sambil tertawa bersama dengan Stacy. Aku bosan berurusan dengan kecemburuan yang entah datangnya dari mana. Setiap aku menatap wajah Luke, aku merasakan sakit itu. Fuck. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah pergi sejauh-jauhnya. Dan ya, aku benar-benar pergi darinya. Dimulai dengan langkah cepat, lalu berlari seperti sedang dikejar anjing gila saat kusadari Luke malah mengejarku, tidak membiarkanku pergi seperti biasanya.

“Zia tunggu!” Panggil Luke. Aku terus saja berlari sambil menarik tangan Rory.

“Lebih cepat, Rory.” Gerutuku. Rory menatapku dengan wajah bingung.

“Kau ini kenapa? Jangan bodoh, Zia! Ia hanya ingin mengajakmu berbicara!”

Pikiranku sendiri berdebat mengapa dengan konyolnya aku berlari menghindar dari Luke seperti ini, tapi rasanya tidak ada waktu untuk memikirkan alasannya. Aku hanya ingin menghindar, itu saja.

“Tidak, Rory. Instingku berkata lain.” Jawabku sekenanya.

Rory hanya menatapku dengan wajah bingung. Kakinya tersaruk-saruk karena lariku lebih cepat darinya, padahal bobot biker bootsku sudah pasti lebih berat dari sepatu Tomsnya. Sial! Ia lamban sekali. Sialnya lagi, semua nafas yang terbuang sia-sia tidak berbuah manis. Luke tinggal beberapa meter di belakang, dan kami sudah kepayahan. Aku lupa jika ia atlet basket. Larinya sudah pasti sepuluh kali lebih cepat dari dua gadis yang membenci olahraga. Zia bodoh.

“Zia.” Ia berhasil meraih tanganku, membuat langkahku dan Rory seketika terhenti.

“Aku ingin berbicara denganmu.” Ujar Luke dengan nafas terengah-engah, menatapku lalu menatap Rory seakan memberi kode pada si gadis rambut merah inilah saatnya untuk pergi. Dasar gadis penurut, ia malah mengangguk. What the fuck, Snowfall?

“Rory, jangan kemana-mana.” Kataku dengan tatapan dingin yang tidak meninggalkan wajah Luke. Tanganku mencekal tangan mungil Rory, padahal ia sama sekali tidak melangkah.

“Rory, tolong tinggalkan kami berdua. Aku ingin bicara dengannya.” Ujar Luke dengan wajah sedingin es.

Untuk sejenak Rory merasa bingung. Ia menatapku dengan tatapan “It’s okay.” lalu  menepuk pundakku satu kali. “Aku tunggu di lapangan parkir, Zee.” Dengan senyuman minta maaf, ia melangkah pergi.

Mati aku.

Ah, tidak tidak. Aku belum mati. Jantungku malah berdetak cepat, sangat cepat, seakan mampu menggedor-gedor tulang rusukku. Efek tidak berdekatan dengan Luke sekian lama, getaran itu lagi-lagi datang seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Sial, matahazel itu menatapku penuh harap. Mata indah itu juga menatapku dengan sorot hangat yang menyiratkan rasa sayang, yang terlihat sama persis seperti dalam mimpiku. Aku hanya bisa menelan air liurku sendiri. Ini kekacauan total. Seraya membuang muka dari Luke,aku mendesah. Mataku memperhatikan orang-orang yang melintas, seperti aku peduli saja pada mereka.

“Ada perlu apa? Cepat katakan. Aku tidak mau Rory menunggu terlalu lama.” Kataku lalu memeriksa kuku jari tanganku. Jangan mendongak, jangan mendongak. Perintah batinku. Aku mematuhinya, karena jika tidak, lama kelamaan mata itu sudah pasti akan menghipnotisku.

Luke terdengar hanya menghela nafas, membuatku terpaksa menengadah. “Luke.” Panggilku pada Luke yang tertunduk.

