NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

dua puluh sembilan

170K 18.7K 2.8K
By renitanozaria

Sebastian dibuat bingung tatkala Suri gemetar tanpa kendali. Gadis itu berdiri kaku, menatap nanar pada sisa-sisa kekacauan di dekat mereka. Tidak lama kemudian, air mata berjatuhan di pipinya. Wajahnya menyiratkan ketakutan yang amat sangat, seperti dia baru saja menyaksikan sesuatu paling mengerikan dalam hidupnya. Sebastian tidak mengerti. Memang, bingkai lukisan yang jatuh itu hampir menimpa mereka—dan jika dipikir-pikir, bisa saja menyebabkan gegar otak kalau sampai mengenai kepala, mengingat ukuran dan beratnya yang tidak bisa dikatakan ringan. Tapi kenapa Suri harus bereaksi sampai sebegitunya?

"Suri,"

Isakannya makin keras. Sebastian benci itu. Perempuan yang menangis adalah kelemahannya. Dia paling tidak bisa melihat perempuan menangis di dekatnya. Sebastian menarik napas, berusaha meredakan deru dalam dadanya. Lalu, sebelum dia sadar, detik berikutnya dia telah menarik Suri ke dalam pelukan.

Sebastian memeluknya erat, menepuk-nepuk punggungnya seperti berusaha menenangkan. Suri tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu terus saja menangis, membasahi kemeja biru langit Sebastian dengan air matanya.

"It's okay, it's okay. You're safe."

Suri masih larut dalam sedu-sedan, dan Sebastian masih memeluknya erat ketika dua orang petugas keamanan hotel menghampiri mereka. Petugas itu menatap heran pada Suri dan Sebastian, tapi perhatian mereka dengan cepat teralih pada puing-puing dan bangku koridor yang sudah penyok. Suasana sepi. Sepertinya orang-orang terlalu sibuk berpesta.

"Lukisan itu jatuh tiba-tiba." Sebastian memberitahu ketika salah satu dari petugas bertanya. "Hampir menimpa saya dan teman saya. Dia terlalu terkejut. Saya rasa, pihak hotel harus memeriksa semua lukisan. Siapa tahu, itu bukan satu-satunya lukisan yang tergantung dengan rapuh. Protokol keamanan kalian harus diperbaiki."

Mendengar rentetan kalimat dingin yang Sebastian ucapkan, petugas itu dibuat bungkam. Dengan wajah malu, dia membungkukkan tubuh beberapa kali—sesuai dengan citra hotel yang memang konon menggunakan pesona khas Asia Timur dalam memikat tamu untuk menginap—dia meminta maaf, yang Sebastian iyakan sambil lalu. Dua petugas itu kemudian sibuk memanggil tim untuk membersihkan sisa pecahan kaca dan kayu, juga mengganti bangku yang penyok dengan bangku baru. Seiring dengan waktu yang berlalu, tampaknya Suri berhasil membuat dirinya lebih tenang. Dia tidak menangis lagi saat Sebastian melepaskan pelukan mereka.

"Kita pulang sekarang?"

Suri mengangguk.

"Okay." Sebastian menatap Suri dengan hati-hati. "Bisa jalan? Mau digendong?'

Pada situasi normal, Suri pasti akan langsung dibikin girang. Tapi tampaknya, gadis itu terlalu kaget untuk berpikir jernih. Dia menggeleng lagi, walau lututnya terasa lemas.

"Aku mau pulang."

"Oke. Kita pulang sekarang."

"Tapi gimana sama mantan kamu?" Suri seperti baru terpikirkan pada acara yang mereka tinggalkan.

"Gampang. Gue bisa telepon nanti." Sebastian menyambung lagi. "Mending kita pulang sekarang. Lo pucat banget. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama lo."

Suri tidak tahu bahwa kalimat terakhir Sebastian sarat dengan ketulusan.

n  o  i  r

"Sepanjang sore kamu asyik banget ngobrol sama Ayah."

Gerakan tangan Rana yang sedang menyendok sereal dari mangkuk di depannya langsung terhenti ketika mendengar Cetta mendadak bicara. Gadis itu mengangkat salah satu alis, menatap Cetta sejenak. Dia langsung paham saat melihat sorot cemburu yang berkelebat di mata Cetta. Cetta mungkin adalah cowok paling ganteng dan paling penuh perhatian yang bisa dimiliki seorang gadis, tapi dia juga punya kekurangan. Cetta punya rasa cemburu yang besar. Karena itu, dia mengerti jika Rana cemburu saat dia melakukan photoshoot endorsement dengan gadis lain.

