NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

tiga puluh lima

149K 17.9K 4.1K
By renitanozaria

Hari yang mereka antisipasi dengan penuh hati-hati akhirnya tiba.

Ketiga kakak Suri beserta Siena, Khansa juga Rana sepakat untuk tidak melakukan aktivitas apapun sepanjang hari itu dan hanya berdiam di rumah Keluarga Dawala. Meski sudah beberapa hari berlalu dengan ledakan jumlah orang—juga makhluk astral—yang jumlahnya tidak main-main di kediamannya, Jia Dawala tidak terlihat keberatan. Perempuan itu menghabiskan hampir sepanjang waktu bersenandung, entah ketika dia sibuk menyemprot tanaman dalam pot-pot di kebun belakang rumahnya hingga saat dia memasak di dapur. Kadang, Jia juga mengajak Rana, Khansa, Siena dan Suri untuk minum teh bersama menjelang sore, dimana para wanita akan bercerita tentang masalah-masalah kewanitaan sambil mendengarkan lagu-lagu hits tahun 80-an. Jika sudah begitu, para laki-laki biasanya akan ditinggal untuk berebut stik playstation—seperti yang kerap dilakukan oleh Sebastian dan Chandra—atau berdebat mengenai siapa yang bersalah karena telah meninggalkan bungkus kacang garuda begitu saja di atas karpet—terakhir dilakukan oleh Cetta dan Calvin. Sergio, seperti yang sudah-sudah, hanya menjadi penonton setia yang kerap menjadi korban selisih paham antar kakaknya dengan kakak-kakak Suri.

Seperti hari-hari sebelumnya, waktu berlalu dengan terasa sangat membosankan buat Suri. Bagaimana tidak? Setiap dia bergerak kesana atau kesini, orang-orang di sekitarnya akan sibuk melotot diiringi pekik dia mau pergi kemana. Seperti apa yang terjadi tadi pagi. Sesaat setelah bangun dari tidur, Suri langsung bergerak menuju dapur. Tujuannya tentu sudah jelas, untuk mendapatkan sebotol dari berbotol-botol minuman Mogu-mogu rasa anggur yang sengaja Jia stok selama Suri tinggal di rumahnya. Tetapi, sebelum dia tiba di dapur, sosok Sergio dan Cetta telah lebih dulu menahan langkahnya.

"Kamu mau kemana?" Cetta bertanya, tampan seperti biasa meski hanya mengenakan celana panjang training warna abu-abu dan kaus putih polos tanpa motif. Ketika abangnya itu mendekat, samar Suri bisa mencium aroma khas yang dia kenali sebagai shampoo Rana dari baju Cetta. Bisa dipastikan, dua orang itu pasti tidur saling berangkulan sepanjang malam—sesuatu yang barang tentu tidak bisa Cetta dan Rana lakukan jika mereka ada di rumah. "Disana dapur loh, Suri."

"Aku juga tau disana dapur, abang."

"Di dapur ada pisau." Cetta mengingatkan lagi dengan nada yang berusaha dibuatnya kalem.

"Iya. Terus ada talenan. Ada penggorengan yang pantatnya gosong kayak Abang Calvin. Ada panci. Ada sabun. Ada sendok. Ada garpu. Ada blender. Ada sodet. Ada piring. Ada—"

"Maksud abang, dapur itu tempat yang berbahaya," Cetta menukas sebelum Suri menghabiskan sejam penuh hanya untuk menyebutkan nama-nama benda yang ada di dapur rumah Keluarga Dawala.

"Abang kok jadi lebay banget, sih? Biasanya waktu di rumah, abang yang paling getol nyuruh aku nyuci piring bantuin Abang Calvin,"

"Kan situasinya berbeda, Culi."

"Kenapa? Karena aku lagi ada dalam situasi berbahaya-nyaris-mati sekarang?"

"Bukan gitu, Culi."

"Jangan songong gitu dong, sama my baby." Wati melayang entah darimana, langsung berhenti di sebelah Suri sembari menatap gadis itu dengan tatap memperingatkan. "Dia udah perhatian banget sama kamu loh."

"Bodo."

