NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

enam belas

323K 24.3K 4.9K
By renitanozaria

Dua hari telah terlewati sejak peristiwa Chandra meminta kontak Siena pada adik bungsunya, namun masih tidak ada perubahan yang berarti. Suri masih tetap pada pendiriannya, dia baru akan memberikan kontak Siena setelah ketiga kakaknya sepakat mengizinkannya untuk pacaran. Sayangnya, baik Cetta maupun Calvin sama-sama tidak setuju. Keduanya masih saja mengabaikan Chandra, hingga Chandra nyaris kehabisan akal dibuatnya.

Akhirnya siang itu, sepulang dari acara membuat video Samyang Challenge bersama rekan-rekannya sesama selebgram¸ Chandra menyusun rencana. Kebetulan, Calvin dan Cetta sama-sama sedang berada di rumah. Calvin tengah disibukkan memulai bab-bab awal tugas akhirnya, sementara Cetta punya kelas pagi yang berakhir sebelum pukul sebelas siang. Suri sendiri masih berada di sekolah, dan bisa dipastikan akan pergi ke rumah Keluarga Dawala seperti hari-hari kemarin. Ketiga kakaknya tidak bisa melarang, karena Jia Dawala yang mengundang Suri berkunjung ke rumahnya.

Chandra menulisi dua lembar kertas sticky notes berwarna kuning dengan spidol merah tebal. Isinya sederhana saja. Hanya beberapa kalimat berbunyi;


Kepada yang tersayang, Tri dan Malika

Rapat besar di ruang keluarga. Sepuluh menit lagi.

Wajib hadir.


Chandra menempelkan 'undangan rapat' tersebut di pintu kamar kedua adiknya, tentu saja setelah memastikan keduanya ada di dalam. Lantas, dia sengaja mengetuk pintu itu bergantian sebelum berlalu pergi masuk kembali ke kamarnya sendiri, otomatis membuat Cetta dan Calvin membuka pintu kamar mereka masing-masing pada waktu yang hampir bersamaan. Keduanya saling menatap dengan kening berlipat, namun kompak meremas sticky notes itu dan membuangnya begitu saja ke atas lantai sesaat setelah membaca isinya. Masih dengan serempak, kedua cowok itu kembali masuk ke kamar mereka—menghadiahkan satu suara keras bantingan pintu yang terdengar hingga ke dalam kamar Chandra.

Suara bantingan pintu membuat Chandra keluar dari kamar dengan gusar. Cowok itu menyipitkan matanya, menatap bergantian pada bongkahan hasil sticky notes yang diremas tanpa ampun, lantas mengusap rahangnya seraya berpikir keras. Jika adik-adiknya berpikir Chandra akan menyerah semudah itu, hm maaf-maaf saja. Jangankan membujuk tiga adik kurang ajarnya, mendaki gunung turuni lembah pun akan Chandra lakukan demi mendapatkan kontak Siena. Soalnya tidak mungkin kan Chandra harus bertanya langsung pada Siena saat meet and greet. Nanti dikira dia naksir setengah mati sama cewek itu. Bisa gawat kalau Siena sampai kege-eran. Bagaimanapun juga, harga diri Chandra harus diperhatikan.

Tetapi Chandra tidak bisa membuang-buang waktu. Dia harus segera mendapatkan kontak Siena. Pertama, karena Chandra belum pernah merasa benar-benar harus berusaha sekeras ini hanya untuk mencoba dekat dengan seorang gadis. Biasanya, dia mendapatkan makhluk-makhluk cantik itu dengan mudah—dan tanpa harus terhalang penolakan dari adik bungsunya tercinta. Kedua, karena Siena itu adalah gadis yang cantik. Bukan tidak mungkin jika ada cowok lain yang tengah mencoba mendekatinya sekarang. Tidak ada sejarahnya Barachandra Aryasatya gagal mendekati perempuan hanya karena keduluan pejantan lain.

Sori-sori lah ya.

Tergesa, Chandra mendekati nakas di sisi tempat tidur untuk meraih ponselnya yang tergeletak disana. Tangannya menari di atas layar untuk mengetik pesan. Setelah itu, dia memilih opsi 'kirim'.