"Kan aku udah lama nggak ketemu Ayah kamu." Rana berkilah.

Cetta cemberut. Lucu sekali, membuat Rana ingin mencubit pipinya. "Tapi kan yang kangen ke kamu bukan cuma Ayah. Aku juga kangen."

"Kita kan sering ketemu. Sering telponan juga, Dimi."

"Tapi aku tetap kangen."

"Yah, mau gimana lagi?" Rana menyuapkan sesendok susu ke mulutnya. "Kita belum lulus kuliah. Belum bisa nikah. Jadi belum boleh tinggal serumah. Lagian, beneran kamu kangen aku? Kemarin kayaknya seru banget photoshoot bareng siapa tuh namanya... Irene Mandala? Kayaknya kamu sering banget photoshoot sama dia dari dulu."

"Soalnya banyak yang dukung aku sama dia jadian."

"Oh." Rana langsung bermuka masam.

"Jangan cemburu, Rana." Cetta terkekeh.

"Boleh, dong. Biar impas. Tadi kamu cemburu sama Ayah kamu. Sekarang aku cemburu sama cewek itu. Sebetulnya malah kurang adil. Aku nggak mungkin pacaran sama Ayah kamu, tapi kamu mungkin aja bisa khilaf sama cewek itu." Rana mendengus. "Apalagi katanya banyak yang dukung kalian jadian."

"Makanya kamu jadi selebgram juga," ujar Cetta. "Pasti nanti dukungannya lari ke kamu semua."

"Nggak, ah. Paling malas sama yang begituan."

"Kenapa?"

"Kamu ingat nggak dulu waktu foto aku masuk ke akun Instagram kampuscantik?"

"Inget, dong. Waktu itu kan aku sampai marah-marahin admin-nya. Enak aja, masa foto Rana aku dipajang disitu. Belum lagi ada risiko dipakai bahan coli sama oknum-oknum nggak bertanggung jawab."

"Tuh, kamu lebih cemburu dari aku."

"Bukan gitu. Aku serius. Coba pikir aja," Cetta memulai. "Orang bikin akun. Isinya majang foto-foto cewek cantik di kampusnya beserta data fakultas dan departemen. Terus followersnya jadi banyak. Terus adminnya bisa terima jasa paid promote. Bukannya itu kayak menjual wajah cantik cewek-cewek satu kampus? Apalagi cewek-cewek itu nggak dapat apa-apa."

"Dimi, kok serius banget, sih?"

"Lagian, kamu nggak harus masuk kampuscantik dulu untuk merasa cantik." Cetta tersenyum. "Dari awal aku ngeliat kamu, aku udah sadar kamu itu cantik."

"Gombal." Rana tertawa. "Iya. Waktu foto aku masuk akun kampuscantik itu jadi banyak LINE nggak jelas. Aku malas. Cukup kamu aja yang terkenal. Aku jangan."

"Benar juga. Kalau banyak yang naksir nanti aku yang susah."

"Makanya, jangan suruh aku ikut-ikutan jadi selebgram."

Cetta terkekeh sembari menggeser kursinya hingga berada di sebelah Rana. Mereka sedang berada di ruang makan sekarang. Hanya berdua, karena Ayah tengah menonton televisi bersama Calvin dan Chandra di ruang keluarga. Well, mungkin lebih tepatnya hanya Ayah yang menonton televisi. Chandra sibuk melakukan live video tidak jelas di sosial media—kebanyakan hanya memamerkan wajah dan senyum sok manisnya—sementara Calvin sibuk berkirim pesan dengan cewek yang diduga kuat, Khansa.

"Dimi, jangan dekat-dekat."

"Kenapa?"

"Kamu wangi banget. Jadi gemes pengen nyubit."

"Kalau aku, gemesnya pengen nyium." Cetta tertawa, lalu dia membungkuk dan mengecup cepat pipi Rana. "Jangan marah."

Rana mendecakkan lidah. Kecup di pipi memang cara andalan Cetta menunjukkan rasa sayangnya selain dengan peluk dan pegangan tangan. Kalau dihitung-hitung, mereka jarang sekali ciuman bibir. Malah sepertinya baru dua kali. Pertama ketika perayaan hari ulang tahun Cetta, dan kedua adalah saat anniversary kesatu hubungan mereka.

Gadis itu mungkin sudah akan bicara jika suara klakson tidak membuat perhatian keduanya teralih.

