NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

#03

184K 16.3K 2.5K
By renitanozaria

Jika dipikir-pikir, acara date malam ini adalah salah satu acara date paling singkat yang pernah Sebastian lakukan sepanjang hidupnya selama dua puluh empat tahun terakhir. Dulu, setiap kali pergi berkencan dengan Kat, mereka kerap menghabiskan waktu sampai tengah malam dan Sebastian tidak pernah benar-benar merasa cukup. Berbeda dengan sekarang dimana dada Sebastian langsung teraliri oleh hangat hanya dengan memikirkan senyum Suri ketika dia mengambil alih keranjang dari tangan gadis itu di minimarket tadi.

Gadis itu serupa embus udara yang benar-benar segar untuknya. Baru, namun tak asing. Tidak familiar, tetapi terasa menyenangkan.

Damn, Sebastian berpikir. Dia bahkan tidak pernah menduga jika membayangkan senyum seseorang saja mampu membuatnya jadi harus turut menahan senyum jika tidak ingin disangka kurang waras karena tersenyum sendiri. Angannya berada di tempat lain, tersesat diantara harum aroma stroberi dari hairmask yang katanya Suri pakai sepanjang sore untuk Sebastian, membuat perjalanan pulang dari rumah Suri tidak terasa.

Sergio sedang duduk sendirian di ruang tengah ketika Sebastian sampai. Suasana rumah hening. Mami sudah ada di kamarnya, paling sedang sibuk menonton siaran ulang berita dengan sepiring buah potong di pangkuan. Sebastian tidak khawatir karena Papi ada di rumah. Papi tidak banyak bicara, tetapi Sebastian tahu kehadirannya selalu mampu membuat Mami lebih bersemangat daripada biasanya.

"Lo lagi ngapain?"

Sergio mengangkat wajah dari bukunya, balik menatap pada Sebastian seolah-olah kakaknya itu baru saja bertanya kenapa ikan bisa berenang. "Belajar. Menurut lo?"

"Buset deh, Gio. Ini malam minggu, loh."

"Terus?"

"Main, kek. Jalan kemana, kek. Gue paham lo nggak punya pacar. Tapi bukan berarti lo nggak punya teman, kan?"

Sergio mendengus. "Alah. Lo baru keluar malam minggu juga beberapa bulan terakhir ini. Sebelum-sebelumnya, lo sibuk bersemedi di kolong ranjang kamar lo itu. Mentang-mentang udah nggak jones lagi jadi songong, ya."

Sebastian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Nggak begitu juga maksud gue."

"Gue lagi malas main ke luar."

"Lo juga bilang begitu minggu kemarin. Minggu kemarinnya lagi. Dan minggu kemarinnya lagi."

"Lantas?"

Pandangan mata Sebastian melunak. Kini sorotnya jadi terkesan lebih hati-hati. Sadar akan perubahan pada cara kakaknya menatap, Sergio memilih menutup bindernya yang terbuka dan meletakkan pulpen di tangannya ke atas meja.

"Dia nggak akan suka melihat lo hidup seperti ini."

"Dia siapa?" Sergio bertanya, kentara sekali dia berpura-pura tidak mengerti.

"Jangan jadi kura-kura dalam perahu. Lo jelas tau siapa dia yang gue maksud."

"Kak Bas,"

"Kesha nggak akan suka melihat lo hidup seperti ini." Sebastian mengulangi dengan lebih tegas. "Gue tau ini bakal kedengaran klise, tapi lo harus move on, Gio. Karena sama seperti Kesha, gue dan Mami-Papi juga nggak suka melihat lo yang seperti ini."

"Gue baik-baik aja, Kak Bas."

"Kata mulut lo. Tapi nggak kata mata lo."

"Sejak kapan mata berbicara?" Sergio menukas masam.

"Suri yang bilang begitu."

"Again. Suri bilang begini. Suri bilang begitu. Sejak kapan kata-katanya jadi semacam hukum buat lo?" Sergio memiringkan wajahnya, menyunggingkan seulas seringai. "Ah ya. Gue tau. Sejak lo jatuh cinta sama dia dan nggak bisa bangkit lagi."

"Omongan lo jadi ngelantur gini."

"Ini cara gue menunjukkan kalau gue nggak semenyedihkan yang lo pikirkan, Kak. Gue baik-baik aja. Gue hanya butuh waktu."

