Perfect Family

badgalzia द्वारा

8.9K 306 52

Temui Zia Mcfoy. Gadis 16 tahun, pencinta punk-idola gadis-gadis lesbian dan bi di sekolahnya. Tapi hey, dia... अधिक

Chapter 1 | Call Me Zia
Chapter 2 | Meet Luke
Chapter 3 | The Boys
Chapter 4 | Tree House
Chapter 5 | Flour Fight
Chapter 6 | The Rumour
Chapter 7 | UFO Freak
Chapter 9 | Meet Cece
Chapter 10 | Lunch With Calvin
Chapter 11 | Meet Rory
Chapter 12 | Rock It Out!
Chapter 13 | Ignore
Chapter 14 | Be Mine?
Chapter 15 | Under The Moonlight
Chapter 16 | Mad Rick's Cafe
Chapter 17 | Drowning
Chapter 18 | Nightmare
Chapter 19 | Fool Fight
Chapter 20 | Apologizes
Chapter 21 | Local Dish Resto
Chapter 22 | Confirmations
Chapter 23 | Cory's Top Secret
Chapter 24 | Carolina Place
Chapter 25 | Meet Avery
Chapter 26 | Singing Zach
Chapter 27 | A Dream Comes True

Chapter 8 | Just Dreaming

265 13 2
badgalzia द्वारा

“Because if he expects more, I can’t give him more. Never.”

Aku tidak bisa tidur malam ini. Entah apa yang sedang aku pikirkan. Aku mencorat-coret buku sketch yang sudah beratus halaman ku gambari dan membaca beberapa chapter dari novel yang belum selesai kubaca. Namun semua yang kulakukan percuma saja, tidak bisa membuatku lelah. Dan aku masih juga tidak mengantuk. Entah apa yang sedang menggangguku. Aku sendiri bingung. Tiba-tiba suara dering ponselku memecah kesunyian. Aku melihat layar sebesar empat inch tersebut, dan mataku langsung membulat. Luke?

From : Luke Jelek

Ternyata perasaanku benar. Kau belum tidur rupanya :)

To : Luke Jelek

Hey, darimana kau mengetahuinya?

Kau memata-mataiku, ya? :p

Tiga detik kemudian aku mendapat balasannya.

From : Luke Jelek

Uh, aku tidak sengaja mengetahuinya :P

Lampu kamarmu masih menyala ;)

Apa maksudnya ‘tidak sengaja’? Hell, bagaimana ia bisa tahu? Apa ia mengenal salah satu tetanggaku, lalu menyuruhnya untuk memata-mataiku? Atau ia sendiri yang sengaja berkeliaran di malam hari, hanya untuk mengetahui keadaanku? Baiklah, ini mulai membingungkan.

To : Luke Jelek

Apa? Serius, Minion.

Kau membuatku mulai ketakutan :|

Aku bangkit dari tempat tidurku, meninggalkan novel yang sedang kubaca, lalu berjalan mondar-mandir seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian.

From : Luke Jelek

Kau benar-benar harus berhenti memanggilku seperti itu, aku juga serius -_-

Aku mendengus seraya menekan tombol yang mengaktifkan caps lock dalam keyboard di screen ponselku.

To : Luke Jelek

UGH, AKU TIDAK PEDULI!

PERMASALAHAN DISINI ADALAH BAGAIMANA KAU BISA TAHU JIKA LAMPU KAMARKU MASIH MENYALA?

DIMANA KAU SEKARANG, STALKER??

Aku menggigit tinjuku seraya menunggu balasan darinya.

From : Luke Jelek

Di depan rumahmu. Berani untuk menemuiku? ;)

Apa? Didepan rumahku? Aku melirik layar ponselku lagi. Jam dua belas malam lewat tiga menit. Dia pasti bercanda. Aku berlari kecil kedepan jendela, lalu menyibakkan gorden putih yang menutupinya. Disanalah Luke. Dengan jaket putih, jeans hitam dan Supra hitam kesayangannya. Berdiri dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana, menatapku dengan mata hazelnya bersinar. Senyumannya terlihat begitu memabukkan. Aku membalas senyumnya, seraya membuka jendela dan menyembulkan kepalaku keluar. Karena tidak ingin membangunkan Toby juga tetangga-tetanggaku yang lain, aku berkata tanpa suara, “What the hell are you doing out there?”

