[Sudah Terbit] I'mmortal Seri...

Por PhiliaFate

214K 21.2K 10.1K

[Fantasy & Minor Romance | 15+ | Highest Rank: #23 in Fantasy] "Tidak ada manusia yang hidup s... Más

Prakata
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
G I V E A W A Y
Chapter 8
G I V E A W A Y W I N N E R
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 13.5
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
A S T A G A
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
G I V E A W A Y 2
Chapter 21
Chapter 22
G I V E A W A Y 2 W I N N E R
Chapter 23
Q n A (1)
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
CHAPTERNYA HILANG!
Proses Penerbitan
Q n A (2)
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
EPILOG
AUTHOR NOTE
Airlann: Perjalanan Masa
Aeila: Akhir yang Lain
Airlann: Janji sebelum Mati
NEED HELP!
PENGUMUMAN (lagi)
OPEN PO exclusive Grobmart
OPEN PO part 2 + GIVEAWAY

Chapter 9

3.8K 518 237
Por PhiliaFate

Anak itu terdiam, membiarkan perkataan gurunya menetes dalam benaknya, menyimpannya baik-baik dalam ingatan. Dia hanya tahu kalau suatu ketika pengetahuan ini akan berguna.

"Sekarang kita masuk ke bagian paling seru, ceritakan apa yang mengakhiri Great War." Sang guru kembali berbicara, memecah lamunan Illa.

Illa mengedipkan mata dan menelan ludah. Dia membuka mulutnya untuk bercerita.

"Great War of Crest berlanjut dari tahun 2890 S.M. sampai 2795 S.M.," ucap Illa sambil berusaha menggali informasi yang sudah dia masukkan ke dalam kepalanya selama satu jam terakhir. "Selama itu banyak penyihir yang berguguran dari kedua belah pihak, namun kalangan Putih tahu bahwa mereka kalah secara kekuatan. Untungnya seorang penyihir bernama Khadmony berhasil menciptakan crest, sebuah artefak sihir yang memungkinkan penggunanya mengambil langsung kekuatan elemen alam."

Illa berhenti, membalas senyum sang guru yang sepertinya menikmati cerita. Anak itu kembali melanjutkan, "Dia membuat empat crest yang masing-masing dipegang oleh empat orang anak yang memiliki afiliasi elemen terbaik pada saat itu. Keadaan berbalik, kalangan Putih berhasil menang dan menghancurkan semua hal tentang Necromancy, namun akibat peperangan yang panjang, jumlah penyihir berkurang drastis mengakibatkan makin langkanya praktek sihir. Hal ini didukung oleh sebuah pakta yang lahir setelah itu."

Anak itu berhenti berbicara dan mengambil napas dalam lagi. Dilihatnya wajah sang guru yang masih memandangnya.

"Kerja bagus." Sang guru menutup buku tebal di tangannya yang sedari tadi tidak dibaca. Illa curiga kalau isi buku itu sudah dihapalnya di luar kepala. "Apa isi pakta yang disepakati oleh kalangan Putih?"

"Hah?! Semuanya?!"

"Cukup tiga yang teratas saja." Gadis itu tertawa kecil melihat ekspresi Illa. Anak itu mengembuskan napas lega.

"Yang pertama, dilarang menggunakan Necromancy apapun alasannya. Yang kedua, dilarang menggunakan sihir yang dapat membawa perubahan yang disadari oleh non-magus. Yang ketiga, dilarang menggabungkan manusia dengan artefak sihir," sebut Illa kebingungan. "Aku tidak tahu mengapa ada peraturan nomor dua dan tiga."

Gurunya tertawa lagi. "Yang kedua adalah untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan sihir dan mencegah pemakaian sihir yang melibatkan non-magus. Sejak Great War, sihir benar-benar dilindungi agar hanya orang-orang tertentu yang bisa menggunakannya, yaitu dari kalangan yang bisa dipercaya dan mereka disumpah untuk menggunakan kemampuannya untuk membantu bukan membunuh. Ini alasan mengapa sihir tidak lagi dikenal banyak orang."

"Apakah di zaman dulu orang-orang memakai sihir dengan terbuka?" tanya Illa antusias, dia tidak menyangka pelajaran ini bisa menarik.

"Tentu saja, kamu pikir piramida dibangun pakai apa?" Gadis itu mendengus melihat perubahan wajah Illa. "Banyak penciptaan benda-benda hebat di masa lalu melibatkan sihir. Legenda dan dongeng juga lahir dari ingatan manusia turun temurun tentang hal-hal ajaib."

Illa mengangguk-angguk paham. Dia merasa spesial, karena sebentar lagi dia akan belajar tentang sihir.