“Jangan pergi lagi, Zia. Jangan pergi lagi dariku.” Ujarnya pelan. Tatapan matanya yang intens kini tertuju padaku. Seperti ngengat yang melihat cahaya lampu, tanpa sadar aku terhipnotis. Sorot mata itu terlihat begitu sendu. Apa itu artinya ia merasa sedih saat aku jauh darinya? Yang benar saja. Memangnya kemana sahabat-sahabatmu Cece dan Stacy itu? Bukankah seharusnya mereka selalu ada untuk menghiburmu? Batinku meledeknya. Dan aku menyuruhnya untuk diam. Luke tidak pernah melihatku dengan cara seperti ini sebelumnya. Seperti anak kecil yang mainannya baru saja di rebut, dan ia menginginkan mainan itu kembali, seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tersenyum lagi.

“Pergi? Aku tidak pernah kemana-mana. Kita masih sering mengobrol bukan? Apa kau lupa?” Kataku berhasil mengeluarkan tawa kecil.

“Kau memang dihadapanku, berbicara denganku. Tapi hatimu tidak disini. Kau tidak membawanya bersamamu. Kau meninggalkannya di tempat lain agar aku tidak bisa menyentuhnya. Aku bisa mengetahui semua itu karena sikapmu yang berubah drastis padaku.” Tatapan Luke membeku sedingin salju. Aku tidak mengerti harus bagaimana. Ini sangat bukan Luke. Luke yang terlihat lihai menggoda gadis-gadis. Luke yang terkadang kadar kepercayaan dirinya setinggi awan. Luke yang terkadang angkuh dan bangga dengan dirinya sendiri. Ini bukan dia. Yang kulihat disini hanyalah Luke yang rapuh. Dan terlihat hampa.

“Apa yang sedang kau bicarakan?” Aku menyeringai sambil menggelengkan kepala pelan, seakan Luke baru saja melontarkan candaan yang sama sekali tidak lucu.

“Jangan pura-pura tidak tahu, Zee.” Wajah Luke terlihat serius. Untuk beberapa detik aku menatapnya dengan alis terangkat, memastikan apakah ia bercanda atau tidak. Dan ternyata memang tidak.

“Baiklah, ya. Aku mengaku.” Desahku. “Lantas memangnya kenapa jika aku tidak membawa hatiku saat bertemu denganmu? Masalahnya apa denganmu?” Bukankah selama ini kau sibuk dengan gadis-gadis masa lalumu? Lalu apa jadinya hatiku jika melihatnya terus-menerus? Fuck Luke, aku mencoba untuk tidak peduli dan tidak cemburu, tapi sama sekali tidak pernah berhasil! Batinku menambahkan, membuatku ingin sekali menamparnya karena tidak bisa berhenti mengoceh seperti jalang menyebalkan.

“Karena aku merindukannya. Merindukan kehangatannya.” Ujar Luke dengan suara beratnya, hampir terdengar seperti bisikan. Fuck, aku suka caranya berbicara dengan nada yang lembut seperti itu. Berhasil menyapu bersih kosa kata yang ada di dalam otak, aku hanya bisa tercengang dibuatnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa.

“Aku merindukanmu, Zia. Aku rindu kita bersama-sama ke rumah pohon. Aku rindu pelukanmu disaat mengendarai motor. Aku rindu candaanmu. Aku rindu caramu menatapku dengan—dengan tatapan yang—” Ia mencari kata-kata. “Tatapan yang—yang—bukan seperti sekarang.” Luke tergagap di akhir kalimatnya. Ia terlihat sangat canggung dan grogi. Kupu-kupu yang sempat menghilang selama satu bulan ini, kini kembali datang dengan pasukan yang lebih banyak untuk menggelitik perutku. Dan mereka berhasil menghidupkan lagi perasaan itu. Perasaan yang hanya Luke seorang yang bisa menghadirkannya. Ya, cinta. Aku mencintainya dan tidak bisa menahan diri untuk berhenti mencintainya.

“Please be mine, Zia. I love you.” Tiba-tiba saja Luke mengucapkan kata-kata yang sukses membuat jantungku seakan berhenti berdetak. What the fuck are you saying, Luke? What?

“I know you don’t believe it, but I do. I do love you.” Luke menggenggam kedua tanganku. Matanya menelisik setiap inchi wajahku, mencari sebuah jawaban. Aku hanya terdiam mematung, bingung harus melakukan dan mengatakan apa. Aku sangat ingin menjawab ya. Tapi disisi lain keraguan mengambil alih. Jadi aku harus bagaimana? Harus menjawab apa? Dan bagaimana cara untuk berpaling dari mata hazel yang pupilnya membesar itu? Orang bilang pupil mata seseorang akan membesar jika sedang menatap seseorang yang ia cinta. Tapi benarkah itu? Benarkah Luke mencintaiku?