"Ini sudah lama sekali. Lo selalu begini sejak Kesha pergi. Emang lo sempat membaik setelah Suri datang dan membantu lo mengucapkan perpisahan secara patut sama Kesha, tapi kemudian nggak ada perkembangan apapun. Ini hampir setahun. Lo nggak bisa begini terus, Sergio Dawala."

"Berapa tahun yang lo butuhkan untuk benar-benar move on dari Kak Cathleena?"

Sebastian seketika dibikin terdiam.

"See? Kita semua butuh waktu. Untuk sekarang, gue hanya merasa belum bisa. Bukan berarti gue sedih. Somehow, mungkin waktu aja nggak cukup. Mungkin gue juga butuh orang baru. But I won't rush thing. Gue bakal membiarkan semuanya mengalir aja. Karena itu juga yang terjadi ketika pertama kali gue mengenal Kesha, sampai kemudian gue harus kehilangan dia. Gue baik-baik aja, Kak. Sumpah."

"Orang baru nggak akan datang kalau nggak dicari."

"Lo nggak pernah mencari Suri. Dia sendiri yang datang ke hidup lo."

Sebastian menyentakkan kepala, sadar apa yang dikatakan adiknya benar dan sialnya, Sebastian tidak punya cadangan argumen lain untuk dikatakan. "Terserah lo aja, deh. Tapi inget, jangan malam-malam. Meskipun besok libur, Papi tetap nggak suka kalau anaknya muncul dengan muka bantal waktu sarapan."

"Gue sama lo lebih kebo lo kali, Kak."

"Gue akan anggap itu pujian." Sebastian berujar seraya berlalu menuju kamarnya sendiri.

Kamar itu rapi, seperti ketika Sebastian meninggalkannya. Pelapis kasurnya berwarna kelabu, senada dengan interior ruangan yang terkesan gelap dan kaku. Melihatnya seperti mengingatkan Sebastian jika kini dia sedang berada di teritori pribadinya. Tempat dimana dia bisa mengontrol apa-apa yang ada disana sesuka hati. Situasi normal yang menurutnya ideal.

Namun entah kenapa, tiba-tiba Sebastian jadi merindukan masa-masa ketika Suri berada disana. Mami sempat mengganti pelapis kasurnya dengan seprei bermotif Gudetama dengan warna dasar kuning yang terlalu imut. Sebastian jadi rindu, walau menurutnya Gudetama itu konyol. Apa yang lucu dari karakter kuning telur tidak jelas—yang tidak bisa lepas dari bagian putihnya?

Sebastian meraih bantal, berharap masih bisa menemukan sisa aroma shampo Suri dari kain pelapisnya. Namun Mami sudah mencuci bersih semuanya. Apa yang kemudian terhirup adalah aroma pewangi yang tidak mirip dengan bau shampo Suri sama sekali.

Inikah rindu yang kerap digambarkan para pujangga dengan amat picisan itu?

Sebastian melirik pada jarum pendek jam yang tergantung di dinding kamarnya. Pukul setengah sepuluh malam. Sempat berpikir sejenak menuruti pergulatan dalam batinnya, Sebastian memutuskan mengalah. Cowok itu meraih ponsel, mengetikkan satu pesan LINE untuk seseorang. Siapa lagi jika bukan pacarnya, Oriana Suri Laksita.

Sebastian Dawala : Jangan begadang meskipun besok libur. Makasih buat malam ini. You made me incredibly happy.

Sebastian mengernyit, membaca serentetan kalimat itu berulang kali. Lantas napasnya terembus keras. Pelan, jarinya mengetuk tombol delete pada layar lebar ponsel berkali-kali sebelum mengetik ulang pesan pada kolom chat.

Sebastian Dawala : Gue sudah sampai di rumah. Sekarang mau tidur. Lo juga, jangan begadang.

Dan pada akhirnya, pesan itulah yang terkirim diiringi senyum puas Sebastian. Semenit... dua menit... lima menit berlalu. Tidak ada balasan apapun. Hingga tiba-tiba ponsel Sebastian bergetar. Dengan cekatan, Sebastian membuka notifikasi yang masuk. Ada kecewa menyelinap dalam benaknya ketika menyadari notifikasi itu bukan karena ada pesan balasan dari Suri, tetapi justru dari email yang baru masuk.