"Kamu ngomong 'bodo' sama abang?" Mata Cetta terbelalak dengan dramatis, sementara Sergio turut memandang Suri dengan pandangan seolah-olah Suri baru saja merencakan genosida untuk memusnahkan setengah populasi dunia. Beberapa hari tinggal serumah dengan ketiga abang, Sergio paling dekat dengan Cetta. Entah kenapa keduanya langsung cocok. Mungkin karena Cetta adalah tipikal kakak laki-laki yang bisa serius dan bisa bercanda disaat yang bersamaan—berbeda dengan Chandra yang tidak pernah serius dan Sebastian yang hampir tak pernah bisa diajak bercanda. Kalau Calvin sih mana peduli sama Sergio. Satu-satunya yang ada di pikiran cowok itu hanya Suri, Ultraman, tidur, Khansa dan popcorn. Oh ya satu lagi, yoghurt stroberi.

"Enggak. Aku ngomong sama Wati. "

Wati melotot. "Jangan bilang ke my baby, plis!! Saya belum siap go public sekarang!!!"

"Wati?" Kening Cetta berkerut. "Siapa Wati?"

"Suri, plis," Wati memohon.

Suri berlagak berpikir. "Hm."

"Culiii... cewek bodygoals... plis..."

"Wati itu hantu yang udah lama banget jadi fans berani matinya abang," Suri mengungkap tanpa peduli pada raut wajah Wati yang dialiri keterkejutan, menampilkan semacam ekspresi layaknya aktris sinetron yang wajahnya kerap di-zoom in zoom out dengan berlebihan pada adegan klimaks. "Dia udah lama tinggal di rumah kita. Dia suka ngelonin abang waktu abang tidur."

Cetta terperangah. "Maksud kam..."

"Tapi abang tenang aja," Suri buru-buru menyahut sebelum Cetta menunjukkan reaksi takut tingkat akut seperti Sebastian. "Wati takut sama Kak Rana. Jadi selama abang masih pacaran sama Kak Rana, abang aman."

Sergio menepuk pundak Cetta seperti ingin menyabarkan. "Sabar, bang. Lo sih terlalu ganteng, sampe setan aja doyan."

"This is... unbelievable." Cetta masih saja terhenyak.

"By the way," Sergio menatap Suri. "Kalau Wati bisa ngelonin abang lo, ada kemungkinan nggak kalau Kesha bisa ngelonin gue?"

"Enggaklah, lo gila ya?"

"Kok gila sih? Kan gue cuma nanya," Sergio jadi dongkol.

"Kesha sama Wati itu beda. Kesha mah udah pergi ke tempat yang seharusnya. Enggak kayak Wati. Dia kebanyakan dosa, makanya kagak bisa balik ke tempat yang seharusnya. Udah gitu bukannya insyaf, malah berbuat tindakan asusila dengan mengintip Abang Cetta setiap kali Abang Cetta mandi. Otaknya terlalu porno buat masuk neraka."

"HAH?!" Mata Cetta kian membulat, sementara Wati yang wajahnya telah merah padam memandang Suri layaknya orang teraniaya.

"Culi, yang kamu lakukan ke saya itu jahat!!!" ujarnya menahan pilu, sebelum akhirnya melayang dan berlalu.

Kasian deh lo, Suri tertawa jahat dalam hati sambil memanfaatkan kekagetan yang menguasai Cetta untuk meneruskan langkahnya menuju dapur.

n  o  i  r

Malam tiba dan ketegangan di kediaman Keluarga Dawala pun kian memuncak. Siena, Rana dan Khansa sepakat untuk menempati kamar Sergio yang berada di sebelah kamar Sebastian—dimana kamar tersebut ditempati oleh Suri. Demi situasi darurat, Sergio sendiri ikhlas mengungsi ke ruang tengah dan tidur di atas hamparan karpet tebal sepanjang malam. Dia tidak seorang diri, tentu saja. Diantara sekian banyak hantu yang turut bermigrasi sementara ke kediaman Keluarga Dawala, banyak yang terpesona oleh paras Sergio. Beberapa termasuk Mpok Jessica bahkan bersumpah jika mereka diberi kesempatan hidup kembali, Sergio Dawala akan jadi orang pertama yang mereka kejar untuk ditarik ke pelaminan.

Sebelum berlalu menuju kamar tidurnya sendiri, Jia sempat menemui Suri di kamar gadis itu. Kekhawatiran pasti menguasainya, karena dia tidak lagi seceria biasanya meski masih saja memaksakan senyum. Jia merasa dia harus menemui gadis itu untuk memberikan dukungan moral. Ketika perempuan setengah baya itu masuk ke kamar, Suri sedang duduk di atas ranjang sambil membaca Majalah Bobo edisi terbaru.