“Aku tahu ini bukan waktu dan tempat yang tepat. Aku sempat merencanakan ini di tempat yang lebih pribadi mungkin restoran atau rumah pohon. Tapi aku tidak mau kehilanganmu lagi. Aku cukup tersiksa satu bulan ini jauh darimu.” Ia menghela nafas. Tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku tidak bisa melakukannya semudah itu. Seperti oksigen disini sudah berubah menjadi air. Bayangan Luke menyatakan cinta di rumah pohon tiba-tiba saja kembali datang.

“Jadi, bagaimana?” Luke membuyarkan lamunan itu, tepat disaat aku akan memejamkan mata untuk menyerahkan bibirku padanya. Beruntung ia membuyarkannya, karena semakin kupikirkan semakin bayangan ciuman itu membuatku jijik. Selama ini aku menganggap jika berciuman itu hanyalah bertukar saliva dan bakteri mulut. Jadi alasanku menolak Luke untuk menciumku adalah karena hal itu. Bukan karena gengsi, takut tidak bisa memberikannya ciuman yang bagus atau apa. Itu konyol. Lagipula aku bertekad tidak akan bertukar saliva dengan siapapun, kecuali suamiku.

“Zia?” Luke menatapku penuh harap.

Orang lain yang sedang berjalan, menghentikan langkahnya, ikut menunggu jawaban dariku untuk Luke. Menyadari tatapan orang-orang yang-tidak-bisa-mengurus-kepentingannya-sendiri itu, dengan reflek kulepas genggaman tangan Luke. Tangan kiri masuk ke kantong celana jeans hitam yang kupakai, dan yang kanan mengelus plester penutup luka yang menyembunyikan tato di bagian tengkuk. Aku tidak tahu apakah saat ini otakku tersambung dengan tubuh atau tidak, karena aku memikirkan hal gila, dan merasa jika itu adalah hal yang benar.

“Ya.” Ucapku pelan di sertai anggukan kecil.

Tanpa bertanya “Ya apa?” atau “Benarkah?” Luke tersenyum lebar. Matanya bersinar memancarkan rasa bahagia. Anehnya, aku merasakan hal yang sama dengannya. Bahagia. Ya, bahagia. Aku baru saja menjadi kekasih Luke! Apakah ini nyata?! Aku tidak bisa menahan senyuman tolol yang tiba-tiba muncul. Kugigit bibir bawah dengan maksud untuk menghentikannya supaya aku tidak terlihat seperti orang idiot.

“Apa kau mau aku memeluk atau menciummu, honey?” Luke mengedipkan sebelah matanya genit, sementara aku membelalakkan mata, merasa kaget mendengar pertanyaannya juga bagaimana cara ia memanggilku. Panggilan seperti itu terdengar sangat menggelikan ditelingaku, tapi anehnya aku menyukainya. Entah mengapa sangat menyukainya.

“Melakukannya di tempat umum? Fuck, no.” Kataku sambil melipat tangan di depan dada. Kurasakan kedua pipiku memanas. Luke tertawa kecil.

“Ya, baiklah. Sekarang kau pergi sana. Rory sudah menunggu lama.”

“Hey! Kau mengusirku? Setelah mengejar-ngejarku sekarang kau—”

“Bukan begitu. Sorry.” Luke terkekeh-kekeh seraya menggaruk belakang kepalanya. Aku masih tidak bisa menghentikan senyumanku. Sikap canggungnya yang seringkali muncul entah kenapa membuatnya terlihat lugu dan manis.

“Kalau begitu aku pulang. Bye.” Kataku tanpa senyum, pelukan, atau apapun, melangkahkan kakiku menjauh dari Luke. Ia menarik tanganku. Mengira ia akan memelukku, ternyata Luke hanya menatapku sambil tertawa.

“Apa?” Kataku bingung.

“Wajahmu lucu saat merona malu.” Ujar Luke dengan tawa kecilnya yang manis. Aku mendengus dan memutar mataku sebagai jawaban. Was I really blushing? I never blush because of a guy in my entire life!