Keluarga Cemara (3)

Barachandra : Oy

Read by 2

Barachandra : Oh gitu ya :)

Barachandra : Read aja terus

Barachandra : Uang bulanan kalian nanti gue tahan

Dimitrio G. : GABISA GITU DONG

Calvin Raskara : Kalau gitu caranya, cuma ada satu kata yang tepat

Calvin Raskara : LAWAN!!!

Barachandra : Gaya lo macem pemuda revolusi

Barachandra : Urusan duit aja baru pada nongol

Barachandra : Dasar sekumpulan cowok materialistis ibukota

Dimitrio G. : Lo nggak ada hak melakukan embargo ekonomi ya

Dimitrio G. : Lihat aja kalau sampe lo bener-bener nahan uang bulanan gue

Barachandra : Lo kan udah kaya

Barachandra : Barang endorse lo aja berkoper-koper

Dimitrio G. : Itumah buat tabungan masa depan

Calvin Raskara : Duit gue, nyet

Calvin Raskara : Berani lo tahan, gue telpon Ayah

Barachandra : Dasar anak papi

Barachandra : Dari kecil lo tuh ya emang senjata lo cuma nangis sama ngadu

Calvin Raskara : Hati-hati kalau ngomong

Calvin Raskara : Gue barusan nangkep kecoak

Barachandra : Duh Malika, gue nggak ngomong. Gue ngetik.

Calvin Raskara : Bacot

Dimitrio G. : Apasih malah ribut nggak berfaedah

Dimitrio G. : Lama-lama gue leave juga ini grup

Barachandra : Undangan gue

Barachandra : Kenapa malah pada lo buang?

Calvin Raskara : Karena nggak penting

Dimitrio G. : Karena nggak penting (2)

Barachandra : Penting lah bray itu berhubungan dengan nasib kisah cinta gue

Dimitrio G. : Cinta??????

Calvin Raskara : Sama temennya Suri yang itu?

Barachandra : Yoi

Dimitrio G. : HAHAHAHA

Dimitrio G. : Nggak salah apa

Barachandra : Kenapa?

Calvin Raskara : Emang tuh anak mau ama lo?

Dimitrio G. : Gue kalau jadi kakaknya Siena ya

Dimitrio G. : Lo udah gue santet

Dimitrio G. : Nggak tau diri banget

Barachandra : Kan lo bukan kakaknya Siena

Dimitrio G. : HAH LUCU

Calvin Raskara : Kepedean lo, Chan

Barachandra : Apasih

Barachandra : Lima menit lagi ngumpul di ruang keluarga

Barachandra : Kita harus rapat besar

Dimitrio G. : Ogah

Calvin Raskara : Ogah (2)

Barachandra : Gini deh

Barachandra : Suri kan bilang kalau kita mau sesuatu, kita harus ngasih sesuatu

Barachandra : Buat Malika, kalau lo nongol lima menit lagi di ruang keluarga, nanti lo gue kasih susu kotak stroberi satu dus

Calvin Raskara : YA TUHAN HARUS BERAPA KALI GUE BILANG KALAU NAMA GUE CALVIN. C A L V I N.

Calvin Raskara : DAN HARUS BERAPA KALI JUGA GUE BILANG KALAU ITU TUH YOGHURT, BUKAN SUSU

Barachandra : Biasa aja, nyet. Nggak usah pake capslock

Barachandra : Yaudah. Susu kek. Yoghurt kek. Gue kasih satu dus.

Calvin Raskara : BENERAN?

Dimitrio G. : Vin, lo mengkhianati gue?!

Calvin Raskara : Sori, kalau udah urusan sama yoghurt, gue memang harus mengkhianati lo

Calvin Raskara : Tanpa yoghurt aku butiran debu

Dimitrio G. : Lo mau mempertaruhkan keamanan Suri demi yoghurt? Lo gila ya?!

Calvin Raskara : Soalnya gue nggak doyan sayur kan

Calvin Raskara : Kalau nggak ada yoghurt, gue nggak bisa boker

Barachandra : Super sekali

Barachandra : Jadi, deal nih?