"Oke, berikutnya, sebutkan nama orang yang mengakhiri Great War sekaligus orang yang memprakarsai lahirnya pakta."

Illa ingin memprotes karena gurunya belum menjelaskan tentang aturan nomor tiga, tapi anak itu diam ketika melihat tatapan gadis itu yang menunggu jawaban. Illa mengerutkan alis, berpikir keras. Dia yakin pernah membacanya.

"Yehi 'ur Kohasa," gumamnya tidak yakin sambil mengintip ke arah gadis itu. Tebakannya benar, lawan bicaranya mengangguk.

"Light of the Star," balas sang guru dengan senyum lebih lebar, pandangannya menerawang jauh. "Itu arti namanya dalam bahasa Inggris. Ceritakan lebih banyak tentang dia."

"Dia adalah orang yang memimpin kalangan Putih memenangkan Great War dan menjadi pahlawan besar. Seorang kerabat dari petinggi penyihir Putih. Sampai saat ini keturunannya masih ada dan menjaga agar setiap hal di pakta dilakukan dengan baik."

"Betul sekali. Yehi adalah orang yang luar biasa," ucap gadis itu menutup matanya, seakan mengingat sesuatu. Dia membuka mata dan tersenyum ke arah Illa namun anak itu tahu, senyum itu tidak ditujukan padanya. Illa tiba-tiba saja merasa tidak suka dengan orang yang bahkan tidak pernah ditemui. Rasa kesal memenuhi benaknya.

"Sudah selesai? Apa aku mendapatkan pelajaran sihirku?" tanya anak itu menahan gejolak di dada, memutus lamunan gurunya.

"Oh, satu pertanyaan terakhir." Pandangan gadis itu kembali fokus pada Illa. "Jelaskan apa yang terjadi pada keempat anak yang pemegang crest setelah Great War."

Illa langsung mengerutkan alis. "Mana kutahu, di buku tidak ditulis," gerutunya, menduga bahwa sang guru mencari-cari alasan untuk membuatnya gagal, ditambah moodnya yang terjun bebas sejak nama Yehi disebut.

Gurunya tertawa. "Tiga diantara mereka melepaskan crest mereka dan menghabiskan hidup sebagai manusia."

"Lalu yang keempat?" tanya Illa penasaran.

"Dialah alasan adanya peraturan ketiga dalam pakta."

Mata Illa membulat, ingin bertanya lebih tapi tubuhnya mengkhinati. Dia menguap, lebar dan lama.

"Kita lanjutkan lain kali. Waktunya kamu tidur," ucap sang guru seraya mempersiapkan kain sebagai alas tidur Illa dan mengeluarkan selimut.

"Tapi, Guru--" Illa menguap lagi. Dalam hati dia mengutuki dirinya.

Sang guru tertawa dan melemparkan selimut pada anak itu. Illa menangkap kain berwarna kelabu itu, terdiam sejenak lalu berjalan mendekati gurunya. Tanpa permisi dia duduk di samping gadis itu, menyandarkan kepalanya di pundak sang guru. "Aku mau tidur seperti ini."

"Kamu akan pegal. Bahuku tidak punya bantalan lemak," balas gurunya menahan tawa.

Illa tidak menjawab malah membuat posisinya makin nyaman di sana, berusaha menenangkan pikirannya dari beberapa hal yang menganggu. Seperti nama yang disebut gurunya dengan penuh kagum, Yehi 'ur Kohasa. 

"Kamu manja sekali, sih," komentar sang guru menahan senyum sambil mengambil selimut menutupi mereka berdua lalu menepuk-nepuk pundak anak itu.

Illa hanya tersenyum mendengarnya, memfokuskan pikirannya pada detak jantung sang guru yang menenangkan dan tanpa sadar, detak jantungnya mengikuti, menjadikannya seirama. Anak itu menutup mata, perlahan-lahan kekhawatirannya terurai.

"Little bird fly away from home
Spread its wing far high above ...."

Sebuah lagu mengalun lembut di telinganya. Tanpa melihat, dia tahu siapa yang bernyanyi. Illa tidak pernah bertanya dari mana gadis itu mendapatkan lagu sederhana itu, membiarkan pikirannya berkelana jauh. Dia suka membayangkan kehidupan sang guru sebelum bertemu dengannya, bersama kedua orang tua, tinggal di sebuah rumah kecil nan hangat atau saat gadis itu berlarian di padang rumput, di bawah langit yang terbuka. Puluhan skenario lain berputar di kepalanya, mengantarnya terlelap.

"... 'till someday it find a song
to be heard called love."