Tidak biasanya ada yang mengirim email padanya di jam-jam seperti ini. Dan ternyata memang benar. Surat elektronik itu bukan surel biasa. Pengirimnya adalah seseorang yang Sebastian kenali sebagai ketua kelasnya ketika masih SMA dulu.

from : siobhanwijaya(at)outlook.com

to : sebastiandawala(at)outlook.com

subyek : undangan reuni SMA

(attachment : undangan reuni.pdf)

Jari Sebastian bergerak melakukan beberapa kali swipe dan ketuk pada layar ponsel untuk mengunduh dan membuka undangan reuni yang terlampir pada body surel tersebut. Isinya singkat. Ada salam pembuka untuk mengingatkan mereka yang mungkin lupa pada siapa Siobhan Wijaya, kemudian berita tentang reuni sepuluh angkatan sekaligus yang akan diadakan minggu depan. Ada catatan tentang setiap undangan yang diperkenankan membawa satu partner untuk turut serta berikut narahubung untuk konfirmasi kehadiran.

Selesai membaca lampiran berekstensi pdf tersebut, Sebastian sempat dibuat terdiam. Dulu, dia jelas akan menolak mentah-mentah untuk datang ke acara-acara seperti ini. Penyebabnya sederhana, Sebastian tidak ingin bertemu dengan Kat. Tetapi sekarang, entah kenapa dia justru mulai mempertimbangkan untuk datang. Terutama setelah membaca catatan mengenai jumlah partner yang dapat diajak ikut.

Tentu satu partner yang paling mungkin Sebastian ajak adalah Suri. Gadis itu adalah pacarnya—tanpa peduli pada usia mereka yang terpaut enam tahun. Sebastian sempat berniat untuk langsung mengirimi Suri pesan LINE, namun dia berpikir kalau cara mengajak yang seperti itu tidak cukup bagus. Dia harus menemui Suri secara langsung—lagipula, ini bisa menjadi alasan buat Sebastian untuk menemui gadis itu lagi, iya kan?

Senyum tipis Sebastian kembali terkembang. Dadanya terasa ringan. Kepalanya seperti dilambungkan hingga ke awang-awang. Sebastian menghempaskan punggungnya ke atas kasur, lantas memejamkan mata dan membiarkan mata Suri yang menghilang setiap kali gadis itu tertawa berkelebat dalam kegelapan.

Salah satu pelajaran dalam hidup yang Cetta dapatkan dengan pahit adalah tentang perempuan dan bagaimana laki-laki tidak seharusnya membuat makhluk itu marah. Sebelum bertemu dengan Rana, Cetta tidak pernah punya pacar. Memang, dia pernah beberapa kali naksir pada teman-temannya semasa sekolah, tetapi tidak ada satupun yang berakhir bahagia. Entah karena Cetta terlalu malu berterus-terang, atau gadis yang ditaksir justru menolaknya. Terkadang, penolakan itu disertai alasan-alasan tak masuk akal. Seperti misalnya gadis yang menolak Cetta waktu SMP dulu. Katanya, Cetta terlalu tampan dan terlalu baik buatnya. Gadis itu kuatir setiap kali jalan dengan Cetta, dia akan dikira pembantu ketimbang pacar.

Maka, Cetta tidak berpengalaman menghadapi perempuan yang marah, terutama perempuan yang marah dengan tingkat kemarahan yang lebih panas daripada kerak neraka. Bunda dan Suri hampir tidak pernah marah padanya, dan sekalipun mereka marah, mudah bagi Cetta membuat keduanya merasa lebih baik. Cetta hanya perlu meminta maaf, lantas menghadiahkan sebatang cokelat (untuk Suri) atau kartu ucapan buatan sendiri (untuk Bunda).

Sayangnya, kemarahan Rana tidak sesederhana itu. Dan setelah sekian lama, gadis itu kembali marah padanya. Patut digarisbawahi, kemarahan Rana yang sekarang adalah kemarahan jenis dimana dia tidak menganggap Cetta ada dan tidak peduli seandainya Cetta jadi korban penganiayaan Bobby sekalipun. By the way, Bobby itu anjing herder peliharaannya satpam fakultas.

Seperti sekarang, Cetta harus dibuat menahan geram tatkala menyaksikan bagaimana Rana makan siang bersama Gie di kantin fakultasnya. Mereka duduk dengan sangat dekat. Rana bahkan tertawa lebar, berbeda jauh dengan ketika dia menatap masam pada Cetta kemarin lusa.