Calvin Raskara : D E A L

Dimitrio G. : Afgkighiishffujgkglglhsgrryvuivndksljgaasndududj

Calvin Raskara : Uvuvwevwevwe Onyetenyevwe Ugwemubwem Ossas

Dimitrio G. : Tai

Barachandra : Mohon bersabar, ini ujian

Dimitrio G. : Lo nggak ngasih penawaran apa-apa ke gue?

Calvin Raskara : YEU

Dimitrio G. : Nanya doang elah

Barachandra : Gue punya yang spesial buat lo, tapi bukan penawaran

Dimitrio G. sent a photo

Barachandra sent a photo

Barachandra sent a photo

Barachandra : Nemu foto itu

Barachandra : Kayaknya kalau dikirim ke Rana bagus

Dimitrio G. : ITU PHOTOSHOOT ENDORSE PERMEN HARUM MANIS KAMPRET

Dimitrio G. sent a photo

Dimitrio G. : Masih lebih romantis pose gue sama Rana

Dimitrio G. : Jadi nope, dia nggak akan cemburu

Barachandra sent a photo

Barachandra sent a photo

Barachandra : Endorse sih endorse, bray

Barachandra : Tapi kok partnernya nggak ganti-ganti

Barachandra : Ihiw

Calvin Raskara : Hm

Calvin Raskara : Kalau dipikir-pikir bener juga

Dimitrio G. : S A M P A H

Barachandra : Tiga menit lagi di ruang keluarga

Barachandra : Kalau nggak, foto-foto itu bakal gue kirim ke Rana

Barachandra : Emang nggak bakal putus sih

Barachandra : Paling diem-dieman seminggu

Dimitrio G. : Musnah aja lo

Barachandra : Muehehehe

Mengakhiri percakapan tersebut, Chandra tidak mengirim apapun lagi. Senyumnya melebar tanpa bisa dia kontrol, sementara benaknya dipenuhi oleh pujian untuk dirinya sendiri. Dia memang punya adik-adik yang super laknat, tapi sebagai biangnya laknat, tentu saja Chandra akan selalu punya cara mengendalikan mereka. Lagipula, soal memberi izin pacaran untuk Suri, mereka masih bisa menerapkan sejumlah ketentuan untuk memberatkan cowok-cowok yang berniat jadi pacar Suri. Chandra akan memastikan ketentuan itu luar biasa abstrak dan tidak masuk aka—sehingga tentu saja, dia bisa mendapatkan kontak Siena tanpa harus mengorbankan keamanan adiknya.

Tunggu. Keamanan? Apakah separah itu?

Tentu saja. Chandra harus memohon maaf pada segenap kaum Adam karena sudah membocorkan rahasia mereka, namun sebagai laki-laki, Chandra tahu bahwa kaumnya adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercaya di dunia ini. Terutama laki-laki yang bersetia main sabun setiap mandi dan memiliki hormon berlebih. Apalagi omongan laki-laki mesum. Mending langsung terjun ke liang lahat daripada mencoba mempercayainya.

n  o  i  r

"Tumben kamu belajar."

Suri mendengus sesaat setelah dia mendengar Wati bicara. Gadis itu mengangkat wajah dari lembaran buku matematika di atas meja belajarnya, menatap dengan sengit pada Wati melayang santai di sudut ruangan. Mpok Jessica tidak kelihatan sejak sore. Kata Wati, ada acara pertemuan antar hantu di sebuah rumah kosong mewah di Pondok Indah. Wati tidak bisa ikut karena dia belum terdaftar sebagai hantu sosialita yang dikenal di seantero jagad raya dunia makhluk ghaib. Suri tidak mau tahu lebih jauh, jadi Wati pun tidak merasa harus menjelaskan.

"Tumben lo nongkrong di kamar gue, bukannya kamar Abang Cetta?" Suri menyahut dengan nada sarkastik, diiringi putaran bola mata.

"Abang-abang kamu lagi ngadain perundingan rahasia. Nggak enak kalau saya diam-diam nguping."

"Oh ya? Perundingan rahasia apa?"

"Kalau saya kasih tahu, nantinya bukan rahasia lagi, dong?"

Suri memutar bola matanya. "Lo minta dibacain ayat kursi ya?"