“Aku hanya ingin bilang, hati-hati.” Luke mengacak-acak rambutku. Entah kenapa aku sangat menyukainya jika ia yang melakukannya. Padahal jika Toby atau siapapun yang melakukannya aku akan menjadi luar biasa kesal. Ini aneh. Ini akan menjadi hal kecil yang aku sukai dari Luke untuk dilakukannya padaku.

“Oke. Kau juga.” Jawabku pendek lalu tertawa kecil.

“Ya sudah sana pergi. Hush.” Canda Luke. Aku meninju perutnya sebelum pergi meninggalkannya. Dan dari belakang punggung bisa kudengar ia tertawa senang lalu menggumamkan kata “Yes!”.

Aku hanya tertawa, memikirkan apakah ini bagian dari mimpiku atau memang benar-benar sebuah kenyataan. Aku mencubit pipi kananku dan terasa sakit. Yang kali ini ternyata memang bukan mimpi. Atau bolehkah kubilang mimpi yang menjadi kenyataan? Meski tidak seindah dalam mimpi, aku bahagia ini semua terjadi. Aku bahagia Luke menjadi milikku! Akhirnya!

***

“Zee.” Panggil Toby, membuyarkan lamunanku tentang Luke.

“Hmm?” Jawabku malas.

“Zia?” Ulangnya lagi.

“Yeah?” Aku masih bisa bersabar.

“Ziaaa.” Ulangnya untuk yang keseratus kali. Ya, anggap saja itu hitungan yang benar.

“Apa?” Jawabku sedikit jengkel kali ini.

“Ziaaaaaa.” Panggilnya lagi dengan nada manja.

“What the fuck Toby? What?!” Jawabku galak pada kakakku yang menyebalkan itu. Sepertinya ia senang sekali menguji kesabaranku. Untung saja aku sedang berkonsentrasi untuk menata cookies cokelatku ke dalam kotak bekal makan siang, kalau tidak, sudah kuhampiri ia di ruang tv lalu memukul kepalanya dengan bantal.

“Wanginya enak! Aku mau!” Rengeknya seperti balita kelaparan.

“You wish.”

“I do wish! You made the best chocolate cookies ever!” Aku memutar bola mata pada pujiannya yang berlebihan itu, tapi tetap tidak bisa menghentikan senyuman kecil yang merambat di bibirku.

“Tetap tidak boleh!”

“Zia!”

“Na na na na na.” Senandungku, mengejeknya.

“Please?” Nada bicaranya terdengar seperti anak kecil lugu. Aku mendesah.

“Get your lazy ass here then.” Tak lama setelah aku berujar, Toby sudah berada di dapur. Bisa-bisanya ia berlari secepat kilat seperti itu.

“Jangan sentuh yang itu!” Aku menepis tangannya yang hendak mengambil kue panas di atas nampan panggang yang beberapa menit lalu baru kukeluarkan dari oven. Toby menatapku bingung, aku memicingkan mata bermaksud memperingatkannya. “Menyentuh itu, kau mati.”

Kakakku itu malah tersenyum mengejek, mangambil satu buah kue lalu menggigitnya sebelum aku sempat mencegahnya. Ia meringis di sela-sela tawa saat kucubit perutnya.

“Zia!” Protesnya. “Jangan pelit pada kakakmu sendiri.” Lanjutnya sambil mengunyah.

“Aku menyisihkan untukmu, di stoples itu!” Matanya mengikuti arah telunjukku pada stoples kaca bening di samping tempat sendok, tapi ia tidak mengambilnya, hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh.

“Memangnya apa bedanya dengan yang ini?” Ia bermaksud mengambil satu kue lainnya yang masih hangat dan harumnya luar biasa menggoda ini tapi aku cukup tangkas untuk menepis tangannya. Enak saja. Yang ini kubuat dengan hati, khusus untuk Luke.

“Ini punyaku.” Kataku sekenanya. Toby mengernyitkan alis.

“Kita selalu berbagi makanan bukan? Sejak kapan kau jadi perhitungan begini?” Toby menatapku menyelidik.

“Bu—bukan urusanmu!” Bodoh, kenapa aku malah tergagap. Satu sudut bibir Toby naik satu senti.

“Ini untuk Luke, bukankah begitu?” Ujarnya dengan nada menggoda sambil menaik-turunkan  alisnya. Damn, kenapa tebakannya selalu tepat? Ekspresi kagetku sepertinya cukup untuk menjawab pertanyaannya. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil satu kue lagi. Aku berhasil merebutnya lalu menggigitnya dengan gigitan kecil. Oh, kue ini seribu kali lebih enak dari biasanya.