"Malam, Culi," Jia berkata, memanggil Suri dengan panggilan imut yang kerap digunakan ketiga kakak Suri memanggil gadis itu selama mereka tinggal di rumahnya.

"Eh, Mami. Kenapa?"

"Mami mau ketemu kamu."

"Iya. Sekarang udah ketemu. Biar aku tebak, Mami pasti mau ngomong sesuatu."

Jia tertawa kecil. "Kok tau?"

"Karena Mami nggak jauh beda sama Bunda. Setiap kali Bunda nyamperin aku ke kamar atau manggil aku, dia pasti mau bilang sesuatu."

"Tentang malam ini," Jia berujar seraya berjalan mendekat, lantas duduk di tepi ranjang. Dia menatap Suri dengan sorot mata lembut yang membuat Suri terdiam sejenak. Mudah bagi Suri itu menemukan sosok mendiang ibunya dalam tatap Jia Dawala. Pandangan itu adalah pandangan seorang ibu—sesuatu yang lama Suri rindukan. Jia menghela napas, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh rambut Suri yang tergerai di tepi wajah. "I believe you'll make it."

"Thanks, Mami." Suri tersenyum tulus. "I hope so."

"Kamu itu anak yang baik." Jia berkata sungguh-sungguh. "Janjikan sesuatu sama Mami setelah semua ini selesai."

"Janji apa?"

"Jadi anak Mami."

Suri tergugu. "Aku—aku nggak ngerti."

"Maksud Mami... kamu dan Bas... kamu ngerti, kan?"

"Aku sih mau." Sikap tengil Suri kembali terlihat. "Tapi nggak tau sama Tian. Kadang aku tuh susah bedain sebenernya dia tuh malu-malu kucing doang apa beneran nggak mau sama aku. Cuma berhubung kata Abang Chandra satu-satunya cara menaklukan dunia adalah dengan over pede, jadi yaudah aku pede aja kalau Sebastian sebenernya naksir aku. Menurut Mami gimana?"

"Bas suka kamu."

"Beneran?"

"Mami kan ibunya. Mami sudah kenal Bas lebih dari dua puluh enam tahun. Mami tahu benar ketika dia suka sama seseorang." Jia berujar. "Dia memang selalu seperti itu kalau lagi naksir orang. Apalagi kalau orangnya bukan orang yang menurutnya bisa dia taksir. Dia itu malu-malu kalau sudah harus mengakui perasaannya."

Suri terdiam sebentar. "Begitu, Mi?"

Jia mengangguk. "Jadi jangan menyerah. Bersabarlah buat Bas sebentar lagi. Kamu mau, kan?"

Suri nyengir seraya mengacungkan ibu jari. "Sip, Mi."

Jia balik tersenyum lebar. "I'll see you tomorrow, sweet cheeks. Besok Mami akan bikin kyochon buat kamu."

Suri tertawa. "Oke."

Jia menatap Suri sekali lagi sebelum beranjak dari tepi ranjang. Perempuan itu berjalan menuju pintu, membuat lima sosok pria yang telah mengintip dari celah pintu sejak tadi langsung kompak berhamburan menjauh. Kelimanya berbaris kaku seperti murid-murid yang disetrap karena membuat keributan saat Jia tiba di luar.

"Kalian belum tidur?"

"Belum, Tante." Calvin, Cetta dan Chandra kompak menyahut.

"Suri udah tidur, Mam?" Sergio menyela, membuat kepala Sebastian langsung tertoleh padanya. Mata cowok itu tersipit, menyiratkan tatap menyelidik. Sergio tampaknya sadar, karena dia langsung menambahkan sambil melirik sekilas pada kakak laki-lakinya. "Cuma nanya doang, Kak. Gue nggak ada maksud lain, sumpah."

"Emangnya gue ngomong apa?"

"Enggak pake ngomong juga Mami pun sudah bisa melihat kalau kamu cemburu, Bas." Jia menukas geli, membuat Sebastian mendengus pelan. "Suri kayaknya mau tidur sebentar lagi. Mungkin salah satu dari teman perempuannya bisa menemani?"

"Kami bertiga bisa, Tante." Calvin menyambar.

"Hm, tapi kayaknya kasurnya nggak akan muat deh kalau diisi empat orang."