"Suri udah pulang deh kayaknya,"

"Kalau gitu kita harus ke depan. Aku harus mastiin Suri dipulangkan dengan utuh. Lihat aja kalau nggak," Cetta berkata, yang Rana balas dengan putaran bola mata. Tetapi gadis itu tidak membantah. Dia ikut beranjak mengikuti langkah kaki Cetta ke pintu depan. Ternyata, bukan hanya mereka yang berpikir seperti itu. Sebab Ayah dan kedua saudara Cetta yang lain sudah berada di pintu begitu mereka tiba disana.

"Suri, kamu kenapa?!" Calvin memekik terkejut ketika menyaksikan keadaan Suri. Sebagian depan gaunnya kotor oleh bercak aneka warna. Wajahnya pucat dan matanya sembab. Mata Calvin kian terbeliak kala dia menyadari sesuatu; tangan Sebastian merangkul bahu Suri. Meski itu tampaknya dilakukan semata karena kekhawatiran jika sewaktu-waktu Suri kehilangan keseimbangan, tetap saja buat Calvin, itu namanya cari kesempatan.

"Heh! Jauh-jauhin tangan lo dari adik gue!" Chandra berseru, jelas sependapat dengan pikiran Calvin.

"Barachandra," Ayah berujar memperingatkan sebelum kembali menoleh pada Sebastian. "Sebastian, ini ada apa ya?"

"Kejadiannya panjang, Om. Tapi saya akan ceritakan dari awal. Sekarang, Suri kayaknya butuh istirahat."

"Oh iya. Suri bisa duluan masuk ke dalam sama Rana. Kebetulan malam ini Rana mau menginap disini."

Suri menggeleng. "Nanti dulu, Yah. Aku harus cerita sesuatu sama kalian semua. Dan ini penting."

"Suri, nggak ada yang lebih penting dari kamu. Kamu kacau banget sekarang," Cetta menyela.

"Enggak, abang." Suri tetap bersikeras. "Aku harus cerita. Ini penting banget. Ini bakal kedengaran gila, tapi ini ada kaitannya sama hidup dan mati aku."

Kata-kata Suri membuat mereka semua terdiam.

"Karena itu, sebelum aku cerita, aku mau kalian semua janji dulu sama aku." Suri menarik napas, menatap lekat wajah milik setiap orang yang ada di dekatnya. "Segila apapun kedengarannya, janji kalian bakal percaya sama aku?"

"Emangnya ada apa, Suri?" Ayah bertanya penasaran.

"Ini soal dunia hantu dan makhluk sebangsanya, Ayah."

Suri menggigit bibir bawahnya ketika melihat bagaimana beragam reaksi yang ditunjukkan oleh orang-orang di sekitarnya. Cetta dan Rana terperangah sejenak, namun lantas mereka mengangguk-angguk penuh pengertian. Chandra dan Calvin saling berpandangan heran. Ayah mengamati putri bungsunya dengan mata disipitkan. Dan Sebastian, cowok itu melotot seolah-olah Suri baru saja menyuruhnya melompat dari patung pancoran.

"Ha—hantu?"

Suri berpaling pada Sebastian. "Kamu bisa pulang sekarang, Tian. Aku tahu kamu takut hantu. Aku nggak mau bikin kamu susah. Maaf udah bikin kamu malu di acaranya mantan kamu sore ini. Makasih juga karena udah peduli sama aku."

"What the hell? Jadi lo ngusir gue?"

"Aku nggak ngusir kamu. Tapi kamu takut sama hantu, kan? Jadi—"

"Damn it, girl, lo jadi kedengeran kayak Kat, tau nggak?" Sebastian terdiam sejenak kala menyadari bagaimana nada suaranya terdengar lebih tinggi dari yang seharusnya. Kata-katanya juga terdengar sangat salah. "Maksud gue, gue bukan tukang ojek lo. Ngerti? Gue juga perlu tahu alasan kenapa lo sampai seketakutan itu tadi." Ujarnya meralat buru-buru.

"Tapi kamu kan takut hantu."

"Gue nggak takut." Sebastian menyambar cepat, nada tersinggung sangat kentara dalam suaranya. "Gue hanya... nggak suka membicarakan tentang hantu. Tapi gue juga perlu tahu."

"Oke." untuk pertama kalinya, Suri lelah berdebat. Biasanya, dia tidak pernah kalah setiap berargumen, tidak peduli siapa yang dia lawan. Suasana hatinya memburuk sejak peristiwa nyaris matinya di halaman sekolah minggu lalu, kemunculan Si Bule yang memberitahunya soal internal affair dunia iblis dan malaikat serta fakta keras lainnya tentang bagaimana Suri nyaris mati lagi sore ini.