Sebetulnya, Gie tidak tampan-tampan amat. Jika dibandingkan dengan Cetta, jelas masih lebih ganteng Cetta kemana-mana—itu menurutnya sih. Dan lagi, Gie juga tidak setajir Cetta. Cowok itu bahkan pernah jadi buah bibir fakultas ketika dia datang ke acara ulang tahun salah seorang teman mereka yang anak menteri sambil membawa kotak bekal ukuran besar—dengan alasan untuk membungkus makanan buat sarapan esok hari. Namun masalahnya, Gie adalah tipe orang yang tidak tahu malu. Dia tidak pernah berhenti mengejar Rana, dan punya kecenderungan akan menghalalkan berbagai cara. Karena itulah Cetta jadi cemas dibuatnya.

"Rana,"

"Eh, Gie. Tunggu bentar, deh." Rana menyahut tanpa melihat pada Cetta yang berdiri di sisi lain meja. "Kok kayak ada yang ngomong gitu, ya?"

"Masa, sih?" Gie melirik pada Cetta dengan jenis tatapan yang membuat Cetta harus mati-matian menahan diri supaya tidak meninjunya sampai gigi-giginya rontok. Bisa berabe. Kan kacau kalau Cetta sampai diberitakan di akun gosip Instagram karena kedapatan melakukan animal abuse. "Perasaan kamu doang kali, Cantik."

"Iya kali, ya. Perasaan aku doang. Atau jangan-jangan itu suara dari alam lain!"

"Alam lain gimana?"

"Suara setan."

Cetta hampir mendengus. Jelas sekali, Rana sengaja memberi penekanan yang berlebihan pada kata setan.

"Rana, ini udah hari Senin, loh. Masa kamu masih marah sama aku."

Rana memutar kursinya, menatap pada Cetta dengan pandangan lurus. "Terus kenapa? Emangnya kalau udah Senin berarti aku udah nggak boleh marah sama kamu?"

Cetta meringis. "Bukan gitu."

"Terus apa?"

"Nanti kalau aku ngomong, aku salah lagi."

"Untuk sekarang, kamu napas aja udah salah buatku."

"Kalau aku nggak napas, nanti kamu mati."

"Bagusan gitu."

"Kalau aku mati, nanti kamu sedih."

"Kata siapa?"

"Kata aku. Barusan aja."

Rana memanyunkan bibirnya. "Nggak. Aku nggak peduli. Kamu aja nggak peduli sama aku. Buktinya malam minggu kemarin kamu malah ngintilin Suri bareng Fakboi Jahannam dan Maskot Kecap. Ngapain aku peduli sama kamu?"

"Kan cuma sebentar."

"Buatku kerasa lama."

"Karena kamu kangen sama aku?"

"Ngimpi aja kamu."

"Kirana, plis, jangan marah sama aku."

"Udah terlanjur marah."

"Jangan marah lagi, dong."

"Kebetulan aku masih kepengen marah."

Cetta menghela napas panjang. "Kalau gitu mau marahnya sampai kapan?"

"Sampai Jokowi jadi gendut."

"Kelamaan. Mana kuat aku kalau kamu marah lama-lama sama aku."

"Aku aja kemarin kuat nungguin kamu sampai kamu pulang. Masa kamu nggak kuat nungguin sampai aku nggak marah lagi."

"Yaudah. Aku bisa nungguin sampai kamu nggak marah lagi. Tapi bisa nggak kalau kamu nggak dekat-dekat sama dia?"

"Sama siapa?"

"Sama ini bocah kucrut satu. Kalau perlu, terapin batas suci."

"Ye, lo kira gue najis?" Gie menyela cepat, memandang Cetta dengan tatapan pongah yang benar-benar ngajak ribut.

"Mirip." Cetta menukas pedas sebelum kembali berpaling pada Rana. "Plis, sayang."

"Sayang-sayang. Drama mulu lo!" Gie mencibir.

"Biarin. Dia cewek gue. Lo yang nggak ada status, harap minggir dan tahu diri!"

"Lo emang pacarnya, tapi gue kenal Kirana lebih lama dari lo!"

"Gue punya sisa seumur hidup gue buat lebih kenal lagi sama dia, yang pasti jauh lebih lama dari lo!"

"Pede banget lo. Emangnya lo bakal mati belakangan daripada gue?"