Wati cemberut. "Dih, gitu aja ngambek."

"Serius. Jawab buruan."

Wati memiringkan wajah. "Saya kira kamu lagi sibuk belajar?"

Ucapannya membuat Suri teringat pada soal trigonometri yang belum dia jawab sama sekali. Duh, siapapun yang sudah menemukan trigonometri, Suri mengutuknya. Semoga dia tersiksa di dunia orang-orang mati. Kampret banget. Suri tidak pernah merasa dirinya butuh belajar trigonometri. Apa gunanya jago matematika kalau tidak bisa masuk ke dalam hati orang yang disuka? Suri tidak mau menghabiskan seumur hidupnya sendirian dan berkutat dengan rumus.

"Gue nggak lagi belajar," desis Suri ketus, namun tak urung gadis itu meraih pensilnya. "gue lagi ngerjain PR."

"Oh, tumben. Biasanya mau dunia kiamat juga kamu paling ogah berhadapan sama yang begituan."

Suri menyentakkan kepala. Bukan karena apa yang Wati ucapkan itu fitnah. Tetapi karena dia baru menyadari sudah berapa lama Wati tinggal bersama keluarganya sampai-sampai hantu itu memahami Suri sebaik anggota keluarganya yang lain.

"Soalnya guru matematika gue ganti."

"Oh. Bukan Bu Asturo lagi?"

"Bukan. Bu Asturo kan bentar lagi pensiun. Padahal udah enak banget, abis ditemuin sama abang-abang, Bu Asturo jadi baik ke gue. Sekarang yang ngajar Pak Acong."

"Pak Acong?"

"Sebenarnya namanya Asep. Tapi dipanggil Acong. Dan tolong jangan tanya kenapa, karena gue aja enek nginget muka dia." Suri menyentakkan kepala, menatap lagi pada garis-garis buku tulisnya. Sial. Baru dilihat saja soal trigonometri itu sudah membuatnya migrain luar biasa, apalagi kalau harus dikerjakan? Bisa-bisa Suri muntah darah.

"Jangan dipaksain. Nanti otak kamu keram. Terus kamu mati."

"Gue nggak sebego itu, Wati."

"Ye, saya cuma ngasih tau. Judulnya aja matematika. mateMATIka. Udahlah. Masalah kecerdasan bangsa nggak tergantung sama kamu. Kamu tuh nggak terlahir buat jago hitung-hitungan."

"Tapi gue juga nggak jago di mata pelajaran yang lain."

"Yah, mungkin kamu terlahir cuma buat ngeliat hantu."

Suri menyipitkan mata. "Makasih loh ya. Tapi menurut gue, gue nggak hanya dilahirkan untuk melihat hantu."

"Maksud kamu?"

"Gue dilahirkan untuk dijaga oleh Sebastian Dawala."

"Idih."

"Nggak usah adah-idih. Lo juga suka ganjen ke abang gue."

"Iya, sih."

"Nah kan, bener. Gue herannya nih ya, kalau cewek ngedeketin duluan, dibilangnya ganjen. Padahal mah ya bebas lah, cewek juga boleh ngedeketin duluan. Emangnya cowok doang? Sekarang tuh jamannya kesetaraan," Suri berdecak. "kalau Ibu Kartini tahu, beliau pasti nangis di kuburannya."

"Hm."

"Nggak usah ham-hem-ham-hem. Jangan ganggu gue. Gue mau belajar!"

"Perasaan dari tadi saya nggak ganggu kamu."

"Nggak ganggu gimana?! Dari tadi lo ngajakin gue ngobrol mulu," Suri berdecak, membuat Wati langsung merengut. Hantu itu bungkam, lantas melayang di atas ranjang Suri. Suri membiarkannya, mencoba berfokus pada soal matematika yang harus dia selesaikan. Setelah berusaha keras diiringi lipatan dahi yang berlapis-lapis, Suri akhirnya berhasil menyelesaikan satu soal.