Mereka akhirnya berjalan masuk, pergi ke ruang keluarga dan duduk rapi disana. Semuanya menunggu Suri bercerita. Meski awalnya terbata, Suri akhirnya memulai kisah tentang pertemuannya dengan Kesha, yang lantas membuatnya turut mengenal Sergio dan Sebastian Dawala. Masalah Kesha selesai, berlanjut dengan Sarah, lalu kemudian Nenek Khansa dan kasus yang terbaru tentu saja, tentang Ezra. Suri juga sempat menyinggung soal Asmi, Mpok Jessica, Wati, Kayla sampai Nael. Sosok yang terakhir membuat Chandra terdiam syok sembari menutup mulut dengan telapak tangan.

"Suri! Jangan jadi pengikut iblis! Nanti kamu mati!"

"Teknisnya, sepanjang minggu kemarin dan minggu ini, aku hampir mati dua kali, abang." Suri menukas sebal. "Aku nggak tahu kalian bisa percaya apa nggak. Tapi ini serius. Dan semua insiden itu terlalu mengerikan untuk jadi kebetulan. Aku takut. Aku nggak mau mati sekarang."

"Terus apa yang harus kita lakukan?" Calvin bertanya.

"Waktu itu Zoei bilang soal langit mati dan lingkaran garam. Aku nggak tau apa yang dimaksud dengan langit mati. Tapi sepertinya, setelah masa langit mati lewat, para makhluk itu nggak akan punya kuasa apapun lagi untuk berusaha membawa aku. Aku hanya perlu bertahan sampai sana."

"Langit... mati?" Ayah masih saja terlihat heran.

"Ayah percaya sama aku, kan?"

"Ini semua terlalu gila." Ayah mengakui. "Tapi Ayah tahu anak Ayah nggak pernah bohong kalau udah urusan serius kayak gini."

"Thanks, Ayah."

"Jadi sebaiknya kita harus gimana?" Cetta membalas dengan gelisah.

"Kita bisa pikirin besok." Rana berujar, dia meletakkan tangannya di atas tangan Cetta, berusaha menenangkan kepanikan cowok itu. "Malam ini, Suri jelas butuh istirahat."

"Dia benar." Chandra menimpali. "Kita bisa pikirin penyelesaiannya besok. Gue juga perlu mikir lebih jauh soal ini." Hanya ada sedikit kesempatan Chandra bisa terlihat amat berwibawa, dan saat itu adalah salah satunya.

Mereka semua sepakat dengan saran Rana. Akhirnya, pembicaraan itu pun selesai. Suri bangkit dari duduk diikuti yang lain. Hanya saja, sebelum kembali ke kamarnya, cewek itu sempat menghampiri Sebastian.

"Aku pasti kedengeran gila. Tapi aku serius." Suri berujar pelan. "Maaf sudah ngerepotin kamu hari ini. Aku tahu kamu paling nggak suka dengan masalah hantu-hantuan."

"Gue percaya lo."

Suri mengerjapkan matanya kaget. "Apa?"

"Gue percaya lo. Dan gue mau bantu lo."

"Sebastian,"

"Ini serius." Sebastian mendengus. "Gue mau bantu lo. Lo sudah bantu mendiang adik gue dan membuat Mami jadi lebih baik. Gimanapun juga, gue punya hutang moral sama lo."

Suri terdiam. Gadis itu kian mematung tatkala Sebastian mengulurkan tangan, menyentuh pipi Suri dengan ibu jarinya. Sentuhannya hangat dan lembut, membuat Suri merasa nyaman.

"Ada noda." Sebastian berkilah. "Sleep tight. Don't overthink it. I'm sure you'll be alright."

"Thanks."

"Gue pulang dulu." Sebastian menyahut. "Dan anyway, lo nggak membuat gue malu hari ini. Jadi lo nggak perlu meminta maaf."

"Sorry."

"Udah gue bilang, jangan minta maaf." Sebastian mendelik. "Wanna know something?"

"Apa?"

"Lo cantik hari ini."