Ia juga berkata tanpa suara, namun aku masih bisa menangkap apa yang ia katakan dari gerakan bibirnya. “Aku datang untuk menemuimu. Maukah kau pergi?”

“Apa? Sekarang?” kataku terkejut, hampir mengeluarkan suara. Luke terkekeh lalu menganggukkan kepalanya. “Jadi, bagaimana? Aku janji kau sudah berada di kamarmu lagi sebelum Toby bangun.” Ia terlihat sangat berharap. Oh, apa ia takut aku akan menolak untuk pergi dengannya? Padahal, dengan tidak memasang wajah seperti itu pun, aku tidak akan berpikir dua kali untuk pergi bersamanya. Lagipula, hal buruk apa yang bisa terjadi? Aku pernah menolak ciumannya satu kali, dan berikutnya ia tidak pernah berusaha untuk melakukannya lagi. Jadi, apa yang perlu aku khawatirkan?

Lidah Luke menyentuh bibir bawah dan atasnya dengan cepat, sebelum ia kembali berbicara tanpa suara. “Jadi, bagaimana?”

Aku mengangguk, seraya berusaha menahan sebuah senyuman, agar tidak terlihat begitu bersemangat. “Aku akan mengganti pakaian. Tunggu sebentar.” Kataku sebelum menutup gordennya, tidak sempat menatap Luke lagi. Aku mengganti celana pendekku dengan celana pensil panjang motif kotak-kotak hitam dan merah, tidak mengganti kaos hitam yang sedang kupakai, lalu memakai hoodie hitam kesayanganku. Terakhir, kupakai Converse putihku dan mengikat talinya sambil berjalan keluar kamar, berusaha untuk tidak membuat kegaduhan saat menuruni tangga. Aku menempelkan kupingku di pintu kamar Toby. (Ia mendengkur sangat keras saat sudah tertidur nyenyak, jadi aku tidak perlu repot untuk membuka pintu). Dan benar saja, Toby sudah mendengkur dengan keras. Bagus. Tetaplah tidur dengan nyenyak kakakku sayang. Aku pergi sebentar. Bisikku, sebelum beranjak pergi.

Aku mengunci pintu depan saat sudah berada di luar, karena meninggalkannya tanpa dikunci akan sangat berbahaya. Kalaupun aku belum tiba dirumah saat ia bangun, setidaknya jika ingin keluar ia bisa memanjat pagar belakang rumah. (Salahnya sendiri terus saja lupa menggandakan kunci.) Kurasa itu lebih baik dibandingkan televisi yang dibuat pada zaman batu itu (Televisiku bukan layar plasma, meskipun layarnya sudah datar.) dan Playstation kesayanganku (Walaupun itu milik Toby.) raib dibawa pencuri saat aku kembali sepulangku nanti.

“Hey.” Sapaku dengan suara pelan, seraya memasukkan kedua tanganku ke saku hoodie yang ada didepan perutku. Udaranya sangat dingin diluar sini.

“Siap untuk pergi?” katanya berbisik. Astaga, suara Luke seksi saat berbisik-bisik. Zia. Jangan mulai.

“Baiklah, dimana motormu?” tanyaku seraya mengikutinya dari belakang.

“Itu dia.” Ia menunjuk motornya yang terparkir tiga rumah dari rumahku. Pantas saja suara mesinnya tidak terdengar.

Aku terkekeh. “Jadi, mau kemana kita?”

Luke tersenyum penuh rahasia. “Nanti juga kau tahu.” Ia mengedipkan sebelah matanya.

Tanpa menunggu komando dari Luke, aku memeluknya sejak bokongku menyentuh jok motornya, dan ia tidak keberatan. Malah di sepanjang perjalanan ia berusaha memberikan kehangatan pada punggung tanganku dengan cara menggosok-gosokkan telapak tangan kirinya yang bebas. Suara motor Luke yang keras seakan memecahkan kesunyian di sepanjang jalan. Laju motor  ini tidak begitu pelan atau kencang. Bisa kukatakan, ini adalah perjalanan paling menyenangkan bersama Luke; memeluknya di bawah cahaya bintang-bintang dengan suasana malam yang sangat sunyi. Aku sudah sangat hafal jalanan ini. Menuju rumah pohon? Hell, Apa yang ia rencanakan sebenarnya? Aku mulai penasaran, dan well, sedikit ketakutan. Sedikit.