"Keliatan dari muka, sih. Muka lo tuh muka-muka mati segan hidup tak mau!"

"Cukup." Rana memotong tegas sambil beranjak bangkit dari duduk. Seraya berkacak pinggang, gadis itu memandang bergantian pada Gie dan Cetta seperti ibu guru yang tengah memarahi muridnya karena kencing sembarangan. "Aku tau kalian sesuka itu ngerebutin aku, tapi jangan kayak gini juga caranya. Macam sinetron alay di TV aja."

"Makanya maafin aku."

"Minta maaf mulu kerjaan kamu. Sekarang belum lebaran, Dimi." Rana menyampirkan tali tasnya di bahu. "Udahlah. Males aku disini. Ayo, Gie."

Dengan patuh, Gie mengikuti instruksi Rana. Cowok itu melempar tatapan tengil sekali lagi pada Cetta yang membalasnya dengan pelototan geram. Namun tentu saja, Cetta tidak bisa melakukan apa-apa. Cowok itu hanya mampu berdiri kaku di tempatnya, memandang sendu pada punggung Rana yang kian menjauh.

Dia mungkin masih akan terdiam syahdu disana, di bawah terpa sorot matahari siang yang membuatnya jadi serupa malaikat terbuang dari Eden seandainya saja ponselnya tidak tiba-tiba berdering. Itu telepon dari Brandon, salah satu rekan sekaligus manajer tak resmi yang bertugas menjadi humas untuk proyek-proyek endorse merek-merek terkenal dan meladeni telepon dari sejumlah redaksi majalah.

"Ey yo, Bro!"

"Nggak usah kebanyakan basa-basi, Bra. Gue lagi bete."

"Bete sih bete, tapi mau sampai kapan lo motong nama gue sesuka hati kayak gitu."

"Nama lo kan Brandon. Bra-ndon. Wajar kalau gue panggil lo pakai sebutan pendek 'Bra'. Soalnya Brandon kepanjangan."

"Iya, tapi kenapa harus identik sama underwear cewek?"

"Karena selain nama lo Bra-ndon, lo juga suka dada cewek."

"Emang ada cowok yang nggak suka dada cewek?"

"Basi. Buruan. Gue beneran lagi bete."

"Hm, pasti lagi marahan sama Nyai."

"Bodo."

"Jangan ngambek dong, Cet. Sekedar mengabarkan, gue baru aja ditelepon oleh pihak marketing. Biasa, endorse khusus buat lo."

"Apaan? Kalau endorse underwear Calvin Klein, gue nggak bisa terima. Rana nggak bakal ikhlas lihat paha dan perut gue jadi konsumsi publik."

"Bukan."

"Terus apa?"

"Resort. Paket penginapan empat hari tiga malam. Di Lombok. Dekat banget sama pantai. Katanya itu bangunan baru, sih. Sengaja didesain ala-ala Maldives gitu."

"Hah?"

"Ganteng-ganteng bego ya lo. Malah hah-hoh. Jadi gimana?"

Cetta berdecak. "Gue nggak lagi kepingin liburan. Tau sendiri gue lagi marahan sama Rana."

"Tuh kan, mulai lagi bolotnya."

"Kayaknya lo kelamaan gaul sama abang gue."

"Emang lagi sering hangout ama Chandra, sih. Tapi apa hubungannya?"

"Mulut lo makin lemes kalau dipake ngatain orang."

"Salah sendiri kenapa lo lemot banget. Gini. Gue tau lo lagi nggak mood liburan karena lagi dalam suasana marahan sama Nyai Blorong itu. Tapi harusnya lo bisa mengambil kesempatan ini sebagai langkah baikan sama dia."

"Maksud lo?"

"Ajak Rana ikut liburan. Dedek-dedek jaman sekarang kan gampang banget dikasih asupan relationship goals ala-ala. Dikit-dikit nempel pelukan dibilang goals. Dikit-dikit ciuman dibilang goals. Nanti lama-lama boker bareng juga dibilang goals. Lo manfaatin lah itu buat strategi marketing."

"Hm."

"Dikasih ide bagus gini bukannya berterimakasih malah ham-hem doang."

"Yaudah."

"Yaudah gimana?"

"Gue setuju. Nanti gue hubungi lagi."

"Mau kemana lo? Ada kelas?"

"Mau menyusun rencana untuk membuat Rana datang ke gue tanpa diminta."