Dia mendengar gurunya bersenandung, menggumamkan nada tanpa kata. Kantuk perlahan-lahan menguasai kesadarannya. Hatinya terasa hangat, semua cerita tentang Great War atau Soul Eater menguap ke udara. Anak itu tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa tidur tanpa alunan nina bobo dari gurunya dan sudah lupa bagaimana hidupnya sebelum bertemu gadis itu. Satu hal yang dia minta sebelum akhirnya terlelap, dia ingin berada di samping gurunya, selamanya. Dengan sebuah senyum terlukis di wajahnya, kesadarannya terbang ke alam mimpi.

Dia hanya tidak tahu bahwa setelah dia menutup mata, ketenangannya terusik. Puluhan bayangan hitam mengepung mereka.

Sang guru mengalihkan pandangannya dari Illa ke arah depan, di mana sesosok makhluk hitam melayang beberapa senti dari tanah. Jubah hitam menutupi sebagian wajahnya dan terang dari api unggun hanya sanggup menerangi bagian mulut yang dipenuhi jahitan, menyisakan sebuah rongga di tengah yang menyerigai. Hawa dingin menyebar dan perlahan sosok-sosok serupa muncul dari malam, mendekat ke arah mereka, berupa kegelapan yang berwujud. Gadis itu menghitung, ada sekitar sepuluh yang terlihat namun suhu udara terus turun. Dia tahu ada lebih dari tiga puluh Soul Eater yang mengelilinginya dan akan terus bertambah.

"Wah-wah, kami baru saja membicarakan kalian. Aku tidak menyangka kalian akan datang dan nekat menghadapiku," ucap gadis itu, embun tercipta setiap kali dia bernapas. Tangannya memegang pundak Illa yang mulai menggigil. Sang guru melepas selimutnya dan membungkus tubuh Illa agar dia lebih nyaman.

"Bila hadiahnya sebesar dia, kami bersedia mencoba," desis makhluk itu, menunjuk ke arah anak laki-laki yang merapatkan selimut ke tubuhnya dengan tangannya yang pucat dan kurus dari balik jubah. "Dan bukankah dia akan berbahaya bagi kami?"

Senyum gadis itu melebar, dia menyandarkan tubuh Illa ke pohon di belakangnya perlahan agar anak itu tidak terbangun. "Ternyata berita cepat sekali tersebar." Gadis itu berdiri perlahan. "Padahal aku berusaha menyembunyikan kemampuan sihirnya."

Suhu udara makin turun hingga bunga-bunga es mulai merayap di pepohonan sekitar mereka. Api unggun perlahan mengecil ketika kayu bakarnya tertutup selaput putih pucat.

"He he he." Sosok itu tertawa terputus-putus, melayang mendekati gadis itu, berhenti pada jarak satu setengah meter di hadapannya. "Siapapun akan terkenal bila dia bepergian denganmu, sang Penguasa Angin."

Senyum gadis itu melebar menjadi seringai sementara bunga es menutupi seluruh kayu bakar. Satu-satunya sumber penerangan mereka mati, menyisakan kegelapan dan dingin. Sebuah jeritan memecah hening malam.

________________________________________

Yuhuuu! Ini adalah pecahan dari chapter kemarin heheheh~ Semoga masih menarik di baca setelah wall of text berisi sejarah hahahahah~ Sebenarnya aku berharap bisa menulis cerita Great War of Crest sebagai cerita yang terpisah karena sebenarnya banyak masalah di sini dimulai dari perang ribuan tahun lalu :D cuma, sepertinya tidak bisa dalam waktu dekat hahahaha~ Masih banyak cerita yang sepertinya lebih menarik untuk ditulis //dibuang

I wish aku bisa bercerita lebih banyak tentang Yehi 'ur Kohasa :D hahahaha~ FYI, namanya aku ambil dari bahasa Ibrani, tentu saja tidak sama persis :D hahahahah~ Aku benar-benar berharap bisa mengangkat tentang kebudayaan Mesopotamia pada zaman itu :D next time lah ya :D

Minggu depan akan sang guru akan menunjukkan keahliannya :D dan lebih banyak action 

See you :3

Seguir leyendo

También te gustarán

10.1M 1.2M 62
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
892K 90.2K 60
Treat someone like you want to be treated. Love someone like you want to be loved. Do not harm someone like you do not want to be harmed. Perlakuk...
3.3M 319K 90
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.
556K 41K 48
[ BUKU SATU ] Completed ☑ Entah bisa dikatakan sebagai sebuah kesialan atau bukan, empat remaja terperangkap di sebuah hutan yang tidak terdata di...