“Sok tahu.” Gumamku terdengar jengkel. Toby tertawa sambil merangkulku. Entah mengapa pipiku memanas tiap ada yang menyebutkan nama Luke. Itu konyol, terdengar sangat konyol, tapi aku tidak bisa mencegahnya.

“Jadi, apa kalian sudah...” Saat aku mendongak, kulihat Toby menyeringai lagi. Aku ingin sekali memukul kepalanya dengan wajan.

“Ya, tadi siang.” Alih-alih berbohong, aku malah mengatakan yang sejujurnya. Tidak ada gunanya berbohong dari Toby. Lagipula cepat atau lambat ia juga akan tahu.

“Whoa! Kita harus merayakan ini!” Toby mengguncangkan bahuku yang dirangkulnya. Saat aku lengah, ia merebut kue dari genggamanku dan langsung melahapnya dalam satu gigitan besar.

“Adik kecilku akhirnya punya kekasih!” Candanya di sela-sela mengunyah sambil mengacak-acak rambutku. Untuk saat ini aku tidak bisa merasa kesal pada sikap kekanakannya karena kesulitan menahan seringai bodoh yang melengkapi wajahku yang merah.

“Kita harus merayakannya!” Ujarnya lagi. Astaga, ia berlebihan sekali.

“Bodoh! Seharusnya aku yang sesenang itu, bukan kau.” Kataku sambil menyingkirkan lengannya dari bahuku. Kembali memasukkan beberapa keping kue terakhir ke dalam kotak bekal dan dengan segera menutupnya rapat-rapat agar teksturnya tetap terjaga kerenyahannya untuk besok.

“Jika kue ini kau makan, kau tidak akan kumaafkan.” Ancamku sambil menaruh kotak bekal berwarna putih itu ke dalam kabinet, di dekat kotak sereal agar nanti aku tidak lupa untuk membawanya.

“Baiklah, baiklah, aku mengerti.” Toby melenggang ke ruang tv dengan stoples penuh kue dalam genggamannya dan beringsut duduk di sofa.

“Kue yang dibuat dengan cinta.” Sambil membuka tutup stoples, Toby berujar dengan keras, sengaja ingin membuatku mendengarnya. “Yummy!” Dengan nada suara mendramatisir—seperti sedang membintangi iklan suatu produk makanan—ia mengacungkan satu keping ke udara. “Hmm... Cookies cokelat renyah dengan taburan cokelat nikmat... Ala Zia McFoy! Rasanya... penuh cinta!” Lanjutnya sambil mengunyah tanpa henti. “Luke pasti bangga memiliki kekasih yang bisa membuat kue lezat seperti ini. Lama-kelamaan ia pasti gendut.”

“Toby!” Panggilku memperingatkan, bermaksud untuk menghentikan candaan yang sudah mulai keterlaluan menyebalkannya. Ia malah tertawa.

“Zia and Luke sitting in a tree... K-I-S-S-I-N-G.” Senandungnya. Aku langsung berlari, mendorong tubuhnya dan memukulinya dengan bantal yang ada di sofa tanpa ampun. Tawa tanpa dosanya membuatku lebih bersemangat untuk menyerangnya.

“First comes love... Then comes marriage-” Lanjutnya mulai bernyanyi lagi di sela-sela tawa. 

“Fuck, stop it!” Kataku jengkel. Saat aku lengah, Toby bangkit dari sofa lalu berlari menghindar. Aku mengejarnya dengan bantal di kedua tangan.

“Toby! Kemari kau sialan!” Teriakku. Toby malah menggoyang-goyangkan bokongnya ke arahku lalu berbalik badan untuk menjulurkan lidahnya sebelum kembali berlari.

“Zia and Luke sitting in a tree... K-I-S-S-I-N-G. First comes love, then comes marriage, then comes baby in a baby carriage!” Ia bernyanyi lebih keras dari sebelumnya.

“TOBY CHRISTOPHER MCFOY!!! I’LL KILL YOU!!!”

A/N : Don't forget to cote me! Thank you so much for reading :)

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 170K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
1M 15.3K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.3M 224K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...