"Yak, hasilnya ¾!" Suri berseru, melihat pada pilihan jawaban yang tersedia. Namun, desisan kesalnya terlontar sesat setelah dia melihat empat pilihan jawaban yang tertera pada buku cetaknya.

a. ½

b. ¼

c. 0

d. 1

"Kampret." Suri memaki, lalu memilih opsi jawaban yang kedua. Alasannya sederhana; jawaban itu adalah jawaban yang paling mirip dengan hasil perhitungannya. Bodo amat deh besok mau dapat nilai berapa. Bisa selesai saja sudah mukjizat.

Apa yang sudah berlalu biarkan berlalu. Suri meninggalkan soal pertama, lanjut ke soal kedua. Tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi dari soal yang pertama. Suri dibikin berpikir keras, tetapi konsentrasinya langsung buyar ketika pintu kamarnya dibuka secara tidak sopan.

"Abang!" Suri berseru seraya melotot pada pintu, hanya untuk dibuat tercengang sesaat setelahnya. Begitu pula Wati, yang matanya tak lepas menatap pada Cetta.

Ketiga kakak Suri berada di ambang pintu, tengah berdiri tegap bak anggota pasukan pengibar bendera pusaka. Chandra berada di depan, sementara Calvin dan Cetta berada di sisi kanan-kiri beberapa langkah di belakangnya. Mereka menatap ke depan, membuat Suri berpikir kepala keduanya baru terbentur dengan keras. Chandra mengabaikan pelototan adiknya, dengan takzim membuka gulungan kertas HVS belel dengan corat-coret angka dan gambar Calvin di belakangnya—menegaskan jika kertas itu kertas bekas yang sudah terpakai.

"Abang—"

"Abang disini untuk mengumumkan sesuatu, Suri." Chandra memotong, matanya terpejam bak Sunan Kalijaga sedang bertapa. Saat mata itu terbuka, sorotnya yang sebijak Biksu Tong Sam Chong si Pengambil Kitab Suci di Barat memandang pada adik perempuannya. "hasil rapat besar abang bersama Tri dan Malika."

Calvin berdehem dengan nada menusuk. "Calvin."

"Jangan panggil gue Tri." Cetta ikut menimpali.

Chandra menoleh ke belakang, mendelik cepat pada adiknya. "Jangan bacot."

"Abang-abang kenapa, sih?" Alis Suri berkerut. "Obat kalian abis apa gimana?"

"Udahlah, biar cepat, langsung abang umumin aja," Chandra melegakan tenggorokan, berusha membuat suaranya terdengar penuh wibawa. "Pe-ngu-ngu-man! Dengan ini, saya, Barachandra Aryasatya, kakak pertama mewakili adik kedua, Calvin Raskara dan adik ketiga, Dimitrio Gilicetta mengumumkan bahwasannya kami sudah memberikan izin pada adik bungsu kami yang tercantik, Oriana Suri Laksita untuk pu-nya pa-car."

Suri melotot girang. "Serius?!" pekiknya keras.

Chandra menatap padanya. "—dengan sejumlah syarat dan ketentuan berlaku."

"Yaelah. Syarat apalagi sih, bang? Udah kayak operator telepon aja." Suri cemberut.

"Syarat dan ketentuan berlaku bukan untuk Suri, tapi untuk pihak pacar. Untuk kemudahan, selanjutnya pihak pacar akan disebut dengan Mas Pacar."

"Kokoh pacar aja." Suri menyela.

Chandra berhenti sejenak, kembali berdiskusi mendadak dengan dua adik yang bersetia ada di belakangnya. "Gimana, bray? Bisa diganti jadi kokoh pacar nggak?"

"Buruan kelarin aja, elah!" Cetta berseru, membuat Chandra mengangguk sigap sebelum kembali memandang Suri.

"Sori, Suri. Nggak bisa diganti," katanya, membuat Suri memutar bola mata. Lalu, Chandra meneruskan. "Syarat pertama, Mas Pacar wajib lulus pendadaran khusus yang akan dibina langsung oleh kakak pertama, kakak kedua dan kakak ketiga. Kalau nggak lulus, otomatis hubungan Mas Pacar dan Suri dinyatakan ba-tal. Syarat kedua, Mas Pacar wajib mendapat persetujuan dari kakak pertama, kakak kedua dan kakak ketiga dengan cara yang ditentukan oleh masing-masing kakak. Jika gagal, maka Mas Pacar dinyatakan di-la-rang menemui Suri. Ketiga, setelah mendapatkan persetujuan, Mas Pacar harus membuat janji jauh-jauh hari kalau mau pergi keluar dengan Suri. Keempat, Mas Pacar dan Suri diizinkan meninggalkan rumah secepat-cepatnya pukul tujuh malam dan harus sudah pulang selambat-lambatnya pukul delapan malam. Kelima, Mas Pacar dilarang bersentuhan dengan Suri karena bersentuhan dengan yang bukan muhrim itu hukumnya ha-ram."