"Aku juga bisa, Mam." Sebelum Sebastian sadar, ucapan itu telah lebih dulu terlontar. Kata-katanya kontan membuat kepala ketiga kakak Suri juga Sergio terputar ke arahnya dalam waktu hampir bersamaan.

"Enggak bisa!"

"Apa maksud lo nggak bisa?" Sebastian menyahut, memandang Chandra dengan wajah menantang.

"Suri itu adik gue!" Cetta berujar mendukung kata-kata Chandra.

"Suri itu—" Kata-kata Sebastian terputus. Cowok itu seperti bingung meneruskan ucapannya.

"Suri itu siapa lo?" Calvin membalas, mengangkat kedua alisnya dengan pongah.

"Dia... dia..." Lidah Sebastian terasa kelu. "Dia teman gue."

Sergio terkekeh. "Beneran cuma teman?"

"Emangnya lo kira kita bakal ngasih izin seandainya kakak lo berharap bisa jadi lebih dari temennya Suri?!" Chandra berucap sewot, membuat Sergio langsung dibuat terkesiap. "Sori ya, tapi kakak lo itu terlalu jelek buat Suri."

Sebastian mungkin sudah akan terlibat dalam adu mulut dengan ketiga kakak Suri jika saja pintu kamarnya tidak dikuak tiba-tiba. Sosok Suri berada disana, menganakan setelan pakaian tidur berwarna merah muda dengan motif kelinci. Rambut panjangnya yang hitam tergerai, sementara wajahnya yang pucat tanpa jengah.

"Berisik tau nggak?!"

Ketiga kakak Suri yang semula terlihat sangar kontan terbungkam. "Sori, Culi. Kamu terganggu ya?"

"Banget." Suri mendelik. "Dan abang bilang apa tadi? Tian terlalu jelek buat aku? Duh hel-low, sebelum ngomong gitu, abang harusnya ngaca dulu. Gantengan Tian kemana-mana keles!"

"Suri," Chandra menatap adik perempuannya dengan sorot terkhianati. "Kok kamu ngomong gitu sama abang? Seenggaknya abang lebih baik daripada si Malika, soalnya bentuk abang nggak kayak kacang kedelai."

"Heh, kok malah bawa-bawa gue?!"

Suri berdecak. "Jelas aku bilang Tian yang lebih ganteng. Cukup Siena aja yang bilang abang ganteng."

"—dan satu setengah juta followers akun Instagram abang." Chandra merasa perlu menambahkan.

"Banyakan followers gue. Teknisnya, gue ngedapetin empat juta followers gue secara effortless." Cetta menimpali.

"Waduh, congkak sekali anda, Ikan Teri. Hati-hati dengan kecongkakanmu itu, kelak kamu akan dibakar di neraka terdalam."

"Jangan berisik. Aku mau tidur."

"Tunggu." Calvin menahan. "Lingkaran garamnya nggak terputus, kan?" Lingkaran garam yang dimaksud Calvin adalah lingkaran garam yang telah dibuat mengitari ranjang Sebastian—setelah menggeser ranjang tersebut sedikit lebih jauh dari tembok. Keberadaan lingkaran garam itu mengikuti instruksi yang Suri ketahui dari Nael dan Zoei. Meski tidak yakin, entah kenapa Suri merasa pesan dari kedua iblis itu mampu melindunginya.

"Enggak. Aku udah cek tiga kali tadi. Siena juga."

"Hm, oke."

"Yaudah. Aku mau tidur. Abang jangan berisik. Dan jangan bully Tian terus. Ganteng-ganteng gitu, dia bakal jadi adik ipar abang di masa depan."

"Pede banget ya gue mau nikah sama lo?"

"Harus dong. Kalau dua-duanya pasif meskipun saling suka, ya sampai ladang gandum menjadi koko crunch juga nggak bakal jadi," Suri tersenyum lebar. "Bye, Tian. Sampai ketemu besok. Muachhh." Gadis itu menyambung sambil meniupkan satu kissbye untuk Sebastian yang refleks dibuat terperangah.

Di sisi lain, ketiga abang menatap Sebastian sambil merengut. Ada sinar cemburu serupa yang bergulir di mata ketiga pemuda itu.

n  o  i  r

"Jadi, siapa nama lo tadi?"

Menanggapi pertanyaan Rana, Khansa berdecak sebelum akhirnya menjawab. "Khansa."