Meskipun gelap, dan hanya diterangi cahaya bulan diatas sana, dan juga cahaya lampu dari rumah-rumah dibawah sana, aku bisa bilang di rumah pohon ada seseorang. Tunggu, sepertinya mereka lebih dari satu. Dan aku kenal betul siapa pemilik rambut pirang itu, juga dua lainnya yang sudah tertebak ciri-cirinya. Sedang apa mereka? Sebenarnya apa yang sedang Luke rencanakan?

“Luke, sebenarnya apa yang akan kau lakukan padaku?” tanyaku, terdengar antara takut, bingung dan penasaran.

“Yang jelas bukan hal yang buruk.” Ia tersenyum misterius. Sikapnya terlihat sedikit canggung. Baiklah, ada apa ini sebenarnya?

Saat jarak kami dua meter dari rumah pohon Luke menghentikan langkahnya, membuatku melakukan hal yang sama. Ia menatapku seraya menghembuskan nafas. Apa ia gugup?

Tidak lama kemudian kembang api yang tergantung di atap dan bagian bawah rumah pohon, menyala satu persatu. Berkilauan indah, menghias rumah berwarna cokelat pucat dengan cahayanya yang putih keemasan. Jumlahnya ada puluhan atau ratusan, entahlah. Tetapi jumlahnya cukup untuk membuat pohon itu berubah menjadi pohon kembang api. Wajah Ashton, Calvin dan Don terlihat jelas sekarang, menatap kami dari atas sana dengan kedua jempol teracung. Luke menggumamkan “Terima kasih.” Pada mereka bertiga seraya tersenyum, sebelum tatapannya kembali diarahkan padaku.

“Zia.” Ia menggenggam kedua tanganku. Aku menatap tanganku yang digenggamnya, lalu membalas tatapannya yang seakan mengunci pandanganku dari pemandangan lainnya, tidak mengijinkanku untuk berpaling.

“Aku tahu ini terlalu cepat, dan aku tahu ini akan membuatmu terkejut.” Ia menggambar lingkaran di punggung tanganku dengan kedua ibu jarinya.

“Tapi tahukah kau? Cinta datang di waktu yang tidak kita duga. Cinta juga tidak bisa dipendam terlalu lama. Itu bisa membuat seseorang menjadi gila. Gila karena tidak bisa berhenti memikirkan orang yang ia cinta setiap waktu.” Mata hazel Luke berkilau, memantulkan cahaya bulan. Sorot matanya memancarkan kehangatan, kehangatan yang perlahan menjalar di hatiku. Aku tidak bisa berkata-kata. Kecepatan detak jantungku tidak bisa dikendalikan. Begitu cepat, seakan dentumannya menggema didalam dadaku, menghasilkan sebuah musik disko.

“Dan Zia, aku gila karenamu. Aku tidak bisa memendam ini terlalu lama lagi.” Luke memejamkan matanya sesaat seraya mendesah. Aku memperhatikan setiap inchi permukaan wajahnya hanya untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi disini.

“Aku... mencintaimu.” Ucap Luke terdengar lembut, meski terucap dengan suara berat dan dalam yang terdengar seksi. Benar-benar perpaduan yang aneh, antara nada lembut dan suara berat. Tetapi yang mengejutkan, itu menghasilkan suara semerdu nyanyian dari surga di telingaku. And anyway, where the fuck am I right now? Mars? Kenapa sepertinya tiba-tiba oksigen disekelilingku menghilang entah kemana? Bibirku terbuka, tetapi tidak ada satupun kata yang keluar.

“Would you be mine?” Bola mata Luke berkilauan. Terlihat jelas sekali jika ia menginginkanku. Dia menginginkanku! Menjadi miliknya! Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Oh God. Oxygen please?

Aku mengedipkan mataku beberapa kali, untuk memastikan jika ini nyata. Luke memandangiku dengan bingung. “Jika kau tidak mau menjawabnya sekarang, aku tidak keberatan menunggu beberapa hari atau—”

“Ya!” bisikku dengan raut wajah tidak percaya. “Apa?” Luke mengucapkannya dengan raut bingung yang sangat menggemaskan. “Apa kau bercanda? Ya!” Ulangku dengan tawa kecil, terdengar sangat antusias. Luke tersenyum lebar. Senyuman paling lebar yang pernah ia berikan padaku.