"Terserah lo aja, deh. Asal jangan pake manjat fly over aja."

"Kagak."

"Yaudah, nanti gue telepon lagi."

"Oke."

Suri sedang berjalan melintasi kantin fakultasnya ketika langkah kakinya terhenti sesaat setelah melihat pada bayangannya yang terpantul di cermin tepi atas etalase pedagang ketoprak. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena bayangan yang dilihatnya sambil lalu berhasil membuatnya terpicu untuk bercermin lebih lama. Untung saja kantin sepi, dan meskipun Suri masih berstatus mahasiswa baru, reputasinya sebagai cewek kurang normal yang punya tiga kakak laki-laki—dimana dua diantaranya adalah youth influencer terkenal—membuatnya langsung dikenal oleh hampir semua penghuni fakultas dari mulai mahasiswa baru, mahasiswa pertengahan, mahasiswa bangkotan hingga jajaran petugas kebersihan dan juru masak kios-kios kantin. Jadi abang penjual ketoprak yang kebetulan tengah duduk-duduk santai pun seakan tak ambil pusing dengan tingkah laku Suri.

"Baru selesai kelas ya, Neng?"

Gerak jari Suri yang tengah sibuk merapikan bagian depan rambutnya pun terhenti. "Hehehe. Iya."

"Udah jam makan siang, nih. Makan dulu, dong. Beli ketoprak Bapak kalau bisa mah."

"Pengen, sih. Tapi aku lagi mengurangi makan kacang, Pak."

"Oh, kenapa gituh?"

"Katanya kacang nggak bagus buat kecantikan kulit. Sebenarnya aku nggak peduli-peduli amat, sih. Tapi kalau nanti aku jadi jerawatan, Tian pasti nggak suka lagi."

"Tian itu teh pacar kamu?"

Suri mengacungkan jempol dengan lagak dramatis. "Seratus buat Bapak."

"Wajar sih, ya. Neng kan cakep. Nggak heran kalau udah punya pacar."

Suri jadi dibuat tersipu mendengarnya. "Ah, Bapak bisa aja. Kalau ngomong tuh suka kelewat jujur. By the way, aku numpang ngaca disini ya, Pak. Sekalian mau touch up liptint."

"Ta-cap? Apaan tuh?"

"Poles ulang liptint maksudnya."

"Liptint tuh apa ya? Sejenis lipstik?"

"Semacam itu, deh. Tapi lebih natural gitu, Pak. Kalau pake liptint, nanti bibirnya jadi imut-imut gaul kayak bibir unnie-unnie Korea."

"Uni mah bukannya sebutan untuk orang Padang, Neng?" Ada kerut muncul di dahi bapak itu. "Ah, yaudahlah. Pusing saya kalau ngomongin tren-tren terbaru. Nggak ngerti juga. Kan saya nggak pake liptin-liptinan. Tapi kalau mau ngaca, kenapa nggak di kamar mandi aja, Neng? Kacanya kan lebih gede."

"Males. Banyak yang jahil."

"Maksudnya?"

"Begitu deh, Pak." Suri enggan membahas lebih jauh tentang makhluk-makhluk random kampus yang dia temui waktu pergi ke kamar mandi putri pertama kali. Suri mengerti jika di kamar mandi semua tempat terutama sekolah dan universitas pasti memiliki penunggu, namun penghuni kamar mandi kampusnya adalah tipe-tipe violent serupa iblis Valak dalam film The Conjuring. Mereka tidak ramah dan sombong. Ajakan Suri untuk berkenalan justru disambut paduan cekikikan yang tidak harmonis. Suri jadi super bete karenanya. Diam-diam, Suri jadi merindukan Asmi. Tapi masa iya dia harus balik ke SMA hanya karena nggak sreg dengan hantu di kamar mandi?

Dengan sepenuh konsentrasi, gadis itu memoleskan seoles liptint ke bibirnya, membuat warna lembut yang semula sudah agak pudar kembali tampak. Setelahnya, Suri menutup botol itu rapat-rapat diikuti membuka risleting tas untuk memasukkannya kembali kesana. Namun entah bagaimana, botol itu terlepas dari genggaman jemarinya dan jatuh ke tanah bersemen begitu saja. Benda tabung tersebut menggelinding diiringi pekikan Suri, baru berhenti ketika membentur sepatu seseorang.