"Mm... Khansa..." Rana mengangkat salah satu alis, menatap Khansa dengan pandangan penuh penilaian sementara Siena yang ada diantara mereka berdua terlihat kikuk. Meski dekat dengan Chandra yang teknisnya adalah orang tertua diantara ketiga bersaudara, Siena adalah yang termuda jika dibandingkan dengan Khansa dan Rana. Buruknya lagi, sejak pertama kali bertemu, Khansa dan Rana tidak pernah terlihat benar-benar akur. Keduanya memang tak terlibat dalam adegan cakar-cakaran dramatis ala adegan sinetron, tapi nyaris saling menatap dengan jenis pandangan yang seolah mampu merobek kertas pelapis dinding.

"Lo suka McD's nggak?" Rana lanjut bertanya.

"Lumayan, meski gue .lebih suka tempe goreng."

"Kalau indomi goreng suka nggak?"

"Kenapa sih lo nanyanya begini banget?" Khansa berdecak namun tetap menjawab. "Lumayan."

"Bagus."

"Kok bagus?"

"Lo dan Siena sama-sama suka McD's. Suka indomi juga. Itu artinya, kalian bala mecin seperti gue," Rana berkata. "Bagus dong. Soalnya ada kemungkinan kita jadi satu keluarga di masa depan. Gue paling anti sama sekeluarga sama orang-orang pembenci micin. Apalagi yang sampai mengidolakan gaya hidup sehat. Plis, dimana-mana juga orang tau dada ayam McD's lebih enak daripada roti tawar kasih telur ceplok sama irisan alpukat."

"Terserah." Khansa berujar cuek.

Tetapi sepertinya Rana belum puas. "Khansa?"

"Iya, nama gue Khansa."

"Kok lo mau sih sama Calvin?"

Khansa mengernyit. "Kenapa harus nggak mau?"

"Jelas harusnya lo berpikir pake akal sehat dulu, dong," Rana memutar bola mata, membuat Siena bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa tetap saja tampak begitu berkelas meski hanya dengan gerak sederhana dalam balutan pakaian tidur. "Malika tuh—"

"Malika?" Khansa memotong heran. "Kenapa Calvin disebut Malika?"

"Lo masih ngerasa perlu nanya?" Rana terbelalak seakan-akan Khansa baru saja bertanya Barack Obama itu siapa.

"Karena kulitnya Kak Calvin eksotis, Kak." Siena menimpali cepat sebelum Khansa dan Rana saling adu argumen. "Kayak kedelai hitam yang dibesarkan oleh tangan sendiri di iklan kecap. Jadi disebut Malika."

"Hm, kalau lo boleh sebut Calvin dengan sebutan Malika, berarti gue boleh sebut pacar lo pete albino dong kalau gitu?"

"What the fucking hell?" Rana melotot.

"Loh, sama aja toh? Pacar lo juga gila sih putihnya nggak wajar banget, ibarat kata nih ya, seandainya dia ditaro di landasan pacu bandara waktu matahari terik, kemungkinan di atas delapan puluh persen pesawat-pesawat yang mau landing dan take off bakal tergelincir dramatis. Kenapa? Soalnya cahaya matahari yang dipantulkan pacar lo bikin mereka silau."

"Dimi memang semenyilaukan itu, honestly."

"Not in a good way." Khansa menyergah. "Sama aja kayak Calvin. Dia nggak seputih dua saudaranya lain, tapi Calvin itu istimewa."

Rana mencibir. "Idih."

"Calvin tuh kayak kereta api. Hitam-hitam juga banyak yang menanti."

"Iewh."

"Wah, aku terharu."

Sebuah suara yang mendadak menyela membuat kepala ketiga cewek yang duduk berdekatan di atas ranjang itu kontan menoleh kompak pada satu arah yang sama. Khansa langsung ternganga kala mendapati Calvin ada disana, beserta dengan Cetta yang mesem-mesem dan Chandra yang mengangkat alis di belakang kedua adiknya. Pintu kamar yang semula tertutup tahu-tahu sudah menjeblak terbuka.

"Elah, ngapain lo disitu?!" Khansa berseru, menatap Calvin yang masih saja mengobral cengir.

"Segitunya banget sih belain gue. Muehehe. Jadi terharu."

"Dan ini untuk pertama kalinya juga kamu mengakui kalau aku emang seganteng itu, Rana," Cetta menimpali, ikut tertawa lebar terlepas dari gelar tak hormat semacam pete albino yang sempat disematkan Khansa padanya.