Suri melotot. "Abang!!!"

"Demikian pengumuman ini dibuat, dan telah ditandatangani oleh ketiga kakak yang bertanggung jawab. Segala isi dalam pengumuman ini tidak dapat ditawar, apalagi diganggu gugat. Sekian dan terimakasih."

Calvin dan Cetta manggut-manggut, terselip sedikit rasa takjub karena ternyata Chandra menyimpan cukup wibawa selaku kakak pertama.

"Bravo!" Wati bertepuk tangan. "Memang, my baby adalah potret imam ideal!"

Suri mendelik pada Wati, lantas melempar tatap tidak terima pada ketiga kakak laki-lakinya. "Buat apa punya pacar kalau nggak bisa diajak ndusel-ndusel manja?!"

"Kalau mau ndusel-ndusel manja atau bersentuhan dengan Mas Pacar, nanti abang bisa wakilin." Calvin berujar.

"Maksud abang, nanti aku ndusel dulu ke abang baru abang sampaikan ke Tian, gitu?!"

"Emang kamu sebegitu pengennya jadian sama om-om itu?" Kening Cetta berkerut, matanya menatap Suri tidak percaya.

"Abang, kalau Tian udah om-om, berarti Abang Chandra juga udah om-om."

"Terserah." Chandra menyentakkan kepala. "Sekarang penuhi kewajiban kamu. Mana ID LINE Siena?"

"Ini nggak adil!" Suri menghentakkan kaki.

"Oh. Jadi kamu mau surat izinnya abang tarik lagi?" Chandra memiringkan wajah. "Yaudah kalau gitu. Perkara minta kontak Siena, nanti abang minta aja langsung ke dia pas meet and greet."

Suri kontan panik dibuatnya. "Jangan!"

"Yaudah, mana sini kontak Siena,"

Suri cemberut, lalu dengan berat hati meraih ponsel. Gadis itu mencari profil Siena, melihat kontaknya lantas mengirimkan kontak itu pada Chandra yang langsung nyengir tak terkontrol.

"Abang tetap nggak boleh macam-macam sama Siena!" Suri berseru menegaskan. "kalau Siena sampai kenapa-napa gara-gara abang, aku nggak mau ngakuin abang sebagai abang aku!"

Chandra mengacungkan jempol. "Siena nggak akan kenapa-napa." Balasnya, yang membuat Calvin dan Cetta memandangnya dengan sorot penuh keraguan.

"Aku pegang omongan abang."

Chandra manggut-manggut. "Yaudah kalau gitu. Sekian dan terimakasih. Abang punya urusan!"

Suri mencibir sembari menonton bagaimana satu-persatu kakaknya meninggalkan kamar. Dalam waktu singkat, gadis itu kembali ditinggal berdua dengan Wati yang kini sibuk cengengesan tidak jelas.

"Akhirnya dapet izin juga ya,"

"Izin apaan. Itu sih masih larangan, cuma dibikin bertele-tele dan ribet aja."

"Yang penting kan udah ada izinnya. Sebelumnya kan nggak boleh sama sekali."

Suri menghela napas. "Bener juga. Untuk sekarang, gue bisa lebih fokus sama Sebastian."

Walau tidak sepenuhnya merasa senang, setidaknya ada sesuatu yang bisa dirayakan. Suri kembali berpaling pada bukunya yang masih terbuka di atas meja belajar. Matanya memelototi soal-soal itu sejenak, lantas dia membuang pensilnya begitu saja. Dia sudah tidak kuat lagi. Biarin aja. Besok bisa nyontek punyanya Siena.

n  o  i  r

Jam istirahat makan siang tiba.