Detik selanjutnya, kutemukan tubuhku berada pada posisi paling hangat dalam dekapan erat seorang Luke Bentley. Ia mengecup puncak kepalaku seraya berbisik, “Terima kasih, Zia. Aku sangat bahagia. Tidak diragukan lagi, aku laki-laki paling bahagia di dunia saat ini.”

Aku terkekeh, sebagai respon atas gerakan Luke yang membuat tubuhku bergerak kekanan dan kekiri dalam pelukannya. Caranya memelukku begitu nyaman, hangat dan mengalirkan sengatan aneh ke dalam setiap aliran darah dalam tubuhku.

Luke melepaskan pelukannya, menatapku dengan senyuman yang seakan tidak bisa lebih lebar lagi. Aku juga masih tersenyum, belum bisa melepaskannya dari bibirku. Satu tangannya mendarat lembut di pipi kiriku. Aku menyentuh tangan besar itu, untuk sekilas menatap mata Luke yang menyiratkan kehangatan, sebelum memejamkan mataku. Sepersekian detik kemudian bibir Luke yang lembab bersentuhan dengan bibirku yang dingin. Tidak peduli apapun lagi di dunia, aku membalas ciumannya. Ini adalah hari terindah dalam hidupku. Bersama Luke. Di rumah pohon kita. Berciuman di bawah cahaya rembulan, dan cahaya kembang api. Aku tidak ingin mengubah detail apapun. Ini sempurna.

Kurasakan sensasi basah dan geli datang terus menerus di daerah kening dan pipiku. Wajah Luke mulai membuyar di mataku, berganti menjadi suasana putih. Oh, aku di kamar. Sebelum aku sadar sepenuhnya dengan apa yang terjadi, di atas tubuhku yang tidur terlentang, berdiri seekor kucing siam yang matanya yang menyiratkan rasa senang. Bisa kutebak, rasa senangnya adalah karena ia berhasil membangunkanku dengan cara menjilati wajahku. Atau karena ia tahu aku sedang bermimpi luar biasa indah, dan merasa senang karena berhasil menghancurkannya? Oke, yang itu tidak mungkin. Setelah nyawaku sepenuhnya berkumpul, aku sadar jika Flo baru saja membangunkanku dari mimpi yang super indah. Astaga, jadi itu hanya mimpi? Sayang sekali.

“Flo? Apa yang kau inginkan kucing nakal? Kau mengganggu mimpi indahku, kau tahu?” kataku gemas, mengacak-acak bulu di wajahnya. Ia mengeong. Meongan yang akan terdengar jika ia sedang lapar. “Kau membangunkanku karena lapar?” Ia mengeong senang, lalu menggosok-gosokkan kepalanya ke tanganku. Aku tertawa melihat betapa manjanya ia. “Haha, ayo kucing nakal.” Kugendong ia sambil bangkit dari tempat tidurku. Saat aku berjalan keluar kamar, ia meronta minta diturunkan. Setelah kaki-kaki mungilnya menyentuh lantai, ia berlari-lari menuruni tangga. Ia sangat lucu. Dan ia sangat mirip denganku. Ternyata apa yang pernah aku dengar itu benar, karakter kucing peliharaan akan sangat mirip dengan pemiliknya. Aku memang mudah sekali lapar, terutama saat bangun tidur. Tunggu, apa itu sebuah karakter?

Aku menguap seraya menuang sereal ke mangkuk, menggaruk rambut dibelakang kepalaku. Kusut sekali. Aku tidak terbiasa dengan rambut panjang. (Bagiku, sebahu itu sudah panjang.) Sepertinya aku harus segera ke salon, kali ini benar-benar harus pergi. Flo sedang memakan makanannya dengan lahap. Ia melirik padaku, mengeong pendek, seperti mengucapkan terima kasih dengan makanan yang kuberikan. Aw, bisakah ia lebih lucu lagi? Aku tersenyum kecil, “Sama-sama babe.”

Toby muncul dengan wajah yang masih bau bantal, menguap lebar seraya mengangkat kedua tangannya ke udara. “Astaga, kau berusaha mencemari udara? Gosok gigimu sebelum sarapan!”

Toby tertawa seraya mengambil mangkuk di cabinet yang tertempel di atas dinding. “Yang benar itu sikat gigi setelah sarapan.” Ujarnya santai, lalu tersenyum mengejek. Aku memutar mataku.