Untuk yang kesekian kalinya, Suri dibuat tercekat. Sebastian tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, tapi dia jelas menyimpan senyum tipisnya di mata Suri. Cowok itu beralih pada Ayah, berpamitan lantas berbalik dan pergi begitu saja.

n  o  i  r

Rapat besar kedua dimulai di pagi hari, setelah mereka semua sarapan. Ayah sengaja menggunakan jasa delivery makanan karena tidak ingin mengambil resiko membakar dapur. Anak-anaknya, termasuk Cetta si juru masak keluarga tidak terlihat sedang fokus. Rana masih berada di rumah mereka. Gadis itu menginap dan tidur bersama Suri, berhubung itu adalah akhir minggu dan kuliahnya libur.

"Gue udah pikirin baik-baik apa yang harus dilakukan. Selanjutnya, ini bisa kita sebut dengan #MisiPenyelamatanSuri101. Jangan lupa pakai hashtag."

"Kebanyakan mukadimah, Chan," Calvin menyela jengkel. "Langsung ke intinya aja, kenapa sih?"

"Duh, dimana-mana tuh kudu pake opening dulu, masbro. Lo boker aja masih pakai opening dengan masuk kamar mandi dan buka celana. Coba kalau nggak pakai opening? Langsung mojrot gitu aja gapakai masuk kamar mandi dan buka celana? Keselamatan umat bisa terancam."

"Nggak mutu, elah," kali ini Cetta yang bicara. "Langsung ke intinya aja, lel. Ini menyangkut hidup dan mati adik kita!"

Chandra berdehem, lalu memasang ekspresi wajah layaknya jenderal yang sedang mengumumkan strategi penyerbuan pada anak buahnya. "Kita akan berbagi tugas dalam menyelesaikan masalah ini. Pertama, Siena akan bertugas melindungi Suri selama mereka ada di sekolah. Kenapa? Karena Siena itu teman sekelas Suri. Dia pasti bisa berada di dekat Suri sepanjang waktu."

"Emang Siena udah setuju?" Suri menukas.

"Suri sayang, Siena itu gadis yang baik. Apalagi kalau harus melindungi calon adik ipar, dia pasti akan siap sedia tanpa diminta."

Kompak, Calvin dan Cetta bergidik jijik.

"Oke, lanjut. Kedua, gue, Sebastian dan Sergio akan bertugas melindungi Suri saat dia berada di luar sekolah atau di rumah. Simpelnya, karena Sebastian itu mukanya kayak vampir kutub utara. Iblis dan malaikat manapun kayaknya bakal takut sama dia. Kedua, Sergio itu agak bloon, jadi iblis dan malaikat manapun kayaknya bakal capek debat sama dia. Ketiga, gue itu ganteng dan bisa diandalkan. Jadi gue pasti bisa menjaga Suri dengan baik."

"Tunggu, kenapa kita jadi melibatkan dua kunyuk itu?"

"Karena kita kurang massa, Malika-ku tercinta. Ayah udah harus balik ngurusin masalah bisnis keluarga kita mulai besok. Dan Ayah, nggak, Ayah nggak bisa cuti. Aku nggak mau keuangan perkebunan kacau lagi kalau bukan Ayah yang pegang." Chandra seperti mengerti Ayah akan protes. "Percaya sama kita. Kita pasti bisa melindungi Suri dengan baik. Kita udah gede, Ayah. Dan kita laki-laki. Kita harus bisa diandalkan."

Ayah menghela napas, tapi kemudian dia sadar apa yang Chandra ucapkan itu benar. Waktu berjalan tanpa terasa. Chandra yang dulu hobi menjahili adik-adiknya—seperti dengan mencelupkan sikat gigi Calvin ke air toilet hingga memakan diam-diam puding cokelat milik Cetta—sudah tumbuh dewasa menjadi laki-laki yang (kelihatannya) penuh tanggung jawab.

"Terus?" Rana angkat bicara.

"Seperti biasa, lo sama Tri akan bertugas menjemput Suri di sekolah dan memastikan dia aman sampai rumah. Kalian akan menerima pelimpahan tugas dari Siena, lalu kemudian kalian akan melimpahkan tugas pada gue, Sergio dan Sebastian begitu Suri tiba di rumah."

"Terus gue ngapain?"

"Aduh, kedelai murni yang dibesarkan seperti anak sendiri ini benar-benar tidak sabaran." Chandra menyentakkan kepala menanggapi pertanyaan Calvin. "Lo sama cewek lo bertugas mencari tahu soal apa yang dimaksud langit mati dan gimana itu terjadi. Lo kan yang paling pintar diantara kita."

"Yaudah."

"Oke." Chandra berujar mantap. "Dengan ini, rapat besar kedua dibubarkan. Segala keputusan yang telah ditetapkan tidak bisa diganggu gugat dengan cara apapun. Sepakat?"