Sebastian menarik napas panjang sembari meluruskan kedua tangannya. Akhirnya dia bisa bersandar sedikit untuk meringankan pegal yang menggelayuti bahunya. Mayoritas rekan kerjanya sudah beranjak dari kursi mereka untuk makan siang di sejumlah restoran di sekitar kantor. Beberapa sempat menawarinya ikut, terutama Sasha—yang langsung Sebastian tolak dengan sopan. Dia bukan tipe orang yang suka makan siang bersama orang yang tidak dikenalnya dekat, apalagi jika topik pembicaraan orang-orang itu tidak jauh dari obrolan dengki pada mobil baru anak bos yang licin mengilat. Tetapi Sebastian juga bukan orang yang suka makan siang sendiri. Jadilah seperti kebanyakan hari-hari lainnya, Sebastian hanya akan mengisi perutnya dengan sepotong roti yang dia beli di minimarket bersama sekaleng kopi dingin. Jelas bukan makanan sehat. Jika ibunya tahu, Sebastian pasti akan panen omelan.

Tapi yah, untungnya Mami tidak tahu.

Perhatian Sebastian teralih ketika mendadak ponselnya bergetar satu kali. Ada pesan baru yang masuk. Mata Sebastian kontan dibuat melotot kala dia membaca display name profil yang tertampil.

Suri.

Astaga. Bagaimana bisa bocah itu tahu kontaknya? Dan apa pula ini? Suri baru saja mengirimnya foto? Sebastian mendecakkan lidah. Dia sudah punya firasat kalau Suri adalah gadis aneh sejak pertama kali mereka bertemu. Fakta tentang ibunya yang sudah meninggal dan bagaimana dia kurang perhatian karena ketiga kakaknya yang sibuk dengan urusan masing-masing sempat membuatnya simpati, tapi kata-kata ajaib Suri tidak pernah gagal membuatnya jengah. Sebastian tahu harusnya dia mengabaikan pesan dari abg labil seperti Suri, namun rasa penasaran sudah lebih dulu menguasainya. Setelah ragu sesaat, cowok itu memilih membuka pesan yang masuk.

Suri mengirimkan sebuah foto. Bukan fotonya, melainkan foto buku tulis berisi soal matematika dengan nilai 4,5 tercoret di atasnya menggunakan tinta merah. Ada banyak jawaban yang salah, membuat Sebastian bisa tahu dengan mudah kalau Suri menentukan jawabannya via metode hitung kancing.

Sebastian Dawala : Jelek banget nilai lo.

Suri : HAH

Suri : Oh salah kirim gambar muehehe jadi malu

Suri mengirimkan sebuah foto lain. Foto wajahnya sendiri, dengan gaya dua jari teracung membentuk tanda peace. Dia tersenyum lebar, hingga matanya tampak agak menyipit. Dari latar belakang fotonya, Sebastian bisa dengan mudah tahu kalau Suri masih berada di sekolah.

Sebastian Dawala : Bukannya belajar malah main HP

Sebastian Dawala : Nilai lo tuh benerin. Kebakaran banget.

Suri : Kan aku nasionalis

Suri : Cinta Indonesia

Suri : Makanya nilainya penuh semangat kemerdekaan

Sebastian Dawala : Lo bangga dengan nilai jelek kayak gitu?

Suri : Kan aku bego kalau udah urusan matematika

Sebastian Dawala : Huf

Suri : Makanya, ajarin dong

Sebastian memutar bola mata. Gadis ini benar-benar absurd. Tetapi entah kenapa, ada sesuatu yang mendorong Sebastian terus membalas pesannya. Mungkin karena dia kesepian. Atau karena tingkah Suri yang sering tidak terduga membuatnya penasaran. Atau karena sudah lama sekali sejak dia berkirim pesan dengan makhluk bernama perempuan setelah dia putus dari Kat. Meski teknisnya Suri lebih tepat disebut anak-anak, sih.

Sebastian Dawala : Ngajarin lo tuh percuma

Sebastian Dawala : Emang udah dodol dari sananya

Suri : Kok jahat gitu sih

Suri : Aku makin suka kan jadinya

Lihat? Gadis ini selalu bisa mengejutkan Sebastian dengan jawaban-jawaban tidak tertebak. Entah otaknya terbuat dari apa.