“Dasar jorok. Jadi selama ini kau makan bersama kuman-kuman yang membuat sarang di mulutmu semalaman? Ew.” Toby mengambil kotak sereal dari tanganku seraya tertawa. Aku menampar lengannya. “Jangan tertawa lagi. Bau. Ketiakmu juga bau.” Dengusku.

Ia mencium kedua ketiaknya secara bergantian, masing-masing dua kali. Aku menampakkan wajah ingin muntah melihatnya. “Aku wangi. Mungkin hidungmu saja yang terlalu dekat dengan mulut.” Ujarnya lebih santai dari sebelumnya. Aku menampar lengannya lagi, kali ini lebih keras. “Enak saja! Hidungmu yang bermasalah!” kataku tidak terima.

Toby mendekatkan wajahnya ke wajahku lalu menggerak-gerakkan hidungnya seperti anjing pelacak. “Hey! Kau juga belum menggosok gigimu!” Ledeknya seraya terkekeh, menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya.

Upsy daisy. “Tadi Flo ingin makan. Ia sudah sangat kelaparan, kasihan sekali bukan?” Aku melirik Flo. Mendengar namanya disebut, Flo menatapku dengan tatapannya yang seakan berkata, “Jadi, itu salahku?” Dasar kucing nakal. Aku memelototinya, dan ia kembali mengarahkan wajahnya pada mangkuk makannya. “Jadi aku langsung turun ke bawah. Aku—baru mau menggosok gigi sekarang.” kataku seraya berjalan menuju kamarku.

“Eit, tunggu dulu. Kau harus minta maaf.” Toby menarik kaos putihku. Aku menyingkirkan tangannya yang menyingkap sedikit bagian pinggulku.

“Untuk?” kataku menautkan kedua alisku, berpura-pura tidak tahu.

“Karena bilang aku bau. Dan oh, mencemari udara. Padahal faktanya kau juga belum menggosok gigi.”

“Ummm.” Aku menaruh jari telunjukku di dagu, seperti orang berpikir. “No.” Aku memicingkan mata padanya. “Faktanya kau memang bau dan mencemari udara.” Aku menjulurkan lidah.

Toby mengambil ancang-ancang dengan mengangkat kedua tangannya ke udara, menggerakkan jari-jarinya seperti laba-laba yang sedang berjalan. Aku berlari, tapi terlambat. Toby mulai menggeliti pinggangku. Sialan. Aku tertawa-tawa seraya meronta. “Haha. Lepaskan!”

“Minta maaf.” Katanya mengancam, tetapi juga ikut tertawa-tawa. “S—sorry. Hahaha” Karena membagi dengan tawa dan ucapanku, nafasku jadi terengah-engah.

“Lakukan yang lebih baik dari itu.” Aku tertawa-tawa geli. “I’m sorry mi hermano guapo (saudaraku yang tampan –Spanish).” Dengan itu, akhirnya ia melepaskanku.

“Permintaan maaf kuterima, mi hermosa hermana.” Ia tersenyum manis sementara aku mengatur nafasku. Flo mengelus-elus kakiku, seperti ingin ikut-ikutan minta maaf. “Aw, kesini kau kucing manis.” Aku menggendong Flo. “Lihat kan, Toby? Dia kucing yang manis.”

Toby terkekeh. “Baiklah, tapi jangan harap aku bisa akrab dengannya, ya?” Ia mengacak-acak rambutku. “Hey, sepertinya kau perlu mencuci rambut.”

Setelah menggoyangkan hidungku ke hidung Flo, aku menurunkannya ke lantai. “Aku perlu potong rambut, itu yang benar.” Desahku. “Minta uang untuk ke salon, please?” Aku mengedip-ngedipkankan mata, memohon seperti anak kecil yang lugu.

“Dengan satu syarat.” Toby melipat tangannya di depan dada, dan aku memajukan bibirku. “Apa itu?”

“Cuci Cody. Aku akan pergi dengan pacarku, jadi pastikan ia bersih mengkilap.” Ia menepuk bahuku sebelum menuang susu kedalam mangkuk serealnya dan duduk di kursi meja makan.

“Aw, ayolah. Ini hari sabtu! Tidak bisakah aku sedikit bersantai di hari libur?” rengekku.