"Sepakat."

n  o  i  r

Suri sengaja naik ke kamarnya sesaat setelah diskusi besar itu dibubarkan. Dia bersikeras pergi ke kamarnya sendiri, dengan alasan rumahnya seratus persen aman dan 'serangan' berikutnya tidak akan terjadi hari ini setelah peristiwa jatuhnya bingkai lukisan kemarin. Walau tidak yakin, mereka akhirnya membiarkannya. Baguslah, karena Suri merasa dia butuh menghirup udara segar. Tetapi, alangkah terkejutnya gadis itu kala dia membuka pintu kamarnya dan mendapati ruangan itu telah disesaki oleh puluhan hantu.

"Wati?!" Suri memekik, bisa menebak siapa alasan di balik berkumpulnya hantu aneka rupa dan usia di dalam kamarnya.

"Santai—santai," Wati melayang keluar dari kerumunan, berhenti tepat di depan Suri. "Mereka semua berniat baik."

"Niat baik apanya? Gue lagi nggak napsu bercanda. Gue lagi pusing!"

"Karena masalah para iblis dan malaikat?"

"Kalau udah tau kenapa masih nanya?!"

"Justru karena itu, makanya saya dan para hantu ini ada disini sekarang." Wati dengan sabar menjelaskan. "Kami semua mau ikut melindungi kamu dari mereka."

Suri yang sudah siap marah-marah langsung dibuat terperangah. "Kalian—apa?"

"Kami semua disini tulus membantu kamu."

Ucapan Wati mau tidak mau membuat Suri mengedarkan pandang ke seisi ruangan kamarnya. Semua hantu yang pernah sekilas dia lihat atau temui di perumahan tempatnya tinggal ada disana—bahkan bocah Belanda yang kemarin memberitahunya soal para malaikat, iblis juga langit mati. Suri tercekat, sejenak tidak tahu bagaimana caranya harus bicara.

"Wati,"

"Plis, jangan marah sama kita semua. Kami cuma mau bantu kamu."

"Kalau lo bukan setan, lo udah gue peluk sekarang."

Wati tampak masih ragu. "Jadi... kamu nggak marah kan? Kamu mau menerima bantuan kami, kan?"

Suri tidak punya alasan yang cukup bagus untuk menolak.





bersambung. 

Oh ya. Pertama-tama dan paling utama, gue mohon maaf kalau curhatan gue selama ini terkesan dramatis dan attention seeker banget. Soalnya gue nggak tau mau bilang ke siapa. Bilang ke nyokap ya nanti malah bikin khawatir. Bilang ke temen-temen ya nggak ada yang ngerti lol tapi faktanya ada yang terganggu dengan itu.

Sori. Dan maaf juga kalau lo berpikir gue jelek, gue butuh ini, butuh itu, maaf ya, tapi gue gini aja udah banyak yang naksir, apalagi gue gini gue gitu wkwk. Tapi kalau lo mau ngasih duitnya, gue terima kok. Mayan kan. 

Intinya gini sih. Gue bukan model. Gue bukan artis. You have no right to comment about my look. Jelek-jelek gini gue banyak yang naksir loh wkwk btw jangan lupa follow instagram gue ya (at)rennozaria #shamelesspromo 

Buat kamu, siapapun kamu, dimanapun kamu, semoga bahagia dan nggak jomblo lagi ya wkwk untuk selanjutnya, gue nggak akan curhat berlebihan lagi. Lagipula, perasaan gue juga udah lebih baik wkwk.

Oiya, btw baca juga CELESTIAL ya. barusan aja gue update. Itu ceritanya Rana - Dimi dan lebih banyak ngebahas tiga abang, Suri, Ayah sama keluarganya Rana

Oke deh. Sekian. Thankyou and see you in the next chapter!

Ciao.

Continue Reading

You'll Also Like

70.9K 481 12
Rekomendasi cerita wattpad yang bertema teenfiction dan Chicklit Semua cerita yang ada disini itu udah complete tapi gatau masih ada atau ngga jadi...
885K 123K 50
Menjadi mantan wanita malam membuat Kania merasa tak pantas jatuh cinta pada Theo, si pria istimewa pengidap sindrom asperger. Namun, ketika Theo mem...
9.8M 1.2M 60
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
55.9M 770K 11
PINDAH KE APLIKASI FIZZO Hanya kehidupan sehari-hari tentang Kana, cewek super pemales yang tidak mau melakukan semua hal karena dianggap repot. Kes...