"Aku nggak ngomong gitu!" Rana berkilah dengan wajah memerah.

"Siena, kamu kuat kan tidur disini?" Chandra justru menatap khawatir. "Dua cewek ini tuh udah kayak cheetah sama hyena. Mending kamu tidur sama aku aja deh ya? Mau nggak?"

"Nggak bisa!" bersamaan, Khansa dan Rana berseru sambil membuat gestur seperti ingin melindungi Siena yang terdiam dengan wajah polos.

"Gila aja lo, masa depan Siena masih panjang ya. Jangan lo hancurkan hidupnya yang cerah gemilang dengan virus-virus fakboi jahannam!" Rana berseru pedas.

"Kalau liat kamu galak gitu, aku makin cinta." Cetta terkekeh, membuat Rana mendengus keras-keras.

"Kita bertiga mau tidur. Mendingan kalian berjaga di depan kamarnya Suri, deh. Bukannya itu kesepakatan yang udah kalian semua buat tadi pagi?"

"Hm, bener juga." Calvin mengusap rahangnya. "Oke deh, Khansa. Selamat bobo ya. Kereta api yang lo nanti-nanti ini akan menjemput lo besok pagi. Bbuing-bbuing."

Khansa bergidik jijik sementara Calvin tertawa sembari bergerak keluar dari atas ambang pintu. Cetta dan Chandra mengekorinya, menarik pintu perlahan-lahan untuk menutup. Hanya saja, sebelum pintu menutup dengan sempurna, Cetta sempat berhenti sesaat dan melongokkan kepalanya masuk ke dalam kamar sekali lagi.

"Rana,"

"Dimi, tolong tutup pintunya sebelum aku lempar kamu pakai bantal."

Cetta nyengir. "Aku nggak tau kalau aku semenyilaukan itu buat kamu."

"Dimi, kamu cuma punya waktu tiga detik."

"Hehehehe." Cetta menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Selamat bobo, Rananya Dimi."

Rana membalasnya dengan lemparan bantal, meski pada akhirnya dia diam-diam menarik senyum tipis setelah pintu kamar benar-benar tertutup sepenuhnya.

n  o  i  r

Suri tidak tahu dia sudah tertidur berapa lama ketika pada akhirnya dia terbangun. Pada detik pertama matanya terbuka, gadis itu menatap langit-langit, seperti berusaha menerka-nerka jam berapa sekarang. Apakah sekarang sudah pagi? Suri berharap iya, karena itu berarti pertanda jika semua sudah berakhir.

Akan tetapi, Suri harus menelan kecewa tatkala dia meraih jam beker yang tergeletak di atas nakas di samping tempat tidur. Sekarang baru pukul satu dinihari. Malam masih menguasai, dan itu artinya fase wanning crescent yang dimaksud Calvin sebagai makna dari istilah langit mati belum berakhir. Entah mengapa, memikirkan itu membuat resah mewarnai benak Suri.

Suri baru berniat untuk tidur kembali ketika pandangan matanya tiba-tiba tertumbuk pada satu arah. Keningnya kontan berkerut seketika saat dia menyadari ada seekor kucing hitam duduk di dekat tembok. Kucing duduk diam. Mata kuningnya menatap pada Suri dengan sorot mengawasi, namun apa yang membuat Suri terkejut bukan karena keberadaannya, melainkan karena chain yang melilit lehernya. Chain itu terlihat terlalu kecil untuk bisa dikenakan oleh si kucing tanpa mencekiknya. Namun anehnya, kucing itu justru masih saja diam. Dia tak mengeong, cuma sebatas menatap seperti tengah meneliti.

"Kamu... bukan kucing biasa, kan?" Suri bertanya ragu-ragu, merasa bodoh dan cemas disaat yang bersamaan.

Di luar dugaan, kucing itu mengeluarkan suara. Suaranya parau, seperti ngeong dalam sebentuk bisik. Ada warna seolah kesakitan dalam nadanya.

"Is it because the chain?" Suri memberanikan diri bertanya lagi.

Kali ini kucing itu tidak mengeong, membuat Suri berpikir kesunyiannya bisa jadi pertanda jawaban 'iya'.