“Mau uang atau tidak?” Ia menyeringai. Ugh, jika bukan kakakku, setelah ini akan ku isi botol sabun cair dan botol shamponya dengan shampo Flo tanpa sepengetahuannya.

“Baiklah, baiklah. Tapi pastikan beri tambahan untuk uang tips dan juga pedikur dan manikur.” Kataku menawar. Sebetulnya aku bukan tipe cewek yang suka menghabiskan banyak uang dan waktu di salon. Selain itu, aku bisa merawat kuku tangan dan kakiku dengan baik. Hanya saja mendapat uang lebih itu sangat menyenangkan, bukan? Aku bisa membeli makanan yang banyak.

“Iya, cerewet. Bilang saja terus terang jika butuh uang lebih untuk makanan.” Toby mencubit pipiku kelewat gemas hingga membuatku meringis.

Aku terkekeh, sambil menggosok pipiku. “Kau mengenalku sangat baik, brotha.” Toby menyeringai, seraya mengedipkan mata padaku, lalu mulai menyendok serealnya.

“Ew, aku akan gosok gigi dulu.” kataku, melenggang ke kamar mandi.

“Yang benar itu sehabis sarapan!” balas Toby setengah berteriak.

“Terserah! Selamat makan dengan kuman-kuman kakakku sayang.” Aku menyembulkan kepalaku dibalik dinding, tersenyum dibuat-buat manis. Toby membatalkan suapan yang hampir masuk ke mulutnya. Aku tertawa cekikikan seraya menggelengkan kepalaku. Dasar Toby.

***

Aku membawa gulungan selang ke depan rumah. Di pekarangan rumah, tepat di depan garasi sudah terparkir Cody yang sangat kotor, seperti habis dipakai off road. Aku menyalahkan hujan yang sering turun belakangan ini, lebih dari itu, aku menyalahkan Toby yang sangat jorok. Saat aku yang membawanya, Cody baru akan kotor setelah tiga hari. Tapi jika Toby yang membawanya, tidak sampai setengah hari pun Cody pasti sudah berhiaskan tanah, pasir, bahkan lumpur. Ugh. Dasar laki-laki.

Aku berdiri di dekat Cody dengan kedua tangan di pinggang. “Hey, bro. Mandi dulu ya?” Lalu secara imajinatif aku menganggap Cody menjawabku dengan sebuah teriakan riang seorang anak kecil, namun dengan suara Megatron. Ya, aku memang konyol, menamai benda-benda mati juga mengajaknya berbicara. Tapi, siapa peduli?

Kutancapkan ujung selang pada keran, lalu menyalakannya. Air mulai mengalir, dan aku menyemprotkannya ke arah Cody dengan wajah malas. “Kau senang ya? Kalau aku tidak. Aku saja belum mandi tapi aku memandikanmu. Ha, konyol sekali. Toby menyuruhku segera memandikanmu sebelum hari terlalu siang. Katanya ia akan membawamu ke tempat pacarnya. Ia memang menyebalkan. Aku tahu.” ujarku seakan Cody benar-benar bisa di ajak bicara.

“Hey, jangan menggerutu!” Toby muncul didepan pintu dengan senyuman mengejeknya yang khas, seraya kembali mengarahkan ponsel dalam genggamannya ke kuping kanannya. Aku memajukan bibir, mengarahkan selangnya ke arah Toby, meski aku tahu air tidak akan sampai menyentuhnya. Ia lalu terkekeh sebelum menutup pintunya kembali.

Aku mulai menyabuni Cody dengan spons besar sambil menggumamkan lagu-lagu yang sering kunyanyikan di studio bersama the boys. Membersihkan motor ternyata tidak buruk. Lain kali aku akan lebih sering membersihkannya sendiri, sehingga bisa menyimpan uang yang keluar untuk membersihkannya di tempat pencucian motor. Tidak terasa, Cody tinggal disiram air dan ia pun bersih! Akhirnya. Aku menyeka kening dengan punggung tanganku seraya tersenyum bangga, menyirami Cody dengan selang di tangan kiri dan tangan kanan di pinggang.

Tiba-tiba kudengar suara mobil yang berhenti di belakangku, dan seseorang bersiul genit dari dalam sana. What the fuck? Aku menoleh dengan gusar. Yang pertama kulihat adalah Michie yang duduk di belakang kemudi, ia mengedipkan mata padaku. Sepertinya ia juga yang tadi bersiul. “Guys? Mau apa kalian sepagi ini kerumahku?” kataku mengubah ekspresi kesalku dengan ekspresi bingung.