Sebastian Dawala : Faktanya gitu

Sebastian Dawala : Gue udah bilang, dari muka lo aja udah nggak ada tanda-tanda orang pinter

Sebastian Dawala : Kalau nilai matematika lo bisa diatas delapan, dunia bakal runtuh

Read.

Sebastian mengerutkan dahi, menatap layar ponselnya beberapa lama. Apa Suri tersinggung dengan kata-katanya? Masa iya? Duh, kok Sebastian jadi merasa bersalah?

Suri : Nggak usah dunia sampai runtuh. Bisa berabe. Ajak aku ke Dufan aja aku udah seneng kok

Sebastian Dawala : Makin hari pikiran lo makin nggak bener

Suri : Aku serius

Suri : Kalau nilai matematikaku di atas delapan, dunia nggak usah runtuh. Cukup kamu ajak aku ke Dufan aja.

Sebastian Dawala : Dih

Suri : Kamu takut kan sebenernya? Hahahaha

Suri : Karena kamu sebenernya mengakui kalau aku emang nggak dongo-dongo amat

Sebastian Dawala : Halah

Suri : Nggak apa-apa. Biarpun pengecut, kamu ganteng

Suri : Jadi dimaafin

Sebastian Dawala : Fine

Suri : Hm?

Sebastian Dawala : Lo dapet nilai di atas delapan, gue ajak lo ke Dufan

Suri : ENELAN?!!

Sebastian Dawala : Tolong jangan alay

Suri : HEHEHEHEHE SERIUS YA?

Sebastian Dawala : Gue nggak pernah bohong. Dan gue juga bukan laki-laki pengecut.

Suri : Sip deh! Tungguin aja!

Suri : Siapin waktu luang buat ngajak aku ke Dufan!

Suri : Aku juga mau dibeliin bando Minnie Mouse yang kayak di Disneyland!

Sebastian tertawa meremehkan dalam hati, lantas meraih kaleng kopinya. Begitu mudah menyenangkan hati bocah seperti Suri, begitu pikirnya. Jika ini Kat, gadis itu tidak akan terkesan. Dia akan menuduh Sebastian kekanakan, kemudian melangkah anggun dalam balutan sepatu Manolo Blahnik di kedua kakinya. Ah, mengapa Sebastian jadi membandingan Suri dengan seorang Cathleena Nirwasita? Kat jelas perempuan cerdas dan anggun, tidak seperti Suri yang naif dan masih anak-anak. Mereka jelas berbeda. Gadis yang satu menunjukkan sikap labil nan konyol setiap berada di dekatnya, sementara gadis yang lain terlalu dingin, seperti gunung es yang mengapung di Antartika.

Sebastian meneguk lagi kopinya, merasakan bagaimana cairan pahit-manis itu berkolaborasi menuruni kerongkongannya. 




bersambung. 

**************************************

************************************** 

a.n : iyak ternyata berdasarkan vote yang menang adalah NOIR wkwkwk 

Tapi tenang aja. nanti gue usahain buat yang lain update juga kok. 

thankyou vote, comment dan semua ucapanya kemaren kemaren. 

mi lov you. 

see you in the next chapter. 

ciao. 

Continue Reading

You'll Also Like

184K 4.8K 25
Pada kalimat usang yang masih kerap mengusik hidupku. Pada wajah bahagia yang selalu aku nantikan kehadirannya mengapa kini nampak pudar? Mengapa wak...
562K 61.3K 65
WARNING!! BXB AREA. MOHON MENJAUH JIKA ANDA HOMOPHOBIA! CERITA INI 100% KARANGAN SEMATA. HANYA FANTASI. TOLONG BEDAKAN MANA YANG FAKE DAN REAL. WARN...
2.2K 202 180
Mari ceritakan tentang hari ini.Mari tersenyum hari ini,hari esok dan seterusnya.Sampai suatu saat waktu mengusaikan.
955 166 7
Malika Marwan tidak pernah menyangka kalau suami yang dicintainya dan adik yang dipercayainya akan tega membakarnya hidup-hidup. Sebelum ajal menjemp...