"Aduh, plis jangan pecah!" Suri berseru, tapi langsung terbungkam ketika sosok tinggi di depannya memungut botol liptint tersebut.

"Gue bilang apa soal jangan jadi mahasiswi ganjen?"

"Tian!" Suri berseru dengan telapak tangan di depan mulut. "Ini beneran kamu, kan?"

Sebastian berdecak. "Menurut lo?"

"Kamu ngapain disini?"

"Mau makan siang."

"Jauh banget." Suri mengerjapkan mata beberapa kali. "Emang restoran di Soedirman udah tutup semua?"

"Bukan gitu."

"Terus kenapa?"

"Gue mau makan siang sama lo."

Suri tercekat. "Oh. My. God."

"—dan sebenernya mau ngomongin sesuatu yang penting juga. Jadi jangan buru-buru kege-eran. Anyway, kelas lo udah selesai, kan? Kata Ayah lo cuma punya jadwal satu kelas aja hari ini."

Suri nyengir. "Udah terlanjur ge-er."

"..."

Rona merah di wajah Suri kian tegas. "Gimana ya, emangnya ada cewek yang nggak ge-er kalau tiba-tiba disamperin pacar gantengnya kayak gini. Hehehe. Aku nggak nyangka kamu bakat juga ngasih surprise."

Sebastian mendengus. "Terserah lo aja."

"Jadi kita mau makan dimana?"

"Disini aja. Gue malas macet."

"Tapi di kantin sini makanannya paling cuma ketoprak, gado-gado sama ayam geprek."

"Terus kenapa?"

"Katanya makanan pedas sama kacang nggak bagus buat kesehatan kulit." Bibir Suri mengerucut. "Kalau aku jerawatan gimana?"

Sebastian mendengus, lagi. "Wajar, lah. Namanya juga manusia, pasti pernah jerawatan. Nggak ada manusia yang nggak pernah berurusan sama yang namanya jerawat."

"Berarti kamu juga pernah?"

"Menurut lo?"

Suri nyengir. "Muehehe. Tapi kalau aku jerawatan, kamu masih sayang, nggak?"

"Menurut lo?"

"Masih."

"Udah tau, masih pake ditanya." Sebastian berdecak sambil berjalan melewati Suri dan duduk di salah satu kursi kantin. Beberapa mata melirik padanya, namun cowok itu terlihat tidak terlalu peduli. "Kenapa malah berdiri disana? Gue kesini mau makan siang, bukan nontonin lo bengong." Cowok itu berkata lagi kala dilihatnya Suri masih saja terdiam.

"Aku cuma kaget."

"Kenapa kaget? Nggak suka?"

Suri menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu. Suka, kok. Seneng banget malah. Tapi ini bukan kamu banget."

"Bukan gue banget gimana?"

"Bukan kamu banget datang tiba-tiba buat makan siang sama aku. Kayak ada yang nggak wajar gitu."

"Sejak kapan kepingin makan siang sama pacar sendiri nggak wajar?"

Pipi Suri lagi-lagi merona. "Hng..."

"Lo tunggu disini. Biar gue yang pesenin makanan."

Suri menurut, membiarkan Sebastian beranjak bangkit dari bangku dan memesan dua porsi ketoprak untuk mereka.

"Udah sekalian pesan minum?" Suri bertanya setelah Sebastian kembali.

"Udah."

"Apa?"

"Es teh sama susu cokelat dingin."

"Hehehe kamu peka banget, deh."

"Gimana nggak peka kalau tiap ke rumah, kerjaan lo adalah minta dibikinin susu cokelat dingin."

"Oh ya, tadi kamu mau ngomong apa?"

"Akhir minggu ini gue ada acara reuni SMA. Boleh bawa satu partner. Gue mau ajak lo. Lo bisa, kan?"

"Bisa, sih."

"Kok pake 'sih'?"

"Yakin mau ajak aku?"

"Kenapa juga harus nggak yakin?"

"Nanti kalau ada kejadian memalukan kayak waktu acara nikahan mantan kamu gimana? Kan reuni acara istimewa."

"You're talking nonsense," Sebastian mendengus. "Justru karena acara reuni SMA itu acara istimewa, gue mau datang sama orang yang istimewa juga."

Suri meringis malu. "Hehehe... aku istimewa?"

"Menurut lo?"

"Istimewa."

"Jangan dibiasain nanyain sesuatu yang udah lo tau."