“Toby memberitahu ada tontonan seru disini, kukira apa, ternyata itu hanya kau yang sedang mencuci motor.” Michie menjawab, matanya mengamatiku dari atas ke bawah, dari bawah ke atas lagi, lalu tersenyum-senyum. Hell, kenapa dengannya?

“Kau seksi saat mencuci motor Zee.” Cory menambahkan dengan kedipan mata genit, lalu terkekeh geli. Aku terkejut dengan fakta bahwa aku tidak marah mendapat ‘pujian’ seperti itu dari Cory. Satu-satunya alasan kenapa aku tidak marah, adalah karena ia gay. Kalau keempat yang lain yang berkata begitu, bisa-bisa ku siram mereka dengan selang di tanganku saat itu juga.

Thanks, Cory.” Aku tersenyum lebar, sementara mereka semua tersenyum-senyum aneh. Tunggu, apa? Dengan cepat, aku mengarahkan tatapan mata pada bajuku. Shit, aku tidak sadar bahwa kaos putih yang kupakai kini basah, menempel pada tubuhku hingga menampakkan bra hitamku. Bisa dipastikan wajahku merah padam sekarang. Aku menggeram kesal, lalu membalikkan badan, ke arah rumahku. Ternyata di pintu depan sudah berdiri Toby yang sedang tertawa cekikikan. “You look so sexy sist!” Ujarnya lalu mengedipkan sebelah matanya padaku.

Astaga, kakak macam apa yang menganggap mempermalukan adiknya adalah hiburan yang sangat menyenangkan? “Toby!!!” jeritku kesal sambil membanting selang di tanganku. Ia malah tertawa tertawa tanpa dosa.

“Eit, selesaikan dulu, baru kau kugaji.” Ia menudingku dengan jari telunjuknya sebelum masuk ke dalam rumah sambil tertawa. Tega sekali dia. Aku bahkan tidak berani membalikkan tubuhku lagi ke belakang, aku malu pada the boys. Tenang, Zia. Jangan lembek. Masih ada banyak waktu untuk pembalasan.

Tiba-tiba kurasakan seseorang menepuk pundakku. “Selesaikan dulu pekerjaanmu, kami akan menunggu di dalam.” Aku menengadah, melihat Will yang tersenyum tipis, terlihat simpati. Sepertinya ia tahu jika aku malu. Ia memang yang paling pengertian diantara semuanya.

“Ya, baiklah.” Aku tersenyum simpul seraya mengangguk, sebelum ia berlalu bersama Cory, Michie dan Zach.

Saat aku berbalik untuk melihat dimana si pria berambut ikal, tubuhku menubruk tubuh tinggi—yang kutebak, pasti Max—hingga hampir terjungkal ke belakang. Dengan gerakan reflek, mataku terpejam, menyangka jika bokongku akan mencium tanah. Namun yang kurasakan sebuah tangan menopang punggungku, hingga posisi tubuhku kini melayang di udara. Aku membuka mataku perlahan.

Detak jantungku tiba-tiba berdegup diluar kendali, melihat sepasang bola mata hijau yang berkilauan di terpa sinar matahari. Rambut ikal kecoklatan yang terjuntai menutupi sebagian kening, membuat ia terlihat seperti anak kecil yang lugu. Atau seperti malaikat pembawa panah. Ya, Cupid. Cupid memang berambut ikal. Iya kan? Dan untuk sesaat aku merasa seperti berada di dalam scene sebuah film. Ah, aku tahu. Aku seperti Margo dan dia Antonio dalam film kedua Despicable Me. Astaga, sempat-sempatnya aku melantur.

“Tadi itu hampir saja.” Max menyeringai, menampakkan bulatan kecil di pipinya.

Harus ku akui, aku terobsesi pada benda kecil imut itu. Bukannya merespon ucapannya, aku malah mencolek tepat di lesung pipinya dengan jari telunjuk. “Cute dimple.” Aku tersenyum, seperti gadis kecil yang melihat kuda poni. Ia tersipu. Tunggu, apa?

“Thanks.” Max seperti salah tingkah. Aku meregap bahunya untuk membantuku berdiri. “Um, kau tunggu saja di dalam, ak—aku, masih—harus menyelesaikan ini.” Sial, kenapa aku juga jadi salah tingkah begini.