Gadis itu menghela napas, berpikir selama sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Beberapa detik sempat terhabiskan kala dia menimbang apakah sebaiknya dia melanggar batas garam yang telah dibuat atau tidak. Sebagian dirinya berkata jika dia harus tetap berada dalam lingkaran itu setidaknya sampai pagi tiba, namun sebagian dirinya yang lain memaksanya membantu kucing hitam tersebut—yang entah dari mana datangnya.

Sempat dilanda bimbang, Suri akhirnya memilih melakukan tindakan yang kedua.

Gadis itu berjalan menapaki karpet, bergerak keluar dari lingkaran garam. Tidak ada yang terjadi. Masih saja sepi, hanya ada mata Suri yang bertemu pandang dengan mata kucing tersebut seiring dengan langkah kaki Suri yang kian mendekati binatang berbulu hitam itu. Saat tiba di depan si kucing, Suri berjongkok. Tangannya terulur melepaskan chain yang melilit leher si kucing, bertepatan dengan pintu kamar yang didorong terbuka dalam bentuk serbuan membabi-buta.

Spontan Suri menoleh, membuat matanya langsung terkunci dengan wajah Sebastian yang tampak panik.

"Suri!" Sebastian berseru tertahan, tapi kata-katanya tak terteruskan karena perhatian yang telah tersita pada sesuatu yang lain—pada seekor kucing hitam di depan Suri yang kini meledak ke dalam gulungan asap. Asap tebal memenuhi kamar sejenak, membuatnya terlihat seperti frame tempat kejadian perkara peristiwa kebakaran. Ketika pada akhirnya asap itu sedikit demi sedikit menipis, telah ada sosok lain yang berada di depan Suri.

Sosok itu adalah Zoei.

"Zoei?"

"Selamat malam, Oriana Suri Laksita," Zoei berkata kaku dengan wajah datar hampir tanpa ekspresi. "Kita bertemu lagi. Hanya saja, sekarang situasinya tidak terlalu baik."

"Apa kamu... kesini untuk ngebawa aku... ke akhirat?"

Zoei tidak bisa terus-menerus menunjukkan wajah datarnya. Satu tawa kecil terlepas dari bibirnya, sementara Sebastian masih menatap khawatir di ambang pintu. "Bukan ke akhirat. Tapi ke suatu tempat."

"Untuk... apa?"

"Menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai."

"Karena aku ngebantuin hantu-hantu itu?"

Zoei mengangguk. "Sejujurnya, sulit sekali buatku masuk kesini. Kamu membawa lebih banyak hantu dari jumlah total hantu yang mungkin bisa menghuni lima pemakaman sekaligus. Mereka sempat menghalangiku—sama seperti bagaimana mereka menghalangi iblis-iblis yang lain—tapi saat aku berkata jika kamu adalah temanku dan niatku datang kesini bukan untuk menjemput nyawamu, mereka memberiku izin." Zoei melirik sekilas pada Sebastian yang masih saja berdiri kaku. "Tapi manusia yang satu itu adalah pengecualian. Kenapa dia tidak jatuh tertidur? Padahal aku sudah memastikan seisi penghuni rumah ini akan jatuh tertidur pada detik pertama aku masuk."

Suri melirik pada Sebastian. "Aku... aku nggak tau. Tapi Zoei, apa aku bakal mati?"

"Kamu tidak akan mati." Zoei berkata yakin. "Kamu hanya perlu mengikutiku. Aku akan membelamu. Nael juga akan membelamu. Kami tidak akan membiarkanmu mati. Tapi kamu jelas perlu menyelesaikan ini. Apa kamu ingin seumur hidupmu harus merasa ketakutan setiap kali langit mati seperti manusia serigala yang khawatir pada siklus rembulan?"

Suri menggeleng ragu-ragu.

"Ikut denganku. Akhiri ini dan kamu akan bebas."

"Suri," Sebastian memotong dengan nada tegas. "Jangan."

"Aku bukan pencabut nyawa, Oriana Suri Laksita. Aku disini membantumu. Kami ingin membantumu." Zoei berkata. "Setelah semuanya usai, aku berjanji kamu bisa kembali."

"Kamu nggak bohong, kan?"

"Menurutmu?"

Suri menghela napas, lantas menatap pada tangan Zoei yang terulur.

"Suri, jangan." Sebastian berujar lagi. "Don't take his hands. Please. I beg you. Please, don't."