"Tian,"

"Hm, apalagi?"

"Kamu ganteng siang ini."

"Udah tau."

Pandangan keduanya bertemu. Lalu sedetik berikutnyaSuri kembali tersenyum lebar hingga kedua matanya membentuk lengkungan.Sementara Sebastian? Ah, seperti biasa, laki-laki itu kembali dibuat berusahamati-matian menahan senyum.    

Halo. 

Sori jarang nongol. Dan kemungkinan besar, ampe akhir Mei gue bakal jarang nongol wkwkwk. Tapi gue bakal usahain NOIR tetap update kok. 

Dan oh ya, karena gue mulai lelah mendapatkan pertanyaan yang sama secara berulang, gue bakal jawab satu-satu disini. 

1. Kak, kok partnya loncat-loncat sih? 

Di privat buat followers. 

2. Aku kok nggak bisa follow? 

Gue nggak tau. Bukan teknisi wattpad. Tapi katanya lo bisa coba verifikasi email lo atau log out dulu atau remove dulu dari library baru di add lagi. 

3. Kapan dilanjut? 

Gue paling males dapet pertanyaan kayak gini. 

4. Gimana caranya dapet readers? 

Nggak tau. Dari awal nulis nggak nyari readers. Kalaupun promote juga yang promote in pembaca, ke temen-temennya, bukan gue. Gue nggak mau ada yang nge spam promote cerita di section komen maupun wall gue karena gue nggak ngerasa pernah melakukan tindakan kayak gitu di Wattpad. Simply, karena gue nggak mau wall dan komen section gue jadi tempat orang promosi. 

5. Kak bagian cerita ini bisa diganti nggak jadi ini atau ini? 

Nggak. My story my rules.

6. Tips nulis? 

Gue nulis geradakan. Nggak pake teori. Nggak pake pakem resmi. Nggak pernah belajar sastra. Cuma suka baca dan nulis. Dan mikir atau melamun. Sebatas itu. Nggak ada trik khusus ketika nulis. Ngarang nama ya ngarang aja. Ide ya datengnya tiba-tiba. Kayak gue kemaren-kemaren ngelamun malem-malem tau-tau dapet dua ide sekaligus. 

Gue bukan penulis jago. Masih sangat kurang. Masih suka minder, apalagi kalau berhadapan sama mereka yang paham sastra. Karena gue menulis untuk kepuasaan pribadi. Makanya sesibuk apapun gue, secapek apapun gue, entah ada yang baca atau nggak, gue tetap menulis. Sebaliknya, mau serame apapun yang baca, kalau gue lagi nggak mood ya nggak akan gue paksakan nulis. Gitu. 

Btw, gue udah kepikiran dua ide cerita sekaligus lol. Satunya tema kawin paksa dan satunya tema ala-ala badboy. Sangat-sangat wattpad dan mainstream sekali bukan? Gue merenung hampir dua jam. Diem, bengong ngeliatin tembok dan idenya dateng. (menurut gue sih) nggak mainstream karena kawin paksa dan tema badboy hanya pengisi (ecie). Belum tau mau ditulis kapan, gue mau nyelesein yang udah ada dulu. 

Da ah, sekian. 

(btw besok katanya bakal ditanya progress tugas besar individu) (terus gue sampe detik ini belum mulai sama sekali karena meskipun judul dan metode udah di approve tapi terlalu males untuk memulai) (jangan ditiru) 

Sampai ketemu di chapter berikutnya. 

Ciao. 

Continue Reading

You'll Also Like

That Day. By jysa

Fanfiction

5.9M 567K 71
[TELAH DITERBITKAN] Hari itu benar-benar adalah sebuah awal dari plot-twist bagi hidup Hyeri. Sejak hari itu, semuanya tak akan pernah sama lagi. Dan...
1.5M 15.9K 2
21 sampai ending diprivate Nerissa Aprodita menganggap dirinya hanya boneka sang Mama yang harus tetap tersenyum walau mengalami segala kepahitan d...
349 54 11
'Bibliosmia', aroma khas kertas. Aroma buku baru pada kumpulan cerita, kisah, dan legenda yang belum pernah kalian baca sebelumnya. Maka, jangan rag...
326K 25.5K 88
(Action, Fantasy, Sci-Fi) This page is intentionally left blank. *Biar berasa kek baca buku-buku luar negeri ya kan? Wkwkwk..