“Biar aku saja, bajumu sudah basah begitu. Nanti kau kedinginan.” Max mengambil selang yang tergeletak di tanah.

“Tidak usah. Aku baik.” Aku bermaksud mengambil selangnya, tetapi ia malah menjauhkan tangannya dariku.

“Sudah, kau ganti baju sana.”

“Tidak mau. Sini kembalikan!” Max malah menyembunyikan selangnya dibelakang punggung. Aku mau merebutnya, tetapi ia malah memutarkan tubuhnya. “Max!” dengusku.

Max malah tertawa, dengan cepat ia memindahkan selangnya ke tangannya yang lain. Kali ini dengan mudah aku mendapatkannya. Tapi Max tidak mau melepasnya. Walhasil air dari selang itu muncrat ke wajah Max. Aku tertawa geli. “Bukan salahku, bukan salahku.” Kataku mengangkat kedua tanganku ke udara. “Salahmu sendiri tidak mau melepasnya Max.” Aku mengingatkan.

“Kesini kau gadis kecil.” Max memicingkan matanya.

Aku berteriak, berlarian di pekarangan. Max menyemprotku tanpa ampun. Saat aku berhasil merebut selangnya, Max selalu berhasil menangkapku lalu mengarahkan selangnya ke arahku. Aku berlari ke arah keran, bermaksud mematikannya, tetapi Max menarik tanganku. Saat ia lengah aku berhasil merebut selangnya, balas menyemprotnya tanpa henti. Bukannya berlari menghindar, Max malah berlari mengejarku. Ia merebut selangnya dari arah belakangku, hingga hasilnya dadanya bertubrukan dengan punggungku. Aku berusaha menyemprot wajahnya. Kena satu kali, dan ia mengarahkan tanganku ke wajahku, tapi tidak kena. Aku tertawa dan Max ikut tertawa bersamaku. Ini menyenangkan, mengingatkanku pada masa kecilku bersama Toby. Dulu kami sering main perang air seperti ini saat menunggu Dad pulang bekerja di sore hari.

Aku menatap tanganku yang di genggam Max. Sengatan aneh mengalir di sana. Mulai lagi. Ada apa denganku? Aku memutar kepalaku ke belakang, sehingga mata kami bertemu. Mata hijau Max menatapku dengan tatapan yang tidak terbaca. Sedetik kemudian sengatan itu berangsur memudar, saat kuingat betapa aku menyayangi Max sebagai kakak. Tetapi apakah Max merasakan hal yang sama? Menganggapku sebagai adik saja? Atau ia berharap lebih? Karena jika ia berharap lebih, aku tidak akan pernah bisa membalasnya. Tidak akan pernah.

“Ini menyenangkan, Max. Kau mengingatkanku pada masa kecilku dengan Toby.” Aku menarik tanganku dari genggaman Max seraya terkekeh.

Saat aku membalikkan badan, kulihat ia tersenyum kikuk. Matanya menyorotkan kehangatan. Tatapan yang Luke berikan saat ia menyatakan cintanya padaku di rumah pohon. (Oke, itu hanya mimpi. Tapi bukan itu intinya.). Dengan tatapan itu, aku menyimpulkan jika ia ... menyukaiku? Aku harus meluruskannya. Ya, semuanya harus jelas di antara kami berdua.

“I love you brotha.” Aku tersenyum seraya merapikan helaian basah rambut Max yang menempel di keningnya. Bisa kurasakan sorot kehangatan itu memudar dari matanya, berganti tatapan terluka.

“Love you too, Zee.” Ia menampilkan sebuah senyuman. Namun aku bisa bilang, itu bukan senyuman tulus. Oh, aku benci situasi seperti ini.

God damn it.

A/N: Argh gue tau ini gaje dan norak. Bodo ah.

Comment + Vote = Cote

So, cote me maybe? ;)

Thankyou for reading xo

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

MARSELANA kiaa द्वारा

किशोर उपन्यास

1.5M 11.3K 4
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
SAGARALUNA Syfa Acha द्वारा

किशोर उपन्यास

2.9M 144K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
Rumah di Perantauan SenjaaHaluu द्वारा

किशोर उपन्यास

532K 26K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
GEONARA 𐙚 𝐝𝐢𝐧𝐚 𐙚 द्वारा

किशोर उपन्यास

247K 11.4K 17
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...