Suri tersenyum lebar hingga kedua matanya melengkung bak bulan sabit. "I'll be back, Bas." Lantas tanpa menunggu lagi, Suri meraih tangan Zoei. Sedetik setelah kedua tangan itu bersentuhan, sosok Zoei menghilang, disusul tubuh Suri yang luruh ke lantai ditinggal kesadaran. Spontan, Sebastian menghambur cepat ke depan. Beruntung dia berhasil menangkap tubuh Suri sebelum kepala gadis itu membentur lantai.

Ada yang terasa menusuk dalam dada Sebastian. Entah itu detak jantungnya yang memburu, atau nyeri yang membersit dalam hati karena sebab lain. Sebastian tertunduk, memandang pada wajah Suri yang pucat dalam rengkuhannya. Mata gadis itu terpejam, membuat kekhawatiran Sebastian kian berkuasa.

Dengan tegang, Sebastian meraih lengan Suri. Pada lengan hangatnya yang perlahan mendingin. Ada ngeri mengaliri punggungnya ketika dia menyadari sesuatu kala jarinya berada di atas pergelangan tangan kanan Suri.

Disana, pada tempat dimana nadi berada, tidak ada denyut yang terasa.    






bersambung. 

Halow. 

Sori kemaleman. 

Btw, pertama-tama gue sangat berterimakasih untuk komennya luv betul-betul penyemangat sejati. 

Tapi plis kalau mau point out typo atau apapun itu cukup sekali aja dong -,_- kayak kalo lo mau komen, kalau udah ada orang sebelumnya yang ngasih tau komen itu ya nggak usah diulangin :( masa tiga puluh orang isi komennya sama soal typo-..- gue udah coba edit tapi yeuh namanya wattpad suka error dan gak cepet keganti gitu. Sementara gue terlalu sibuk *ceileh* buat meluangkan waktu untuk re-check. Gue punya temen editor kok, jadi secara garis besar gue tau gimana tanda baca ya cuma gimana ya namanya pas ngetik gue nggak pakai mikir ya jadi begitulah adanya dan sekali lagi, nggak sempet re-check. Kecuali ceritanya udah naik cetak dan masih banyak typo nggak jelas macem itu baru demo gue deh okeoke karena itungannya naskah yang diupload ke Wattpad itu naskah mentah yang nggak kena supervisi dan cut dari editor. (apasih gue sok professional banget) (gue akan lebih menghargai kalau lo komen soal ceritanya atau gimana karena itu lebih menyemangati, honestly) 

Oh ya, besok gue bakal ke Boyolali buat survei lapangan untuk kegiatan studio. Baru balik jumat minggu depannya. Atau Sabtu. Jadi mungkin update berikutnya bakal lebih lambat (tapi kayaknya nggak nyampe seminggu deh ya doain aja gue bisa ngetik disana) 

sekali lagi, makasih banget buat komennya. kalau bukan karena komen dari pembaca seperti kalian, gue mungkin sudah menyerah menulis dari tahun jebot lol punya pembaca seperti kalian juga membuat gue jadi lebih dewasa dalam berpikir, juga dalam menulis. Ini adalah tahun ketujuh gue menulis (I guess) dan kalau kalian masih nanya gimana caranya biar bisa dapet ide atau tulisannya bagus (meskipun tulisan gue nggak sebagus itu) (seven years and I still think my writings are pieces of trash lol) jawabannya ya tulis aja. 

Tulis. Tulis. Tulis. 

Cuma itu doang. 

Wkwkwk udah ya. Btw, kayaknya malam ini gue, Hana real life, Cetta, Rana dan Kle mau sounding untuk open RP. 

See ya. 

Ciao. 

Continue Reading

You'll Also Like

55.9M 770K 11
PINDAH KE APLIKASI FIZZO Hanya kehidupan sehari-hari tentang Kana, cewek super pemales yang tidak mau melakukan semua hal karena dianggap repot. Kes...
955 166 7
Malika Marwan tidak pernah menyangka kalau suami yang dicintainya dan adik yang dipercayainya akan tega membakarnya hidup-hidup. Sebelum ajal menjemp...
21.5K 2.2K 68
Hanya kata sederhana ☺ Cover by : @Delta_Y
That Day. By jysa

Fanfiction

5.9M 567K 71
[TELAH DITERBITKAN] Hari itu benar-benar adalah sebuah awal dari plot-twist bagi hidup Hyeri. Sejak hari itu, semuanya tak akan pernah sama lagi. Dan...